Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas
dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan
dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah
tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula
yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga
mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari
orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan,
tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa
mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan
seseorang ke dalam neraka.
A. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah
dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah
Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang
berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang.(1)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang
akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai
dengan padanannya.(2)
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang
menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di
kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi
pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
B. HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam.
Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat
pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang
piutang ialah sebagaimana berikut ini:
:IDalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ
اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ
لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:
245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari
Abu pernah meminjam seekor unta kepada
seorang lelaki.rRafi’, bahwa Nabi Aku
datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu
Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada
beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta
ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang
paling baik dalam mengembalikan hutang.” (3)
juga bersabda:rNabi
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ
مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ
كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali,
maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. . Hadits ini
di-hasan-kantIbnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi
Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang
disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
C. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG:
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa
hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah pernah berhutang.(4)rsesuatu yang dicela atau
dibenci, karena Nabi Namun meskipun
demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal
mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan
ekonomi. Karena hutang, menurut , merupakan penyebab kesedihan di malam hari
dan kehinaan dirRasulullah siang hari.
Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila
berhutang, makarRasulullah dia sering
berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yangrRasulullah diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak
meninggalkan harta untuk
bersabda:rmembayarnya. Rasulullah
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ
الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali
hutangnya.” ).t(HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash
, bahwa Beliau bersabda:rDiriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah,
dari Rasulullah
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ
وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ
دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ
وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas
dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari
khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412,
dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
bersabda:r, bahwa Rasulullah tDari Abu Hurairah
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
»
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR.
Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan
oleh syaikh Al-Albani).
bersabda:r bahwa Rasulullah tDari Ibnu Umar
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ
أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ
لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ
دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu
Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya;
karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah
II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ
سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم-
أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ
لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى
سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ
أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ
إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ
لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « نَعَمْ
إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ
غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ». قَالَ
أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى
سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى
خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم-
« نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ
غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ
جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ
»
, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri ditDari Abu Qatadah tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau
mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah
amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya,
“Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah
dosa-dosaku kepadanya “Ya, jikarakan
terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah
engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala,
maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang,
karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR.
Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34
no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no:
1197).
D. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHOLIH?
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni
kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti
penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah
dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada
maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau
keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
E. BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke
surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah
ini:
[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
:IDalilnya firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا
يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا
يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ
كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ
لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ
لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا
فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا وَلا
تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا
أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ
أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ
لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً
تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا
يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ
وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini
merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka
bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga
jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di
sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (5)
[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan
atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا
فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini
terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan
manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para
ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan
syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan
dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya
bukan mencari kompensasi atau keuntungan.(6) Dengan dasar itu, berarti pinjaman
berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini
jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga
bisa terkena .Iancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah
diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah
tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “saya beri
anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau
dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku
sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah
atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang
menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat
dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang
mengambil tambahan.(7)
[3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى
الله عنه – قَالَ كَانَ
لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى
الله عليه وسلم – سِنٌّ
مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه
وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ
يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا
فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ،
وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ
قَضَاءً »
, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepadatDari Abu Hurairah seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia
tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan
kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi
mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun)
berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya r
membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Idengan lebih. Semoga Allah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul
Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ
– صلى الله عليه وسلم
– وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ
لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
di masjid,r ia berkata: “Aku mendatangi Nabi tDari Jabir bin
Abdullah sedangkan beliau mempunyai
hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari,
II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat
pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah
pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat
tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.
[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat
zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak
diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى
الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ
– صلى الله عليه وسلم
– قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ
النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى
اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ
أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ
اللَّهُ »
bersabda: “Barangsiapa yangr, ia berkata bahwa Nabi tDari Abu
Hurairah mengambil harta orang lain
(berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya
akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapaI(mengembalikannya), maka Allah mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak
melunasinya, pent), maka akan membinasakannya”.IAllah (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala
an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang,
karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang
yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun
memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad
pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai
dengan niat yang baik, maka melelahkanI
membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah IAllah badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung
dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal
itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi
dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat
menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga
harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah
dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin
penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.
[6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain
berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau
sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan,
laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau
menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau
penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
[7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau
peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh
memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu
miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang :rmenghutanginya.
Dasarnya adalah sabda Nabi
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud
no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata:
“Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil
bunga yang diharamkan.
[8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah
orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan
memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih
sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa
pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى
الله عليه وسلم- قَالَ
« عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ
حَتَّى تُؤَدِّىَ »
bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga
dia menunaikannya”.r, Nabi tDari Samurah
(HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan
selainnya.)
[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan
atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk
memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dantDari Jabir bin
Abdullah dia meninggalkan banyak anak
dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi
jumlah hutangnya, akan tetapi mereka
meminta syafaat (bantuan) kepadarenggan. Akupun mendatangi Nabi berkata, “Pisahkan kormamurmereka. (Namun)
merekapun tidak mau. Beliau sesuai
dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan
Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) pun datang lalu duduk dan menimbang
setiaprakupun melakukannya. Beliau
mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh.
(HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)
[11]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera
mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu.
Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka
ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى
الله عنه – أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ
ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ
أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ
»
bersabda: “Memperlambatr, bahwa Rasulullah tDari Abu Hurairah pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang
kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang
yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan
tersebut)”. .)t(HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya
V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah
[12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan
dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
berfirman:IAllah
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ
فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
bersabda:rDiriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia
berkata, Rasulullah
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ
اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ
مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ
»
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari
kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang
yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu
Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)
قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ
فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ
الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ
هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ
مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ
انْظُرْ . قَالَ مَا أَعْلَمُ
شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ
أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ
، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ
، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ
الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu
datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya
(oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?” Laki-laki itu
menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali
apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui
sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka
berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi
kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang
memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka
Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Bukhari III/1272
no.3266)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang
piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang
lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.
Pesan Malaikat Jibril yang Mulai Terlupakan
Di Kufah, Abu Hanifah memiliki seorang tetangga tukang sepatu.
Sepanjang hari bekerja, menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia
membawa oleh-oleh berupa daging untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk
dibakar. Selesai makan, ia minum-minum seraya bernyanyi-nyanyi dan berhenti
jauh malam setelah ia merasa mengantuk sekali, kemudian tertidur pulas.
Abu Hanifah yang telah terbiasa melaksanakan shalat sepanjang malam,
tentu saja merasa terganggu oleh suara nyanyian tukang sepatu tersebut. Namun,
ia diam saja. Pada suatu malam, Abu
Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya.
Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya, ternyata menurut keterangan tetangga
lain, ia baru saja ditangkap polisi dan ditahan.
Seusai shalat subuh, Abu Hanifah naik bighalnya menuju istana. Ia
hendak menemui Amir Kufah. Kedatangan Abu Hanifah disambut dengan penuh khidmat
dan hormat. Sang Amir sendiri yang berkenan menemuinya.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanya sang Amir.
“Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia
dari tahanan Amir,” jawab Abu Hanifah.
“Baiklah,” kata sang Amir yang
segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan tetangga Abu Hanifah
yang baru ditangkap kemarin petang.
Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya secara perlahan. Sementara,
si tukang sepatu berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu
Hanifah turun dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata, “Bagaimana?
Aku tidak mengecewakanmu kan?”
“Tidak, bahkan sebaliknya,” jawab si tukang sepatu.
“Terima kasih. Semoga Allah memberimu balasan kebajikan,” lanjut si
tukang sepatu
Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah
dapat merasa lebih khusyu’ dalam ibadahnya setiap malam.
Tembok Pembatas
Di era globalisasi, kini merupakan sebuah hal biasa ketika setiap kita
terlihat sibuk dalam kesehariannya, bahkan terdapat sebuah ungkapan “pulang dan
pergi seharian sehingga tak mampu
melihat matahari terbit dan tenggelam”.
Tingginya tingkat egoisme, individualisme dan hedonisme mengakibatkan
terciptanya “tembok pembatas” dalam bermasyarakat. Adakalanya “tembok pembatas”
dalam bermasyarakat timbul dikarenakan kurangnya intensitas bersosialisasi
dalam bermasyarakat.
Padatnya aktifitas dan besarnya peranan kita dalam sebuah institusi
ataupun organisasi, tak jarang menjadikan sedikitnya waktu untuk bersosialisasi
dalam bermasyarakat. Dalam hal ini, Rasulullah saw telah mengingatkan umatnya
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw menjadikan
akhlak kepada tetangga sebagai acuan penilaian kebaikan seseorang. ”Sebaik-baik
kawan di sisi Allah adalah yang paling baik (budi pekertinya) terhadap
kawannya, sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada tetangganya.”
Dan Allahpun berfiman dalam QS. An Nisa’:36, “Berbuat baiklah kepada
kedua orang, ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membangga-banggakan
diri”.
