Abad Pertengahan Tinggi adalah periodedalam sejarah Eropauntuk masa sekitar abad ke-11, 12, dan 13 M (sek. tahun 1000–1300). AbadPertengahan Tinggi didahului oleh Abad Pertengahan Awal dandilanjutkan oleh Abad Pertengahan Akhir,yang berakhir sekitar tahun 1500-an.[1]
Hal penting pada Abad Pertengahan Tinggi adalah peningkatan
jumlah penduduk yang sangat cepat di Eropa, yang membawa
perubahan sosial dan politik yang besar dari masa sebelumnya. Pada tahun 1250,
peningkatan jumlah penduduk berdampak baik bagi ekonomi, mencapai suatu tingkat
yang baru dapat dicapai di daerah tersebut sekitar abad ke-19. Hal ini diakhiri
pada Abad Pertengahan Akhir oleh adanya serangkaian
bencana, yang paling terkenal adalah Kematian
Hitam namun selain itu juga oleh banyaknya perang dan tersendatnya
ekonomi.
Sejak tahun 1000, Eropa Barat mengalami invasi barbar
terakhir dan menjadi lebih terorganisir secara politik. Bangsa Viking bermukim
di Kepulauan Britania, Prancis,
dan banyak tempat lainnya, sedangkan kerajaan-kerajaan Kristen Nordik
berkembang di tanah asal mereka di Skandinavia.
Bangsa Magyar
telah meghentikan perluasan mereka pada abad ke-10, dan pada tahun 1000, Kerajaan Kristen
Hongaria didirikan di Eropa Tengah. Tidak
ada serangan besar-besaran dari luar Eropa, kecuali invasi singkat
oleh bangsa Mongol.
Pada
abad ke-11, penduduk di sebelah utara Alpen mulai mencari tanah baru untuk bermukim, beberapa di antara mereka
kembali ke hutan belantara setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi. Dalam peristiwa yang kini dikenal sebagai "pembukaan
besar", hutan-hutan dan rawa luas di Eropa dibuka dan diolah. Pada saat
yang sama pemukiman bergerak keluar dari perbatasan tradisional Kerajaan Frank
menuju perbatasan baru di Eropa timur, di seberang Sungai Elbe,
meningkatkan wilayah Jerman
sampai tiga kali lipat dalam prosesnya. Gereja
Katolik yang masih kuat memanggil pasukan-pasukan dari seluruh Eropa
untuk melakukan serangkaian Perang Salib melawan Turki Seljuk,
yang menduduki Tanah Suci, yang dalam prosesnya orang Eropa
mendirikan negara-negara Salib di Levant.
Peperangan lainnya berujung pada kolonisasi Baltik, sementara kerajaan-kerajaan
Kristen merebut
Semenanjung Iberia dari kekuasaan Moor, dan bangsa Norman
mengolonisasi Italia selatan.
Abad Pertengahan Tinggi menghasilkan banyak karyaintelektual, spiritual, dan seni. Masa ini ditandaidengan kebangkitan negara bangsa modern diEropa Barat dan berkembangnya negara kota-negara kota di Italia. Penemuan kembali karya-karya Aristotelesmembuat Thomas Aquinas dan para pemikir lainnyamengembangkan filsafat Skolastisisme. Dalam bidang arsitektur, banyak katedral Gothyang dibangun atau disselesaikan pada masa ini.[2]
A.
Pemikiran Ekonomi Islam Abad Pertengahan
Abad pertengahan adalah milik Islam. Pada abad ini,
ilmu ekonomi telah dibangun secara teoritis oleh ilmuwan muslim, kendati tidak
dalam satu bidang khusus ataupun dalam satu karya yang utuh membahas ekonomi.
Tetapi pecahan-pecahan teori ekonomi dengan mudah ditemukan hampir di setiap
karya ilmuwan muslim ketika itu. Melihat karya St. Thomas Aquinas summa
theologica minsalnya, mengingatkan secara utuh akan karya Abu Hamid
al-Ghazali, ihya’ ulumuddin. Ada
relasi kontekstual antara karya St. Thomas Aquinas ini dengan karya Abu Hamid
al-Ghazali, untuk tidak mengatakan “plagiasi”.
Dulu, di abad XIII, Islam telah membuka diri terhadap
sarjana Barat untuk meneliti secara kolektif-partisipatif dengan ilmuwan
muslim. Tak hanya itu, penerjemahan karya-karya muslim secara massif di abad
XIII telah dimulai di daratan Eropah. Spanyol,
Italia, dan Prancis menjadi kota-kota utama dalam kegiatan penerjemahan itu. Adelard of Bath,
Constantine the African, Micheal Scot, Herman the German, Dominic Gundisilavi,
John of Seville, Plato of Trivoli hingga Gerard of Cremona, adalah penerjemah
kitab-kitab Arab yang lihai di abad pertengahan. Ini kian mengukuhkan kelemahan
tesis Schumpeter.
