Fiqih Muamalah (Jual Beli dalam Islam)

I. Pendahuluan
Jual beli dalam Al-Qur’an merupakan bagian dari ungkapan perdagangan atau dapat juga disamakan dengan perdagangan. Pengungkapan perdagangan ini ditemui dalam tiga bentuk, yaitu tijarah, bay’ dan Syira’. Kata التجارة- adalah mashdar dari kata kerja (تجر يتجر تجرا و تجارة) yang berarti (باع dan شرى ’) yaitu menjual dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam Al-Quran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surah Al-Baqarah :16 dan 282 , An-Nisa’ : 29, At-Taubah : 24, An-Nur:37, Fathir : 29, Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11. Di antara delapan ayat tersebut hanya 5 ayat yang berkonotasi bisnis. Sedangkan 3 ayat lagi makna tijarah tidak berkonotasi bisnis (perdagangan) yang riel. Sedangkan kata ba’a (باع) ) yang artinya menjual dengan bentuk بيع disebut sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu 1). Surah Al-Baqarah :254, 2). Al-Baqarah : 275, 3). Surah Ibrahim 31 dan 4. Surah Al-Jum’ah :9.
Selanjutnya term perdagangan lainnya yang juga dipergunakan Al-Quran adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat Akan tetapi setelah diteliti, hanya 2 ayat saja yang berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya, yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 21 dan 22.
Sedangkan perdagangan dalam kamus wikipedia dapat didefinisikan sebagai kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya. Tukar menukar barang ini pada masa awal sebelum uang ditemukan, dinamakan barter. Pada masa modern perdagangan dilakukan dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan penjual.
II. Ayat-ayat dan Hadits tentang perdagangan :
Tentang perdagangan di dalam Al-quran dengan jelas disebutkan bahwa perdagangan atau perniagaan merupakan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk menghindarkan manusia dari jalan yang bathil dalam pertukaran sesuatu yang menjadi milik di antara sesama manusia. Seperti yang tercantum dalam Surat An-Nisa’ 29.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Ashbahani diriwayatkan sebagai berikut :
ان أطيب الكسب كسب التجار الذين اذا حدثوا لم يكذبوا واذا وعدوا لم يخلفوا
واذا ائتمنوا لم يخونوا واذا اشتروا لم يذموا واذا باعوا لم يمدحوا واذا كان
عليهم لم يمطلوا واذا كان لهم لم يعسروا
Artinya, Dari Mu’az bin Jabal, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit” (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani)
Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad saw juga mengatakan,
عليكم بالتجارة فإن فيها تسعة أعشار الر زق (رواه أحمد)
Artinya, Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).
Dalam melakukan perniagaan, Allah juga telah mengatur adab yang perlu dipatuhi dalam perdagangan, di mana apabila telah datang waktunya untuk beribadah, aktivitas perdangan perlu ditinggalkan untuk beribadah kepada Allah, seperti difirmankan Allah dalam surat Al-Jum’ah 11.
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki.
Dan dalam ayat lain seperti di surat An-Nur 37, dijelaskan bagaimana orang tidak lalai dalam mengingat Allah hanya karena perniagaan dan jual beli.
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
Demikain pula tata tertib dalam perdagangan juga telah digariskan di dalam Al-Quran, baik itu perdagangan yang bersifat tidak tunai dengan tata aturannya, maupun cara berdagang tunai, seperti yang tercantum dalam surat Al-Baqarah 282.
Adab tentang perniagaan dengan jelas pula diatur, bahwa manusia tidak boleh berlebihan dalam melakukan perdagangan sehingga melupakan kewajibannya terhadap Allah, seperti dijelaskan dalam Surat At-Taubah 24 berikut :
Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Dalam melakukan transaksi perdagangan Allah memerintahkan agar manusia melakukan dengan jujur dan Adil. Tata tertib perniagaan ini dijelaskan Allah seperti tercantum dalam Surat Hud 84-85. Demikian pula dalam Surat Al-An’am 152, yang mengatur tentang takaran dan timbangan dalam perniagaan.
Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya Aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat).”
Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
[519] maksudnya mengatakan yang Sebenarnya meskipun merugikan kerabat sendiri.
[520] maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya.
III Pengertian Jual Beli
Jual beli secara etimologis berarti pertukaran mutlak. Kata al-bai’ (jual) dan asy-syiraa’ (beli) penggunaannya disamakan antara keduanya, yang masing-masing mempunyai pengertian lafadz yang sama dan pengertian berbeda. Dalam syariat Islam, jual beli merupakan pertukaran semua harta (yang dimiliki dan dapat dimanfaatkan) dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya. Atau dengan pengertian lain memindahkan hak milik dengan hak milik orang lain berdasarkan persetujuan dan hitungan materi (Sayyid Sabiq, Jilid 4, 2006).
IV Hukum Jual Beli
Berdasarkan ijma’ ulama, jual beli dibolehkan dan telah dipraktekkan sejak masa Rasulullah. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Rasulullah bersabda, “Usaha yang paling utama (afdhal) adalah hasil usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan hasil dari jual beli yang mabrur”. Nabi saw bersabda: ”Kedua penjual dan pembeli itu ada masa memilih selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan saling memberikan keterangan dengan jelas, semoga jual belinya diberkahi. Namum jika keudanya dusta dan ada yang saling disembunyikan, hilanglah berkah jual beli keduanya.” (Muttafaq alaih dari hadits Hakim bin Hizam: Al-Bukhari dan Muslim).
V Rukun dan Syarat Jual Beli
Dalam Islam, hal yang berkaitan dengan muamalah jual beli harus memenuhi rukun dan syarat jual beli. Dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Takaful, dijelaksan rukun jual beli adalah sebagai berikut:
1. Penjual dan Pembeli
2. Aqad (Ijab dan Qabul)
3. Barang (Ma’kud Alaih/Subject Matter)
Sedangkan syarat-syarat bagi setiap rukun-rukun tersebut adalah penting dan mesti dipenuhi, karena jual beli dinyatakan syah apabila telah memenuhi syarat-syarat atas pelaku akad, barang yang akan diakadkan, atau tempat berakad, barang yang akan dipindahkan kepemilikannya dari salah satu pihak kepada pihak lain baik berupa harga atau barang yang ditentukan dengan nilai atau harga.
Adapun syarat-sayarat pelaku akad adalah berakal dan mempunyai kemampuan memilih. Jadi orang gila, orang mabuk, dan anak kecil tidak bisa dinyatakan sah. Bagi anak kecil yang sudah mampu membedakan yang benar dan yang salah maka akadnya sah, tapi tergantung izin walinya. Lebih lengkap berikut 3 hal persyaratan untuk kedua penjual dan pembeli yaitu :
1. Keduanya saling ridho, seperti yang disabdakan oleh Nabi saw berikut :
· Dari Abu Sa’id Al-Khudi bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR. Al Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
· Nabi saw bersabda : ” sesungguhnya jual beli itu karena keridhaan” (Diriwayatkan Ibnu Hibban, Ibnu Majah, dan selain keduanya).
2. Keduanya adalah orang yang sudah diperbolehkan mengambil sikap masing-masing.
3. Berhak dan memiliki barang yang dijual atau mewakili sang pemiliknya, Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw kepada Hakim bin Hizam : ” janganlah engkau menjual apa-apa yang bukan milikmu” (Diriwatkan Ibnu Majah, At-Tirmidzi, dan menyahihkannya).
Sedangkan syarat-syarat barang akad adalah sebagai berkut:
1. Suci, bukan barang yang mengandungi unsur-unsur najis dan dilarang Syara’ (halal dan baik).
Ini didasarkan atas hadits Rasulullah “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung-patung”. Mengambil manfaat dari lemak bangkai, bukan untuk diperjualbelikan hukumnya boleh. Contoh memberi minyak pada kulit, dijadikan bahan bakar penerangan. Ibnu Qayyim berpendapat atas hadits tersebut bahwa semua perbuatan tersebut adalah haram, dan menjualbelikannya, sekalipun si pembeli menggunakannya untuk kepentingan yang sama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa semua jenis barang najis berlaku ketentuan haram. Sedangkan Hanafi dan Zhahiri mengecualikan barang yang mempunyai manfaat dan halal untuk diperjualbelikan.