Letak Sebuah Kebermanfaatan
“Khairun naasi anfa’uhum linnaas”,
sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi
orang lain. Manusia bukan sekedar makhluk indvidu, melainkan manusia adalah
makhluk social, yang mana segala yang ada dalam dirinya berpotensi membawa pengaruh terhadap
lingkungan disekitarnya. Menjadi manusia bermanfaat disini tidaklah sekedar
bermanfaat bagi institusinya, golongannya ataupun organisasinya, melainkan
meliputi seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat pada umumnya.
“Menjadi ada adalah karunia, sebab kita tak dapat mengadakan diri kita
sendiri. Tapi menjadi ada saja tidaklah cukup, kita ada karena diperintahkan
untuk memiliki makna,” kata Ustadz Ahmad
Zairofi.
Bagaimana kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat jika enggan untuk
bersosialisasi dalam bermasyarakat?
Sebagaimana kisah Abu Hanifah yang tetap menebarkan kebaikan terhadap
tetangganya dengan membantunya mendapatkan ampunan dari sang amir hingga
menjadikan si tukang sepatu tersadar dan tidak mengulangi kebiasaan buruknya.
Sebagaimana pula kisah khalifah umar yang begitu memperhatikan kondisi masyarakat
disekitarnya, hingga rela menggendong karung gandum seorang diri guna membantu
kekurangan tetangga disekitarnya.
Islam memerintahkan umatnya untuk bertetangga secara baik. Bahkan,
Rasulullah saw pernah mengira tetangga termasuk dalam ahli waris, dikarenakan
seringnya Jibril mewasiatkan agar bertetangga dengan baik. Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jibril selalu mewasiatkan kepadaku
tentang tetangga sampai aku menyangka bahwa ia akan mewarisinya” (HR
Bukhari-Muslim). Namun, ternyata waris atau warisan yang dimaksud Jibril adalah
agar umat Islam selalu menjaga hubungan baik dengan sesama tetangga.
Bertetangga dengan baik itu, termasuk menyebarkan salam ketika bertemu,
menyapa, menanyakan kabarnya, menebar senyum, dan mengirimkan hadiah. Sabda
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak
sayur maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu” (HR Muslim)
Dan dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh bukhari,
terdapat seorang wanita bersusah payah melaksanakan shalat wajib, bangun malam,
menahan haus dan lapar, serta mengorbankan harta untuk berinfak, namun menjadi
mubazir lantaran buruk dalam bertutur sapa dengan tetangganya. Rasulullah
bersumpah terhadap orang yang berperilaku demikian, tiga kali, dengan
sumpahnya, ”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah
tidak beriman…!”
Sahabat bertanya, ”Siapa, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, ”Orang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari
keburukan perilakunya”
***
“Ya Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau
tidak mengampuni kami, niscaya kami termasuk orang-orang yg merugi” (QS.Al
A’raf : 23)
Oleh : Meylina Hidayanti, Sragen
Guru IPS Terpadu SMPIT Az Zahra Sragen
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab hidup dengan penuh
kesederhanaan. Warga Mekkah dimuliakan dengan keberadaan Baitullah yang telah
dimuliakan oleh bangsa-bangsa Arab sejak jamannya Nabi Ibrahim as dan Nabi
Isma’il as. Orang-orang dari berbagai penjuru jazirah Arab setiap tahunnya
datang berziarah ke tempat yang dimuliakan itu.
Ramai dikunjungi orang, Mekkah pun berubah menjadi sebuah pusat
perdagangan. Keberadaan mata air Zamzam memastikan siklus hidup di kota itu
bisa berjalan dengan lancar.
Akan tetapi, meski Mekkah menjadi tempat yang penting dalam jalur
perdagangan internasional, ia tetaplah hanya sebuah kota di tengah lautan pasir
yang seolah tak berujung. Tanpa Baitullah dan Sumur Zamzam, ia tidak menarik
perhatian siapa pun.
Jangan bandingkan dengan Indonesia yang hijau dan kekayaan buminya
melimpah, sehingga Belanda terpikat dan bernafsu sekali untuk menjajah. Jazirah
Arab secara umum tidaklah subur. Tidak ada sumber daya alam melimpah yang
menarik hati negara-negara adikuasa (minyak bumi baru menjadi komoditi penting
setelah revolusi industri di Eropa).
Abrahah dan Pasukan Gajahnya yang terkenal itu memang pernah melakukan
serangan terbuka ke Mekkah, terutama ke Ka’bah. Akan tetapi, motifnya bukan
ekonomi, melainkan ‘harga diri’. Abrahah adalah penguasa di Yaman yang telah
membangun sebuah rumah ibadah besar di Shan’a. Proyek raksasa itu ia prakarsai
karena dengki melihat masyarakat Arab yang perhatiannya begitu penuh tertumpah
pada Baitullah. Oleh karena itu, ia pun bertekad untuk menghancurkan Ka’bah,
sehinga orang-orang Arab mau beribadah di negerinya itu. Bangsa Romawi dan
Persia, dua kerajaan yang adidaya pada masa itu, tidak pernah tertarik untuk
menandingi popularitas Ka’bah, dan karenanya, keduanya juga tidak tertarik
untuk menginvasi Mekkah dan Arab secara umum.
Mungkin karena tidak ada ‘tantangan’ dari luar, maka masyarakat Arab
pun tak merasa perlu untuk membangun pemerintahnya sendiri. Tidak ada
koordinasi yang mengikat kecuali perjanjian-perjanjian temporal antarkabilah.
Secara umum, masing-masing kabilah saling bersaing untuk mendominasi, bahkan
tidak jarang saling memerangi. Jika di sekitar Baitullah mereka senantiasa
menahan diri, maka tidak demikian halnya di luar kota Mekkah. Di sana, mereka
bebas untuk saling berperang dan menghabisi satu sama lainnya. Tidak ada yang
menyatukan mereka, bahkan mereka tak merasa perlu untuk bersatu.
Dengan pola kehidupan sederhana yang hanya berkutat di antara bertani,
beternak, mengurus keperluan rumah tangga dan berdagang, masyarakat Arab pun
tidak akrab dengan kemampuan baca-tulis. Tidak banyak orang yang memiliki
keterampilan ini, meskipun mereka yang bisa baca-tulis senantiasa dianggap
terhormat di lingkungannya. Hanya saja, penggunaannya memang sangat terbatas.
Kebanyakan hanya digunakan untuk keperluan membaca dan menulis syair-syair atau
cerita-cerita kepahlawanan. Sedikit sekali yang menggunakannya untuk keperluan
administrasi dan dokumentasi.
Karakter lainnya yang menonjol dari masyarakat Arab pada era Jahiliyah
ini adalah rendah diri yang sudah terlanjur kronis. Mereka mengaku sebagai
pewaris risalah Nabi Isma’il as, namun kelurusan ‘aqidah tauhid tersebut tidak
disertai dengan kepercayaan diri. Di Mekkah, ‘Amr ibn Luhayy memulai tradisi
penyembahan berhala. Dalam sebuah perjalanannya ke Syam, ia melihat para
penduduk Syam menyembah berhala, kemudian menganggapnya sebagai hal yang baik.
Ia lalu membawa berhala ke kampung halamannya, dan tidak lama kemudian warga
Mekkah lainnya mengikuti. Akhirnya semua kabilah punya berhala, setiap rumah
punya berhala, dan Ka’bah dikelilingi oleh ratusan berhala, sedangkan
berhala-berhala yang besar diletakkan di dalamnya. Tidak ada sebab lain yang
mendasari tindakan peniruan semacam ini kecuali perasaan rendah diri. Tidak
jauh beda dengan kebiasaan merokok.
Di Yatsrib, masyarakat Arab hidup bersama-sama kaum Yahudi. Meskipun
kaum Yahudi ini minoritas, namun mereka sangat dominan, karena merekalah yang
menjadi ‘juragan-juragan’ perekonomian di kota itu. Selain karena masalah
ekonomi, orang-orang Arab juga merasa rendah diri karena alasan agama. Pada
saat itu, kaum Yahudi seringkali membangga-banggakan agamanya, karena mereka
memiliki Kitab Suci Taurat, dan terutama sekali karena mereka mengklaim bahwa
Tuhan akan menurunkan seorang pemimpin besar – seorang Nabi Akhir Jaman – untuk
memimpin mereka, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Taurat. Tentu beda dengan
masyarakat Arab yang tidak punya Kitab Suci sebagai pegangan, dan tidak
menemukan keterangan-keterangan tentang Nabi Akhir Jaman sebagaimana yang
didapatkan oleh para Ahli Kitab di dalam Kitab-kitab Sucinya. Ketika Rasulullah
saw diutus, beliau pernah membai’at sekelompok warga Yatsrib yang berkunjung ke
Mekkah. Mereka mengetahui kenabian beliau berdasarkan ciri-ciri yang sudah
dijelaskan oleh kaum Yahudi di kampung halamannya. Pada kenyataannya, justru
kaum Yahudilah yang kebanyakan tidak merespon dakwah beliau, hanya karena
sentiment rasis yang tidak mau mengakui kepempimpinan dari selain Bani Israil.
