Syekh Izzuddin bin ‘Abdissalam asy-Syafi’i merupakan ahli fiqih (fuqaha’) dari madzhab Syafi’i yang terkenal wara’, tawadhu’ dan zuhud. Namun, sikap tawaddu’nya tidak mengurangi sama sekali keberaniannya mengkritik kekeliruan seorang Raja. Syaikh Izzuddin pernah mempin kaum Muslimin Damaskus menentang kolonialisme bangsa asing. Ia bergelar Sulthan al-Ulama’ (pemuka para ulama’).
Nama lengkap Syaikh Izzuddin adalah Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdis Salam bin Abu al-Qasim bin al-Hasan bin Humman al-Salami al-Dimasyqi al-Syafi’i. Dilahirkan di Damaskus pada tahun 577 H. Riwayat lain menyebutkan beliau lahir pada tahun 578 H.
“Izzuddin” (kemuliaan agama) merupakan gelar yang diberikan beliau berkat kepakarannya dalam agama. Beliau juga disebut Sulthan al-Ulama (pemuka para ulama’). Gelar ini diberikan oleh muridnya, Ibnu Daqiq al-‘Id sebagai bentuk penghargaan atas atas kerja keras beliau menjaga reputasi para ulama pada masanya. Usaha itu diimplementasikan dalam sikap-sikapnya yang tegas dengan memimpin para ulama melawan kediktatoran.
Guru Imam Izzuddin bin ‘Abdussalam
1. Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani
Al-Qodhi Abdus Shomad bin Muhammad bin Ali bin Abdul Wahid bin Al-Harostani Al-Anshori Al-Khozroji Al-Ubadi As-Sa’di Ad-Damasyqi merupakan seorang qodhi (hakim) yang dikenal adil, zuhud dan wira’i, beliau merupakan salah satu pembesar fuqoha’ madzhab syafi’i, imam izzuddin menceritakan bahwa gurunya ini hafal kitab “Al-Wasith” karya imam ghozali. Tak heran jika Imam Izzuddin begitu kagum pada gurunya tersebut, Imam Izzuddin sampai mengatakan; “Tak pernah aku melihat orang yang ahli fiqih seperti beliau”.
Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani dikenal sebagai seorang hakim yang sangat berani dan tegas dalam memberikan keputusan hukum, Dikisahkan suatu ketika ada dua orang yang mengadukan permasalahan yang menimbulkan pertikaian diantara keduanya, salah satu diantara mereka membawa surat dari sang raja yang ditujukan kepasa sang qodhi yang berisi wasiat kepada qodhi, namun ketika beliau menerima surat itu, beliau tidak membukanya, setelah mendengarkan keterangan dari kedua orang tersebut beliau memberikan keputusan bahwa orang yang membawa surat dari raja itulah yang benar. Setelah memberikan keputusan, sang qodhi baru membuka surat tersebut, lalu membacanya dan mengembalikannya kepada orang yang membawa surat tersebut, seraya berkata; “Kitabulloh (al-qur’an) telah telah memberikan keputusan pada kitab (surat) ini”. Apa yang beliau lakukan akhirnya sampai kepada raja, lalu sang raja berkata; “Dia benar, kitabulloh lebih utama dari kitabku”.
Keberanian gurunya inilah yang sangat membekas dan berpengaruh pada keperibadian imam izzuddin, ini nampak ketika kelak beliau mulai memberikan fatwa, seringkali fatwa beliau berseberangan dengan apa yang dikehendaki oleh para pemimpin-pemimpin daulah Mamalik di Mesir. Imam Izzuddin juga memiliki pendapat yang berseberangan dengan raja Najmuddin Ayyub hingga membuat sang raja marah besar.
2. Syaikh Saifuddin Al-Amidi
Dalam bidang ushul (ilmu tauhid), Imam Izzuddin belajar pada Syaikh Saifuddin Al-Amidi, seorang ulama’ yang dikenal sangat pandai dalam bidang ushul dan diskusi (munadhoroh). Imam Izzuddin sangat terpengaruh dengan Syaikh Al-‘Amidi dan mengagumi gurunya itu, Imam Izzuddin mengatakan; “Tak pernah aku mendengar orang yang menyampaikan pelajaran sebagus beliau”, Imam Izzuddin juga pernah berkata; “Aku tidak mengetahui kaidah-kaidah berdiskusi kecuali dari beliau”.
