Kaum Muslimin Harus Memenuhi Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati
Segala puji
hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam
beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ
أَحَلَّ حَرَامًا» [1]
Kaum Muslimin Harus Memenuhi
Syarat-Syarat Yang Telah Mereka Sepakati Kecuali Syarat Yang Mengharamkan Suatu
Yang Halal Atau Menghalalkan Suatu Yang Haram.
Sebagaimana kaidah sebelumnya, kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ
أَحَلَّ حَرَامًا» [2]
Dan kaum
Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat
yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram.
Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum
asal dari persyaratan-persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin
dalam berbagai akad yang dilaksanakan adalah diperbolehkan. Karena mengandung
maslahat dan tidak ada larangan syari’at tentang hal itu. Tentunya, selama
syarat-syarat itu tidak menyeret pelakunya terjerumus kedalam suatu yang
diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul -Nya. Apabila mengandung unsur haram sehingga bisa menyeret pelakunya
terjerumus dalam perkara yang haram maka syarat-syarat tersebut tidak
diperbolehkan.
Syarat-syarat yang diperbolehkan
sebagaimana hukum asalnya itu banyak, diantara contohnya:
1.
Dalam akad jual beli.
a.
Seseorang menjual barangnya dan menetapkan syarat agar ia masih diberi hak
untuk menggunakan barang tersebut dalam jangka waktu tertentu sebelum
diserahkan kepada pembeli. Misalnya Ahmad menjual rumahnya kepada Zaid dengan
harga tertentu. Ahmad mensyaratkan bahwa ia masih menempati rumah itu selama
satu bulan sebelum diserahkan kepada Zaid.
b.
Seseorang membeli barang dengan syarat pembayarannya ditunda sampai jangka
waktu tertentu. Misalnya Ahmad membeli sebuah rumah dari Zaid dengan harga
tertentu, dengan syarat setengah dari harga tersebut langsung dibayarkan ketika
akad, sedangkan setengahnya dibayarkan sebulan kemudian.
c.
Pembeli mensyaratkan bahwa barang yang akan dibelinya harus memiliki
sifat-sifat tertentu. Misalnya seseorang yang ingin membeli budak dan ia
mensyaratkan bahwa budak yang akan ia beli tersebut harus mempunyai keahlian
tertentu, seperti bisa membaca dan menulis atau keahlian lainnya. Demikian pula
apabila seseorang ingin membeli hewan ternak dan ia mensyaratkan kepada si
penjual bahwa hewan yang akan ia beli tersebut produksi susunya banyak atau
selainnya.
2.
Dalam akad hutang piutang, apabila orang yang menghutangi menetap syarat
harus ada jaminan berupa barang tertentu kepada orang yang berhutang. Misalnya
Ahmad ingin berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Kemudian Zaid berkata, “Saya
mau meminjami uang kepadamu dengan syarat ada jaminan.”
3.
Berkaitan dengan akad wakaf, apabila seseorang mewakafkan suatu barang
disertai dengan syarat tertentu. Maka dalam pemanfaatan barang wakaf itu harus
disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan oleh si pewakaf, selama syarat
tersebut tidak menyelisihi syari’at. Misalnya seseorang mewakafkan sebidang
tanah dengan syarat digunakan untuk pembangunan masjid. Maka pemanfaatan tanah
tersebut harus disesuaikan dengan syarat yang telah ditentukan pewakaf.
4.
Demikian pula syarat-syarat yang dibuat oleh pasangan suami isteri dalam
ikatan pernikahannya. Misalnya, seorang wanita berkata kepada calon suaminya,
“Saya mau menjadi isterimu dengan syarat saya tetap tinggal di kampung
kelahiran saya.” Atau si wanita tersebut mensyaratkan supaya tidak dipoligami
atau syarat-syarat semisalnya. Maka hukum asal dari
persyaratan-persyaratan tersebut diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ أَحَقَّ
الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ » [3]
Sesungguhnya syarat yang paling wajib kalian tunaikan
adalah syarat-syarat untuk menghalalkan pernikahan.