Tanpa tantangan, tanpa persatuan, tanpa aturan baku, tanpa
pemerintahan, tanpa kemampuan baca-tulis, tanpa tradisi administrasi dan
dokumentasi, tanpa pemahaman yang baik akan warisan ajaran para Nabi, dan tanpa
harga diri. Maka tenggelamlah masyarakat Arab dalam kejahilan. Mereka
berkomat-kamit di depan berhala agar permohonannya terkabul, datang ke ahli
nujum untuk mengetahui masa depan, mengundi nasib dengan anak panah,
mengkhususkan berbagai jenis makanan dan minuman untuk sesaji dan seterusnya.
Perempuan dianggap sebagai komoditas, pernikahan diperlakukan bagai
‘transaksi’, seorang suami menyuruh istrinya untuk datang kepada lelaki lain
yang lebih terhormat agar digauli sehingga bisa mendapatkan keturunan yang
baik, seorang perempuan menikahi banyak lelaki, seorang lelaki menikahi
perempuan-perempuan dalam jumlah tak terbatas, dan tentu saja, pelacuran
merajalela. Khamr? Jangan ditanya!
Di tengah-tengah kaum yang jahil ini, datanglah Sang Nabi Akhir Jaman
yang telah dijanjikan di dalam Taurat dan Injil itu. Pendeta Bahira dapat
mengenalinya dengan mudah, sedangkan orang-orang Yahudi mengenalinya bagaikan
mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Masyarakat Arab mengenalnya sebagai Sang
al-Amin; orang yang bisa dipercaya dalam segala urusan.
Nabi Muhammad saw memang ‘ummiy (tak bisa baca tulis), namun beliau
pula yang telah mencanangkan ‘gerakan hapus buta huruf’ di tengah-tengah
masyarakat Arab. Sahabat-sahabat kepercayaannya seperti Abu Bakar ra adalah
tokoh-tokoh yang dikenal mampu membaca dan menulis. Beliau menugaskan
sahabat-sahabat lainnya menjadi sekretaris-sekretaris pribadinya, hingga
sejarah mencatat jumlah sekretaris pribadinya itu mencapai lima puluh orang lebih.
Masing-masing sekretaris memiliki tugasnya yang spesifik. Ada yang bertugas
mencatat ayat-ayat al-Qur’an yang baru diturunkan, ada yang mencatat pembagian
harta ghanimah (rampasan perang), ada yang mencatat pembagian zakat, ada yang
menulis surat-surat diplomasi, dan sebagainya. Baca-tulis menjadi kemampuan
dasar, sementara tradisi administrasi dan dokumentasi mulai dikembangkan.
Rasulullah saw tidak hanya menyeru manusia agar shalat, shaum, zakat
dan berhaji. Lebih dari itu, beliau pun mengajarkan cara hidup yang cerdas.
Makan dan minum sesuai kadarnya, tidur sesuai kebutuhannya, berolahraga sesuai
keperluannya, dan berumah tangga sebagaimana mestinya. Bukan hanya mengajarkan
perbuatan-perbuatan baik, beliau pun menyuruh manusia agar meninggalkan perbuatan
yang sia-sia. Nabi saw tidak suka melihat pemuda yang hanya bisa nongkrong di
pasar-pasar, mengobrol tanpa tujuan, atau menghabiskan hari dengan
bersantai-santai. Beliau memerintahkan manusia untuk berdiri dan duduk dalam
keadaan mengingat Allah dan memikirkan ciptaan-Nya, hingga akhirnya semua
pemikiran bermuara pada ucapan: “Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilan,
subhaanaka, faqinaa ‘adzaaban-naar…” (Ya Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan
semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab
neraka).
Lahirlah masyarakat Muslim yang haus akan ilmu dan memeras akalnya
untuk mencari sebanyak-banyaknya manfaat dari segala hal yang ada di sekitarnya
(karena tak ada sesuatu pun yang sia-sia), sedangkan setiap ilmu yang bertambah
membuat imannya semakin tebal dan semakin takut akan siksa neraka. Maka
dimulailah era intelektual baru dalam sejarah bangsa-bangsa Arab.
Hal yang paling sulit dari banjir informasi di abad informasi, adalah
menyaringnya…
Kemampuan yang paling hebat, dan juga paling mengerikan dari para
filsuf, sastrawan, dan penulis amatiran (seperti saya), adalah merangkai
kata-kata. Kemampuan persuasi, yang bisa membuat hal-hal yang sebenarnya
koplak, terlihat bijak. Suatu hal-hal yang jelas salah pun, akan bisa terlihat
luar biasa benar, luar biasa masuk akal, lengkap dengan argumen yang indah dan
berbunga-bunga, yang kedengarannya muncul dari seorang bijak berjanggut yang
sedang bersemedi di bawah pohon, lengkap dengan kicauan burung di latar
belakang.
Kata-kata bijak berikut ini, saat pertama anda membacanya, anda
mungkin akan manggut-manggut setuju, hati anda tersentuh, bahkan mata anda akan
berkaca-kaca sambil menghela napas panjang sambil membatin: ‘iya juga yaa..’
Benarkah itu bijak? Yuk kita kritisi..
“Kita tidak perlu
menghakimi keburukan orang lain. Biarlah itu urusan dia dengan Tuhannya. Hanya
Tuhan yang tahu mana yang paling benar. Hanya Tuhan lah yang berhak menghakimi,
di akhirat kelak..”
Wow, wow, wow, tunggu dulu.. Jika saja hanya Tuhan yang berhak
menghakimi, mari kita bubarkan semua lembaga peradilan, karena manusia tidak
berhak menghakimi bukan? Mau orang korupsi, mencuri, menjadi gay dan lesbian,
menghina agama, bahkan membunuh orang lain, biarkan saja. Toh kita tidak berhak
menghakimi orang lain kan? Hanya Tuhan yang berhak. Jadi jika ada polisi yang coba mendenda kita
karena buang sampah atau merokok sembarangan di Singapura, tampar saja si sok
tahu itu, dan katakan: “hanya Tuhan yang berhak menghakimi saya!!” Jika kita
hanya membiarkan Tuhan yang mengadili semua keburukan-keburukan manusia di
dunia, kita tidak perlu hukum lagi, dan mari kita kembali ke zaman batu (bahkan
manusia zaman batu pun punya peraturan). Atau kita ikuti saja kata-kata teman
saya: “Lemah teles, Gusti Alloh seng mbales..”
“Kenapa kita ribut-ribut
masalah yang sepele sih? Pornografi diributin, penulis buku yang mempromosikan
lesbi dihalangin.. Lady Gaga diributin.. Mendingan urusin tuh koruptor, mereka
yang lebih berbahaya bagi bangsa kita ini..”
Weks.. Ini sih sama saja dengan: “Ngapain kita tangkap orang yang
nyolong sandal, tuh yang maling motor aja dikejar..”. Lha perbuatan buruk,
besar atau kecil, tetap harus dihalangi. Jika orang tersebut menentang
pornografi, bukan berarti dia diam saja terhadap koruptor kan? Bukankah lebih
baik kita menjaga dari keduanya. Katakan: say no to pornografi dan korupsi!
Dua-duanya, menurut saya, cepat atau lambat, akan menghancurkan negara ini.
bahkan masyarakat barat sendiri pun cukup resah dengan pornografi, koq malah
kita mendukungnya?
“Tuhan itu maha kuasa, maha
agung, maha besar. Jadi ga perlu dibela. Jika kalian membentuk gerakan untuk
membela agama, itu sama saja dengan kalian melecehkan kekuasaan dan kekuatan
Tuhan. Tuhan ga perlu dibela..”
Weleh, tunggu sebentar. Organisasi-organisasi agama yang dibentuk
selama ini, dari agama manapun, didirikan untuk membela Tuhan, atau untuk
kepentingan para pemeluk agama? Organisasi tersebut dibentuk untuk mengurusi,
menyuarakan, dan mengakomodasi kepentingan para penganutnya. Jika organisasi
tersebut bertujuan melindungi kepentingan para anggotanya, kenapa dituduh
sedang berusaha membela Tuhan? Saya koq tidak ingat ada organisasi agama yang
visi dan misi organisasinya adalah: “untuk membela Tuhan di muka bumi..”
“Kenapa sih anti banget
dengan seks bebas? Anti banget dengan rok mini? Padahal diam-diam toh suka
nonton film porno, doyan seks juga, suka melototin paha juga.. Dasar otaknya
aja yang kotor.. Bersihin tuh otaknya, jangan urusin pakaian orang lain.. Kalau
otaknya bersih dan imannya kuat, mau ada yang telanjang di depannya juga ga
akan tergoda.. Gak usah munafik dan sok suci deh..”
Lhaaa… Sebentar… Kelompok yang anti seks bebas bukan berarti mereka ga
doyan seks ya.. Yang menjadi penentu adalah bagaimana cara kami menyalurkan
hasrat kami.. Kami tentu saja suka seks, menikmati seks, tapi dengan pasangan
kami, dengan cara yang bertanggung jawab.. Seks merupakan rahmat Tuhan, tapi
nikmatilah secara bertanggung jawab.. Jika kami memang maniak seks yang suka
meniduri semua makhluk yang berkaki dua, tentu saja kami dengan senang hati
mendukung seks bebas.. Itu berarti kami makin bebas meniduri berbagai macam
wanita tanpa harus pusing mikirin pampers dan susu, karena, dengan menyebarnya
paham seks bebas, makin banyak wanita yang bersedia kami manfaatkan (dan kami
tiduri), kemudian kami tinggalkan setelah puas..