2. Bermanfaat
Transaksi jaul beli serangga, ular dan tikus tidak dibolehkan kecuali untuk sesuatu yang bermanfaat. Demikian dengan yang lainnya.
3. Milik orang yang melakukan akad atau yang diberi izin oleh pemilik (jika tanpa izin disebut bai’ al-fudhuli)
Akad fudhuli dianggap sebagai akad yang sah, akan tetapi keabsahan hukumnya tergantung izin pemilik sah atau wakilnya. Jika si pmiliknya membolehkannya maka sah akadnya, jika tidak maka batal akadnya.
4. Barang tersebut dapat diserahkan dalam majlis akad.
Sesuatu yang tidak dapat dapat diserahkan secara konkrit maka tidak sah hukumnya, seperti ikan dalam air, burung yang terbang,
5. Barang tersebut telah ditentukan jenis dan kuantitinya, barang dan nilainya diketahui (statusnya jelas)
Hal ini untuk menghindari penipuan. Syarat barang diketahui cukup dengan mengetahui keberadaan barang tersebut sekalipun tanpa mengetahui jumlahnya, seperti pada transaksi berdasarkan perkiraan atau taksiran. Untuk barang Zimmah (barang yang dihitung dan ditimbang), maka jumlah dan sifat-sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak. Demikian juga harganya harus diketahui, baik itu sifat, nilai pembayaran, jumlah maupun masanya.
Barang yang tidak ada di tempat akad boleh hukumnya jika diketahui dengan jelas klasifikasiya. Namun jika tidak sesuai dengan informasinya maka menjadi tidak syah, maka pihak yang melakukan akad boleh memilih untuk menerima atau menolak.
Transaksi atas barang yang sulit dan bahaya untuk melihatnya, dibolehkan jika tidak berada di tempat akad, dengan catatan kriteria barang tersebut diketahui menurut kebiasaan, seperti makanan kaleng, obat-obatan dalam tablet, tabung oksigen, buah buahan dalam tanah seperti wortel, bawang yang tidak mungkin dikeluarkan sekaligus karena menyulitkan.
Jika barangnya tidak diketahui dengan pasti, disebut jual beli Jazaf atau taksiran atau perkiraan. Walaupun jumlah barang bisa dikatakan tidak pasti shingga bisa terjadi kerugiaan, akan tetapi biasanya hal tersebut bisa ditolerir oleh kedua belah pihak (misal jual beli obat dengan taksiran).
6. Masa penyerahannya telah ditetapkan.
7. Tempat untuk diserahkan barang telah ditentukan.
Peryaratan ijab dan qabul. Ini adalah ketetapan syariat dalam mengungkapkan secara verbal yang menjadi estandar atas isi hati atau niatnya. Ijab adalah ungkapan awal yang diucapkan oleh salah satu dari dua pihak yang melakukan akad dan qabul adalah pihak kedua. Tidak ada perbedaan di antara keduanya dalam hal mengijab atau mengqabul. Dikecualikan untuk barang-barang yang kecil yang hanya cukup dengan mua’thaah (saling memberi) seusai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. Tidak diperlukan kata-kata khusus dan dalam jual beli diharuskan adanya kerelaan yang diujudkan dalam bentuk mengambil dan memberi, atau dengan cara lain yang dapat menunjukkan akan sikap ridha.
VI Hukum-hukum yang berkenaan dengan syarat jual beli :
Para fuqaha’ mendefinisikan syarat dalam jual beli adalah tindakan salah satu dari kedua pelaku transaksi mengharuskan yang lain disebabkan terjadinya transaksi yang mengandung manfaat untuknya dalam transaksi itu.
Syarat –syarat jual beli ada dua macam :
1. Syarat untuk kebaikan akad. Dengannya akad menjadi kuat. Kemaslahatannya kembali kepada yang menetapkan syarat itu. Hal itu berdasarkan hadits riwayat Jabir ” Nabi saw menjual unta jantannya dan menetakpan syarat beliau diangkut dengannya hingga ke Madinah” (Muttafaq alaih : Al-Bukhari dan muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa diperbolehkan menjual binatang tunggangan dengan syarat menumpang di atas punggungnya hingga tempat tertentu dan dapat diqiyaskan dengan hadits ini hal-hal yang lain.
2. Syarat-syarat yang merusak.
a. Syarat merusak yang membatalkan akad dari prinsipnya. Nabi saw melarang dua akad jual beli dalam satu barang. Seperti ” aku jual barang ini kepada engkau dengan syarat engkau menyewakan rumah kepadaku”. (Ditakhrij dari hadits Abu Hurairah At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).
b. Rusak pada syarat itu sendiri dan tidak membatalkan akad. Seperti penjual menetapkan syarat bahwa pembeli tidak boleh menjual barang dagangannya yang sudah dibeli tersebut. Tuntutan akad adalah kebebasan pembeli secara mutlak untuk bertindak terhadap barang yang sudah ia beli. Rasulullah saw bersabda ”Barang siapa menetapkan syarat yagn tidak ada dalam Kitabullah, syarat itu batal sekalipun seratus macam syara”t (Muttafaq alaih) dari hadits Aisyah : Al-Bukhari dan Muslim).
VII Hukum –hukum memilih (khiyar) dalam jual beli.
Diantara apa-apa yang disyari’atkan di dalam jual beli berupa pemberian kesempatan memilih kepada orang yang mengadakan akad agar lebih banyak mengetahui barang yang akan dibeli dan melihat kemaslahatan dari transaksi itu. Lebih detail khiyar memilih dijelaskan sebagai berikut:
1. Khiyar majelis, yakni tempat di mana berlangsung jual beli. Sabda Nabi saw : ”Jika dua orang terlibat dalam kegiatan jual beli, bagi keduanya berkesempatan memilih selama keduannya belum berpisah”. (Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Umar : Al-Bukhari dan Muslim).
2. Khiyar syarat, yaitu kedua penjual dan pembeli menetapkan syarat untuk khiyar memilih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw : ”kaum muslimin itu dengan syarat- syarat mereka”.
3. Khiyar alghabni, Jika terjadi penipuan dalam jual beli dengan penipuan yang keluar dari kebiasaan, yang merasa dirugikan di antara keduanya diberi hak khiyar antara tetap menahan barang yang dibeli atau mengembalikannya lagi. Hal ini berdasarkan sabda Rasullullah saw: ”tida ada bahaya dan tidak membahayakan”. (Ditakhrij oleh Abu Ya’la dari hadits paman Abu Hurrah Ar Raqsyi).
4. Khiyar At-tadlis, yakni khiyar yang ditetapka karena tindakan yang disebut tadlis yakni menunjukkan barang yang cacat seakan-akan bagus dan utuh. Nabi saw bersabda, ”janganlah kalian tidak memerah onta atau kambing, maka barangsiapa membelinya baginya dua pilihan setelah memerahnya. Jika mau ia tetap memiliki binatang itu, jika mau ia boleh mengembalikan binatang itu dengan satu sha ’korma kering”. (Muttafaq alaih dari hadits Abu Hurairah : Sl-Bukhari dan Muslim).
5. Khiyar Al-’aib, yakni khiyar yang menjadi tetap pada pihak pembeli disebabkan adanya aib/cacat pada barang yang ia beli yang tidak disampaikan oleh penjual atau tidak diketahui oleh penjual.
6. Khiyar at-takhbirb ats–tsaman, yaitu jika menjual barang dagangan dengan harga belinya, lalu ia menyampaikan besarnya harga itu, kemudian terlihat bahwa ia menyampaikan hal itu tidak sesuai dengan kenyataanya.
7. Hak khiyar yang ada karena adanya perselisihan antara pihak pembeli dengan pihak penjual dalam suatu hal.
8. Khiyar yang menjadi hak pemblei jika ia membeli sesuatu dengan dasar penglihatannya yang terdahulu. Ternyata setelah itu ia melihat sifatnya telah berubah.
