A. Pengertian Ijtihad
4. Al-‘Urf
1. Dari Segi Bahasa (Etimologi)
Menurut Louis Makhluf, Ijtihad berasal dari kata kerja (fi’il): jahada, yajhadu, bentuk mashdarnya: jahdan yang berarti: pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit; atau bisa juga bermakna: bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan
Dari segi gramatika kata ijtihad masih serumpun dengan kata jihad. Baik kata ijtihad, maupun kata jihad berarti “ber¬sungguh-sungguh”. Hanya saja bila kata jihad merupakan mashdar dari fi’il madhi: jahada dan mengikuti wazan (timbangan): fa’ala dari bentuk fi’il tsulatsi mazid biharfin (kata kerja tiga huruf, dengan satu huruf tambahan), maka kata ijtihad adalah mashdar dari fi’il madhi:ijtahada yang ditambah hurup alif dan ta’, berfungsi untuk menunjukkan perbuatan yang sung¬guh-sungguh. Oleh sebab itu menurut Ibnu Manzhur, kata ijti¬had oleh para ulama hanya digunakan untuk mengerjakan hal hal yang memerlukan energi yang banyak
Dari Segi Istilah (Terminologi), terdapat beberapa definisi ijtihad, di antaranya adalah:
a. Menurut al-‘Amidy: mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara` yang bersifat zhanny.
b. Menurut Tajuddin Ibnu Subky: pengerahan segala ke¬mampuan seseorang faqlh untuk menghasilkan hukum yang zhanny.
c. Menurut Khudhari Bek: pengerahan kemampuan me¬nalar dari seorang Faqih dalam mencari hukum-hukum syar`i.
d. Menurut Abd. Wahhab Khallaf: mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara` dari da¬lil-dalil syara` secara terinci.
e. Menurut Thomas Patrick Hughes: penalaran dari yang umum kepada yang khusus mengenai persoalan yang me¬nyangkut bidang hukum Islam dan ‘aqidah oleh seorang mujtahid atau cendekiawan yang bergelar doktor. Ijtihad itu berbeda dengan ijma’ yang merupakan kumpulan pendapat (mengenai beberapa persoalan) dari para ulama.
Dari beberapa definisi ijtihad di atas terlihat adanya persamaan pandangan, walaupun redaksinya berbeda, namun pada prinsipnya mereka sepakat, bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak. Dari beberapa definisi tersebut, hanya Thomas saja yang memperluas jangkauan Ijtihad sampai ke bidang ‘aqidah. Semenjak terkodifikasinya ilmu ushul fiqh oleh al-Syafi’l, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fiqh dan ushul fiqh saja, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah SAW dan sahabatnya, dipergunakan pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan. Meskipun pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada masa tabi`in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari: Qiyas, Istishlah, Istihsan, Mashlahah Mursalah dan sebagainya.
Menurut Louis Makhluf, Ijtihad berasal dari kata kerja (fi’il): jahada, yajhadu, bentuk mashdarnya: jahdan yang berarti: pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit; atau bisa juga bermakna: bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan
Dari segi gramatika kata ijtihad masih serumpun dengan kata jihad. Baik kata ijtihad, maupun kata jihad berarti “ber¬sungguh-sungguh”. Hanya saja bila kata jihad merupakan mashdar dari fi’il madhi: jahada dan mengikuti wazan (timbangan): fa’ala dari bentuk fi’il tsulatsi mazid biharfin (kata kerja tiga huruf, dengan satu huruf tambahan), maka kata ijtihad adalah mashdar dari fi’il madhi:ijtahada yang ditambah hurup alif dan ta’, berfungsi untuk menunjukkan perbuatan yang sung¬guh-sungguh. Oleh sebab itu menurut Ibnu Manzhur, kata ijti¬had oleh para ulama hanya digunakan untuk mengerjakan hal hal yang memerlukan energi yang banyak
Dari Segi Istilah (Terminologi), terdapat beberapa definisi ijtihad, di antaranya adalah:
a. Menurut al-‘Amidy: mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara` yang bersifat zhanny.
b. Menurut Tajuddin Ibnu Subky: pengerahan segala ke¬mampuan seseorang faqlh untuk menghasilkan hukum yang zhanny.
c. Menurut Khudhari Bek: pengerahan kemampuan me¬nalar dari seorang Faqih dalam mencari hukum-hukum syar`i.
d. Menurut Abd. Wahhab Khallaf: mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara` dari da¬lil-dalil syara` secara terinci.
e. Menurut Thomas Patrick Hughes: penalaran dari yang umum kepada yang khusus mengenai persoalan yang me¬nyangkut bidang hukum Islam dan ‘aqidah oleh seorang mujtahid atau cendekiawan yang bergelar doktor. Ijtihad itu berbeda dengan ijma’ yang merupakan kumpulan pendapat (mengenai beberapa persoalan) dari para ulama.
Dari beberapa definisi ijtihad di atas terlihat adanya persamaan pandangan, walaupun redaksinya berbeda, namun pada prinsipnya mereka sepakat, bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak. Dari beberapa definisi tersebut, hanya Thomas saja yang memperluas jangkauan Ijtihad sampai ke bidang ‘aqidah. Semenjak terkodifikasinya ilmu ushul fiqh oleh al-Syafi’l, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fiqh dan ushul fiqh saja, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah SAW dan sahabatnya, dipergunakan pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan. Meskipun pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada masa tabi`in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari: Qiyas, Istishlah, Istihsan, Mashlahah Mursalah dan sebagainya.
B. Dasar Hukum Ijtihad
Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan pada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW, yang nash-nashnya memerintahkan untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).
1. Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam al-Qur’an; antara lain:
a. إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
1. Dari Al-Qur’an
Dasar hukum ijtihad dalam al-Qur’an; antara lain:
a. إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya pada yang demikian ini terdapat tanda-tanda (kebesaran allah) bagi kaum yang memikirkan” (Q.S. al-Ra’ad:3, al-Rum:21, al-Zumar:42)
b. فَٱعْتَبِرُوا۟ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ
“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (Q.S. Al-Hasyr:2)
“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (Q.S. Al-Hasyr:2)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar.
c. إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dnegan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili anatar manusia dengan apa yan telah allah wahyukan kepadamu” (Q.S. Al-Nisa’: 105)
Kata بِمَا أَرَاك (apa yang diperintahkan Allah kepadamu) pada ayat tersebut mencakup penetapan hukum yang berdasarkan penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash, yang dikenal dengan istilah qiyas. Jadi, ayat di atas secara terbuka mengakui prinsip ijtihad dengan metode qiyas sebagai salah satu cara dalam berijtihad.
2. Dari Hadist
Dasar hukum Ijtihad dalam hadist, antara lian :
a. Kisah Mu’az bin Jabal sewaktu akan diutus menjadi qadhi di negeri Yaman ditanya Rasululllah SAW tentang cara memutuskan perkara :
“Dari mu’az bin jabal yang berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “bagaimanaupaya kamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?”Muaz menjawab, “Akan aku pu¬tuskan berdasarkan Kitabullab (al-Qur’an).”Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam al-Quran?”Mu’az menjawab, “Akan aku sele¬saikan berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam, Sunnah Rasu¬lullah.” Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dan al-Quran dan al-Sunnah untuk menyelesatkannya?”Mu’az menjawab, “Aku akan ber¬ijtihad dengan menggunakan rasioku dan tidak menga¬baikannya. “Kemudian Rasulullah menepuk dada Muaz, sam¬bil bersabda, segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terbadap apa yang direstui oleh Rasulullah.”(H.R.. Abu Dawud).
Kata بِمَا أَرَاك (apa yang diperintahkan Allah kepadamu) pada ayat tersebut mencakup penetapan hukum yang berdasarkan penetapan hukum dari hukum yang ditetapkan langsung dari nash, yang dikenal dengan istilah qiyas. Jadi, ayat di atas secara terbuka mengakui prinsip ijtihad dengan metode qiyas sebagai salah satu cara dalam berijtihad.
2. Dari Hadist
Dasar hukum Ijtihad dalam hadist, antara lian :
a. Kisah Mu’az bin Jabal sewaktu akan diutus menjadi qadhi di negeri Yaman ditanya Rasululllah SAW tentang cara memutuskan perkara :
“Dari mu’az bin jabal yang berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “bagaimanaupaya kamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?”Muaz menjawab, “Akan aku pu¬tuskan berdasarkan Kitabullab (al-Qur’an).”Kemudian Nabi bertanya lagi, “Bagaimana bila kamu tidak menjumpai dalil-dalilnya dalam al-Quran?”Mu’az menjawab, “Akan aku sele¬saikan berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam, Sunnah Rasu¬lullah.” Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana seandainya tidak kamu dapati dan al-Quran dan al-Sunnah untuk menyelesatkannya?”Mu’az menjawab, “Aku akan ber¬ijtihad dengan menggunakan rasioku dan tidak menga¬baikannya. “Kemudian Rasulullah menepuk dada Muaz, sam¬bil bersabda, segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terbadap apa yang direstui oleh Rasulullah.”(H.R.. Abu Dawud).
b. Hadis kedua dari Amr bin “ash ra
“Dari Amr bin ‘Ash ra. Yang mendengar Rasulullah bersabda, “Apa¬bila seorang Hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, ke¬mudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia benjtihad, kemudian ternyata ijtihadnya keliru menurut pandangan Allah, maka ia mendapat satu pahala” (H.R. Muslim dan Ahmad)
Dari dua Hadits di atas, nampak jelas, bahwa ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW. untuk dijadikan sebagai salah satu sum¬ber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menerapkan hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijti¬had yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah. Ha¬dits-hadits di atas, juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu berijtihad untuk melakukan ijtihad. Kalau ijti¬hadnya itu benar menurui pandangan Allah, akan diberi dua pahala dan kalau keliru akan diberi satu pahala.
Dari dua Hadits di atas, nampak jelas, bahwa ijtihad diakui oleh Rasulullah SAW. untuk dijadikan sebagai salah satu sum¬ber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menerapkan hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijti¬had yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah. Ha¬dits-hadits di atas, juga memberikan dorongan kepada orang yang sudah mampu berijtihad untuk melakukan ijtihad. Kalau ijti¬hadnya itu benar menurui pandangan Allah, akan diberi dua pahala dan kalau keliru akan diberi satu pahala.
C. Ruang Lingkup Ijtihad
Para ulama ushul sepakat mengenai ruang lingkup ijtihad , bahwa ijtihad itu hanya terjadi pada ayat-ayat yang bersifat zhanniyat karena sebagian dari materi-materi hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, sudah berbentuk diktum yang otentik, yakni tidak mengandung pengertian lain, atau sudah diberi interpretasi otentik oleh Sunnah itu sendiri. Di samping itu, juga ada sebagian di antaranya yang sudah memperoleh kesepakatan bulat serta diberlakukan secara umum dan mengikat semua pihak, atau berdasarkan ijma’.