Otak kami yang kotor? Ayolah, jika saja para lelaki diciptakan tanpa
nafsu, maka sudah lama manusia punah.. Sudah kodratnya laki-laki akan tergerak
nafsunya jika melihat paha wanita.. Jika ada lelaki yang dengan gagah berani
bilang tidak tergerak nafsunya saat melihat paha wanita cantik, itu hanya omong
kosong agar semakin banyak wanita yang memamerkan pahanya dengan senang hati..
Rok mini, memang diciptakan untuk memancing perhatian (dan nafsu) para lelaki..
Jika kami memang berfikiran kotor dan tak bisa menahan iman, tentu kami akan
turun ke jalan untuk mendukung semua wanita memakai rok mini.. Makin banyak
wanita yang bisa memuaskan nafsu kotor kami.. Jadi, siapakah yang berfikiran
kotor dan tidak bisa menahan iman? Para lelaki yang menentang rok mini, atau
pendukungnya? Para penentang seks bebas, atau pendukungnya?
Propaganda, seringkali seperti pelacur, menggunakan riasan tebal dan
indah untuk menutupi kebusukan di baliknya..
Saya pernah tinggal di kos-kosan di Yogya, yang anak-anaknya terdiri
dari berbagai macam aliran: agnostik, atheis, kejawen, liberal, penyembah
keris, bahkan ada begitu bingung, sehingga akhirnya mengaku sebagai komunis
relijius…
Dengan beragamnya fikiran yang pernah kami perdebatkan, diiringi
menyeruput kopi dan menghisap rokok, fikiran saya dijejali dengan berbagai
macam aliran lengkap dengan argumen yang luar biasa indah.. Mungkin itu yang
membuat saya jadi terlatih mengasah logika, sambil garuk-garuk kepala, dan
selalu mencoba melihat jauh ke balik kata-kata nan indah itu.. Nih, kata-kata
bijak yang lagi trend saat ini:
“Lady Gaga koq diributin..
Apa bedanya dengan yang sudah ada di Indonesia? Penyanyi Indonesia juga banyak
tuh yang seronok. Tuh penyanyi dangdut seronok masuk sampai ke kampung-kampung,
ditonton anak-anak. Jika mau adil, yang seperti itu juga dilarang dong..”
Lha para pendukung kebebasan itu memangnya selama ini mendukung
pelarangan pornografi sampai ke kampung-kampung? Dulu saat Inul banyak yang
menentang, kaum liberalis juga menggunakan dalil yang sama: ‘yang lain juga
dilarang doong’. Protes soal chef Sarah Quin (betul ga ya namanya?), juga ditentang
dengan alasan: ‘dia ga sengaja tampil seronok koq’. Jika tempat-tempat maksiat
digerebek, katanya menghalangi orang cari nafkah. Jika penyanyi dangdut seronok
itu diprotes masyarakat sekitar, dijawab: urus dosa masing-masing, kalau ga
suka ya ga usah nonton.. Bahkan di saat semua itu berusaha dikurangi dengan UU
Anti Pornografi dan Pornoaksi, banyak yang menjerit-jerit: “jangan memasung
kebebasan berekspresi!” Intinya kan sebenarnya: “Jangan larang kami melakukan
pornografi dan pornoaksi, di tingkat manapun! Mau kami menari bugil sambil
mutar-mutarin baju di atas kepala di genteng rumah kami, yo jangan protes!”
Jadi, kenapa membanding-bandingkan Lady Gaga ama Keyboard Mak Lampir? (julukan
para pedangdut seronok di daerah kami..). Toh dua-duanya sebenarnya kalian
dukung, atas nama kebebasan berekspresi? Kami, malah sedang berusaha menentang
dua-duanya..
“Kita hidup dlm masyarakat
yg sangat plural, sehingga setiap individu hendaknya bebas memilih &
menjalankan apapun prinsip hidupnya (termasuk mendukung Irshad Manji atau Lady
Gaga), lalu semuanya saling menghormati dlm segala perbedaan pilihan tsb”
Hmm.. Bijak dalam teori, kacau balau dalam praktek. Jika saja semua
individu bebas menjalankan prinsip hidupnya, maka kita ga perlu nunggu suku
Maya meramalkan akhir dunia. Bisa dibayangkan, jika banyak orang yang mendukung
Sumanto, lalu menjalankan prinsip hidupnya sebagai kanibal, maka ayam goreng
Kentucky ga bakal laris lagi, dan banyak orang yang nenteng-nenteng pisau
daging dan botol merica di jalanan.. Atau, jika banyak orang yang mendukung
Amrozi, kemudian menjalankan prinsip hidupnya sebagai pelaku bom bunuh diri,
maka terminal bus way yang paling sesak pun akan bubar dalam 5 detik (termasuk
penjaga tiketnya) begitu ada lelaki menyandang ransel datang mendekat..
Ya, ya saya tahu.. Argumen saya di atas pasti akan berusaha
dimentahkan dengan argumen: “yang penting kan ga merugikan kalian” dalam bentuk
kata-kata bijak nan koplak berikut:
“Apa salahnya dengan
pornografi? Atau lesbi? Atau perbuatan-perbuatan maksiat lainnya? Toh ga
merugikan anda. Jika anda tidak suka, ya ga usah ditonton, ga usah
diikuti. Jika takut anak anda
terpengaruh, ya perkuat pendidikan iman anak-anak anda. Kalau iman sudah kuat,
mau 1000 Lady Gaga datang ke Indonesia, iman kita (dan anak-anak kita) tidak
akan terpengaruh..”
Hellooo.. Kita memang makhluk individu, tapi kita juga makhluk sosial.
Setiap tindakan kita, sekecil apapun, akan berpengaruh terhadap lingkungan
kita. Contoh gampangnya, kenapa kita protes sama tetangga kita yang buang
sampah ke kali? “Toh sampahnya sampah dia sendiri (ya mana mungkin dia dengan
ikhlas buangin sampahnya ente), kalinya bukan milik mbahmu, lantas kenapa ente
yang sewot?” Lha memangnya kalo banjir, banjirnya muter-muter dulu cari siapa
bajingan yang membuang sampah, lalu terus menyerbu menggenangi rumah tetangga
anda saja sampai setinggi kepala?
Ok kita tidak suka perbuatan-perbuatan maksiat, dan kita berhasil
menghindarinya. Lalu kita juga menanamkan iman yang kuat ke anak-anak kita, dan
juga berhasil. Dan kita teriak ke luar sana: “Maree seneee Lady Gaga, Freddy
Mercury, Jhon Kei dan Mak Lampir jadi satu!! Iman saya dan keluarga saya dah
kuat koq!” Tapi sekian tahun ke depan, tiba-tiba ada anak tetangga kita yang
kecanduan pornografi, lalu tidak tahan, dan akhirnya memperkosa anak perempuan
kita.. Atau ada orang yang mabuk karena alkohol dan narkoba, lalu menabrak
seluruh keluarga kita yang sedang jalan-jalan di trotoar.. Atau anak perempuan
kita hilang, diculik sindikat yang menjualnya ke prostitusi.. Atau anak lelaki
anda disodomi keluarga jauh anda.. Atau seorang pecandu merampok dan membunuh
anda karena butuh uang untuk beli sabu.. Sama seperti banjir, ekses negatif
dari perbuatan maksiat, tidak akan pernah pilih-pilih siapa korbannya, baik
anda berbuat maksiat atau tidak..
Benar, bahwa kita tidak salah 100%, tapi, sebenarnya, kita tetap punya
andil dalam hal itu. Kita sukses memperkuat iman keluarga kita, tapi kita abai
dengan lingkungan kita. Itulah kenapa dalam Islam ada seruan: “amar makruf,
nahi munkar”. Menyeru kepada kebajikan, mencegah kemungkaran. Jika kita
mengabaikan kemunkaran di lingkungan kita, dengan prinsip: “urus dosa
masing-masing”, yakinlah, cepat atau lambat, kita akan memetik hasilnya…
Masih enggan untuk amar makruf nahi munkar?
“Beri saya 10 media massa, maka saya akan merubah dunia..”
Saat ini, sungguh naif jika kita percaya media mainstream akan
memberikan opini yang netral dan berimbang terhadap semua hal. Mereka akan
memberikan opini yang sesuai dengan kepentingan sang pemilik (gimana kalo
pemiliknya adalah Ryan Jagal?). Sungguh sangat berbahaya jika kita menganggap
semua yang diberitakan media adalah berita yang 100% benar, tanpa berusaha
mengkritisi dan mencari berita dari sudut pandang lain sebagai penyeimbang.
Yuk, kita kritisi kata-kata bijak penutup ini.
“Menonton atau membaca
pornografi, kekerasan, atau apapun tidak akan mempengaruhi saya. Toh semua
manusia dibekali filter untuk menyaring, dan otak untuk berfikir. Jadi mau saya
baca atau tonton ribuan kali pun , tidak akan merubah pendirian saya.. Satu
kali nonton konser lady Gaga tidak akan membuat yg nonton jd pemuja setan dan
lesbian kan?”