VIII Badan Perantara (Samsarah)
Perantara adalah orang yang menjadi penghubung antara pihak penjual dan pembeli agar transaksi jual beli berjalan lancar. Dalam transaksi jual beli adanya badan perantara ini diperbolehkan. Iman Bukhari, Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Hasan melihat tidak ada masalah dengan adanya perantara ini. Menurut Abbas, ”tidak mengapa, seseorang berkata, ’jual baju ini, jika terjual lebih (dari harga yang diberikan) maka kelebihan itu menjadi hakmu.’” Ibnu Sirin berpendapat, ”Jika seseorang berkata ’jual barang ini dengan harga sekian, jika mendapat keuntungan maka untukmu atau harganya untukku dan kelebihannya untukmu’, hal itu dibolehkan, sebagai mana sabda Rasulullah, ”Transaksi orang muslim itu sesuai dengan syarat-syarat antara mereka” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Hakim dari Abu Hurairah).
IX Lelang (Muzayadah)
Dalam transaksi keuangan Islam, harga ditentukan atas dasar keinginan pembeli dan penjual. Dalam banyak hal, barang akan terjual kepada pembeli yang menawar dengan harga yang tertinggi. Dalam perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini, penjual akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
Lelang ada dalam Islam dan hukumnya boleh (mubah). Ibnu Abdil Barr berkata,”Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang yang menambah harga, demikianlah menurut kesepakatan ulama.” (innahu laa yahrumu al-bai’u mimman yaziidu ittifaaqan) (Subulus Salam, Juz III/23).
Dalil bolehnya lelang adalah as-Sunnah. Imam Bukhari telah membuat bab dengan judul Bab Bai’ Al-Muzaayadah dan di dalamnya terdapat hadits Anas bin Malik RA yang juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (Musnad, III/100 & 114), Abu Dawud, no. 1641; an-Nasa`i, VII/259, at-Tirmidzi, hadits no. 1218 (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/23; Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, ibid., hal. 111).
Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi SAW dan dia meminta sesuatu kepada Nabi SAW. Nabi SAW bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi SAW berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi SAW bertanya,”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi SAW bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi SAW menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi SAW memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikanya kepada lelaki Anshar tersebut. (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, ibid., hal. 111).
Hadits di atas adalah satu dalil di antara dalil-dalil yang membolehkan jual beli lelang (bai’ al-muzaayadah).
Sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,”Aku mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli lelang.” (sami’tu rasulallah SAW nahaa ‘an bai’ al-muzayadah). (HR Al-Bazzar). (Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, Juz II/191).
Namun pendapat itu lemah karena dalam isnad hadits ini terdapat perawi bernama Ibnu Lahi’ah yang dikategorikan sebagai seorang perawi yang lemah (dha`if) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/23; Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 1045).
X Jual Beli Khusus
1. Bay’ Taqsith
Bay’ Taqsith sama dengan Jual beli kredit atau disebut juga sebagai Al-Bay’ Bitsamanil Ajil atau Al-bay’ ila Ajal. Adapun definisinya adalah jual beli secara cicilan dalam jangka waktu tertentu di mana harga kredit lebih tinggi (bertambah) dari harga cash (naqd). Harga kredit 1 tahun berbeda dengan harga 2 tahun, dan seterusnya.
في البيع بالأجل أو بالتقسيط : أن السلعة اذا كان ثمنها حالا فانه ثمنه أرخص مما لو كان ثمنها أجلا أو مقسطا
Artinya : ”Dalam Jual Beli tangguh atau kredit bahwa suatu barang apabila dibeli secara kontan, harganya lebih murah dari pada jual beli secara tangguh/ kredit.”
Bai Taqsith sangat dibutuhkan masyarakat dan mendatangkan manfaat bagi pembeli & penjual. Konsumen bisa mendapatkan barang yang dibutuhkannya, meskipun ia tidak memiliki uang yang cukup untuk memilikinya secara kontan (bayaran penuh). Aplikasi bay’ taqsith mendatangkan kemudahan (taysir) bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena banyak orang tidak mampu menyerahkan harga secara menyeluruh (dengan spot). Tetapi dengan cicilan, ia bisa memanfaatkan dan memiliki barang yang dibutuhkan.
تدل هذه الأية على أن البيع المؤجل والزيادة فى الثمن فيه ابتداء لأجل التـأجيل حلال بحكم الشرع
فلو باع شخص سلعة بثمن مؤجل زائد عن ثمنها حالا لجاز ذالك
Ayat ini menunjukkan bahwa jual beli kredit dengan penambahan harga (karena cicilan) adalah halal menurut hukum syariah. Maka, jika seseorang menjual suatu barang dengan harga yang dibayar secara tangguh (cicilan) dimana harganya bertambah dari harga cash (sekarang), maka jual beli itu boleh.(Hlm. 84)
كما لو قال بعتكها بمائة حالة أو بمأئة و عشرين ألى سنة أو مقسطة فيجوز ذالك
Sebagaimana jika sesorang berkata,”Saya menjual barang ini kepadamu seharga 100 cash (saat ini dibayar) atau 120 cicilan setahun (secara kredit), maka hal itu boleh (Hlm. 84).
أما وجه الدلالة فهو نزوله ردا على من شابه بين البيع (المؤجل) بالربا بداعي حصول الزيادة فيهما لقاء الأجل فجواز الزيادة في البيع المؤجل هي سبب جادل به المشركون في أمر الربا و حرمته ذالك أنهم عدوا الزيا دة فى الربا كالزيادة في الثمن بالبيع المؤجل.
والأية نص في التفريق بينهما.والحكم بالحل على البيع وبالحرمة على الربا
Jalan Pemikiran Dalil (Wajah Dilalah) : Bahwa ayat ini turun menolak pandangan orang yang menyamakan jual beli (kredit) dengan riba karena keduanya sama-sama menghasilkan tambahan (return), sebagai kompensai penundaan masa (time). Kebolehan tambahan (return) dalam jual beli kredit adalah unsur yang diperdebatkan orang-orang musyrik dalam masalah riba dan keharamannya. Mereka menganggap tambahan dalam riba sama dengan tambahan (keuntungan) dalam jual beli kredit. Ayat itu menjelaskan perbedaan di antara kedua, jual beli hukumnya halal, riba hukumnya haram (Hlm. 84)
والقول بمساواة البيع للربا تأتي عند زاعمها من حيث أن كلا منهما يأتي بالربا لكن الاول ربح السلعة (العوض) والثاني الزيادة بلا عوض
Pendapat yang menyamakan jual beli dengan riba karena memandang tiap-tiap dari keduanya mendatangkan riba (tambahan). Padahal yang pertama (البيع) adalah keuntungan dari barang (iwadh) sedangkan yang kedua (الربا) adalah tambahan tanpa ‘iwadh (hlm. 84)
تدل هذه الأية على أن البيع المؤجل والزيادة فى الثمن فيه ابتداء لأجل التـأجيل حلال بحكم الشرع
فلو باع شخص سلعة بثمن مؤجل زائد عن ثمنها حالا لجاز ذالك
Ayat ini menunjukkan bahwa jual beli kredit di mana harga bertambah karena penundaan waktu adalah halal menurut hukum syara’. Maka jika seseorang menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga cash karena kredit, maka jual beli tersebut boleh.
يجوز البيع بثمن الأجل أو مقسط ولو جعل البائع مقابل الأجل زيادة فى الثمن وبهذا قال جماهير العلماء منهم الأئمة الأربعة وهو قول جماعة من السلف منهم عبدالله بن عباس و سعيد بن المسيب و طاوس بن كيسان والأوزاعى و عطاء وقتادة والزهري والثورى والنخعى والحكم ين عتيبة و حماد بن أبي سليمان وغيرهم
Boleh jual beli kredit, sekalipun penjual menjadikan tambahan harga, sebagai kompensasi penundaan waktu. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antaranya, Imam mazhab yang empat, juga pendapat jamaah ulama salaf, seperti Abdullah bin Abbas, Sa’id bin Musayyab, Thawus bin Kaisan, Al-Auza’iy, ‘Atha’, Qatadah, Imam Az-Zhuhry, Imam Ast-Taury, An-Nakha’iy, Hakam bin “Utaibah, Hammad bin Abi Sulaiman, dan lain lain.