Peraturan hukum Islam seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, berbakti pada kedua orang tua, mengasihi orang miskin serta menyantum anak yatim dan larangan berzina, mencuri, membunuh tanpa hak dan lain-lain adalah termasuk kategori hukum Islam yang sudah diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak, serta tidak memerlukan interpretasi lain lagi. Pengertiannya sudah demikian jelas dan otentik dalam teori maupun praktek. Jenis per¬aturan demikian, disebut dengan mujma’ alaih wa ma’lum min al din bi al-dharurah dan bersifat qath’iyyah. Hal ini diketahui secara terus-menerus sejak dari masa Rasu¬lullah SAW. sampai sekarang ini. Pengetahuan yang demikian, memang sudah meyakinkan, jadi tidak perlu adanya interpretasi lagi. Hal yang demikian tidak perlu lagi, diijtihadkan, sebagaimana disebutkan oleh ulama ushul dengan kaidah yang berbunyi:
“Tidak diperkenankan berijtihad ketika sudah ada ketetapan nash”.
Peraturan hukum Islam seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, berbakti pada kedua orang tua, mengasihi orang miskin serta menyantum anak yatim dan larangan berzina, mencuri, membunuh tanpa hak dan lain-lain adalah termasuk kategori hukum Islam yang sudah diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak, serta tidak memerlukan interpretasi lain lagi. Pengertiannya sudah demikian jelas dan otentik dalam teori maupun praktek. Jenis per¬aturan demikian, disebut dengan mujma’ alaih wa ma’lum min al din bi al-dharurah dan bersifat qath’iyyah. Hal ini diketahui secara terus-menerus sejak dari masa Rasu¬lullah SAW. sampai sekarang ini. Pengetahuan yang demikian, memang sudah meyakinkan, jadi tidak perlu adanya interpretasi lagi. Hal yang demikian tidak perlu lagi, diijtihadkan, sebagaimana disebutkan oleh ulama ushul dengan kaidah yang berbunyi:
“Tidak diperkenankan berijtihad ketika sudah ada ketetapan nash”.
Ruang lingkup ijtihad secara rinci adalah sebagai berikut:
1. Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang zhanny, baik dari segi wurudnya, maupun dari segi pengertiannya (dalalah) yaitu hadist ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari itu.
2. Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ihtihadnya hanya dari segi dalalahnya saja.
3. Nash yang wujudnya zhanny, tetapi dalalahnya qathi, maka obyek ihtihadnya adalah pada sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4. Tidak ada nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap metode dan cara.
Ijtihad dalam ruang gerak dan jangkauannya mengenai materi-materi hukum zhaniyat, adalah sangat luas. Dalam prakteknya dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi. Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fih ( ) yaitu menampung terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Dengan demikian, dimungkinkan adanya variasi dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang tidak bersifat qath’iyah.
2. Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ihtihadnya hanya dari segi dalalahnya saja.
3. Nash yang wujudnya zhanny, tetapi dalalahnya qathi, maka obyek ihtihadnya adalah pada sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4. Tidak ada nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap metode dan cara.
Ijtihad dalam ruang gerak dan jangkauannya mengenai materi-materi hukum zhaniyat, adalah sangat luas. Dalam prakteknya dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi. Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fih ( ) yaitu menampung terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Dengan demikian, dimungkinkan adanya variasi dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang tidak bersifat qath’iyah.
D. Metode yang Digunakan Dalam Berijtihad
Dalam menetapkan sebuah hukum permasalahan yang belum pasti, karena tidak terdapat ayat ataupun hadis yang menjelaskan ketentuan hukum suatu masalah tersebut, para ulama berusaha menggali permasalahan yang ada dengan segenap kemampuan mereka agar dapat menetapkan hukumnya atau berijtihad untuk menetapkan hukum. Ada beberapa cara yang dipakai ulama ushul fikih dalam menetapkan hukum tersebut ( metode yang digunakan dalam berijtihad), diantaranya adalah:
1. Qiyas
Qiyas adalah “Menyamakan hukum suatu kasus yang tidak dinashkan (hukum cabang) dengan hukum kasus lain yang dinashkan (hukum asal) karena adanya persamaan illat hukumnya”.Namun dalam mendefinisikan qiyas ini terdapat perbedaan ulama diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut Ibnu al-Subki, Qiyas ialah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain, karena ada kesamaan ‘illah hukumnya.
2. Menurut al-Amidi, Qiyas adalah kesamaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal, menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili, Qiyas ialah menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.
Meskipun ulama berbeda beda dalam mendefenisikan qiyas tersebut, namun pada hakikatnya sama, dari beberapa definisi tersebut qiyas mengandung unsur yang sama, yaitu: al-ashl (dasar, pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl, dan ‘illah.
1. Menurut Ibnu al-Subki, Qiyas ialah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain, karena ada kesamaan ‘illah hukumnya.
2. Menurut al-Amidi, Qiyas adalah kesamaan antara cabang dan asal pada ‘illah hukum asal, menurut pandangan mujtahid dari segi kemestian terdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili, Qiyas ialah menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara’ tentang hukumnya dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari segi ‘illah hukum.
Meskipun ulama berbeda beda dalam mendefenisikan qiyas tersebut, namun pada hakikatnya sama, dari beberapa definisi tersebut qiyas mengandung unsur yang sama, yaitu: al-ashl (dasar, pokok), al-far’u (cabang), hukum ashl, dan ‘illah.
a. Al-ashl (dasar / pokok)
Yang di maksud dengan al-ashl ialah segala sesuatu yang telah ditetapkan ketentuan hukumnya berdasarkan nash,baik nash tersebut berupa al qur’an maupun al hadits.
Dalam kata lain maqis ‘alaih (yang diqiyaskan atasnya). Al-ashl juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:
1. Al-ashl tidak mansukh, artinya hukum syara’ yang akan menjadi sumber pengqiyasan masih berlaku pada masa hidup rosulullah.