Hohohoho.. Yuk kita bandingkan keadaan sekarang dan keadaan 20 tahun
yang lalu, tahun 80-90an. Zaman dulu, seks bebas di Indonesia masih sangat
sedikit jumlahnya. Untuk kaum remaja saat itu, bergandengan tangan di depan
umum saja, sudah menimbulkan ledekan yang membuat sang pelaku ingin menceburkan
diri ke selokan terdekat. Lihat anak-anak sekarang? Mungkin anda sendiri yang
dengan sukarela akan menceburkan diri ke selokan terdekat saat melihat gaya
mereka berpacaran. Bahkan sekarang mereka dengan senang hati menyebarkan
prilaku mereka dalam bentuk video yang jumlahnya mulai menyaingi produksi film
porno Amerika dalam setahun.. Kenapa bisa bergeser? Apa anda kira para orang
tua dan guru lah yang menanamkan dogma: “Anakku, kamu harus rajin-rajin seks
bebas yaa, biar dapat rangking.. Yuk kita memasyarakatkan seks bebas dan
menseks bebaskan masyarakat..”?
Jadi, siapa yang mengajari mereka? Jawabannya sederhana: media massa.
Selama berpuluh-puluh tahun mereka menggempur otak bawah sadar kita dengan
berbagai film, buku, berita, cerita, sinetron, dan lain-lain yang secara sangat
halus menyiratkan: “Seks bebas itu hal yang biasa aja cooy.. Anak gaul, malu
dong jika masih perawan di usia 18. Tuh, banyak artis idola kamu yang
melakukannya.” Memang benar 1000 kali membaca, atau 1x nonton Lady Gaga belum
tentu merubah kita.. Tapi, pesan-pesan itu ditanamkan selama berpuluh-puluh
tahun, dalam bentuk jutaan pesan per tahun, dari berbagai arah, terhadap anda
dan keluarga anda. Yakin anda dan keluarga anda tidak terpengaruh sedikitpun?
Siapa yang paling mudah bobol? Tentu saja anak anda. Anda kira, kenapa
iklan McDonald dan rokok mengarah kepada anak-anak dan remaja? Karena merekalah
berada dalam fase yang labil dan paling mudah dipengaruhi, dibandingkan orang
tuanya. Saat mereka menjadi dewasa dan lebih bijaksana, rokok, junkfood dan
seks bebas itu sudah menjadi kebiasaan mereka, candu mereka, sehingga mereka
akan sangat sulit meninggalkannya, walau akhirnya paham kerusakan macam apa
yang ada dibaliknya.
“Tetap ngga ngaruh maaas, iman gue kan KW1″ Mungkin. Tapi, sedikit
banyak, anda akan terpengaruh. Anda akan menjadi permisif: “Biar ajalah orang
lain melakukannya, yang penting aku tidak.. Toh banyak yang melakukan, dan itu
bukan urusanku”. Itulah yang menjadi target selanjutnya: menanggalkan kontrol
sosial anda.. Jika laju ‘cuci otak’ ini terus berlanjut, sepuluh tahun ke
depan, jangan heran jika akhirnya kitalah yang mengekspor video porno ke
Amerika dan masyarakat Amerika lah yang nonton konser Iwak Peyek Tour 2022.
“Jangan melihat siapa yang
mengatakan dong. Kalau mau mengkritisi, kritisi gagasannya, kata-katanya,
fikirannya. Jangan kritisi pribadi dan kelakuannya (bahasa alaynya: ad
hominem).”
Oalaaah.. Saya beri contoh kasus ringan. Misalnya, kata-kata ini
diucapkan dua orang yang berbeda: “Saya akan memajukan bangsa Indonesia. Saya
akan berjuang menciptakan budaya bebas korupsi, pola hidup sederhana, dan
mengikis habis kebohongan birokrat dan legislatif” Yang pertama, diucapkan oleh
Buya Hamka. Satu lagi, diucapkan Angelina Sondakh. Saya rasa, yang pertama
membuat anda manggut-manggut percaya, dan yang kedua membuat anda setengah mati
menggigit bibir, lalu terguling karena tertawa terbahak-bahak.. Kenapa
kata-kata yang sama persis, dengan nada sama persis, tapi diucapkan oleh dua
orang yang berbeda, hasilnya bisa berbeda? Setiap kata-kata, sebijak apapun,
selalu ada motif dibaliknya. Dan motif itu, sangat terkait dengan pribadi orang
yang mengucapkannya. Jadi, kenapa kita tidak boleh mengkritisi pribadi yang
mengucapkannya?
Jika anda ingin minta pendapat tentang gaya rambut, anda bertanya
kepada penata rambut, atau ke tukang las? Jika saya bilang “lha masa tukang las
mengerti soal gaya rambut”, apa itu ad hominem?
Kasus Irshad Manji adalah contoh lain yang gamblang tentang hal itu.
Dia dibesar-besarkan media sebagai seorang reformis muslim yang berusaha
mencerahkan umat Islam. Tapi di dalam bukunya, ia membantah prinsip-prinsip
Islam sendiri dengan cara mempromosikan lesbian, gay dan transgender, menghina
jilbab, bahkan meragukan kesempurnaan Al Quran.. Jika kita mengkritisi pribadinya yang lesbian
(dan tentu saja ia akan berjuang keras agar lesbian dihalalkan dalam Islam) dan
mengkritisi sikapnya yang meragukan Al Quran, di mana salahnya? Bukankah kita
memang selalu menilai siapa yang berbicara, bukan hanya apa yang ia ucapkan?
Bagaimana mungkin dia seorang muslim, jika ia meragukan Al Quran? Itu kan sama
saja dgn ia mengaku lesbian, sambil menyatakan lagi jatuh cinta dgn Rhoma
Irama.. Lha kenapa jika kami meragukan keislamannya, tiba-tiba muncul
teriak-teriak histeris “Ad hominem! Ad hominem!?”
Nah, kata bijak terakhir ini, mungkin adalah yang paling masuk akal,
dan paling sulit dibantah. Tapi mungkin juga, inilah kata-kata bijak yang
paling koplak..
“Di masyarakat yang plural
ini, janganlah ada pemaksaan kehendak. Biarlah setiap orang melakukan
pilihannya sendiri, tanpa paksaan. Sesuatu yang dipaksa itu pasti tidak baik.
Nilai yang dianut setiap orang berbeda, jadi jangan paksakan nilai yang kamu
anut terhadap orang lain.. Jangan jadi tirani mayoritas..”
Sulit membantahnya kan?
Pertama-tama, saya tanya dulu: apakah sebagian besar dari kita memang
dengan sukarela masuk kerja jam 8 dan pulang jam 5 atau bahkan lembur? Apakah
memang kita yang memohon-mohon agar jatah cuti kita setahun cukup dua minggu?
Apa anda memang luar biasa ikhlas dengan jumlah gaji anda sekarang? Jika tidak,
kenapa anda tidak coba mengatakan kepada atasan anda sekarang:”Maaf pak,
sebenarnya saya menganut paham bahwa kerja itu hanya 3 jam sehari, cuti 6 bulan
dalam setahun, dengan gaji minimal 30 juta. Jadi, jangan paksakan kehendak
bapak..”
Apa anda dulu saat remaja belajar dengan sukarela, ikhlas bin legowo?
Semua hukum dan undang-undang, apalagi dalam alam demokrasi, pada
prinsipnya, adalah pemaksaan kehendak, dari sebagian besar masyarakat yang
sepakat, kepada masyarakat lainnya yang tidak sepakat. Memangnya semua orang
setuju dengan UU tentang Narkotika? Atau UU tentang Korupsi? Atau bahkan UU
Pajak? Apa anda kira semua wajib pajak memang sudah gatal setengah mati ingin
membayar pajak sebesar itu? Lha kenapa kaum liberal ga pernah menjerit-jerit di
jalanan: “Jangan paksakan kehendak! Biarkan mereka bayar pajak seikhlasnya..”
Jadi kenapa, saat ada penduduk di suatu daerah setuju untuk
memberlakukan perda anti prostitusi, perjudian dan miras, dengan hukuman cambuk
bagi pelakunya, kaum liberal tiba-tiba lantang berteriak “Itu melanggar HAM!”.
Anda kira memenjarakan orang itu tidak melanggar HAM nya untuk hidup bebas merdeka?
Dan kenapa, ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi berusaha disahkan,
tiba-tiba saja prinsip demokrasi berdasar suara terbanyak dianggap sebagai
tirani mayoritas? Jika memang begitu, ga ada salahnya dong jika para pecandu
narkoba dan miras ramai-ramai naik xenia untuk demo di jalanan dan berteriak
“Jangan jadi tirani mayoritas! Kalian sudah melanggar HAM kami untuk ajeb-ajeb
sampai pagi..”.
Jika saja setiap undang-undang harus disepakati semua orang dulu baru
bisa disahkan, maka kita tidak akan pernah punya undang-undang satu pun. Yang
tidak boleh, adalah memaksa dengan kekerasan. Jika sudah banyak yang setuju,
dan memang UU itu demi kebaikan bersama (sama seperti kita dipaksa belajar saat
remaja), di mana salahnya?
Penutup
Jujur, saya tidak membenci orang-orang liberal. Beberapa teman-teman
dekat saya adalah orang liberal. Dan saya tahu, beberapa dari mereka, memang
yakin bahwa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bangsa.. Tapi, banyak
juga di antara mereka yang hanya ingin menciptakan lingkungan yang tepat, untuk
melampiaskan nafsu mereka..