Mengapa Jual beli kredit dibolehkan ?
في البيع بالتقسيط تيسير على الناس ولو كان بزيادة على الثمن لأن كثيرا من الناس لا يستطيع بدل الثمن كله مرة واحدة لشراء ما يحتاج اليه
Pada jual beli kredit terdapat kemudahan bagi manusia, sekalipun bertambah harganya, karena banyak orang yang tidak sanggup membayar harga semuanya sekaligus untuk membeli apa yang ia butuhkan.
وأما منفعته للمشتري فهي حصوله على السلعة التي يحتاجها وانتفاعه بها مع أنه لا يملك دفع ثمنها في الحال ولو أنه كلف بدفع ثمنها في الحال لما استطاع شراءها كل حياته
Adapun manfaatnya bagi pembeli ialah dia mendapatkan barang yang ia butuhkan dan memanfaatkannya, padahal ia tidak bisa menyerahkan harganya sekaligus saat itu. Jika ia dibebani untuk menyerahkan harganya semuanya secara cash, niscaya ia tidak sanggup membeli barang itu sepanjang hidupnya (hlm.78)
Ada Ulama yang melarang bay’ taqsith, yaitu Al-Jashshash dari mazhab Hanafi. Alasannya adalah Hadits dari Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda :
من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما او الربا
“Barang siapa yang melakukan jual beli dalam dua jual beli, maka hak penjual adalah harga yang paling rendah, atau (jika tidak), maka riba”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tarmizi. Menurut buku “Al-Muamalah al-Maliyah al-Mushirah fi Dhou-il fiqh wa al-Syariah” tulisan Rawwas Qal’ah Jay, bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dan status haditsnya dha’if (Halaman.79). Berikut ungkapannya:
ولا حجة لهم بهذا الحديث لأنه ضعيف قال في تحفة الأحوذي : ”تفرد محمد بن عمر بهذا اللفظ وقد روي هذا الحديث عن عدة من الصحابة من طرق ليس في واحد منها هذا اللفظ فا الظاهر ان هذة الرواية بهذاللفظ ليست صالحة للاحتجاج
Hadits ini tidak bisa menjadi hujjah (dalil) mereka, karena status haditsnya dha’if. Pengarang kitab hadits “Tuhfah al-Ahwazy” mengatakan, “ Redaksi (lapaz) hadits ini hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Umar sendirian. Sesungguhnya hadis ini diriwayatkan oleh banyak sahabat dari berbagai jalan, namun tidak seorangpun yang menyebutkan lapaz hadits seperti ini. Jelasnya, riwayat hadits dengan bunyi redaksi seperti ini tidak patut menjadi hujjah (dalil syariah). (Muhammad Rawwas Qal’ah, hlm.79-80). Makna Hadits: Seandainya hadits dhaif itu diakui sebagai dalil (sekalipun lemah), pengertiannya adalah sebagai berikut :
كأن يقول البائع : بعتك سلعتي هذه نقدا بمئة
و تقسيطا بمئة و عشرين . فيقول المشتري : اشتريت
ويتفرقان دون أن يتفقا على أي الصفقتين وقع البيع هل على الثمن الحال ام على الثمن التقسيط؟
Seperti seorang penjual berkata,” Saya jual barang saya ini secara cash 100 dan kredit 120”. Selanjutnya pembeli berkata, “Saya beli”. Mereka berdua berpisah di mana belum disepakati harga mana yang dipilih dalam dua alternatif jual beli tersebut, apakah jual beli secara cash atau kredit (Muhammad Rawwas, halaman 79). Penjelasan Muhammad Qal’ah tersebut sejalan dengan ucapan Ali bin Abi Thalib
من ساوم بثمنين احداهما عاجل والأخر نظرة
فليسم احداهما قبل صفقة
“Siapa saja yang menawar dengan dua harga, salah satunya kontan dan lainnya kredit, maka hendaknya dia memilih salah satunya. Sebelum berlangsung kesepakatan” (Buku Al-Siyasah al-Iqtishodiyah al-Mutsla, Abdur Rahman Al-Maliki)
Perbedaan harga cicilan dari harga kontan, bukan termasuk riba. Ia adalah keuntungan dalam jual beli barang sebagai kompensasi tertahannya hak penjual dalam jangka waktu tertentu.
Jika harga cash harus sama dengan harga kredit misalnya, sebuah rumah berharga Rp 300 juta cash dan harga kredit (10 tahun) juga Rp 300.juta,, maka hal itu tentu tidak logis, tidak rasional dan tidak adil. Tidak seorangpun penjual mau melakukan itu, karena hal itu merugikannya.
Jadi perbedaan harga cash dan kredit adalah suatu kebolehan dan konsumen pun mendapatkan kemudahan mendapatkan barang yang dibutuhkannya meskipun uangnya jauh dari cukup.
الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة
Kebutuhan terkadang menempatai posisi dharurah (kebutuhan primer) Jual Beli rumah/kenderaan secara kredit merupakan kebutuhan yang sangat penting (hajiyat), Maka ia dibenarkan dalam syariah. Jika seseorang membayar secara cash (naqd) saat itu, niscaya ia tidak akan pernah memiliki rumah sendiri seumur hidupnya. Sementara jika penjual diharapkan menjual rumah dengan harga yang“sama harga cash dan kredit”, niscaya penjual tidak mau
وأما منفعته للمشتري فهي حصوله على السلعة التي يحتاجها وانتفاعه بها مع أنه لا يملك دفع ثمنها في الحال ولو أنه كلف بدفع ثمنها في الحال لما استطاع شراءها كل حياته
Adapun manfaatnya bagi pembeli ialah dia mendapatkan barang yang ia butuhkan dan memanfaatkannya, padahal ia tidak bisa menyerahkan harganya sekaligus saat itu. Jika ia dibebani untuk menyerahkan harganya semuanya secara cash, niscaya ia tidak sanggup membeli barang itu sepanjang hidupnya (hlm.78)
2. Jual Beli Wafa’
Bai` Wafa` adalah suatu transaksi (akad) jual-beli dimana penjual mengatakan kepada pembeli ‘saya jual barang ini dengan cara saya berhutang kepadamu yang hutangnya engkau berikan padaku dengan kesepakatan (janji) jika saya telah melunasi hutang tersebut maka barang itu kembali jadi milikku lagi.’ (Al Jurjani Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab At Ta`rifaat, p. 69.)
Definisi Bay’ Wafa’ Menurut Kitab Fiqh Riba Dr.Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid, hlm 537.
أن يبيعه العين بألف مثلا على أنه اذا رد عليه الثمن رد عليه العين المبيعة
Seseorang menjual sebuah benda seharga 1000 dengan syarat jika penjual itu mengembalikan uangnya (harganya), maka pembeli tersebut mengembalikan benda yang dibelinya itu kepada penjual semula. Menurut Ibnul `Abidin, Bay` Al Wafa` adalah: Suatu akad dimana seorang yang membutuhkan uang menjual barang kepada seseorang yang memiliki uang cash. Barang yang dijual tersebut tidak dapat dipindah-pindah (real estate/property/‘iqar) dengan kesepakatan kapan ia dapat mengembalikan harga barang tersebut maka ia dapat meminta kembali barang itu. (Ibnul `Abidin, Raddul Muhtar, vol.iv/p.257)
Adapun definisi jual beli wafa’ menurut beberapa pendapat sebagai berikut :
Definisi menurut Fiqh Sunnah
seorang yang membutuhkan uang menjual real estate/real property (barang yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti; rumah) dengan kesepakatan jika ia dapat melunasi (mengembalikan) harga tersebut maka ia dapat mengambil (memiliki) kembali barang itu. ( Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunnah, vol.iii / p.166 )
Definisi Yakan Zuhdi
Bai` Wafa` adalah: Suatu akad jual beli yang mana pembeli berkomitmen setelah sempurna akad bai` untuk mengembalikan barang yang dibelinya kepada penjualnya sebagai ganti pengembalian harga barang tersebut. (Yakan Zuhdi, `Aqdul Bai`, p.131)
Definisi Majallah al-Ahkam al-’adliyah Turki Usmani
Bay’ al-wafa’ is a contract whereby the owner of an estate (house or land) sells it, with a condition that he will have it back once he returns its price to the buyer (See Articles 118 and 396-403 of Majallat al-Ahkam al-Adliyah).