Adapun syarat-syarat yang menyebabkan pelakunya terjerumus dalam perkara
yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, maka syarat-syarat tersebut
tidak boleh dipenuhi dan tidak boleh dilaksanakan. Di antara contohnya adalah
dalam kasus jual beli budak. Apabila seseorang menjual budak miliknya dengan
syarat kalau budak itu nantinya dimerdekakan oleh si pembeli (tuannya yang
baru) maka wala’nya [4] untuk si penjual tersebut. Syarat seperti ini tidak
diperbolehkan karena bertentangan dengan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّمَا
الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ » [5]
Sesungguhnya
wala’ itu adalah milik orang yang memerdekakan budak.
Syarat-syarat yang diharamkan itu
terbagi menjadi tiga :
1.
Syarat-syarat yang haram dan menyebabkan akad tidak sah.
Misalnya adalah syarat mut’ah dalam pernikahan. Yaitu pernikahan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tersebut selesai maka pasangan suami isteri tersebut bercerai. Misalnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat pernikahan tersebut berlangsung selama satu bulan dan setelah itu pernikahan mereka berakhir.
Misalnya adalah syarat mut’ah dalam pernikahan. Yaitu pernikahan yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tersebut selesai maka pasangan suami isteri tersebut bercerai. Misalnya, seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat pernikahan tersebut berlangsung selama satu bulan dan setelah itu pernikahan mereka berakhir.
2.
Demikian pula syarat tahlil dalam pernikahan. Apabila seorang wanita telah
ditalak sebanyak tiga kali oleh suaminya, maka si suami tidak bisa ruju’ bekas
isterinya tersebut kecuali apabila wanita tersebut telah dinikahi laki-laki
lain, telah berhubungan suami isteri dengan suaminya yang baru tersebut dan
telah diceraikan lagi oleh suaminya yang baru itu, tanpa ada unsur rekayasa.
Jika ada rekayasa, misalnya ada laki-laki lain yang melamar wanita tersebut,
kemudian si wanita ini mau tapi dengan syarat setelah menikah dan berhubungan
suami isteri, dia harus dicerai, supaya bisa menikah kembali dengan bekas
suaminya yang pertama. Inilah yang dimaksud dengan syarat tahlil dalam
perrnikahan. Syarat mut’ah dan syarat tahlil
adalah syarat yang fasad (rusak) yang menyebabkan
pernikahan tersebut tidak sah. Karena syarat ini bertentangan dengan tujuan
awal pernikahan disyari’atkan.
3.
Syarat-syarat yang haram tetapi tidak menyebabkan akadnya batal. Misalnya, pernikahan dengan syarat tanpa mahar. Apabila seorang laki-laki
menikahi seorang wanita dengan syarat tanpa memberikan mahar kepada isterinya. Demikian pula apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan
syarat tidak memberikan nafkah kepada isterinya, atau dengan syarat bahwa
isterinya tersebut mendapatkan giliran lebih banyak atau lebih sedikit daripada
isteri-isterinya yang lain.
Maka syarat-syarat semacam ini termasuk syarat yang fasad (rusak) namun tidak sampai menyebabkan akad pernikahan itu batal. Karena
syarat-syarat itu tidak bertentangan dengan tujuan awal pernikahan, baru
sebatas menafikan hal-hal yang wajib ditunaikan dalam pernikahan berupa hak-hak
isteri atas suaminya. Wallahu a’lam.