Tapi, saya koq sama sekali tidak sreg melihat arah menuju kebebasan
yang mulai sangat kebablasan ini. Lihat generasi muda kita. Terus terang, jika
melihat gang motor melintas yang membuat saya ngeri, video porno remaja yang
terbit seminggu sekali, anak-anak SD di warnet yang saling memaki sambil
mendownload lagu “selinting ganja di tangaaan…”, remaja yang membentak ibunya,
siswa SMP menjual diri demi beli handphone, dan penjual narkoba yang jauh lebih
banyak daripada indomaret, saya kadang-kadang pingin kemas-kemas dan pesan
tiket ojek sekali jalan ke Timbuktu. Bukan ini lingkungan yang saya bayangkan
bagi saya dan anak-anak saya kelak.. Dan saya bisa bayangkan masa depan negara
kita jika para remaja yang seperti ini yang menjadi para pemimpin kita kelak..
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Mengharapkan media mainstream untuk
mendidik remaja kita, sama saja seperti mengharapkan Lady Gaga mengisi kuliah
subuh. Mereka lah yang menolak paling keras dan berjuang menggiring opini
masyarakat setiap kali kita ingin negara mengendalikan mereka. Kadang-kadang,
saya merasa, mereka lah yang menjadi lembaga superbody. Dan ingatlah: para
wartawan media, adalah karyawan, yang tunduk pada kehendak majikan mereka.
Jurnalisme warga seperti kompasiana, forum-forum seperti kaskus,
blog-blog, dan media-media online lainnya, mungkin itulah satu-satunya harapan
kita di masa depan. Sulit melawan media
mainstream? Jelas, jika dilakukan sendirian. Tapi, saya yakin, banyak orang-orang
yang memiliki nurani di luar sana yang, saya harap, bersedia menyeimbangkan dan
memulihkan cuci otak masyarakat dari pengaruh yang telah media massa berikan.
Ingatlah, revolusi raksasa yang merubah bangsa Arab sudah membuktikan, bahwa
kekuatan jurnalisme warga yang bersatu bahkan mampu menumbangkan para pemimpin
yang didukung salah satu negara terkuat di dunia. Demi hidup kita, dan hidup
anak-anak kita, apa itu bukan sesuatu yang pantas diperjuangkan?
“Orang-orang yang mencari kebenaran itu, seperti air. Jika dihadang,
ia berbelok. Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika dibendung dengan
menggunakan beton dalam bendungan raksasa, ia akan menguap.. Ia tidak akan
pernah lelah mencari jalannya…”
Dikutip dari artikel yang ditulis salah satu pengguna kompasiana.com,
seorang user dengan nama Bintang13 membuat sebuah artikel yang membuat kaget
banyak kalangan. Berikut ini adalah pemaparannya;
Tabir kebohongan mobil Kiat Esemka mulai terkuak. Mobil yang selama
ini digadang-gadang sebagai buah karya siswa SMK itu ternyata hampir
semuakomponennya mencomot dari mobil produk lain. Fakta tersebut disampaikan
oleh Sukiyat, pengusaha bengkel di Klaten yang selama ini menjadi salah satu
mitra dalam perakitan mobil Esemka.
Yang jadi masalah adalah kenapa hasil praktek sejumlah siswa Esemka
Trucuk itu kemudian dibawa ke Solo untuk dipamerkan di SMK 2, dan kemudian
diklaim sebagai (calon) mobil nasional oleh Walikota Solo Joko Widodo.
Mobil rakitan itu menggunakan sejumlah komponen dari mobil lain karena
memang di Indonesia belum bisa memproduksi gigi transmisi. Tidak heran sehingga
dipakailah komponen buatan Cina yang dibeli di Surabaya.
Kontroversi Kiat Esemka juga ramai dibicarakan di media sosial. Salah
satu yang sering berkomentar adalah Danie H Soe’oed lewat akun @daniesoeoed.
Menurut dia mencomot parts mobil lain memang wajar kalau untk belajar, tapi
tidak untuk membohongi masyarakat dengan mengatakan itu produksi sendiri.
“Wahai orang2 tolol, taukah bedanya antara membuat dan merakit????
Kalau mau tetap beli mobnas, silahkan,” kicaunya di Twitter.
Melalui Twitter dia membeberkan asal muasal komponen yang menempel
pada Kiat Esemka. Menurutnya, mesin Timor digabung dengan transmisi yang nyomot
mobil Cina. Dia menyebut frame kaca depan belakang mengambil Daihatsu Espass,
lampu belakang Panther, lampu depan punya Honda CRV. Sedangkan komponen
kaki-kaki Esemka menggunakan komponen milik L-300 dan Kijang. “Kiat mengaku
mesin mobil hanya diganti tutup cylinder headnya aja. Aslinya, mesin
menggunakan mobil Timor. Saya dan siswa SMK Trucuk hanya membuat chasis dan
bodi, mesinnya dari antah barantah.” bebernya.
Dia melanjutkan pada saat menggarap proyek itu, Sukiyat ditekan
berbagai pihak untuk melakukan kebohongan, tapi dia menolak membangun
kebohongan lebih besar. Proyek mobil nasional hanya proyek politik segelintir
orang untuk mengkatrol nama seseorang. “Makanya kalau sudah jadi jangan sibuk
pencitraan aja. Jangan klaim mobnas kalau semua komponennya dari Cina. Harusnya
masyarakat terbuka matanya untuk melihat politisasi mobnas. Itu hanya
tunggangan pencitraan yang gagal total,” ucapnya.
Seperti biasanya, sebagai seorang dokter kesehatan keluarga di PKPU,
sebuah lembaga kemanusiaan nasional yang berlisensi Ecosoc PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa), saya ditugasi untuk menjalankan program kesehatan anak dan
remaja di Penjara Anak di Tangerang.
Setelah beberapa kali berinteraksi dengan anak-anak yang ada dalam
penjara itu, saya pun semakin nyaman, bisa berkomunikasi dan melakukan program
kesehatan anak dan remaja dengan baik. Ini
dikarenakan, adanya dukungan yang sangat luar biasa dari para abdi
negara yang sedang bertugas di penjara anak tersebut.
Sambil melakukan program kesehatan, pikiran saya bertanya-tanya, apa
sebab anak-anak yang rata-rata seusia 10 tahun sampai 16 tahun itu sampai dapat
di-masukkan ke dalam penjara anak ini.
Maka, dalam sesi program kesehatan berikutnya, berupa konsultasi
kesehatan fisik dan psikologi secara langsung, saya membuat berapa pertanyaan
yang harus dijawab oleh anak-anak.
Diantara pertanyaan itu bunyinya sebagai berikut: Apakah anak-anak
mengetahui tempat tinggalnya saat ini dan apa namanya? Sebagian besar mereka
mengetahui dan menjawab bahwa mereka tinggal di penjara anak.
Pertanyaan berikutnya, mengapa anak-anak harus tinggal di penjara anak
ini? Beberapa anak menjawab bahwa ia melakukan kesalahan dan sudah selayaknya
kalau ia harus tinggal di penjara anak.
Memang, ia di lahirkan untuk menjadi anak yang kurang ajar, pencuri,
pencopet, anak yang senang perkelahian dan masih banyak “gelar-gelar” lainnya.
Saya katakan bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang baik, bisa berbuat
kebaikan dan bisa berprestasi untuk masa depannya.
Dengan penuh keyakinan, mereka kembali menyampaikan “gelar-gelar” di
atas itu dan menambahkan bahwa orangtuanya atau bapak/ibunya sering mengatakan
“gelar-gelar” itu berkali-kali. Bahkan ada anak yang mengatakan bahwa ia tidak
layak lagi menjadi anak orangtuanya karena ibunya mengatakan bahwa ia adalah
anak yang durhaka dan pasti akan masuk neraka! Astaghfirullah..
Sahabat Indonesian Golden Family, dari cerita di atas mengingatkan saya dalam sebuah tulisan yang
berjudul The Toxic Words (Kata-kata Beracun). Tulisan ini, meskipun hanya
beberapa lembar namun merupakan hasil wawancara terhadap anak-anak yang ada di
penjara. Sang peneliti mengajak anak-anak untuk “mengingat kembali” apa-apa
yang terjadi sebelum mereka masuk di dalam penjara. Kemudian, ia menyusun kata
demi kata menjadi satu kelompok kata-kata yang dianggap mengantarkan anak-anak
tersebut masuk dalam penjara.
Susunan kata-kata itu disebutnya sebagai The Toxic Words (Kata-kata
Beracun).
Benar saja, bahwa anak-anak yang masuk dalam penjara itu dalam kesehariannya
sering mendapatkan kata-kata yang buruk yang menyangkut dirinya, seperti:
“Dasar kamu! Memang anak pembawa sial!”
“Kamu selalu menyusahkan orangtua!”
“Kamu memang anak terkutuk! Pasti hidupmu akan sengsara!”
Serta masih banyak lagi kata-kata yang buruk lainnya.
Lalu, apa hubungannya antara kata-kata yang buruk itu dengan perilaku
anak yang buruk?