3. Imam Fakhruddin bin ‘Asakir
Abu Manshur Abdurrohman bin Muhammad bin Al-Hasan bin Hibatulloh bin Abdulloh bin Al-Husain Ad-Damasyqi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir merupakan guru imam izzuddin dalam bidang hadits dan fiqih madzhab syafi’i, seorang ulama’ yang dikenal wira’i dan zuhud. Beliau juga dikenal sebagai ulama’ yang sangat berani dalam memberikan fatwa dan tak perduli meskipun keputusannya itu bertentangan dengan keputusan yang dikeluarkan oleh raja, jika memang menurut beliau keputusan itu salah dan melanggar agama.. Beliau menolak dijadikan sebagai hakim ketika diminta oleh raja, dan mengatakan kepada sang raja; “Cari saja orang lain”.
4. Syaikh Al-Qosim bin ‘Asakir
Beliau adalah Al-Hafidh Baha’uddin Abu Muhammad Al-Qosim bin Al-hafidh Al-Kabir Abul Qosim boin Asakir.
5. Syaikh Abdullathif bin Syaikhus Syiuyukh
Beliau adalah Abul Hasan Dhiya’uddin Abdullathif bin Isma’il bin Syaikhus Suyukh Abu Sa’d Al-Baghdadi. Beliau merupakan guru imam izzuddin fdalam bidang hadits.
6. Syaikh Al-Khusyu’i
Beliau adalah Abu Thohir Barokat bin Ibrohim bin Thohir Al-Khusyu’i. Beliau merupakan guru imam izzuddin fdalam bidang hadits.
7. Syaikh Hanbal Ar-Rushofi
Beliau adalah Abu ‘Ali Hambal bin Abdulloh bin Al-Faroj bin Sa’adah. Beliau merupakan guru imam izzuddin fdalam bidang hadits.
8. Syaikh Umar bin Thobarzad
Beliau adalah Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Yahya, yang lebih dikenal dengan Ibnu Thobarzad Ad-Darqozi.
Kepakarannya dalam ilmu fiqih, hadis, ushul fiqih, balaghah, tafsir dan lain-lain mengantarkanya sebagai ulama yang disegani di Damaskus. Beberap ulama’ lain di Damaskus menyebut bahwa Syaikh Izzuddin telah mencapai derajat mujtahid.
Di antara karya-karya terkenalnya adalah; al-Qawa’id al Kubra, al-Qawa’id al-Shugra, Mukhtashar Shahih Muslim, al-Fatawa al-Mishriyah, Bidayah al-Suul fii Tafdhil al-Rasul, Maqashid al-Ri’ayah. Tidak banyak yang mengetahui bahwa sebetulnya Syaikh Izzuddin juga pakar di bidang tafsir. Padahal, beliau menulis beberapa kitab tafsir di antaranya al-Kamil fi Tafsir al-Qur’an, al-Naktu wa al-‘Uyun Mukhtashar Tafsir al-Mawardi, Fawa’id fi Musykil al-Qur’an dan al-Isyarah Ila al-Ijaz fi Ba’di Anwa’ al-Majaz. Di antara karya-karya lainnya adalah:
1. Kiitab Al-Qawaid Al-Kubro.
2. Kitab Al-Qawaid As-Shughra.
3. Kitab Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam.
4. Kitab Al-Imamah fi Adillatil Ahkam.
5. Kitab Al-Fatawa Al-Misriyah.
6. Kitab Al-Fatawa Al-Maushuliyah.
7. Kitab Majaz Al-Qur’an.
8. Kitab Syajaratu al-Ma’arif Wa al-Ahwal, Wa Shalihi al-Aqwal Wa al-A’mal.
9. Kitab At-Tafsir.
9. Kitab Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah.
10. Kitab Mukhtasar Shahih Muslim.
Selama beberapa tahun ia menjabat qadhi (hakim) di kota Damaskus. Namun, karena tidak sejalan dengan penguasa di kota itu. Selama menjadi hakim, khatib dan mufti, ia dikenal dengan kepribadiannya yang apa adanya. Jika sesuatu tidak sesuai dengan hukum Islam ia tolak mentah-mentah.