Footnote
[1]. Diangkat dari al-Qawâ’id wal Ushûlul
Jâmi’ah wat Taqâsîm
[2]. Hadits (الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ )diriwayatkan oleh Imam Bukhâri 4/451 secara mu'allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushûl oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jarud no. 637, Hakim 2/45, Ibnu 'Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah lewat jalur periwayatan Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabbâh. Dan diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillâh bin 'Amr bin 'Auf al-Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
[2]. Hadits (الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ )diriwayatkan oleh Imam Bukhâri 4/451 secara mu'allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushûl oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jarud no. 637, Hakim 2/45, Ibnu 'Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah lewat jalur periwayatan Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabbâh. Dan diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillâh bin 'Amr bin 'Auf al-Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ
صُلْحًا حَرّامَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى
شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Lafadz ini pula yang diriwayatkan
oleh Thabrani dalam al-Kabîr no. 30, Ibnu 'Adiy no. 2081, Dâruquthni 3/27,
al-Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa potongan kalimat terakhir. Hadits
ini dikuatkan dengan hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh bin Umar, Rafi' bin Khadîj
Radhiyallahu anhum, sehingga hadits ini menjadi sah dengan mengumpulkan seluruh
jalur periwayatannya.
[3]. HR. al-Bukhâri dalam kitabun Nikâh, Bab as-Syurûth fin Nikâh, no. 5151. Muslim dalam kitab an-Nikâh, Bab al-Wafâ’ fis syurûth, no. 1418 dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu.
[3]. HR. al-Bukhâri dalam kitabun Nikâh, Bab as-Syurûth fin Nikâh, no. 5151. Muslim dalam kitab an-Nikâh, Bab al-Wafâ’ fis syurûth, no. 1418 dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu.
[4]. Yang
dimaksud dengan wala’ di sini adalah apabila seseorang memerdekakan budak,
kemudian setelah merdeka budak itu meninggal dalam keadaan tidak mempunyai ahli
waris, maka yang berhak mewarisi hartanya adalah orang yang memerdekakannya.
Demikian pula apabila setelah merdeka, budak tersebut terbunuh sedangkan ia
tidak memiliki ahli waris, maka orang yang memerdekakan itulah yang berhak
menerima diyat (dendanya). (Pen)
[5]. HR. al Bukhâri dalam Kitab al-Mukâtab, Bab Isti’ânatul Mukâtab, no. 2563. Muslim dalam Kitab al-‘Itqu, Bab Innamal Wallâ-u Liman A’taqa, no. 1504 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[5]. HR. al Bukhâri dalam Kitab al-Mukâtab, Bab Isti’ânatul Mukâtab, no. 2563. Muslim dalam Kitab al-‘Itqu, Bab Innamal Wallâ-u Liman A’taqa, no. 1504 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Hinanya Hati Yang
Keras
Segala puji hanya untuk Allah
Shubhanahu wa ta’alla Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada
Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh
sahabatnya.
قال الله تعالى: ﴿ أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٖ مِّن رَّبِّهِۦۚ فَوَيۡلٞ لِّلۡقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٢٢ ﴾ [الزمر : 22]
Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla
hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya
(sama dengan orang yang hatinya keras)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi
mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allah Shubhanahu wa ta’alla. Mereka
itu dalam kesesatan yang nyata [az-Zumar : 22].
RINGKASAN TAFSIR [1]
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla hatinya untuk (menerima) agama
Islam”, yaitu dengan dipermudah untuk mengenal -Nya, bertauhid kepada -Nya, taat akan perintah -Nya dan menjadi bertambah
semangat untuk mengerjakan ajaran Islam. Dan ini adalah pertanda yang baik bagi
seseorang “Lalu ia mendapat cahaya dari
Rabb-nya”, yaitu cahaya kebenaran yang membuat hatinya bertambah yakin. Apakah
mereka itu sama dengan orang yang hatinya keras? Tentu saja tidak sama. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya keras untuk
mengingat Allah Shubhanahu wa ta’alla”,
yaitu mereka yang hatinya tidak lunak ketika diingatkan akan Allah Shubhanahu wa ta’alla, tidak
khusyu’, tidak paham, tidak sadar dan selalu membangkang.
“Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” yang akan mengantarkan mereka kepada kebinasaan.
“Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” yang akan mengantarkan mereka kepada kebinasaan.