Di ujung lainnya, tidak berlebihan jika kemudian Roger Bacon
(1214-1294) seringkali merujuk pada pemikiran dan pendapat ilmuwan muslim
seperti Ibn Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali, karena ketertarikannya begitu
besar terhadap ilmuwan muslim tersebut. Dan bukan hal aneh jika kemudian karya
Roger Bacon opus maius, mirip dengan karya Fashl al-Maqal karya
Ibnu Rusyd. Kendati tidak utuh, minimal ini menjadi tanda bahwa ada pengaruh
pemikiran ilmuwan muslim terhadap pemikiran modern barat, termasuk dalam bidang
ekonomi.
Tidak hanya St. Thomas Aquinas, seorang pendeta Dominican
Spanyol, Raymond Martini, banyak sekali meminjam “dogma positif” dari
karya-karya Al-Ghazali seperti tahafut al-Falasifah, Al-Munqidh, Al-Maqasid,
Misykat al-Anwar, dan ihya ulumuddin. Dan perkembangan ilmu ekonomi
modern dewasa ini akan menjadi mustahil tanpa kontribusi penting ilmuwan muslim
dalam ilmu-ilmu alat, seperti matematika yang diperkenalkan oleh al-Khawarizmi
(800-847). Pun dalam aspek metodologis riset eksperimental yang pertama kali
digunakan oleh Jabir Ibn Hayyan (abad ke-8 M).
Komentar kritis Ibnu Bajjah
(w.1138) terhadap Aristoteles, telah menyentakkan Barat. Lalu bangkit untuk
melakukan penolakan balik atas kritik tersebut. Summa theologica-nya St.
Thomas Aquinas adalah upaya membendung kritik Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles.
Kritikan ini mengusik status quo dan orthodoksi geraja di Eropah ketika
itu. Ini mendorong Thomas Aquinas melahirkan karya summa theologica.
Tak dapat dipungkiri, ada
kontribusi ilmuwan muslim terhadap ekonomi modern. Dan ini tersimpan kuat dalam
sejarah transmisi tradisi aristotelian ke Barat, utuh dan tak dapat dipisahkan
dari peran ilmuwan muslim di abad XIII. Dan mestinya semua ini mendorong
pemikir ekonomi modern untuk kembali berkaca pada kontribusi ilmuwan muslim
pada abad XIII dalam bidang ekonomi. Ini penting, mengingat ekonomi telah
begitu positivistik, tanpa kehadiran “yang normatif dan etis”. Kembali pada
ekonomi moral seperti yang telah dikerangkakan oleh ilmuwan muslim seperti
Al-Ghazali, Ibnu Khaldun hingga Abu Ubayd, niscaya.
Dalam mengembangkan kehidupan perekonomiannya, daulah Usmaniyah melanjutkan
kebijakan yang telah diterapkan dinasti Abbasiyah. Baitul Mal tetap difungsikan
sebagai kantor perbendaharaan Negara. Pada awalnya seiring dengan luasnya
wilayah yang dikuasai, daulah Usmani menggunakan system desentralisasi dalam
mengatur pemungutan pajak. Namun dikemudian hari menimbulkan permasalahan. Para
pejabat local mulai banyak melakukan penyimpangan, seperti memungut pajak
melebihi batas, membebani kewajiban tambahan kepada para petani serta melegitimasi
brerbagai pungutan liar, sementara pemerintah pusatnya tidak bisa melakukan
pengawasan secara maksimal, karena terfokus kepada berbagai peperangan dengan
bangsa eropa.disamping luasnya wilayah kekuasaan, hal tersebut mendorong
pemerintah pusat untuk mengubah kebijakan menjadi sentralistik.
Di bidang
agraria, pola kebijakan pemerintah usmani mengacu kepada undang-undang agraria
warisan bizantium. Undang-undang ini terdapat dua garapan, yaitu Al-Iqta
al-Asbghar atau timar dan ziamat.
Untuk menunjang aktifitas
ekonomi, daulah usmani juga mencetak uang. Namun, sultan di cantumkan pada
setiap mata uang yang beredar sebagai tanda penguasaan dimasa itu. Ketika
terjadi inflasi, Sultan Murad IV mengeluarkan kebijakan penambahan nilai tukar
mata uang emas dan perak, dan melakukan efesiensi pengeluran terhadap gaji
pasukan dan keperluan istana.