2. Hukum syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’ bukan ketentuan hukum yang lain.
3. Bukan hukum yang di kecualikan. Jika al-ashl ini merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas.
Dalam kata lain maqis ‘alaih (yang diqiyaskan atasnya). Al-ashl juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:
1. Al-ashl tidak mansukh, artinya hukum syara’ yang akan menjadi sumber pengqiyasan masih berlaku pada masa hidup rosulullah.
2. Hukum syara’. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’ bukan ketentuan hukum yang lain.
3. Bukan hukum yang di kecualikan. Jika al-ashl ini merupakan pengecualian, maka tidak dapat menjadi wadah qiyas.
b. Al-far’u (cabang)
Adapun yang di maksud dengan al-far’u ialah masalah yang hendak di qiyaskan yang tida ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya. Dalam kata lain maqis. Al-far’u juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:
1) Sebelum di qiyaskan tidak ada nash lain yang menentukan hukumnya.
2) Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far’u
3) Tidak ada dalil qhat’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
4) Hukum yang terdapat pada al-ashl bersifat sama dengan hukum ang terdapat dalam al-far’u.
1) Sebelum di qiyaskan tidak ada nash lain yang menentukan hukumnya.
2) Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far’u
3) Tidak ada dalil qhat’i yang kandungannya berlawanan dengan al-far’u.
4) Hukum yang terdapat pada al-ashl bersifat sama dengan hukum ang terdapat dalam al-far’u.
c. Hukum Ashl
Adapun yang dimaksud hukum ashl ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-qur’an maupun al-hadits. Hukum ashl juga memiliki beberapa persyaratan yaitu:
1. Hukum tersebut adalah hukum syara’,
2. ‘illah hukum tersebut dapat di temukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami ‘illah nya.
3. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushusiyah rosulullah.
4. Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya rosulullah,bukan ketentuan hukum yang sudah di batalkan.
1. Hukum tersebut adalah hukum syara’,
2. ‘illah hukum tersebut dapat di temukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami ‘illah nya.
3. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushusiyah rosulullah.
4. Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya rosulullah,bukan ketentuan hukum yang sudah di batalkan.
d. ‘illah
Sedangkan yang di maksud dengan ‘illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.
Dalam mengqiyaskan suatu hukum harus terpenuhi ke empat hal diatas, bisa disimpulkan bahwa keempat hal tersebut termasuk rukun qiyas.
Jadi rukun qiyas tersebut ada empat, yaitu :
1. Ashal (pangkal), yang menjadi ukuran/tempat menyerupakan (musyabbah bih = tempat menyerupakan).
2. Far’un (cabang), yang diukur (musyabbah = yang diserupakan).
3. ‘Illat sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
4. Hukum, yang ditetapkan pada far’i sesudah tetap pada ashal.
Dalam mengqiyaskan suatu hukum harus terpenuhi ke empat hal diatas, bisa disimpulkan bahwa keempat hal tersebut termasuk rukun qiyas.
Jadi rukun qiyas tersebut ada empat, yaitu :
1. Ashal (pangkal), yang menjadi ukuran/tempat menyerupakan (musyabbah bih = tempat menyerupakan).
2. Far’un (cabang), yang diukur (musyabbah = yang diserupakan).
3. ‘Illat sifat yang menghubungkan pangkal dan cabang.
4. Hukum, yang ditetapkan pada far’i sesudah tetap pada ashal.
Contoh :
Allah Swt telah mengharamkan arak, karena merusak akal, membinasakan badan, menghabiskan harta. maka segala minuman yang memabukan dihukum haram juga. Pengharaman ini terdapat dalam surah al-Maidah ayat 90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah : 90)
Allah Swt telah mengharamkan arak, karena merusak akal, membinasakan badan, menghabiskan harta. maka segala minuman yang memabukan dihukum haram juga. Pengharaman ini terdapat dalam surah al-Maidah ayat 90
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah : 90)
Dalam contoh ini :
a. Segala minuman yang memabukan ialah far’un/cabang, artinya yang diqiyaskan.
b. Arak ialah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupa-an, tempat mengqiyaskan hukum, sebagai ashal atau pokok.
c. Mabuk, merusak akal, ialah ‘Illat penghubung/sebab.
d. Hukum, segala minuman yang memabukkan hukumnya haram.
Penjelasan tentang qiyas secara rinci dapat dibaca pada pembahasan tentang qiyas secara rinci
a. Segala minuman yang memabukan ialah far’un/cabang, artinya yang diqiyaskan.
b. Arak ialah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupa-an, tempat mengqiyaskan hukum, sebagai ashal atau pokok.
c. Mabuk, merusak akal, ialah ‘Illat penghubung/sebab.
d. Hukum, segala minuman yang memabukkan hukumnya haram.
Penjelasan tentang qiyas secara rinci dapat dibaca pada pembahasan tentang qiyas secara rinci
2. Al-Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti ‘’menganggap baik’’. Menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar) atau dari hukum Kulli (umum) kepada hukum pengecualian,.
Contoh istihsan :
Nash para Fuqoha’ Hanafiyah bahwa seseorang yang mewakafkan hartanya (al-Waqif), apabila telah mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuklah hak pengairan (irigasi), minum, jalan, dalam wakaf tersebut, dengan sangsi ringan tanpa menyebutkannya, berdasarkan istihsan. Menurut Qiyas, semua itu tidak mendapat perhitungan kecuali bila terdapat nash atas semua itu, seperti jual-beli. Sedangkan jalan istihsan yaitu bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah memanfaatkan harta yang diwakafkankepada mereka, dan tidaklah bisa dikatakan mengambil manfaat tanah pertanian itu, kecuali dengan minum, pengairan dan jalan, maka termasuklah semua itu dalam wakaf sekalipun tanpa menyebutkannya, karena hal yang dimaksud itu tidak akan dapat terwujud, kecuali dengan semua itu seperti halnya sewa-menyewa.