Definisi Mustafa Ahmad Zarqa
Mustafa Ahmad Zarqa mendefinisilan, Bay wafa ialah. “:Dua jual beli yang dilakukan oleh dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba”.
Tenggang waktu pembelian kembali dapat terjadi 1 tahun atau 2 tahun.
Nama-nama Bay’ wafa
Pada awal perkembangannya di Syiria, bay’ wafa’ disebut juga bay itha’ah
Di Mesir dinamakan Bay al-Amanah
Ulama Syafiiyah menyebutnya bay ‘uhdah dan bay ma’ad
Ulama Hanabilah menyebutnya bay amanah
Hanfiyah menyebutnya selain bay wafa, juga bay jaiz (artinya jual beli dibolehkan karena bersih dari riba). Innu Abidin Radd al-Mukhtar, Jilid 4, hlm. 246.
Asset (obyek akad) bay’ wafa’
Asset yang dijual dalam bay’ wafa’ biasanya rumah (property), sawah, kebun (benda-benda ‘iqar = benda yang tidak bergerak). Misalnya, Ahmad membutuhkan uang untuk suatu keperluan, maka ia menjual kebun kurmanya seluas 10 hektar kepada seseorang dengan harga 500 dinar dalam waktu dua tahun. Keduanya sepakat, jika waktu sudah berakhir, maka Ahmad membeli kembali kebun kurmanya seharga penjualan semula, yaitu Rp 500 dinar. Oleh karena akad yang digunakan adalah akad jual beli, maka pembeli boleh memanfaatkan (menikmati) hasil kebun tersebut, sehingga kebun itu mendatangkan keuntungan baginya, Tetapi kebun tersebut tidak boleh dijual kepada orang lain.
Berdasarkan konsep jual beli wafa tersebut, jelas bahwa bay wafa ini berbeda dengan rahn (gadai), karena rahn adaah bentuk gadaian (jaminan hutang). Sementara barang yang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan murtahin (pemberi hutang/gadai), kecuali jaminan itu berupa hewan tunggangan. Jika pemberi hutang memanfaatkan barang tersebut, maka praktik itu tergolong riba, sesuai hadits Nab Saw. Setiap pinjaman di mana pemberi hutang menarik manfaat dari hutang tersebut, maka ia termasuk riba.
Dalam bay’ wafa, status asset yang dijual bukanlah borg (gadaian), karena bay’ wafa adalah bentuk jual beli, sehingga asset yang dibeli pembeli (buyer) menjadi miliknya, makanya pembeli dengan bebas dapat memanfaatkannya dan menikmati hasilnya. Cuman ia tidak boleh menjual asset itu kepada orang lain. Hal ini disebut bay’ maushufah biz zimmah, artinya, jual beli yang disifati dengan tanggungan menjual kembali kepada penjual semula, yakni pembeli berkewajiban menjual kembali asset itu kepada penjual semula.
Perbedaan Bay wafa’ dengan gadai (rahn).
No
Rahn
Bay’ wafa
1
Pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang dibeli
Pembeli sepenuhnya memiliki barang yang dibeli, tetapi mausufah biz zimmah
2
Barang gadaian tidak boleh dimanfaatkan penerima gadai, kecuali hewan kenderaan dan atau izin pemilik
Barang yang sudah dibeli bebas dimanfaatkan pembeli selama jangka waktu yang disepakati
3
Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang gadaian menjadi tanggung jawab pemilik barang
Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang menjadi tanggung jawab pembeli
4
Status asset tetap milik yang menggadaikan
Status asset menjadi milik pembeli selama jangka waktu yang disepakati
5
Jika barang gadaian rusak menjadi tanggung jawab murtahin (penerima gadaian), baik rusak kecil atau besar
Jika barang rusak sedikit, akad tetap berlangsung, kecuali rusak parah atau rusak total.
Persamaan Rahn dan Bay’ Wafa
No
Persamaan
1
Kedua belah pihak sama-sama tidak boleh memindah tangankan barang itu kepada pihak ketiga
2
Baik rahn maupun bay wafa, pihak I (penjual/penggadai) sama-sama mendapatkan uang dengan menyerahkan barang
3
Jika terjadi kerusakan barang, maka kerusakan itu ditanggung murtahin dan pembeli, kecuali yang rusak sedikit (sesuai ‘urf)
4
Ketika hutang (uang penjualan) dikembalikan kepada pembeli (pada saat jatuh tempo) maka pembeli wajib memberikan barang kepada penjual semula
Manfaat bay’ wafa’
Menghindarkan masyarakat dari pinjaman riba dan Sebagai sarana tolong menolong antara pemilik dana dengan orang yang memerlukan dana.
Sejarah Bay’ Wafa
Menurut Abu Zahroh, tokoh ulama Mesir kontemporer yang terkemuka, Bay’ wafa sebagai praktik muamalat muncul di Asia Tengah (Bukhara dan Balkhan) pada pertengahan abad kelima Hijriyah dan selanjutnya merambat ke Timur Tengah. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, bay’ wafa baru mendapatkan justifikasi para ulama Hanafi setelah bay wafa menjadi ‘urf dalam masyarakat Bukhara dan Balkhan, Jadi proses penerimaaannya dalam hukum syariah memakan waktu cukup lama .
Munculnya bay’ wafa’ disebabkan oleh para pemilik modal tidak mau lagi memberikan hutang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak mendapatkan imbalan apapun. Hal ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan uang cash. Kondisi ini mendesak mereka untuk menciptakan akad tersendiri, sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang-orang pemilik dana pun terealisasi. Jalan keluar yang mereka ciptakan adalah bay’ wafa’. (Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah,Mesir dar al-Fikti al-’Araby, hlm. 243)
Menurut Anas Zarqo, transaksi bay’ wafa dibutuhkan masyarakat, karena dengan jual beli ini, keperluan masyarakat yang membutuhkan uang terpenuhi, dan pada saat yang sama mereka terhindar dari riba. Ulama Hanafiyah membolehkan wafa’ ini didasarkan pada dalil istihsan ‘urfi, yakni istihsan karena praktik itu telah menjadi ‘urf dalam masyarakat serta jual beli ini memang dibutuhkan masyarakat (hajiyat). Oleh karena bay’ wafa telah menjadi urf dan diterima baik di tengah masyarakat, maka pemerintahan Turki Usmani melalui Majallah Ahkam al-Adliyah, pada tahun 1876 M, memamasukkan bay’ wafa dalam Kodifikasi Undang-Undang Turki tersebut.
Bay’ Wafa dalam Undang-Undang
Selanjutnya, Lebanon dalam Undang-undang Qonun Milkiyah Libanon melegalkan konsep Bay` Al Wafa` untuk memberi kesempatan bagi peminjam uang (penjual) mengambil keuntungan dengan cara benar dan memberi kesempatan bagi yang meminjamkan uang (selaku pembeli) untuk dapat memanfaatkan barang yang dibelinya serta memenuhi keinginan pembeli untuk memiliki assetnya kembali setelah beberapa saat masa sewa. (Yakan Zuhdi, `Aqdul Bai`, p.132). Konsep bay’ wafa selanjutnya merambah ke Mesir. Pada tahun 1948 Mesir menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU ini mengakui secara sah bay’ wafa’, yang dicantumkan pada pasal 430 Undang-Undang tersebut. Demikian pula dalam kitab Undang-Undang Perdata Syiria (Qanun Madany al-Sury), bay’ wafa’ dicantumkan pada pasal 433. (Mustafa Ahmad Zarqa. Syarah Qanun Al-Sury : Al-”Uqud al-Musammah, Damaskus Dar Kitab, 1968), hlm.23).