Adanya
pelabuhan Bandar Abbas, pelabuhan menjadi ramai, sehingga Perdagangan semakin
maju. Selain itu, juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama di
daerah Bulan Sabit yang subur. Ekonomi dikendalikan langsung oleh
pusat. Banyak memperkuat di bidang pertanian dengan memperbanyak pengalihan
tanah negara menjadi tanah raja. Pertumbuhan ekonominya semakin baik karena
stabilitas keamanan yang dinamis dan situasi dalam negeri yang terkendali.
Pelabuhan Bandar Abbas menjadi jalur perdagangan antara Timur dan Barat
sehingga sektor perdagangan semakin maju. Di bidang pertanian mengalami
kemajuan terutama di daerah Bulan Sabit yang subur.[3]
Pemikiran
Ekonomi Ibnu Taimiyyah
Ibnu
Taimiyah yang bernama lengkap Taqayuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota
Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari
keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama
besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Pemikiran Ibnu Taimiyah banya diambil dari berbagai karya
tulisnya, antara lain Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah
fil Islhlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah fi al-Islam. Pemikiran Ibnu
Taimiyah diantara lain tentang mekanisme pasar dan harga yang
adil.
Ibnu Taimiyah memiliki gagasan yang jelas tentang harga-harga
di pasar bebas yang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Dia
mengatakan:
"Naik, turunya harga tidak selalu terjadi karena
ketidakadilan (zulm) dari beberapa orang. Kadang-kadang terjadi karena
kekurangan produksi atau penurunan Impor barang yang diminta. Dengan demikian
jika keinginan pembelian barang mengalami peningkatkan sedang ketersediaan
barang merosot, maka harga akan naik. Di sisi lain jika ketersediaan barang
bertambah sedang permintaan turun, maka harga akan turun. Kelangkaan atau
kelimpahan ini mungkin tidak disebabkan oleh tindakan dari beberapa orang, yang
mungkin karena suatu alasan berlaku tidak adil,atau kadang-kadang, mungkin ada
yang menyebabkan hal yang mengundang ketidakadilan. Allah-lah yang Maha Kuasa
yang menciptakan keinginan dalam hati *manusia ..."[4]
Dari pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut nampaknya berlaku satu
pendapat pada masanya bahwa kenaikan harga sebagai akibat dari ketidakadilan
atau penyimpangan yang di lakukan di sisi penjual. Atau dikenal dengan Istilah
'zulm' yang berarti pelanggaran atau ketidakadilan. Istilah tersebut
digunakan dalam arti manipulasi oleh penjual yang mengarah pada ketidaksempuraan
harga di pasar, seperti penimbunan. Menurut Ibnu Taimiyah hal ini tidaklah
selalu benar. Dia menyatakan alasan ekonomi untuk naik dan turunya harga
berasal dari kekuatan pasar.
Adapun faktor lain yang
mempengaruhi penawaran dan permintaan antara lain adalah intensitas dan
besarnya permintaan, kelangkaan atau melimpahnya barang, kondisi kepercayaan
serta diskonto dari pembayaran tunai. Permintaan terhadap barang acapkali
berubah-ubah. Perubahan tersebut bergantung pada jumlah penawaran, jumlah orang
yang menginginkannya, kuat lemahnya dan besar kecilnya kebutuhan terhadap
barang tersebut. Bila intensitas kebutuhan sebagaimana kepentingan relatif
barang terhadap total kebutuhan pembeli. Bila kebutuhan kuat dan besar, harga
akan naik. Demikian pula sebaliknya.[5]
Ciri-ciri penting pendekatan islam dalam
mekanisme pasar adalah sebagai berikut:
1. Penyelesaian
masalah ekonomi yang asasi –penggunaan, produksi dan pembagian- dikenal pasti
sebagai sebagai tujuan mekanisme pasar.