Contoh istihsan :
Nash para Fuqoha’ Hanafiyah bahwa seseorang yang mewakafkan hartanya (al-Waqif), apabila telah mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuklah hak pengairan (irigasi), minum, jalan, dalam wakaf tersebut, dengan sangsi ringan tanpa menyebutkannya, berdasarkan istihsan. Menurut Qiyas, semua itu tidak mendapat perhitungan kecuali bila terdapat nash atas semua itu, seperti jual-beli. Sedangkan jalan istihsan yaitu bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah memanfaatkan harta yang diwakafkankepada mereka, dan tidaklah bisa dikatakan mengambil manfaat tanah pertanian itu, kecuali dengan minum, pengairan dan jalan, maka termasuklah semua itu dalam wakaf sekalipun tanpa menyebutkannya, karena hal yang dimaksud itu tidak akan dapat terwujud, kecuali dengan semua itu seperti halnya sewa-menyewa.
3. Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut istilah Ahli Ushul, maslahah mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang benar atau menyalahkan. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan ketentuan illat yang keluar dari syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Mashlahah al-Mursalah.
Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
Misalnya, kemashlahatan yang diambil oleh para sahabat dalam mensyari’atkannya adanya penjara (bui), dicetaknya mata uang, penetapan hak milik pertanian, dan penentuan pajak penghasilan. Serta banyak hal lagi mashlahah yang diadakan berasarkan kebutuhan, keadaan dan kebaikan yang belum ada syar’at hukumnya, di samping tidak adanya hukum syara’ yang membenarkan atau menyalahkan.
Tidak juga dikatakan al-mashlahah bila ada dua kemaslahatan yang saling bertentangan dan masing-masing mempunyai penguat atau pembantal. Hal tersebut tidak termasuk dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal.
Selain itu, juga tidak termasuk al-mashlahah al-mursalah segala kemashlahatan yang bertentangan dengan nash atau qiyas yang shahih, baik pertentangannya secara umum maupun mutlak. karena semua pertentangan terhadap keduanya terdapat penguat untuk membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.
Penjelasan lengkap mengenai Al-Maslahah al-Mursalah bisa dibaca pada penjelasan tentang al-Maslahah al-Mursalah
Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan maslahah.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya.Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
Misalnya, kemashlahatan yang diambil oleh para sahabat dalam mensyari’atkannya adanya penjara (bui), dicetaknya mata uang, penetapan hak milik pertanian, dan penentuan pajak penghasilan. Serta banyak hal lagi mashlahah yang diadakan berasarkan kebutuhan, keadaan dan kebaikan yang belum ada syar’at hukumnya, di samping tidak adanya hukum syara’ yang membenarkan atau menyalahkan.
Tidak juga dikatakan al-mashlahah bila ada dua kemaslahatan yang saling bertentangan dan masing-masing mempunyai penguat atau pembantal. Hal tersebut tidak termasuk dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal.
Selain itu, juga tidak termasuk al-mashlahah al-mursalah segala kemashlahatan yang bertentangan dengan nash atau qiyas yang shahih, baik pertentangannya secara umum maupun mutlak. karena semua pertentangan terhadap keduanya terdapat penguat untuk membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.
Penjelasan lengkap mengenai Al-Maslahah al-Mursalah bisa dibaca pada penjelasan tentang al-Maslahah al-Mursalah
4. Al-‘Urf
5. Istishab
6. Sadd al-Dzari’ah
7. Syari’at orang sebelum kita
8. Mazhab (qaul) shahabi
E. Sistem (Thariqah) Ijtihad Ulama Ushul
Di antara pranata ijtihad adalah ilmu ushul fiqh. Masing¬-masing Imam Mazhab (Imam Mujtahid) menggunakan pranata tersebut. Dalam menyusun ushul fiqh, di kalangan Imam-imam Mujtahidin terdapat 3 (tiga) sistem (tharigah), yaitu:
1. Thariqah Al-Mutakallimin
Yang juga disebut dengan thariqah sayafi’iyyah. Pola pemikiran dalam tharigah ini adalah, bahwa dalam menetapkan qaidah ushul, mereka tidak terikat kepada penyesuaian dengan furu’. Mereka menguatkan qaidahnya dengan berbagai macam dalil, baik mengokohkan fuur’ mazhabnya, maupun akan melemahkannya.
Thariqah ini dinamai dengan Thariqah mutakalimin, karena me¬tode peribahasannya beidasarkan nazhari, tidak terikat dengan mazhab tertentu dan sebagian besar penulis/pengarang ushul fiqh menggunakan sistem ini adalah dari para ulama mutakallimin (ulama tauhid).
Thaliqah ini biasa juga disebut dengan Thariqah Syafiiyab, kare¬na Imam al-Syafi`i yang pertama-tama menulis ushul fiqh dengan sistem tersebut. Kemudian banyak dari fuqaha’ sesudahnya yang mengikutinya. Oleh sebab itu Thariqah, ini dinamai Thariqah Syafi’iyah.
Imam-imam Mujtahidin yang mengikuti thari1ah ini adalah pengikut Malikiyah, Syi`ah Imamiyah dan Zaidiyah dalam peri¬ode pertama, sekitar abad kedua Hijrah.
Adapun buku-buku yang ditulis menurut thariqah al-mutakalimin atau suafi’iyyah adalah :
a. Kitab al-umdah oleh al-qadhi abd. Jabbar al-mu’tazi iy, wafat tahu 451 H.
b. Kitab al-mu’tamad oleh abi-al-husain mohammda bin ali al-bashry al muta’zily, wafat tahun 463 H.
c. Kitab al-burhan. Oleh abi al-ma’ly abd malik bin abdillah al-juwainy al-asabury al-syafi’iy, yang diberi gelar dengan Imam Al-Al-haramain, wafat tahun 487 H.
d. Kitab al-mustasbfa oleh Abi hamid Mohammas bin Mohammad al-Qazaly al-syafi’iy, wafattahun 505 H.