HATI MEMILIKI SIFAT
Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda. Sifat-sifat tersebut pun
bisa berubah-ubah setiap waktu. Begitu pula hati, dia pun memiliki sifat. Hati
bisa menjadi sehat dan juga bisa menjadi sakit. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ ﴾ [ البقرة : 10]
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah Shubhanahu wa ta’alla
penyakitnya .... [al-Baqarah/2:10]
Hati juga bisa menjadi lunak dan juga bisa menjadi sekeras batu. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ ثُمَّ قَسَتۡ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَٱلۡحِجَارَةِ أَوۡ أَشَدُّ قَسۡوَةٗۚ ٧٤ ﴾ [البقرة: 74]
Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih
keras lagi [al-Baqarah/2:74]
Begitu pula hati bisa mengkilap, bersinar dan bisa juga menjadi hitam kelam sebagaimana diterangkan di beberapa hadits Rasulullah ShalAllahu ‘alihi wa sallam. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Muslim memperhatikan kondisi hatinya setiap saat, jangan sampai menjadi hati yang keras atau mulai mengeras sehingga nantinya akan menjadi keras dan sulit menerima kebenaran. Na’udzu billahi min dzalik.
BAHAYA HATI YANG KERAS
Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa orang yang hatinya keras sangat
tercela dan dalam kesesatan yang nyata. Malik bin Dinar rahimahullah pernah
berkata, "Seorang hamba tidaklah dihukum dengan suatu hukuman yang lebih
besar daripada hatinya yang dijadikan keras. Tidaklah Allah Shubhanahu wa ta’alla marah terhadap suatu kaum kecuali -Dia akan mencabut rasa kasih sayang -Nya dari mereka.[2]
TANDA-TANDA HATI YANG KERAS ATAU MULAI MENGERAS
Hati yang keras atau mulai mengeras memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
1.
Bermalas-malasan dalam mengerjakan kebaikan dan ketaatan, serta meremehkan
suatu kemaksiatan.
2.
Tidak terpengaruh hatinya dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan. Berbeda
dengan kaum mu’minin, hati mereka akan bergetar jika dibacakan ayat-ayat
al-Qur’an atau diingatkan akan Allah
Shubhanahu wa ta’alla dalam firman -Nya :
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ
ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٢﴾ [الأنفال:2]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah Shubhanahu wa ta’alla gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayat -Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka
bertawakkal. [al-Anfal/8:2]
3.
Tidak terpengaruh hatinya dengan berbagai ujian, musibah dan cobaan yang
diberikan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla. Allah Shubhanahu wa ta’alla
berfirman :
قال الله تعالى: ﴿أَوَلَا يَرَوۡنَ أَنَّهُمۡ يُفۡتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٖ مَّرَّةً أَوۡ مَرَّتَيۡنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمۡ يَذَّكَّرُونَ ١٢٦﴾ [التوبة : 126]
Dan tidakkah mereka (orang-orang munafiq) memperhatikan bahwa mereka diuji
sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak
(pula) mengambil pelajaran? [at-Taubah/9:126].
4.
Tidak merasa takut akan janji dan ancaman Allah Shubhanahu wa ta’alla.
5.
Bertambahnya kecintaan terhadap dunia dan mendahulukannya di atas akhirat.
6.
Tidak tenang hatinya dan selalu merasa gundah.
7.
Bertambahnya dan meningkatnya kemaksiatan yang dilakukannya. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال
الله تعالى: ﴿فَلَمَّا زَاغُوٓاْ أَزَاغَ ٱللَّهُ قُلُوبَهُمۡۚ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ٥﴾ [الصف: 5]
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah Shubhanahu wa ta’alla
memalingkan hati mereka. Dan Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang fasik [ash-Shaf/61:5]
8.
Tidak mengenal atau tidak membedakan perbuatan ma’ruf dan munkar.
SEBAB-SEBAB KERASNYA HATI.
Hati menjadi keras tentu ada penyebabnya. Penyebab-penyebab kerasnya hati
di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Kesyirikan, Kekufuran Dan Kemunafikan.