2. Dengan berpedoman
pada ajran islam, para konsumen diharapkan bertingkah laku yang sesuai yang
menjadikan mekanisme pasar dapat mencapai tujuan yang dinyatakan di atas;
3. Jika perlu, campur
tangan negara dianggap sebagai unsur penting yang memperbanyak atau menggantikan
mekanisme pasar, untuk memastikan agar tujuan ini benar-benar tercapai.[6]
Dalam petikan sebelumnya Ibn Taimiyah membedakan
antara peningkatan harga yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan pasar dan yang
disebabkan oleh ketidakadilan, misalnya penimbunan – sebuah perbedaan harga
yang di bentuk oleh kebijakan pemerintah yang berwenang. Ibnu Taimiyah adalah
pendukung kuat pengendalian harga dalam kasus ketidaksempurnaan di pasar,
tetapi dia menentang pengendalian jika kenaikan harga disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
pasar murni, yakni permintaan dan penawaran. Perlu dicatat disini bahwa dalam
teks yang dikutip di atas, Ibnu Taimiyah menganalisa efek perubahan permintaan
dan penawaran terhadap harga namun dia tidak mencatat efek tinggi atau
rendahnya harga pada barang yang diminta dan ditawarkan (pergerakan sepanjang
kurva yang sama dari satu titik ketitik lainnya). Di satu bahasan di `al
Hisbah 'ia menjelaskan dengan persetujuan pandangan dari Abul Walid
(l013-l081 TM-403-474AH) " pengaturan administratif terhadap harga yang
terlalu rendah tidak dapat menghasilkan keuntungan sehingga menyebabkan korupsi
terahadap harga, menyembunyikan barang (oleh penjual) serta perusakan
kesejahteraan masyarakat"[7]
Pemikiran Ekonomi Asy-Syatibi
1.
Obyek Kepemilikan
Pada dasarnya, asy-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia
menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai
hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah obyek kepemilikan
dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia
membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat
dijadikan sebagai obyek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai obyek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, iamenyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.
dijadikan sebagai obyek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai obyek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, iamenyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.
2.
Pajak
Dalam pandangan
asy-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan
umum). Dengan mengutip pendapat parapendahulunya, seperti al-Ghazali dan Ibnu
al-Farra’, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial
adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan
tanggung jawab ini,
masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam
masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam
Wawasan Modern
Teori asy-Syatibi
Dari pemaparan konsep Maqashid asy-Syariah di atas,
terlihat jelas bahwa syariah menginginkan setiap individu memperhatikan
kesejahteraan mereka. Asy-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan
tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari
kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang
menyertakan kemaslahatan seperti didefinisikan syariah harus diikuti sebagai
kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.
Dengan dmikian, seluruh aktivitas ekonomi yang
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi,
dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain,
manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh
karena itu, problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah
pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.
Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep Maqashid
al-Syariah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep Motivasi. Seperti
yang telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan
“mengapa” seseorang berperilaku. Motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai
seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang
digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan dan sebagainya.17 Bila dikaitkan
dengan konsep maqashid al-syari’ah, jelas bahwa, dalam pandangan Islam,
motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi
kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat.
Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses
motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu
kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu
sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.
Menurut Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang
belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling
mendasar merupakan hal menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang individu
baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan
dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia
berpendapat bahwa garis hirarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala
prioritasnya terdiri dari:
1.
Kebutuhan Fisiologi
(Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan
minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia
dan mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
2.
Kebutuhan Keamanan (Safety
Needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan
serta krisis ekonomi.
3.
Kebutuhan Sosial (Social
Needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan persahabatan. Tidak
terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
4.
Kebutuhan Akan Penghargaan
(Esteem Needs), mencakup kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri dan
prestise seseorang.
5.
Kebutuhan
Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs), mencakup kebutuhan memberdayakan
seluruh potensi dan kemampuan diri.Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan
yang paling tinggi.
Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan
yang dikemukakan oleh Maslow di atas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep
Maqashid al-Syariah. Bahkan, konsep yang telah dikemukakn oleh asy-Syatibi
mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama
sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput
dari perhatian Maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan
fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat
manusia di dunia ini. Dalam perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan
yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh
kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama,
manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini,
pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan.
[1] Wikipedia.co.id
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Pertengahan_Tinggi
[4] Ibnu, Taimiyah, Majmu'
Fatawa Shaikh al Islam Ahmad b. Taimiyah, Riyadh, al Riyadh Press, vol.8, 1381, hal.
523
[5] Adiwarman karim, ekonomi
islam suatu kajian kontemporer , Jakarta:
Gema Insanei Press, 2001, hal. 160-161
[6] Muhammad Nejatullah Siddiqi,
Kegiatan
Ekonomi Dalam Islam, Jakarta: bumi aksara,
2004, hal. 91
[7] Islahi, A.A., Economic
Veiws of Ibn Taimiyah, Aligarh
Muslim University
(Ph.D. Thesis), 1980, unpublished., hal. 79-90 dan al Mubarak, Muhammad, Ara' Ibn Taimiyah fi'l Dawlah wa mada
Tadakhkhuliha fi'l Majal al Iqtisadi, Beirut, Dal al Fikr, 1970, hal. 107-125