Pada tanggal 19 April 1981 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan perkawinan dua wanita lesbian yang digelar di Pub daerah Blok M Jakarta Selatan dan dihadiri sekitar 120 undangan. Tentu saja peristiwa ini menjadi pemberitaan yang menghebohkan di kalangan masyarakat, bahkan tidak sedikit yang mengutuknya. Anehnya, pengamat homoseksual Barat, Tom Boellstorff dalam bukunya The Gay Archipelago, Sexuality and Nation in Indonesia, justru memuji keberanian pasangan ini dan menobatkannya sebagai pejuang yang berani membela hak-hak lesbian yang harus diakui oleh publik Indonesia. (JP 58: Seksualitas Lesbian).
Saat Patrialis Akbar menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, generasi kaum Nabi Luth ini secara lebih berani menuntut pengadaan ruang untuk berhubungan seks di penjara khusus untuk narapidana lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Seperti orang yang telah terputus urat malunya, dengan lantangnya mereka berkata: “Bagaimanapun, LGBT memiliki hak untuk menyalurkan hasrat biologisnya”. (http://www.seruu.com/mobile/artikel.php…)
Masyarakat Indonesia baru-baru ini kembali dihebohkan dengan kehadiran praktisi lesbian dari Kanada untuk launching buku terbarunya, sekaligus ingin menyadarkan bangsa Indonesia bahwa tidak ada yang salah dengan orientasi seksual sesama jenis. Jelas kehadiran tokoh lesbi yang berkedok launching buku dan diskusi ini memancing kemarahan ormas-ormas Islam. Bagaimana tidak, seorang lesbi mengaku sebagai seorang reformis (mujadiddah). “I’m not a moderate Muslim, I’m a reformist”, katanya dalam situs resminya. Baginya, Muslim moderat dinilai masih tidak cukup berani melanggar ortodoksi keagamaan. Maka dia pun menyerukan reformasi (tajdid) dalam Islam.
Persis seperti mendiang tokoh liberal cabang Mesir yang kabur ke Belanda setelah diputuskan murtad oleh mahkamah setempat. Dia menganjurkan adanya revolusi nyata dalam memahami al-Qur’an, sehingga perilaku homoseksual tidak lagi dianggap menyimpang. Will Islam ever accept homosexuality as anything other than aberrant? Not until we have real revolution – a change in the way we think about the Qur’an in conjunction with our lives, katanya meyakinkan. (lihat: al-Qur’an Dihujat).
Menanggapi keanehan praktisi lesbian asal Kanada ini, tentunya Muslim yang sehat mentalnya akan bertanya-tanya: “How did she Islamize homosexuality?” Apakah harus didahului dengan mengucapkan basmalah atau bagaimana?
Arti lesbian bagi feminis
Lesbian dalam ideologi feminisme ibarat pencapaian tertinggi seorang feminis. Sebab perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki untuk mendapatkan kepuasan seksual. Oleh karena itu, kaum feminis memandang bahwa lesbian adalah wujud pembebasan perempuan dan sekaligus sebagai ekspresi pemberontakan terhadap konstruksi perempuan yang didefinisikan masyarakat patriarkis. Dalam lesbian terkandung nilai-nilai yang membebaskan perempuan, di mana tidak ada dominasi laki-laki. Perempuan benar-benar bebas berekspresi dan tidak harus menuruti kemauan laki-laki. (JP 58: 14)
Seorang doktor feminis yang gemar membuat puisi-puisi jorok ini menjelaskan tentang “keunggulan” lesbian. Menurutnya, etika lesbian adalah “etika resistensi dan self creation (pembentukan diri sendiri). Etika lesbian tidak berangkat dari suatu set peraturan mana yang benar dan mana yang salah atau berangkat dari suatu kewajiban atau tindakan utilitarian atau deontologis. Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.