Kemudian kitba-kitab tesrebut diringkas oleh ulama-ulama sesudah mereka, yaitu :
1. Fakhrudin muhammad binumar al-razy Al-syafi’iy wafat tahun 606 H. kitabnya al-mausbul.
2. Abu hasan ali bin ali yang terkenal dengan sebutan saifuddin al-‘amidy Al-syafi’iy wafat tahun 631 H. kitabnya berjudul a;-ihkam fi usbul al-abkam.
Setelah itu, buku0buku yangdiringkas tadi, diringkas lagi oleh ulama-ulama sesudahjnya, sehingga karena terllau ringkas, menjadi susah dipahami, akhirnya ada lagi ulama yang mensyarahkan agar mudah dipahami. Demikianlah halnya buku-buku yang ditulis menurut metode (sistem) mutakallimin itu, sehingga menjadi banyak buku-buku yang bersifat ringkasan dan banyak pula yang disyarahkan.
Thariqah ini dinamai dengan Thariqah mutakalimin, karena me¬tode peribahasannya beidasarkan nazhari, tidak terikat dengan mazhab tertentu dan sebagian besar penulis/pengarang ushul fiqh menggunakan sistem ini adalah dari para ulama mutakallimin (ulama tauhid).
Thaliqah ini biasa juga disebut dengan Thariqah Syafiiyab, kare¬na Imam al-Syafi`i yang pertama-tama menulis ushul fiqh dengan sistem tersebut. Kemudian banyak dari fuqaha’ sesudahnya yang mengikutinya. Oleh sebab itu Thariqah, ini dinamai Thariqah Syafi’iyah.
Imam-imam Mujtahidin yang mengikuti thari1ah ini adalah pengikut Malikiyah, Syi`ah Imamiyah dan Zaidiyah dalam peri¬ode pertama, sekitar abad kedua Hijrah.
Adapun buku-buku yang ditulis menurut thariqah al-mutakalimin atau suafi’iyyah adalah :
a. Kitab al-umdah oleh al-qadhi abd. Jabbar al-mu’tazi iy, wafat tahu 451 H.
b. Kitab al-mu’tamad oleh abi-al-husain mohammda bin ali al-bashry al muta’zily, wafat tahun 463 H.
c. Kitab al-burhan. Oleh abi al-ma’ly abd malik bin abdillah al-juwainy al-asabury al-syafi’iy, yang diberi gelar dengan Imam Al-Al-haramain, wafat tahun 487 H.
d. Kitab al-mustasbfa oleh Abi hamid Mohammas bin Mohammad al-Qazaly al-syafi’iy, wafattahun 505 H.
Kemudian kitba-kitab tesrebut diringkas oleh ulama-ulama sesudah mereka, yaitu :
1. Fakhrudin muhammad binumar al-razy Al-syafi’iy wafat tahun 606 H. kitabnya al-mausbul.
2. Abu hasan ali bin ali yang terkenal dengan sebutan saifuddin al-‘amidy Al-syafi’iy wafat tahun 631 H. kitabnya berjudul a;-ihkam fi usbul al-abkam.
Setelah itu, buku0buku yangdiringkas tadi, diringkas lagi oleh ulama-ulama sesudahjnya, sehingga karena terllau ringkas, menjadi susah dipahami, akhirnya ada lagi ulama yang mensyarahkan agar mudah dipahami. Demikianlah halnya buku-buku yang ditulis menurut metode (sistem) mutakallimin itu, sehingga menjadi banyak buku-buku yang bersifat ringkasan dan banyak pula yang disyarahkan.
2. Thariqah Al-Hanafiyah
Yaitu ushul fiqh yang diikuti golongan Hanafiyah. Thariqah ini menetapkan dasar (qaidah) ushul yang bertjuan me¬nguatkan mazhab imamnya, dan dijadikan qaidah atau petun¬juk dalam menetapkan hukum bagi masalah-masalah baru yang belum terjadi di zaman Rasulullah, atau belum diijtihadkan oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini dapat dimengerti, karena di kalang¬an Hanafiyah, ushul fiqh itu baru dirumuskan oleh pengikut¬-pengikut Abu Hanifah. Thariqah ini dinamai Thariqah Ha¬nafiyah, karena jelas sekali pola pemikiran itu di dalam ushul fiqh mereka.
Adapun buku-buku yang ditulis menurut thariqah Hanafi¬yah, antara lain adalah:
a. Kitab Ushul Abi al-Hasan al-Kurkhy, wafat tahun 340 H. Inilah kitab yang pertama ditulis dengan thariqah Hanafiyah.
b. Kitab ushul al-Jashshash Abi Bakar Ahmad bin Ali wafat tahun 370 H.
c. Kitab Ta’sis al-Nazhar oleh Abi Zaid al-Dabbusiy, wafat tahun 430 H. Dalam buku ini telah dijelaskan dengan singkat dasar-dasar (ushul) yang disepakati dan diikhti¬lafkan antara ulama Hanafiyah dengan ulama lainnya.
d. Kitab Tahmid al-Fusulfi al- Wusbul oleh Syamsu al-Aimah Mohammad bin Ahmad al-Sarakhsiy, wafat tahun 483 H
e. Kitab Ushul Fakhri al-Islam Ali Bin Muhammad al-Baz¬dawy, wafat tahun 483 H. Kitabnya dinamai dengan Ushul al-Bazdawy.
f. Kitab al-Manor oleh Abdullah bin Ahmad yang dikenal dengan nama Hafizh al-Din al-Nasafy, wafat tahun 790 H.