Inilah sebab yang paling besar yang dapat menutupi hati seseorang dari
menerima kebenaran. Allah Shubhanahu wa
ta’alla berfirman :
قال الله تعالى: ﴿ سَنُلۡقِي فِي قُلُوبِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلرُّعۡبَ بِمَآ أَشۡرَكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗاۖ وَمَأۡوَىٰهُمُ ٱلنَّارُۖ وَبِئۡسَ مَثۡوَى ٱلظَّٰلِمِينَ ١٥١﴾ [آل عمران: 151]
Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, karena
mereka telah mempersekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan sesuatu yang
Allah Shubhanahu wa ta’alla sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu.
Tempat kembali mereka ialah neraka. Dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal
orang-orang yang zhalim [Ali ‘Imran/3:151].
2.
Melanggar Perjanjian Yang Dibuat Kepada Allah
Shubhanahu wa ta’alla.
Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ فَبِمَا نَقۡضِهِم مِّيثَٰقَهُمۡ لَعَنَّٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَٰسِيَةٗۖ ... ١٣ ﴾ [المائدة: 13]
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka kami laknat mereka, dan
kami jadikan hati mereka keras membatu.
[al-Ma-idah/5:13]
Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi, “Melanggarnya (perjanjian) dengan (cara) tidak konsisten dengan apa yang ada di dalamnya yang berupa perintah dan larangan.”[3]
3.
Tertawa Berlebihan
Nabi Muhammad ShalAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ تُكْثِرُوا الضَّحِكَ ، فَإِنَّ كَثْرَةَ
الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ»
Janganlah kalian banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa dapat
mematikan hati [4]
4.
Banyak Berbicara Dan Banyak Makan.
Bisyr bin al-Harits pernah berkata, "(Ada) dua hal yang dapat
mengeraskan hati: banyak berbicara dan banyak makan.”[5]
5.
Banyak Melakukan Dosa.
Nabi Muhammad ShalAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: « إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي
قَلْبِهِ ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ ، صُقِلَ قَلْبُهُ ، فَإِنْ زَادَ
، زَادَتْ ، فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَهُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ :[ كَلاَّ
بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[ (المطففين
: 14) » [حديث حسن رواه أحمد وابن ماجة]
Sesungguhnya seorang Mukmin jika melakukan dosa, maka akan ada bintik hitam
di hatinya. Jika dia bertaubat dan berhenti (dari dosa tersebut) serta memohon
ampunan, maka hatinya akan mengkilap. Apabila dia terus melakukan dosa, maka
bertambah pula noktah hitam itu. Itu adalah ar-ran (penutup) yang disebutkan
oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla di kitab -Nya: ‘Sekali-kali tidak
(demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka
[al-Muthaffifin/83:14].
6.
Lalai Dari Ketaatan
Allah Shubhanahu wa ta’alla Azza
wa Jalla berfirman :
قال الله تعالى: ﴿ و َلَقَدۡ ذَرَأۡنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِۖ لَهُمۡ قُلُوبٞ لَّا يَفۡقَهُونَ بِهَا وَلَهُمۡ أَعۡيُنٞ لَّا يُبۡصِرُونَ بِهَا وَلَهُمۡ ءَاذَانٞ لَّا يَسۡمَعُونَ بِهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَٱلۡأَنۡعَٰمِ بَلۡ هُمۡ أَضَلُّۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡغَٰفِلُونَ ١٧٩ ﴾ [الأعراف:179]
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari
jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah Shubhanahu wa ta’alla), mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah
Shubhanahu wa ta’alla) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah Shubhanahu wa ta’alla). Mereka
itu seperti binatang-binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka
Itulah orang-orang yang lalai [al-A’raf/7:179]
7.
Nyanyian Dan Alat Musik.
‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyahu’anhu berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِى الْقَلْبِ
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِى الْقَلْبِ
Lagu-laguan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati [6]
8.