Mengutip hasil penelitian Wieringa, doktor feminis yang juga menjabat sebagai dosen di UI ini menguatkan bahwa kepuasan seksual lesbian ditentukan oleh dirinya sendiri. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa cinta antar perempuan tidak tunduk pada kaidah laki-laki. “Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori laki-laki dan kategori perempuan”. Lesbian tidak mengenal konsep “other” (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang kedua-duanya menjadi subjek dan berperan menuruti kehendak masing-masing. Keunggulan lesbian dibanding heteroseksual adalah perempuan terbebas dari belenggu suami dan keluarga. Pola-pola patriarkal yang memaksa perempuan untuk mengalah demi mengurus suami dan anak-anak tidak berlaku dalam kehidupan lesbian. (JP 58:14)
Maka seorang feminis dan pejuang kesetaraan gender yang tidak menerima lesbianisme akan dicap sebagai feminis munafiq. Seorang feminis Kristen menuturkan: “Untuk itulah seharusnya perjuangan hak-hak lesbian mesti selalu diletakkan dalam perjuangan pembebasan kaum perempuan. Perjuangan kaum lesbian akan kehilangan landasan ideologisnya jika diletakkan di luar pergerakan pembebasan kaum perempuan. Dan perjuangan pembebasan perempuan yang mengabaikan perjuangan lesbian adalah palsu. Bagaimana mungkin mereka dapat menyebut diri sebagai pejuan hak asasi perempuan sementara mereka sama sekali tidak mencintai perempuan yang diperjuangkannya itu”. (JP 58: 39)
Homoseksual yang Islami menurut Feminis
Di Indonesia, para pendukung kebangkitan kaum Nabi Luth terus bertambah, baik secara individual maupun berjamaah yang terorganisir melalui LSM dan paguyuban-paguyuban LGBT. Seorang profesor dari salah satu Universitas Islam Negeri (UIN) dalam sebuah wawancaranya secara sadar mengatakan: “Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”. Menurutnya, setiap manusia, apapun orientasi seksualnya sangat potensial untuk menjadi religius. Bagi ibu profesor ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dan bukan lesbian di hadapan Tuhan. Bicara soal taqwa hanya Tuhan yang punya hak prerogatif menilai, bukan manusia. Manusia cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul khairat). Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama…”. Dia juga menegaskan: “Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini”, kata doktor terbaik IAIN Syarif Hidayatulah 1996/1997 ini. (JP 58:122-127)
Dalam kesempatan lain, tepatnya setelah usainya acara “ICRP Conference 2011: Bahaya Instrumentalisasi Agama”, yang diadakan pada 15 Desember 2011 silam, ibu profesor ini diwawancara oleh seorang praktisi homoseksual tentang masalah LGBT. Saat ditanya apa motivasinya sehingga berani vocal bicara soal hak-hak kelompok LGBT, ibu yang biasa “berjilbab” ini mengatakan: “Ya.. saya melakukan itu semua karena saya yakin itu adalah ajaran dari agama saya. Jadi, pertama sebagai seorang muslim saya menyadari bahwa Islam adalah agama yang membebaskan kelompok yang mustadh’afin, kelompok yang tertindas, kelompok yang marginal, yang mengalami diskriminasi di masyarakat. Yang kedua sebagai warga negara Indonesia, saya yakin bahwa persamaan untuk semua warga negara itu dijamin di muka hukum… Karena itu juga merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk menjadi negara yang demokratis, menjadi bagian dari negara yang menegakkan human right. Karena Indonesia juga merativikasi hampir semua kovenan internasional mengenai hak sosial, politik dan budaya. Jadi sebagai seorang muslim, sebagai seorang warga negara Indonesia dan sebagai seorang manusia, saya menyakini bahwa perjuangan untuk melepaskan manusia dari segala macam bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan itu adalah bagian dari kerja-kerja kemanusiaan kita”.
Ketika dia ditanya apa tantangan terberat saat memperjuangkan hak-hak kelompok LGBT? Bu profesor ini menjawab bahwa tantangan itu juga datang dari kelompok-kelompok yang juga mengaku sebagai pejuang HAM dan pendukung demokrasi. Inilah yang disesalkan ibu profesor ini. “Kenapa mereka jadi tidak konsisten seperti itu!” Orang-orang seperti itu dia disebut: “Tidak mengerti apa itu demokrasi, bahkan mereka juga tidak paham esensi agamanya sendiri. Sebab orang yang beragama itu tidak akan melakukan tindakan yang diskriminatif”.
Selanjutnya saat ditanya apa pandangan Islam terhadap LGBT, ibu profesor ini menjelaskan bahwa “Bicara tentang Islam, ujung-ujungnya berarti bicara masalah interpretasi. Pertanyaannya, interpretasi siapa yang kita pakai?! Dan dalam Islam, terdapat banyak interpretasi. Sayangnya interpretasi yang dikembangkan kelompok-kelompok moderat dan pro demokrasi itu tidak banyak tersosialisasi secara luas di masyarakat. Inilah yang menjadi problem! Interpretasi yang berkembang dan tersosialisasikan di masyarakat, justru interpretasi yang sangat tidak compatible dengan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi”, paparnya dengan emosional.