Beliau pernah terlibat konflik dengan penguasa. Seorang Gubernur bernama Shalih Ismail pada tahun 608 bekerja sama dengan tentara Salib. Tentara Salib menginginkan membeli senjata. Keputusan ini tidak diterima para ulama’ dan ditentang habis. Para ulama Damaskus dengan dipimpin Izuddin bin Abdussalam berfatwa atas keharaman menjual senjata kepada orang salib.
Yang juga membuat kecewa kaum Muslimin Damaskus adalah Gubernur ternyata menyerahkan beberapa penteng kaum Muslimin kepada tentara Salib. Padahal, kaum Salibis mempunyai rencana jahat untuk merebut Damaskus.
Syaikh menunjukkan sikap penentangannya terhadap keputusan Gubernur ini. Di khutbah-khutbahnya ia menyuarakan sikap boikot. Ketika Gubernur tahu sikap penentangan Syaikh Izzudin, maka Gubernuh mecopot jabatannya sebagai khatib di Masjid Umawi dan Qodhi Damaskus. Gubernur memberlakukan tahanan rumah kepadanya. Ia dilarang keluar rumah, memberi fatwa dan berkhotbah.
Akhirnya, ia memutuskan untuk hijrah ke Mesir secara diam-diam. Ternyata, gelagatnya diketahui Gubernur. Gubernur Ismail menawarkan perdamaian. Salah seorang utusan Gubernur menemui beliau, lalu mengatakan; “”Yang kami harapkan darimu cumalah merendah di hadapan raja dan mencium tangannya”. Syaikh Izzuddin menjawab, “Alangkah kasihannya dia, saya tidak rela dia mencium tanganku apalagi saya mencium tangannya. Wahai kaum, kamu ada di satu jurang dan saya di jurang yang lain, puji bagi Allah yang telah membebaskan kita dari cobaan yang ditimpakan kepada kalian.
Begitulah keberanian Syaikh Izzudin kepada penguasa yang dzalim. Beliau akhirnya berhasil sampai di Mesir. Di Mesir ia disambut oleh sultan Najmuddin bin Ayyub. Beliau menyambut dengan penuh kemuliaan dan mengangkatnya sebagai Qadli dan Khatib Mesir. Belum beberapa lama beliau sudah berselisih dengan para pembesar dan penguasa Mesir. Akan tetapi beliau tidak tunduk dan tidak takut komentar jelek dalam hal kebenaran.
Di Mesir, Syaikh Izzuddin mendapat kedudukan agung di mata kaum Muslimin. Ia mengajar ilmu tafsir, menyebarkan ilmu, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Beliau tinggal di Mesir cukup lama, selama 20 tahun. Selama itu pula, beliau tidak berhenti memberantas bid’ah.
Suatu ketika seorang pegawai istana yang bernama Fakhruddin Utsman ingin mendirikan tempat hiburan musik di belakang salah satu masjid di Kairo. Setelah tempat hiburan itu berdiri rupanya penduduk sekitar tidak senang dengan suara genderang apalagi berseberangan dengan masjid. Ketika permasalahan ini sampai ke Syaikh Izzuddin, beliau memberi putusan untuk menghancurkan bangunan tempat hiburan tadi dan menghukum Fakhruddin. Syaikh Izzuddi wafat pada tahun 660 di Kairo Mesir.
Syaikh Izzuddin juga berjiwa besar. Jika terdapat kesalahan dalam dirinya, tidak segan malu beliau mengakuinya. Suatu ketika Syekh Izzuddin bin Abdissalam berfatwa. Setelah menimbang-nimbang ia merasa ada kesalahan dalam fatwanya itu. Maka ia berkeliling ke seantero Mesir dan mengatakan : “Barangsiapa yang diberikan fatwa oleh Ibnu Abdissalam dalam masalah ini ini maka jangan dilakukan karena fatwa itu salah.
Sumber: http://nahdlatululama.id/blog/2017/12/20/syekh-izzudin-bin-abdussalam/