Suara Wanita Yang Menggoda
Allah Shubhanahu wa ta’alla Azza
wa Jalla berfirman :
قال الله تعالى:﴿ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٣٢ ﴾ [ الأحزاب: 32]
Maka janganlah kamu tunduk (menghaluskan suara) dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan
yang baik [al-Ahzab/33:32]
9.
Melakukan Hal-Hal Yang Merusak Hati.
Hal-hal yang merusak hati sangatlah banyak, akan tetapi, dari semua itu ada lima hal yang menjadi faktor perusak hati.
Kelima hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah:
“Adapun lima hal yang merusak hati adalah banyak bergaul (berkumpul dengan
manusia), (banyak) berangan-angan, tergantung kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla Azza wa Jalla,
kekenyangan (banyak makan) dan (banyak) tidur. Inilah kelima hal utama yang
dapat merusak hati
OBAT HATI YANG KERAS.
Hati yang keras juga memiliki obat agar dia bisa kembali melunak. Berikut
ini adalah beberapa hal yang dapat melunakkan hati:
1.
Beriman kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla dan selalu meningkatkan keimanan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ يَهۡدِ قَلۡبَهُۥۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ١١ ﴾ [التغابن:11]
Barangsiapa yang beriman kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla niscaya dia
akan memberi petunjuk kepada hatinya [at-Taghabun/64:11].
2.
Banyak mengingat Allah Shubhanahu wa
ta’alla (ber-dzikr) dan membaca al-Qur’an dengan men-tadabburi-nya
(memahami dan merenungi maknanya).
Allah Shubhanahu wa ta’alla Azza
wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ ٢٨ ﴾ [الرعد:28]
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah Shubhanahu wa ta’alla. Ingatlah! Hanya dengan mengingati Allah
Shubhanahu wa ta’alla-lah hati menjadi tenteram [ar-Ra’d/13 :
28].
3.
Belajar ilmu syar’i (ilmu agama).
Tidak diragukan lagi, bahwa ilmu syar’i dapat membimbing seseorang untuk
menjadi hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa. Di awal surat Ali ‘Imran,
Allah Azza wa Jalla memuji
orang-orang yang memiliki ilmu yang dalam. Tahukah pembaca, doa apakah yang
mereka ucapkan? Doa yang diucapkan oleh mereka adalah:
قال الله تعالى: ﴿ رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ ٨ ﴾ [آل عمران:8]
Ya Rabb kami,
janganlah Engkau jadikan hati-hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau
beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi
Engkau, karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia) [Ali
‘Imran/3:8].
Merekalah yang lebih tahu akan
Rabb-nya bila dibandingkan orang-orang awam dan mereka juga lebih tahu bahwa
hati manusia bisa berubah-ubah, sehingga mereka berdoa dengan doa tersebut.
4.
Berlindung kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla dari hati yang tidak khusyu’ dengan doa yang telah diajarkan oleh
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbunyi:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ
وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ
يُسْتَجَابُ لَهَا »
Ya Allah Shubhanahu wa ta’alla! Aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang
bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak kenyang dan dari
doa yang tidak dikabulkan [8].
5.
Berbuat baik terhadap anak yatim dan orang miskin.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasanya seseorang mengadu kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang hatinya yang keras. Beliau pun bersabda:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: « إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ ، فَأَطْعِمِ
الْمِسْكِينَ ، وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ »
Jika engkau ingin agar hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang
miskin dan usaplah kepala anak yatim [9]
6.
Banyak mengingat kematian.