Hukum Bay’ wafa’ menurut Ulama
Hanafiyah membolehkannya dan beberapa negara telah mengakui/ memasukkannya dalam perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani dan Lebanon. Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak setuju dengan kebolehan bay’ wafa’.
Dasar atau dalil Syafiiyah dan Malikiyah ialah ada 2 :
1. Berpegang pada kaedah :
“Yang dipandang dalam akad-akad adalah maksud dan tujuan akad, bukan lapaz formal”.
2. Dalil Sadd al-Zari’ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba
Aplikasi Bay’ wafa/ bay istighlal di Bank Islam
Tahap 1. Pemilik menjual rumahnya kepada bank dengan harga tertentu
Tahap 2. Bank menyewakan/mengontrakkan rumah yang dibeli itu kepada pemilik tadi untuk jangka waktu tertentu.
Tahap 3. Setelah masa sewa/kontrak selesai, pemilik pertama akan membeli kembali rumahnya dari bank.
Celah Profitabilitas Bank Islam:
1. Tingkat sewa pada jangka waktu tertentu
2. Harga rumah yang lebih tinggi pada saat berakhirnya akad.
Dari bay’ wafa ke bay’ istighlal
1. Pada perkembangan selanjutnya bay’ wafa berkembang menjadi bay’ Istighlal
2. Bay’ istighlal ini hampir sama dengan Bay’ Wafa’, namun pada Bay Istighlal, benda yang dijual tersebut disewa kembali oleh penjual.
3. Bay’ Istighlal ini telah dicantumkan pada Kitab Undang-Undang Perdata Turki (Majallah al-Ahkam al-’adliyah, pasal 119.
Definisi Bay Istighlal
و هو أن تباع العين بيع الوفاء علي أن تستأجر البائع المبيع أي أن المشتري ينتفع من المبيع باجارته للبائع نفسه
Yaitu barang dijual secara bay’ wafa, selanjutnya penjual menyewa kembali barang tersebut. Artinya, pembeli mengambil manfaat dari barang tersebut dengan menyewakannya kepada penjual sendiri (Kitab Fiqh Riba, Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid, Beirut Muassah ar-Risalah, 2004, hlm 540). ”This transaction of sale and leaseback is similar to Bay’ al-wafa’ contract or bay’ al-istighlal which can be considered as a form of Bay’ al-wafa’ contract, allowed by some fuqaha’, but not by Majma’ al-Fiqh al-Islami in Jeddah in 1412AH (1992).
Rumusan Definisi Bay Istighlal Menurut Majallah al-Ahkam al-’Adliyah
Pasal 119
Jual beli istighlal ialah jual beli wafa’ dengan syarat bahwa si penjual menyewa kembali barang yang dijualnya dari pembeli.
Contoh : Si A menjual rumah kepada si B dengan harga 1 milyar rupiah, kemudian si A menyewa rumah itu kembali dengan harga Rp 80. Juta untuk jangka waktu satu tahun.
Sukuk dengan konsep Bay’ Istighlal
Berdasarkan rumusan konsep bay istighlal, maka sukuk (obligasi syariah) dapat menggunakan tersebut dalam penerbitan SBSN
Konsep sukuk ijarah yang dikembangkan saat ini tidak lain adalah Bay’ Istighlal, yaitu bay’ wafa’ yang disertai ijarah di dalamnya.
Sukuk Bay Istighlal
Obligasi dengan Bay Istighlal (tanpa SPV)
1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun mendatang
2. Sekarang asset menjadi milik Investor. Selanjutnya pemerintah menyewa (ijarah) asset itu kpd investor yang dibayar setiap 3 bulan
3. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tsb.
Para ahli ekonomi saat ini menyebut produk ini dengan Sukuk ijarah. Padahal menurut konsep fiqh muamalah namanya adalah Bay Istighlal.
Bay Istighlal (Obligasi Ijarah)
1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun mendatang
2. Dana Investor masuk ke pemerintah
3. Pemerintah sbg issuer (penerbit sukuk) menyerahkan sukuk kepada investor
4. Sekarang asset menjadi milik Investor secara syirkah, Dalam masa 10 tahun, pemerintah menyewa (ijarah) asset tersebut kepada investor yang dibayar setiap 3 bulan sekali.
5. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tersebut.
Bay wafa dalam Majallah al-Ahkam al-’adliyah
Pasal 116 :
Dalam hal suatu jual beli yang tergantung pada hak penebusan kembali, maka penjual bisa mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan meminta kembali barangnya. Sama halnya pembeli bisa mengembalikan barang tersebut dan meinta uangnya kembali seharga barang itu. (jika telah jatuh tempo)
Berdasarkan definisi tersebut, harga pembelian kembali oleh penjual harus sama dengan harga penjualan pertama. Jika terjadi kelebihan, maka jual beli tersebut tergolong jual beli al’’inah yang dilarang dalam Islam.
Pasal 397
Suatu barang julan yang tergantung pada hak penebusan, maka barang itu tidak boleh dijual kepada orang lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli
Pasal 398
Apabila disyaratkan dalam jual beli wafa’, bahwa sebagian keuntungan dari barang yang terjual diperuntukkan bagi pembeli, maka persyaratan tersebut adalah sah.
Contoh : Kedua pihak sepakat bahwa hasil kebun sawit dibagi (sesuai nisbah yang disepakati) antara penjual dan pembeli, maka akad itu sah dilaksanakan
Pasal 399
Jika nilai barang yang dijual sama dengan jumlah hutang dan kemudian barang tersebut rusak ketika berada di tangan pembeli, maka hutang yang dibuat menjadi lunas.
Contoh harga rumah yang dijual sebesar Rp 300.000.000,-. Dan harga ini sesuai dengan nilai riil rumah tersebut, (harga pasar). Kemudian rumah tersebut rusak di tangan pembeli, maka si pembeli tidak perlu menebus barangnya. Dengan kata lain jika uang sebesar Rp 300 juta disebut sebagai hutang, maka hutang tersebut menjadi lunas
Pasal 400
Jika nilai barang yang dijual secara bay wafa tersebut lebih kecil dari hutang dan kemudian rusak (hancur) ketika berada di tangan npembeli, maka hutang menjadi hapus senilai barang tersebut. (Pembeli bisa menuntut sejumlah uang kekurangannya dari penjual).
Pasal 401
Jika nilai barang yang dijual lebih besar dari hutang dan hancur di tangan pembeli, maka sejumlah uang yang setara dengan besarnya hutang diambil dari nilai barang. Jika pembeli telah membuat kesalahan, maka ia harus mengganti kerugian sesuai dengan kesalahannya. Jika ia tidak melakukan kesalahan dan barang itu telah hancur, maka pembeli tidak diwajibkan mengganti kerugian.
Pasal 402
· Jika salah seorang dari kedua pihak meninggal dunia, maka hak pembatalannya dialihkan kepada ahli waris dengan cara pewarisan. Berdasarkan rumusan definisi dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada bay wafa’ terlihat bahwa bay wafa’ ini merupakan gabungan (kombinasi) antara jual beli dan rahn. Bay wafa berbentuk rahn, karena pihak pertama memiliki hak penebusan barangnya dan pihak kedua tidak boleh menjualnya kepada pihak lain. Disebut jual beli, karena akadnya berbentuk jual beli dan barang yang dijual dapat dimanfaatkan dan hasilnya dapat dinikmati penjual selaku pihak kedua.
· Oleh karena bay wafa merupakan jual beli, maka ketika tiba masa jatuh tempo (misalnya setelah1 tahun), pembeli (pihak II) menjual kembali barang tersebut kepada penjual selaku pihak I. Jadi, dalam kasus ini terjadi dua kali jual beli. Jual belinya disebut Bay maushufah biz-zimmah (jual beli yang disifati dengan tanggung jawab (kewajiban) menjual kembali kepada pihak I (penjual).