Tentu sangat naif sekali jika seorang yang dianggap profesor dan mengenalkan dirinya pernah menyandang gelar doktor terbaik dari sebuah universitas Islam terkemuka di Indonesia memandang Islam sebatas interpretasi yang bermuara pada relativisme. Sehingga dengan pandangannya ini, tidak ada lagi yang pasti dan permanen dalam agama. Semuanya dikembalikan pada kepentingan si penafsir dan ditundukkan pada realitas zaman. Akhirnya, teks harus tunduk pada realitas, dan agamalah yang harus tunduk mengikuti jaman dan tempat, bukan sebaliknya.
Demikianlah sekilas contoh kerancuan pola pikir seorang profesor dan fenomena kejahilan aplikatif. Dalam kitab Tahzib Madarij al-Salikin, Syeikh Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa jahil itu adalah memandang baik sesuatu yang mestinya buruk dan menganggap sempurna sesuatu yang semestinya kurang. Jadi kejahilan bukan sebatas kosongnya akal dari wacana-wacana akademik. Bisa jadi kumpulan orang-orang seperti ini adalah mereka yang disebut sebagai golongan jahil murakkab alias bodoh kuadrat. Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka itulah sebenarnya golongan yang tidak tahu dan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu.
Sebaliknya menganggap ketidaktahuannya sebagai kepakaran. Inilah sejatinya kumpulan orang-orang yang kalbunya sedang sakit. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah lagi dengan mengikuti hawa nafsu. Sebaliknya kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal)
Pandangan al-Qur’an terhadap Homoseksual
“Dan (Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. QS. Al-A’raf: 80-81
Arti fahisyah dalam ayat tersebut adalah homoseksual seperti yang dijelaskan pada ayat selanjutnya (81), demikian juga ditekankan dalam QS. al-Syu’ara: 165 dan QS. al-Ankabut: 29. Dalam tafsir al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari (w. 1143M), makna al-fahisyah dalam ayat tersebut adalah tindak kejahatan yang melampaui batas akhir keburukan (al-sayyi’ah al-mutamadiyah fi l-qubhi).
Ayat: ata’tuna l-fahisyata (mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu) berarti adalah bentuk pertanyaan yang bersifat pengingkaran dan membawa konsekwensi yang sangat buruk. Sebab perbuatan fahisyah seperti itu tidak pernah dilakukan siapapun sebelum kaum Nabi Luth. Maka janganlah mengawali suatu perbuatan dosa yang belum dilakukan kaum manapun di dunia ini.
Di penghujung ayat 81 surat al-A’raf, “bal antum qaumun musrifun”, (=malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas), dijelaskan oleh imam Zamakhsyari bahwa Kaum nabi Luth adalah kaum yang punya kebiasaan israf, yakni melampaui batas dalam segala hal. Di antaranya adalah berlebih-lebihan dalam melampiaskan syahwat hingga melampaui batas kewajaran dan kepatutan. (lihat: Tafsir Kasysyaf)
Penutup
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa mendapati orang yang melakukan perbuatan seperti kaum Nabi Luth, maka bunuhlah kedua-duanya, baik subjek maupun objeknya”. (HR. Tirmidzi)
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Imam Ishaq, tata cara penegakan hukuman bagi pelaku homoseksual adalah dengan cara dirajam, baik pelakunya sudah menikah atau belum. Sementara para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Imam Hasan Basri, Imam Ibrahim an-Nakh’i dan ulama Kufah berpendapat bahwa hukuman bagi mereka seperti hukum zina.
Meskipun demikian, semua sepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati. Hanya saja perbedaannya lebih pada teknis pelaksanaan dan pertimbangan pada status pernikahan si pelaku. Maka hukuman bagi perilaku seksual yang menyimpang dan menyalahi hukum dan hikmah penciptaan, seperti homo dan lesbi dalam Islam adalah sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Adanya suara-suara yang menghalalkan homoseksual sebenarnya lebih bersumber dari jiwa yang sakit, emosi yang tidak stabil dan nalar yang dangkal. Wallahu a’lam bi l-sawab.