Diriwayatkan dari Shafiyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya seorang
wanita mendatangi ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dan mengadukan
keadaan hatinya yang keras. Kemudian ‘Aisyah pun berkata, “Perbanyaklah
mengingat kematian, engkau akan mendapatkan apa yang kau inginkan.” Kemudian
wanita itu pun mengerjakannya. Setelah itu, dia pun mendapatkan petunjuk di
hatinya dan bersyukur kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha.[10]
Sa’id bin Jubair[11] dan Rabi’ bin Abi Rasyid[12] Radhiyallahu anhuma pernah berkata:
Sa’id bin Jubair[11] dan Rabi’ bin Abi Rasyid[12] Radhiyallahu anhuma pernah berkata:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: « لَوْ فَارَقَ ذِكْرُ الْمَوْتِ قَلْبِي سَاعَةً خَشِيت أَنْ
يَفْسُدَ قَلْبِي »
Seandainya mengingat kematian terpisah dari hatiku sekejap saja, saya takut
hatiku akan menjadi rusak.
7.
Banyak berziarah kubur.
Abu Thalib, seorang murid Imam Ahmad, pernah berkata, “Seorang laki-laki
pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad) tentang bagaimana melunakkan
hatinya. Beliau pun menjawab, ‘Masuklah ke dalam pemakaman dan usaplah kepala
anak yatim.”[13]
8.
Menghadiri majlis ta’lim dan
majlis nasihat.
Menghadiri majlis-majlis seperti ini sangat berpengaruh terhadap hati
manusia. Mari kita perhatikan apa yang dikatakan oleh al-‘Irbadh bin Sariyah
Radhiyallahu anhu, “Pada suatu hari Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam mengerjakan shalat, kemudian menghadap ke kami dan memberikan nasihat yang
sangat menyentuh, yang membuat mata-mata menangis dan hati-hati menjadi takut.”[14]
9.
Menjauhi sebab-sebab terjadinya fitnah dan dosa
Agar hati kita tidak menjadi keras, maka kita berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi sebab-sebab terjadinya dosa atau fitnah. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla melarang para Sahabat bertanya atau meminta sesuatu hal kepada istri-istri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dari belakang tabir.
Agar hati kita tidak menjadi keras, maka kita berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi sebab-sebab terjadinya dosa atau fitnah. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla melarang para Sahabat bertanya atau meminta sesuatu hal kepada istri-istri Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dari belakang tabir.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسَۡٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ ٥٣﴾ [الأحزاب:53]
Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci
bagi hatimu dan hati mereka [al-Ahzab/33:53]
10.
Makan makanan yang halal.
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang, “Dengan apa hati
bisa menjadi lunak?” Kemudian beliau pun menjawab, “Ya bunayya (wahai anakku)!
Dengan makan makananan yang halal.”[15]
11.
Shalat malam.
Beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla di waktu sahur (sebelum Subuh).
12.
Berteman dengan orang-orang yang soleh,
Ibrahim al-Khawwash rahimahullah pernah berkata:
Ibrahim al-Khawwash rahimahullah pernah berkata:
"
دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ
أَشْيَاء : قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ, وَخَلَاءُ الْبَطْنِ, وَقِيَامُ
اللَّيْلِ, وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحْرِ, وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْن
"
Obat hati ada lima macam, yaitu: membaca al-Qur’an dengan
men-tadabburi-nya, mengosongkan perut, shalat malam, mendekatkan diri (kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla) di waktu
sahur dan duduk-duduk (berteman) dengan orang-orang yang soleh[16].
KESIMPULAN
1.
Hati memiliki sifat-sifat yang bisa berubah-ubah.
2.
Orang yang telah dibukakan hatinya untuk menerima agama Islam dan taat
kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla
tidak sama dengan orang yang berhati keras.
3.
Orang yang berhati keras akan mendapatkan ancaman yang sangat besar.
4.
Orang yang berhati keras memiliki sifat-sifat tertentu seperti yang sudah
dipaparkan di atas. Seyogyanya seorang Muslim selalu melakukan introspeksi
diri.
5.
Hati bisa menjadi keras disebabkan oleh beberapa hal. Oleh karena itu,
sebisa mungkin kita menjauhi sebab-sebab tersebut.
6.
Hati yang keras pun dapat diobati dengan berbagai cara yang telah
disebutkan.
7.