Apakah bay’ wafa’ tergolong Gharar ?
Dari perspektif studi akad, kelihatannya pada bay wafa terdapat dua bentuk akad, yakni jual beli dan gadai. Lalu apakah bay wafa ini tergolong gharar karena akadnya tidak jelas, apakah jual beli atau rahn ? Praktik ini dibolehkan berdasarkan ‘urf dan istihsan.
Akadnya bukan jual beli murni dan juga bukan rahn murni, tetapi kombinasi keduanya. Bay wafa’ bukan gharar, tetapi sebuah kontrak baru yang hak/kewajiban para pihak cukup jelas. Demikian pula status asset yang dijadikan obyek dalam kontrak ini sangat jelas. Analogikan kepada Sewa-beli pada leasing?
Jika cara berpikir kita atau ulama masa lampau (berijtihad) dalam kasus ini, sempit, dan mencocok-cocokkan saja konsep “baru” ini dengan jual beli atau rahn atau akad-akad yang lain, maka jual beli bisa mengandung gharar, karena tidak jelas apakah akadnya jual beli atau rahn. Cara berijtihad seperti itu jelas tidak tepat, karena akad-akad bentuk baru selalu muncul dalam masyarakat. Jadi akad tersebut tidak harus sama dengan jual beli murni atau rahn murni atau juga ijarah murni.
Kasus munculnya akad bentuk baru saat ini antara lain adalah sewa-beli (lease and purchase) dalam lembaga leasing. Adiwarman Karim dalam buku Bank Islam, memandangnya gharar dan haram, karena akadnya tidak jelas apakah sewa atau jual beli dan proses kepemilikan menjadi kabur. Ijtihad seperti itu dikarenakan metodenya mencocok-cocokkan suatu akad baru dengan akad-akad fiqh klasik. Ketika di dalamnya terdapat ketidakjelasan apakah jual beli atau sewa, maka lantas divonis gharar.
Dalam ijtihad di bidang muamalah diperlukan ilmu falsafah tasyri’ fil muamalah dan ushul fiqh yang komprehensif. Padahal akad sewa beli (bay al-takjiri) tersebut adalah bentuk akad baru, sebagai kombinasi ijarah dan jual beli.
Mengenai proses kepemilikan dan hak-hak yang melekat pada kontrak itu disesuaikan dengan penjanjian para pihak. Misalnya jika terjadi kerusakan asset, dapat disepakati, ditanggung oleh nasabah. Status kepemilikan asset dapat juga disepakati dalam klausul akad. Bahwa asset tersebut tetap menjadi milik perusahaan leasing, sepanjang masa pembayaran sewa belum lunas. Jika cicilan sewa telah lunas, maka otomatis asset tersebut menjadi milik nasabah, tanpa membuat akad baru, tetapi cukup dibunyikan pada akad pertama. Redaksinya bisa berbunyi, jika cicilan sewa telah lunas dalam jangka waktu tertentu, maka asset tersebut menjadi milik nasabah dengan beli.
Kalau metode ijtihad seperti itu yang dilaksanakan, maka para ahli ekonomi islam, akan kesulitan menemukan nama akad konsinyasi saat ini, apakah wakalah, wadiah atau jual beli. Ketika tidak ada yang tepat, lalu dikatakan gharar. Metode seperti ini jelas sangat tidak tepat. Jadi akadnya tidak murni jual beli atau wakalah atau wadi’ah. Tetapi bisa gabungan antara berbagai akad. Jika disebut jual beli tidak tepat sepenuhnya, karena barang bisa tidak jadi dibeli pedagang. Disebut titipan, ternyata barang tersebut ditip untuk dijual. Disebutkan wakalah untuk menjual, ternyata kadang-kadang wakalah untuk menjual tidak terlaksana. Jadi nama akadnya ya konsinyasi, sebuah bentuk baru akad dalam kegiatan perdagangan. Demikian juga akad waralaba (franchising) yang banyak diterapkan saat ini.
3. Bay’ Muzayadah
Ba’i Muzayadah atau Lelang didasarkan pada hadits berikut :
عن أنس ر ض قال باع النبي ص م حلسا و قدحا قال من يشتري هذ الحلس و القدح فقال رجل أخذتهما بدرهم فقال النبي من يزيد فأعطا ه رجل درهمين فباعهما منه (رواه الترمذي)
Dari Anas ra, ia berkata, Rasulullah Saw menjual sebuah pelana. Dan sebuah mangkok air dengan berkata, “Siapa yang mau membeli Pelana dan mangkok ini’?. Seseorang menyahut, “Aku bersedia membelinya seharga satu dirham, Lalu Nabi berkata lagi. Siapa yang berani menambahi? Maka seorang laki-laki lain bersedia membeli dua dirham, maka Nabi mnjual kedua bejana itu kepadanya (H.R.Tarmizi).
Berdasarkan hadits tersebut, maka jual beli lelang dibolehkan dalam Islam asalkan dilaksanakan dengan transparan, baik lelang terbuka maupun tertutup
Lelang tertutup, harga dituliskan di kertas atau dalam amplop di mana harga tersebut tidak diketahui calon pembeli lainnya
4. Bay’ al-’Urbun
Jual Beli ‘Arabun atau Uang Muka/Persekot عربن atau عربان bisa dibaca 4 macam:
Fathah ‘ain dan ra, = ‘arabun (ini paling fasih)
Dhammah ain dan sukun ra = ‘urbun
Dhammah ‘ain, sukun ra, fathah ba = ‘urban
Fathah ‘ain, ra dan ba = ‘araban
Bai’ Arabun ialah : Seseorang membeli sesuatu dengan membayar harga panjar/persekot/’arabun kepada penjual. Jika calon pembeli mengurungkannya, maka persekot hangus dan menjadi hibah kepada penjual. Jika jual beli diteruskan, maka harga persekot merupakan bagian dari harga beli.
Perbedaan Ulama
Para ulama ahli fiqh berselisih pendapat dalam menghukumi jual beli urban. Mereka yang melarang adalah madzhab Hanafi, Maliki,Syafi’i, Syiah Zaidiyah, Abu al khitab dari madzhab Hambali, dan juga diriwayatkan tentang pelarangan urbun dari Ibnu Abbas serta Hasan. Adapun mereka yang membolehkan adalah Imam Ahmad yang telah diriwayatkan akan pembolehannya dari Umar serta anaknya, sebagian golongan tabi’in di antaranya adalah Mujahid,Ibn Sirin, Nafi’Ibn Abdul Harist,serta Zaid Ibn Aslam.
Menurut Ahmad bin Hanbal, “Jual beli ini dibolehkan”. Dalilnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dari Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah saw ditanya tentang ‘arabun di dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya”
Dalil Hadits lainnya :
Bahwa Zaid bin Aslam membelikan Umar ra rumah tahanan dari Sofyan bin Ummayyah dengan persekot 400 dirham, sedangkan harga rumah tahanan itu 4000 dirham. Jika nanti Umar ridha, maka jual beli diteruskan (dan harga disempurnakan). Apabila tidak ridha maka bagi Sofyan 400 dirham tersebut. Hadits ini diakui Imam Ahmad statusnya dha’if.
Menurut Jumhur selain Hanabilah, jual beli ini dilarang dan hukumnya tidak sah, karena bisa merugikan para pihak dan sifatnya spekulatif serta mengandung uncertainty (gharar) ; jual beli bisa jadi, bisa tidak. Dalilnya hadits Nabi Saw:
نهى رسول الله صلعم بيع العربان (ألامام مالك عن عمر بن شعيب)
“Rasul saw melarang jual beli ‘arabun” .(HR.Imam Malik dari ‘Amar bin Syu’aib, Subulus Salam, Juz III, hlm.17).
Keterangan kualitas hadits
Hadits larangan tersebut statusnya munqathi’, di dalamnya ada seorang perawi tidak bernama. Di dalam satu riwayat memang ada disebutkan namanya tetapi statusnya dha’if, karena rawinya banyak dinilai negatif oleh banyak orang (Wahbah Az-Zuhaily dan Subulus Salam).