Ketika saya belajar NLP (Neuro Linguistik Programming), pembimbing
saya mengatakan bahwa manusia melakukan proses berpikir dengan tiga cara yaitu
pertama, Berpikir Visual adalah berpikir dengan cara kita membuat gambaran di
dalam pikiran kita.Kedua, Berpikir Auditori adalah berpikir dengan cara kita
melakukan dialog internal (self-talk). Ketiga, Berpikir Kinestetik adalah
berpikir dengan cara melibatkan perasaan atau emosi kita.
Pembimbing saya juga mengatakan bahwa gambaran masa depan seseorang
ternyata dapat di prediksi dari hal-hal yang dia yakini. Ketika kita meyakini
sesuatu maka seluruh “sumberdaya” dalam tubuh kita sampai level sel terkecil
pun akan mendukung apa-apa yang telah kita yakini itu.
Dan sebagian besar, suatu keyakinan dibentuk dari perilaku yang
dilihat dan kata-kata yang didengarnya setiap hari khususnya yang menyangkut
tentang diri kita. Jika perilaku buruk atau kata-kata buruk yang sering
diterimanya, maka bisa dipastikan perlahan tapi pasti bahwa perilaku burukpun
akan terwujud dan begitu pula sebaliknya.
Inilah jawaban, mengapa anak-anak itu sering melakukan
pelanggaran-pelanggaran kehidupan sehingga ia harus merasakan hidup di dalam
penjara. Pada saat orangtuanya terlalu sering mengatakan kamu memang anak
kurang ajar, kamu memang anak pembawa sial atau kata-kata buruk lainnya,
perlahan-lahan ia akan menyakini bahwa ia anak kurang ajar, ia anak pembawa
sial da akhirnya iapun menjadi perilaku yag kurang ajar.
Sungguh, bila saya membahas masalah seperti ini saya merasa ngeri,
kasihan, melihat fakta-fakta diatas amat sering terjadi di sekitar kita.
Masih sangat banyak para orangtua yang bila sedang memarahi anaknya
maka keluar semua kata-kata beracun seperti itu. Kalau sudah demikian,
kira-kira siapa yang salah, anak yang berperilaku buruk atau orangtua yang
salah dalam mengajari anak agar bisa berbuat baik?
Ajaran para Nabi kita mengatakan bahwa anak adalah amanah dari Tuhan
yang harus kita siapkan agar ia menjadi manusia yang berprestasi di dunia dan
di akhirat.
Oleh karenanya, saya sendiri juga sedang mengingat-ingat kembali
berapa banyak kata-kata buruk telah terucapkan pada anak-anak saya, pada istri
saya. Sungguh, terasa ngeri sekali bila kita mengetahui dampak dari kata-kata
buruk itu, bagaikan “racun” yang siap membunuh anak-anak kita.
Membunuh sifat manusianya sebagai makhluk spiritual ciptaan Tuhan,
yang memiliki potesi dasyat dalam dirinya. Maka, solusi terbaik adalah adanya
kesungguhan akan perubahan cara berpikir dan bersikap kita dari kekerasan
menjadi kasih sayang.
Bagi ummat Muslim, sarana berpuasa, utamanya di bulan Ramadhan, adalah
sarana yang paling tepat untuk melakukan perubahan itu.
Mengapa? Karena puasa (Ramadhan) merupakan salah satu “produk” dari
Tuhan sebagai sarana paling tepat untuk “memprogramkan kembali” diri kita. Dari
yang biasanya mudah mencaci-maki pada anaknya menjadi bertutur kata yang
lembut, dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik
lagi, seperti pesannya Nabi kita bahwa “Puasa adalah perisai.”
Apabila salah seorang diantaramu sedang berpuasa, hendaklah ia tidak
berkata-kata keji dan tidak pula memperolok orang lain. Kemudiaan apabila ada
seseorang yang hendak mencaci-makinya, hendaklah ia berkata: “Aku sedang
berpuasa, aku sedang berpuasa.”
Hati memiliki kedudukan yang sangat penting. Baik dan buruknya
seseorang sangat tergantung pada bagaimana keadaan hatinya, bila hatinya baik,
maka baiklah orang itu dan bila hatinya buruk, buruklah orang itu. Rasulullah
saw bersabda:
“Ingatlah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia
baik, baiklah anggota tubuh dan apabila ia buruk, buruk pulalah tubuh manusia.
Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu hati harus kita perlakukan dengan baik dalam kehidupan
ini. Paling tidak ada empat hal yang harus kita perlakukan terhadap hati kita
masing-masing.
1. Dibuka
Hati harus dibuka dan jangan sampai kita tutup. Yang menutup hati
biasanya orang-orang kafir sehingga peringatan dan petunjuk tidak bisa masuk ke
dalam hatinya, Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah
telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” (QS Al-Baqarah [2]:6-7)
Karena itu ketika Umar bin Khattab menutup hatinya dari petunjuk ia
menjadi kafir bahkan sangat membenci Rasulullah saw hingga bermaksud
membunuhnya, namun ketika hati sudah dibuka dengan mudah petunjuk bisa masuk ke
dalam hatinya yang membuatnya tidak hanya beriman tapi amat mencintai
Rasulullah saw.
Hal yang amat berbahaya bila hati tertutup selain petunjuk dan nasihat
tidak bisa masuk, keburukan yang ada di dalam hati juga tidak bisa keluar
sehingga meskipun kita tahu bahwa itu buruk amat sulit bagi kita untuk
mengeluarkan atau membuangnya.
Ibarat ruangan, bila kita buka pintu dan jendelanya, maka udara kotor
bisa keluar dan udara bersih bisa masuk sehingga akan kita rasakan kesegaran
jiwa. Berbagai bencana yang kita nilai dahsyat dalam kehidupan kita di dunia
ini bisa kita pahami sebagai bentuk upaya menggedor hati manusia agar mau
membukanya dan mengakui kebesaran Allah swt, namun ternyata hati yang tertutup
rapat tetap saja tidak terbuka, mereka hanya mengatakan hal itu sebagai
fenomena alam.
2. Dibersihkan.
Seperti halnya badan dan benda-benda, hati bisa mengalami kekotoran,
namun kotornya hati bukanlah dengan debu, hati menjadi kotor bila padanya ada
sifat-sifat yang menunjukkan kesukaannya kepada hal-hal yang bemilai dosa,
padahal dosa seharusnya dibenci.
Oleh karena itu, bila dosa kita sukai apalagi sampai kita lakukan,
maka jalan terbaik adalah bertaubat sehingga ia menjadi bersih kembali,
Rasulullah saw bersabda: “Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang
tidak menyandang dosa” (HR. Thabrani).
Hati yang bersih akan membuat seseorang menjadi sangat sensitif
terhadap dosa, karena dosa adalah kotoran “Dan janganlah engkau hinakan aku
pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki
tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS
Asy Syu’araa [26]:87-89).
3. Dilembutkan
Kelembutan hati merupakan sesuatu yang amat penting untuk dimiliki,
hal ini karena dengan hati yang lembut, hubungan dengan orang lain akan
berlangsung dengan baik dan ia mudah menerima nilai-nilai kebenaran.
Kelembutan hati akan membuat kita meman-dang dan menyikapi orang lain
dengan sudut pandang kasih sayang sehingga bila ada orang lain mengalami
kesulitan hidup, ingin rasanya kita mengatasi persoalan hidupnya, ketika kita
melihat orang susah, ingin sekali kita mudahkan, tegasnya kelembutan hati
menjauhkan kita dari rasa benci kepada orang lain meskipun ia orang yang tidak
baik, karena kitapun ingin memperbaiki orang yang belum baik.
Untuk bisa melembutkan hati, seorang muslim bisa melakukannya dengan
banyak cara, diantaranya menyayangi anak yatim dan orang-orang miskin. Dalam
satu hadits disebutkan:
“Seorang lelaki pernah datang kepada Rasulullah saw seraya melaporkan
kekerasan hatinya, maka beliau menasihatinya: ‘Usaplah kepala anak yatim dan
berilah makanan kepada orang miskin’ ” (HR. Ahmad).
Karena itu, amat disayangkan bila ada orang yang hatinya keras
bagaikan batu sehingga sulit untuk diberi nasihat dan peringatan sebagaimana
yang terjadi pada Bani Israil seperti yang disebutkan Allah swt dalam
firman-Nya:
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih
keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir
sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]:74).
4. Disehatkan
Jasmani yang sehat membuat kita memiliki gairah dan semangat dalam
menjalani kehidupan dan makanan yang lezat bisa kita nikmati. Namun bila
jasmani sakit tidak ada gairah hidup dan makanan yang enaktidak antusias bagi
kita untuk memakannya dan bila kita makanpun tidak kita rasakan kelezatannya.
Begitu pula halnya dengan hati, bila hati sakit kita tidak suka pada
kebaikan dan kebenaran. Islam merupakan agama yang nikmat, namun bagi orang
yang hatinya sakit tidak dirasakan kenikamatan menjalankan ajaran Islam kecuali
sekadar menggugurkan kewajiban.