Orang-orang yang telah terjerumus kepada kemaksiatan atau merasa bahwa
hatinya sangat keras, maka harus segera bertaubat dan Allah Shubhanahu wa ta’alla akan mengampuni orang-orang yang benar-benar
bertaubat kepada -Nya.
Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allah Shubhanahu wa ta’alla selalu menjaga hati kita agar tetap lunak.
Amin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 11/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196]
_______
Footnote:
[1] Diringkas dari Tafsîr at-Thabari XXI/277-278, Tafsîr Ibni Katsîr III/334-336 dan VII/93 dan at-Tahrîr wa At-Tanwîr XXIV/63-64.
[2]. Ma’âlimut-Tanzîl VII/115.
[3]. Aisarut-Tafâsîr I/338.
[4]. HR. Ibnu Mâjah no. 4193 dan yang lainnya (Dinyatakan shahîh oleh Syaikh Al-Albâni di Shahîh Ibni Mâjah).
[5]. Hilyatul-Auliyâ’ VIII/350 .
[6]. HR. al-Baihaqi dalam Syu’abil-Îmân VII/107 dan yang lainnya (Hadîts mauqûf ini dinyatakan shahîh isnâd-nya oleh Syaikh Al-Albâni dalam Silsilah Adh-Dha’îfah ketika men-takhrîj hadîts no. 2430).
[7]. Madârijus-Sâlikîn I/343.
[8]. HR. Muslim no. 7081 dan yang lainnya.
[9]. HR. Ahmad no. 7576 dan 9018. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 854.
[10]. HR. Ibnu Abi ad-Dunya (takhrîj ini dinukil dari kitab Dzammu Qaswatil-qalb).
[11]. HR. Ahmad dalam az-Zuhd no. 2006, Hilyatul-Auliya’ IV/276 dan yang lainnya.
[12]. HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf XIII/562 dan yang lainnya.
[13]. Thabaqât al-Hanâbilah I/39.
[14]. HR. Abu Dâwud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Mâjah no. 43 (Hadîts ini dinyatakan shahîh oleh Syaikh Al-Albâni dalam Shahih Abi Dâwûd).
[15]. Hilyatul-Auliyâ’ IX/182.
[16]. Dzammul-Hawâ I/70.
_______
Footnote:
[1] Diringkas dari Tafsîr at-Thabari XXI/277-278, Tafsîr Ibni Katsîr III/334-336 dan VII/93 dan at-Tahrîr wa At-Tanwîr XXIV/63-64.
[2]. Ma’âlimut-Tanzîl VII/115.
[3]. Aisarut-Tafâsîr I/338.
[4]. HR. Ibnu Mâjah no. 4193 dan yang lainnya (Dinyatakan shahîh oleh Syaikh Al-Albâni di Shahîh Ibni Mâjah).
[5]. Hilyatul-Auliyâ’ VIII/350 .
[6]. HR. al-Baihaqi dalam Syu’abil-Îmân VII/107 dan yang lainnya (Hadîts mauqûf ini dinyatakan shahîh isnâd-nya oleh Syaikh Al-Albâni dalam Silsilah Adh-Dha’îfah ketika men-takhrîj hadîts no. 2430).
[7]. Madârijus-Sâlikîn I/343.
[8]. HR. Muslim no. 7081 dan yang lainnya.
[9]. HR. Ahmad no. 7576 dan 9018. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 854.
[10]. HR. Ibnu Abi ad-Dunya (takhrîj ini dinukil dari kitab Dzammu Qaswatil-qalb).
[11]. HR. Ahmad dalam az-Zuhd no. 2006, Hilyatul-Auliya’ IV/276 dan yang lainnya.
[12]. HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf XIII/562 dan yang lainnya.
[13]. Thabaqât al-Hanâbilah I/39.
[14]. HR. Abu Dâwud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Mâjah no. 43 (Hadîts ini dinyatakan shahîh oleh Syaikh Al-Albâni dalam Shahih Abi Dâwûd).
[15]. Hilyatul-Auliyâ’ IX/182.
[16]. Dzammul-Hawâ I/70.