Kemudian buku-buku yang ditulis dalam Thariqah Hanafi¬yah ini, sebagian diringkas dan sebagian ditulis dengan mende¬tail oleh ulama-ulama sesudahnya. Sebagian besar dari ulama¬-ulama tersebut, adalah dari kalangan ulama Hanafiyah dan sedi¬kit jumlahnya dari ulama kalangan Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah. Di antara buku-buku tersebut adalah:
1. Kitab Tanqih al-Fusbu’l Fi ‘firm al-Ushul oleh Syihab al-Din Abi al-‘Abba’s Ahmad bin Idns bin Abd. Rahman, wafat tahun 684 H. Dalam buku ini la jelaskan ushul mazhab Maliky dan diterapkan pada furunya.
2. Kitab al-Tahmid H Takbhrif al-Furu ala- al-usbul oleh jamal al-Din al-Asnawy al-Syafi’l, wafat tahun 773 H. Dalam kitab ini ia jelaskan ushul mazhab Syafi`i dan dit¬erapkan pada furu’nya.
Adapun buku-buku yang ditulis menurut thariqah Hanafi¬yah, antara lain adalah:
a. Kitab Ushul Abi al-Hasan al-Kurkhy, wafat tahun 340 H. Inilah kitab yang pertama ditulis dengan thariqah Hanafiyah.
b. Kitab ushul al-Jashshash Abi Bakar Ahmad bin Ali wafat tahun 370 H.
c. Kitab Ta’sis al-Nazhar oleh Abi Zaid al-Dabbusiy, wafat tahun 430 H. Dalam buku ini telah dijelaskan dengan singkat dasar-dasar (ushul) yang disepakati dan diikhti¬lafkan antara ulama Hanafiyah dengan ulama lainnya.
d. Kitab Tahmid al-Fusulfi al- Wusbul oleh Syamsu al-Aimah Mohammad bin Ahmad al-Sarakhsiy, wafat tahun 483 H
e. Kitab Ushul Fakhri al-Islam Ali Bin Muhammad al-Baz¬dawy, wafat tahun 483 H. Kitabnya dinamai dengan Ushul al-Bazdawy.
f. Kitab al-Manor oleh Abdullah bin Ahmad yang dikenal dengan nama Hafizh al-Din al-Nasafy, wafat tahun 790 H.
Kemudian buku-buku yang ditulis dalam Thariqah Hanafi¬yah ini, sebagian diringkas dan sebagian ditulis dengan mende¬tail oleh ulama-ulama sesudahnya. Sebagian besar dari ulama¬-ulama tersebut, adalah dari kalangan ulama Hanafiyah dan sedi¬kit jumlahnya dari ulama kalangan Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah. Di antara buku-buku tersebut adalah:
1. Kitab Tanqih al-Fusbu’l Fi ‘firm al-Ushul oleh Syihab al-Din Abi al-‘Abba’s Ahmad bin Idns bin Abd. Rahman, wafat tahun 684 H. Dalam buku ini la jelaskan ushul mazhab Maliky dan diterapkan pada furunya.
2. Kitab al-Tahmid H Takbhrif al-Furu ala- al-usbul oleh jamal al-Din al-Asnawy al-Syafi’l, wafat tahun 773 H. Dalam kitab ini ia jelaskan ushul mazhab Syafi`i dan dit¬erapkan pada furu’nya.
3. Thariqah Al-Muta’akhirin
Yaitu tbariqah yang mengkompromikan kedua macam thariqah di atas, (thariqah al- mutakallimin dan thaliqah al-Ha¬nafiyah). Ulama-ulama muta`akhirin mentabqiq qaidah-qaidah ushuliyah dari kedua thariqah itu serta meletakkan dalil dan argumentasinya serta menerapkannya pada furu’ fiqhiyah. Ula¬ma-ulama yang menempuh sistem ini adalah sebagian dari thariqah Hanafiyah dan Syafi`iyah. Thariqah ini dinamai dengan thariqah al-Muta’akbirin, karena munculnya setelah ada thariqah al-Mutakallimin dan tbariqah al-Hanafiyah. Timbulnya usaha ula¬ma untuk tbaiiqah ini, adalah pada abad VII H.
Adapun buku-buku yang ditulis dengan sistem al-Muta-akhirin adalah:
a. Kitab Badi’al-Nizbam oleh Muzhfir al-Din Ahmad bin All al-Saaty al-Baghdady al-Hanafy, wafat tahun 694 H. Ia telah memadukan dalam buku ini antara Kitab Ushul al-Bazdawy dari Mazhab Hanafi dan Kitab Ushul al-ih¬kam dari mazhab Syafi’i.
b. KitabTanqib al-Ushul oleh Shodru al-Syri’ah Ubaidil¬lah bin Masud al-Bukhari al-Hanafi, wafat tahun 747 H.
Selain itu, Ubaidilah bin Masud al-Bukhari juga telah menu¬lis buku ushul dalam thariqah ini, berludul kitab al- Taudhih. Kitab ini merupakan syarah dari kitabnya di atas. Dalam kitab ini, ia meringkas kitab usbul al-Bazdawy, Kitab al¬-Mabshul oleh al-Razy dan Kitab al- Mukhtashar oleh Ibnu Hajib.
c. Kitab jam`u al-jawami oleh Taju al-Din Abd. Wahhab bin Ali al-Subky al-Syafi’ly, wafat tahun 771 H.
d. Kitab al-Tabrir oleh al-Kamal bin Hamam Kamal al-Din Muhammad bin Abd. Wahid al-Hanafy, wafat tahun 861 H.
e. Kitab Musallam al-Tsubut oleh Muhibullah bin Abd. al¬Syakur ar-Hindy, wafat tahun 1119 H. Inilah kitab ushul yang paling baik dari thariqah al-Muta’akhirin.