Ini jual beli yang di dalamnya ada khiyar bagi pembeli. Ia bisa meneruskan atau menggagalkan jual beli. Sebagian ulama Hanafiyah mewajibkan batasan waktu menunggu bagi penjual.
Jika jual beli gagal, maka persekot menjadi hak calon penjual sebagai kompensasi dari masa menunggu, karena ia telah kehilangan kesempatan untuk menjual barang itu kepada orang lain, jika ada orang yang mau membeli.
Ibn Rusyd mengatakan: “…. segala transaksi gharar adalah dilarang dan juga Rasulullah Saw. telah melarang jual beli urban”, (Bidayatul Mujtahid)
Ibnu Rusydi menambahkan: “Bentuk-bentuk gharar dilarang karena dapat membatalkan sahnya akad. Gharar ini dapat dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama: dari segi akad, kedua: Dua harga pada satu akad (shafqah fi safqatain). Ketiga adalah dimensi waktu yang menyertai akad dan harga.
Adapun gharar dalam akad adalah seperti larangan Nabi Saw. atas jual beli dua harga dan jual beli urban. Unsur gharar dalam urban karena tidak jelas apakah jual beli terjadi atau tidak.
Unsur Gharar dalam Jual beli urbun adalah Pandangan Ibnu Rusydi
Dalam kitab bidayatu al mujtahid dikatakan, bahwasanya jumhur telah melarang jual beli urban dikarenakan adanya unsur gharar dan risiko serta memakan harta tanpa adanya’iwadh (pengganti) yang sepadan dalam pandangan syariah. Unsur gharar dalam jual beli urban cukup jelas, yaitu karena masing-masing pihak-baik penjual ataupun pembeli-tidak mengetahui apakah trasaksi jual beli (yang telah disepakati) dapat berlangsung secara sempurna atau tidak.
Kesimpulan tentang Jual beli ‘Arabun
Jual beli ‘Arabun dibolehkan asalkan masanya dibatasi dengan jelas. Besar persekot sesuai dengan adat kebiasaan (‘urf). Prinsipnya tidak ada yang terzalimi dan didasarkan ‘an taradhin. Hadits yang melarang ‘arabun ternyata dha’if. Ada praktek ‘arabun di masa Rasul Saw yang dilegitimasi langsung oleh Nabi Muhammad Saw
Pada kasus jual beli ‘urbun sesungguhnya belum terjadi jual beli secara sempurna. Pembeli hanya baru membayar uang muka (persekot/DP). Padanya tidak terdapat gharar karena penjanjiannya sangat jelas. Jika pada waktu tertentu calon pembeli tidak jadi melunasi pembayaran jual beli, maka jual beli gagal dilaksanakan, bukan jual beli dibatalkan, karena dengan persekot jual beli belum terjadi secara sempurna. Sebaliknya, jika calon pembeli jadi membeli barang tersebut dan dilakukan pembayaran, barulah terjadi jual beli secara sempurna, di mana harga persekot menjadi bagian dari harga barang.
Dalil ‘Uruf (praktek arabun telah menjadi kebiasaan), dan dibutuhkan masyarakat, maka ia dibenarkan, sesuai dengan kaedah :
الثابت بالعرف كالثابت بالشرع
Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan Sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (syari’ah) Selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah
5. Bay’ Mu’athah
Jual Beli Mu’athah
Yakni jual beli tanpa ada ucapan ijab dan qabul secara lisan
Jual beli mu’atah ini sering terjadi di Mal, swalayan atau super market
Jual beli ini dibolehkan berdasarkan dalil istihsan dan urf. (Al-istihsan al-’urf)
6. Bay’ Fudhuli
Bay’ Fudhuli adalah jika seorang menjual sesuatu tanpa ada izin dari yang punya barang. Menurut Syafi’iyah jual beli tidak sah, sedangkan Menurut Hanafiyah Jual beli ini hukumnya sah jika pemilik barang mengizinkan pasca transaski. Jika tidak,maka tidak.(Wa illa, Fa la).
7. Talaqqi Rukban
Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa ”Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di pasar” (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari). Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang. Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’ bab An-Nahyu ‘an Talaqqy ar-Rukban, No hadits 2162 hlm 38.
Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak, dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang.
8. Penimbun Dilaknat
Rasulullah s.a.w. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras dalam sabdanya, “Barangsiapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya.” (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar) Dan sabdanya pula:
“Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat dosa.” (Riwayat Muslim)
Perkataan khathiun (orang yang berbuat dosa) bukan kata yang ringan. Perkataan ini yang dibawakan oleh al-Quran untuk mensifati orang-orang yang sombong dan angkuh, seperti Fir’aun, Haaman dan konco-konconya. Al-Quran itu mengatakan:
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haaman dan bala tenteranya, adalah orang-orang yang berbuat salah/dosa.” (al-Qashash:8)
Rasulullah s.a.w. menegaskan tentang kepribadian dan ananiyah orang yang suka menimbun itu sebagai berikut:
“Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira.” (hadis ini dibawakan oleh Razin dalam Jami’nya)
Dan sabdanya pula: “Saudagar itu diberi rezeki, sedang yang menimbun dilaknat.” (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim)
XI Prinsip-prinsip perdagangan yang diajarkan Alquran ialah :
Pertama : Setiap perdagangan harus didasari sikap saling ridhadi antara dua pihak, sehingga para pihak tidak merasa dirugikan atau dizalimi.
Kedua : Penegakan prinsip keadilan,baik dalam takaran, timbangan, ukuran mata uang (kurs), dan pembagian keuntungan,
Ketiga : Prinsip larangan riba (interest free)
Keempat: Kasih sayang, tolong menolong dan persaudaraan universal
Kelima: Dalam kegiatan perdagangan tidak melakukan investasi pada usaha yang diharamkan seperti usaha-usaha yang merusak mental misalnya narkoba dan pornograpi. Demikian pula komoditas perdagangan haruslah produk yang halal dan thayyib baik barang maupun jasa.
Keenam: Perdagangan harus terhindar dari praktek spekulasi, gharar, tadlis dan maysir
Ketujuh: Perdagangan tidak boleh melalaikan diri dari beribadah (shalat dan zakat) dan mengingat Allah.
Kedelapan: Dalam kegiatan perdagangan baikhutang-piutang maupun bukan,hendaklah dilakukan pencatatan yang baik (akuntansi).
XII Hukum – hukum yang berkenaan dengan sikap terhadap barang dagangan sebelum transaksi dan pembatalan
Ketahuilah bahwa tidak boleh mengambil sikap tertentu terhadap barang dagangan sebelum memilikinya jika barang-barang itu yang biasa ditakar atau ditimbang atau dihitung atau diukur panjangnya dengan hasta menurut kesepakatan para imam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw :” barangsiapa menjual makanan, ia tidak menjualnya hingga menakarnya”. (Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Umar : Al-Bukhari).
Diantara perkara-perkara yang diperintahkan dan dihimbaukan oleh Rasulullah saw adalah supaya salah satu dari kedua orang yang terlibat dalam transaksi untuk memberikan kebebasan kepada pihak yang lain untuk membatalkan jual beli jika merasa menyesal dengan akad itu atau tidak membutuhkan lagi barang dagangan itu atau merasa keberatan dengan harganya. Nabi saw bersabda, ” barangsiapa yang meberi kesempatan untuk membatalkan akad jual beli, maka allah akan membangkitkannya ketika tergelincir di hari kiamat” (ditakhrij Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah).

DAFTAR PUSTAKA
1. Mustafa Edwin Nasution, Jangan Pinggirkan Studi Ekonomi Syariah, Republika online, Senin, 07 Nopember 2005.
2. Tulisan dan Slide Materi Bp. Agustianto
3. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
4. Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007
5. Securities Commission, Malaysian ICM, Quarterly Bulletin of Malysian Islamic Capital Market, March 2007, http://makkah.wordpress.com/2007/11/24/understanding-the-principle-of-bay-muzayadah-in-business/
9. Bahan-bahan lainnya.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post