Kemudian muncul buku-buku ushul yang secara terus me¬nerus mensyarah dan menjelaskan kitab-kitab tersebut. Di antara kitab-kitab yang ditulis ini, yang paling penting dan hanya satu¬satunya yang paling berbobot adalah kitab al-Muwafaqat oleh Abi Ishaq Ibrahim bin Musa al-Sya’thibi, wafat tahun 780 H. Kitab ini, sangat besar manfaatnya.
Kemudian pads abad XIII dan seterusnya muncul lagi, buku¬-buku ushul fiqh baru yang ditulis oleh ulama-ulama Mesir un¬tuk mahasiswa-mahasiswa al-Azhar dan Fakultas-fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi di negara-negara Arab. Buku-buku yang ditulis untuk ini bahasannya mudah dipahami dan jelas maknanya. Di antara kitab-kitab ushul tersebut adalah:
1. Kitab Irsyad al-fubul tabqia al-haqmin ilmi al0usbul oleh Mohammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukany wafat tahun 1255 H.
2. Kitab Ushul Fiqh oleh al-Syaikh Muhammad al-Khudhary Bek, wafat tahun 1345 H.
3. Kitab Tabstl al- Wusbul Ila Ilmi al- Ushu1 oleh al-Syaikh Muhammad Abd Rahman Abd al-Mahlawy.
4. Kitab ilmu ushul al-Fiqh oleh al-Syaikh Abd Wahhab Khallaf, wafat tahun 1955 H.
5. Kitab Usbul Fiqh oleh al-Syaikh Muhammad Abu Zahr¬ah, wafat tahun 1974 H.
6. Kitab-kitab ushul fiqh lainnya ditulis oleh para ulama dan para guru besar masa sekarang untuk para maha¬siswa Universitas al-Azhar di Mesir dan Fakultas-fakul-tas Huqu^q dan Syari`ah pada berbagai perguruan tinggi di negara-negara Arab.
Adapun buku-buku yang ditulis dengan sistem al-Muta-akhirin adalah:
a. Kitab Badi’al-Nizbam oleh Muzhfir al-Din Ahmad bin All al-Saaty al-Baghdady al-Hanafy, wafat tahun 694 H. Ia telah memadukan dalam buku ini antara Kitab Ushul al-Bazdawy dari Mazhab Hanafi dan Kitab Ushul al-ih¬kam dari mazhab Syafi’i.
b. KitabTanqib al-Ushul oleh Shodru al-Syri’ah Ubaidil¬lah bin Masud al-Bukhari al-Hanafi, wafat tahun 747 H.
Selain itu, Ubaidilah bin Masud al-Bukhari juga telah menu¬lis buku ushul dalam thariqah ini, berludul kitab al- Taudhih. Kitab ini merupakan syarah dari kitabnya di atas. Dalam kitab ini, ia meringkas kitab usbul al-Bazdawy, Kitab al¬-Mabshul oleh al-Razy dan Kitab al- Mukhtashar oleh Ibnu Hajib.
c. Kitab jam`u al-jawami oleh Taju al-Din Abd. Wahhab bin Ali al-Subky al-Syafi’ly, wafat tahun 771 H.
d. Kitab al-Tabrir oleh al-Kamal bin Hamam Kamal al-Din Muhammad bin Abd. Wahid al-Hanafy, wafat tahun 861 H.
e. Kitab Musallam al-Tsubut oleh Muhibullah bin Abd. al¬Syakur ar-Hindy, wafat tahun 1119 H. Inilah kitab ushul yang paling baik dari thariqah al-Muta’akhirin.
Kemudian muncul buku-buku ushul yang secara terus me¬nerus mensyarah dan menjelaskan kitab-kitab tersebut. Di antara kitab-kitab yang ditulis ini, yang paling penting dan hanya satu¬satunya yang paling berbobot adalah kitab al-Muwafaqat oleh Abi Ishaq Ibrahim bin Musa al-Sya’thibi, wafat tahun 780 H. Kitab ini, sangat besar manfaatnya.
Kemudian pads abad XIII dan seterusnya muncul lagi, buku¬-buku ushul fiqh baru yang ditulis oleh ulama-ulama Mesir un¬tuk mahasiswa-mahasiswa al-Azhar dan Fakultas-fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi di negara-negara Arab. Buku-buku yang ditulis untuk ini bahasannya mudah dipahami dan jelas maknanya. Di antara kitab-kitab ushul tersebut adalah:
1. Kitab Irsyad al-fubul tabqia al-haqmin ilmi al0usbul oleh Mohammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukany wafat tahun 1255 H.
2. Kitab Ushul Fiqh oleh al-Syaikh Muhammad al-Khudhary Bek, wafat tahun 1345 H.
3. Kitab Tabstl al- Wusbul Ila Ilmi al- Ushu1 oleh al-Syaikh Muhammad Abd Rahman Abd al-Mahlawy.
4. Kitab ilmu ushul al-Fiqh oleh al-Syaikh Abd Wahhab Khallaf, wafat tahun 1955 H.
5. Kitab Usbul Fiqh oleh al-Syaikh Muhammad Abu Zahr¬ah, wafat tahun 1974 H.
6. Kitab-kitab ushul fiqh lainnya ditulis oleh para ulama dan para guru besar masa sekarang untuk para maha¬siswa Universitas al-Azhar di Mesir dan Fakultas-fakul-tas Huqu^q dan Syari`ah pada berbagai perguruan tinggi di negara-negara Arab.