Hati yang sakit biasanya dimiliki oleh orang munafik, mereka nyatakan
beriman tapi sekadar dilisan, mereka laksanakan kebaikan termasuk shalat tapi
maksudnya adalah mendapatkan pujian orang, karena itu tidak mereka rasakan
nikmatnya beribadah dan berbuat baik.
Allah swt berfirman: Diantara manusia ada yang mengatakan: “Kami
beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan
orang-orang yangberiman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orangyang
beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinyasendiri sedang mereka tidak sadar.
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS Al Baqarah [2]:8-10)
Karena itu, orang munafik akan mengalami penyesalan yang amat dalam
disebabkan keburukan yang mereka sembunyikan di dalam hatinya, Allah swt
berfirman: Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya
(orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya
berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan
mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari
sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka
rahasiakan dalam diri mereka.” (QS Al Maidah [5]:52)
5. Ditajamkan
Hati harus kita asah hingga menjadi seperti pisau yang tajam. Pisau
yang tajam akan mudah memotong dan membelah sesuatu. Bila hati kita tajam akan
mudah pula membedakan mana haq dan mana yang bathil, bahkan perintahpun tidak
selalu harus disampaikan dengan kalimat perintah, dengan bahasa isyarat saja
sudah cukup dipahami kalau hal itu merupakan perintah yang harus dilaksanakan.
Nabi Ibrahim dan Ismail as merupakan diantara contoh orang yang
memiliki ketajaman hati sehingga perintah Allah swt untuk menyembelih Ismail
cukup disampaikan melalui mimpi dan Ismail menangkap hal itu sebagai perintah
ketika Nabi Ibrahim menceritakannya, padahal Nabi Ibrahim tidak menyatakan
bahwa hal itu merupakan perintah dari Allah swt.
Untuk mendidik kita menjadi orang yang memiliki ketajaman hati, puasa
merupakan salah satu caranya, karenanya pada waktu puasa, teguran orang lain
kepada kita meskipun dengan bahasa isyarat kita sudah menyadari akan kesalahan
yang kita lakukan.
Bagi sebagian orang, skeptis itu identik dengan kritis. Tidak cukup
dengan membenarkan keraguan, kalau perlu sekalian meragukan kebenaran. Yang
demikian benar-benar telah terjadi, karena kajian-kajian post-modernis sudah
mengabaikan sepenuhnya masalah kebenaran. Sebab, menurut mereka, kebenaran itu
absurd, sama halnya seperti kejahatan. Oleh karena itu, mereka senantiasa
berada dalam keraguan. Karena sikap semacam itu, mereka menganggap dirinya
cendekia dan sudah berfilsafat.
Memulai setiap pengkajian dengan keraguan adalah prinsip yang
senantiasa mereka tanamkan. Prinsip “membuka pintu ijtihad” digunakan dengan
memberi kesan bahwa semua pendapat terdahulu salah dan perlu diperbarui. Mereka
senantiasa ragu dengan agamanya sendiri dan merasa perlu mencari
‘kebenaran-kebenaran lain’ yang tidak dapat ditemukan di agamanya itu. Bicara
tentang al-Qur’an, yang dibahas adalah budaya Arab, seolah-olah al-Qur’an
diturunkan untuk mendukung budaya Arab. Bahkan kalau sudah membahas hadits,
tidak jarang langsung dipotong dengan retorika “Banyak hadits yang tidak
shahih!”, seolah-olah tidak mungkin lagi menemukan hadits yang shahih dan bisa
dipercaya kebenarannya.
Jangankan para ulama, para Nabi dan Rasul pun kerap dituduh memiliki
motif politis di balik ajarannya. Sebutlah misalnya Nabi Luth as yang pernah
dituduh telah mengharamkan homoseksualitas semata-mata lantaran beliau kecewa
karena putri-putrinya ditolak oleh para pemuda yang kebetulan homoseks. Karena
itu, menurut mereka, status keharaman homoseksualitas sudah saatnya dicabut,
karena motif di balik ‘fatwa Nabi Luth as’ telah terungkap. Pendapat semacam
ini dimuat dalam Jurnal Fakultas Syariah IAIN Semarang yang diberi tajuk
Indahnya Kawin Sesama Jenis.
Tuduhan yang tidak layak kepada seorang Nabi yang mulia ini nampaknya
memang lahir dari jiwa-jiwa yang sangat jarang berinteraksi dengan al-Qur’an.
Siapa pun yang sering membaca al-Qur’an – meski orang kafir sekalipun, asal
jujur – pasti mengetahui bahwa al-Qur’an tidak pernah berbicara buruk tentang
manusia-manusia pilihan seperti para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia
sejati, yang bisa juga berbuat salah. Hanya saja, ada dua perbedaan fundamental
antara kesalahan seorang Nabi dan seorang manusia biasa. Pertama, ‘standar
kesalahannya’ berbeda, sebab standar kepribadiannya pun berbeda. Apa yang wajar
dilakukan seorang manusia biasa bisa jadi tidak wajar bagi seorang Nabi.
Lihatlah misalnya Nabi Yunus as yang meninggalkan kaumnya. Tindakan itu
dilakukannya bukan karena beliau enggan berdakwah lagi, melainkan karena beliau
hendak mencari obyek dakwah yang lebih terbuka hatinya, sebab dalam
pandangannya, kaumnya sudah terlalu durhaka. Demikian juga Nabi Muhammad saw
yang bermuka masam karena pembicaraannya pada seorang obyek dakwah potensial –
seorang pemuka kaum – dipotong oleh seorang lelaki tua yang buta. Hal-hal ini
sangat manusiawi bagi manusia biasa, bahkan bisa dibilang tidak dikategorikan
sebagai sebuah kesalahan. Akan tetapi, Allah SWT menghukum Nabi Yunus as dan
menegur Nabi Muhammad saw. Kedua kisah ini diabadikan dalam al-Qur’an.
Perbedaan kedua, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam kisah Nabi Yunus as
dan Nabi Muhammad saw di atas, adalah bahwa manusia biasa bisa jadi tidak
menyadari kesalahannya, meski telah lewat masa bertahun-tahun. Bisa jadi karena
memang ia sama sekali tidak sengaja melakukannya, atau karena kefasikannya,
sehingga Allah SWT membiarkannya berada dalam kesesatan dan tidak menegurnya
lagi (na’uudzubillaah). Hal yang demikian tidak berlaku bagi para Nabi. Nabi
Yunus as langsung mendapat teguran keras dari Allah SWT, demikian juga Nabi
Muhammad saw. Dengan kata lain, para Nabi berada dalam pengawasan dan kendali
penuh dari Allah SWT, sehingga setiap kesalahannya – sekecil apa pun – akan
langsung dikoreksi oleh Allah. Terakhir, jika ada pula yang ingin
mempertanyakan mengapa Allah harus mengutus manusia yang bisa melakukan
kesalahan, maka salah satu hikmahnya adalah karena para Nabi harus memberikan
keteladanan pada manusia dalam segala hal, termasuk dalam hal taubat. Jika para
Nabi tak pernah berbuat salah, tentu mereka tak perlu memperbaiki diri dan
memohon ampun kepada Allah. Akibatnya, umat manusia akan kebingungan karena
tidak pernah melihat pribadi-pribadi yang diteladaninya itu beri-istighfar,
berderai air mata karena mengharap pengampunan dan beruban karena memikirkan
akhirat.
Jika para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang memperlihatkan
pemahaman yang begitu dangkal terhadap al-Qur’an, maka tentu kita
bertanya-tanya: ‘syariat’ macam apa yang bisa mereka hasilkan? Prinsip-prinsip
apa yang mereka gunakan untuk merumuskan ‘syariat’? Jika mereka senantiasa
skeptis terhadap para Nabi, al-Qur’an, bahkan Islam itu sendiri, maka mengapa
mereka masih menghubung-hubungkan pemikirannya dengan syariat?
Di Barat, skeptisisme terhadap agama memang sudah berkembang lama,
bermula dari kegalauan masyarakat Eropa karena ketidakmampuannya untuk memahami
Bibel. Mereka pun menerima pengaruh para tokoh yang sebenarnya bukan kaum
agamawan. Tiga dari sekian banyak tokoh yang menonjol adalah Sigmund Freud,
Karl Marx dan Friedrich Nietzsche. Dari Freud, orang Barat belajar
menghubung-hubungkan setiap teks dan fatwa dengan kondisi psikologis manusia di
belakangnya. Dari Marx, mereka belajar untuk mencurigai setiap sikap dan
tindakan manusia sebagai suatu hal yang memiliki motif politis-ekonomis. Dari
Nietzsche yang memang sudah patah arang dengan Kristen dan segala konsep
ketuhanan, masyarakat Barat meyakini bahwa manusia memang makhluk keji yang
memiliki dorongan naluriah untuk mendominasi atau menguasai orang lain.
Ketika ajaran-ajaran Freud diadaptasi dalam penelaahan kitab-kitab
suci agama, maka lenyaplah kewibawaan agama itu sendiri. Karena Bibel sudah
tidak dianggap sebagai wahyu Tuhan lagi (mereka sudah lama membedakan antara
Kalam Ilahi / God’s Word dan Kitab Suci / Scripture), melainkan penafsiran
pribadi dari para penulis Bibel terhadap wahyu Tuhan (Bibel yang diterima
adalah versi Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sedangkan versi-versi lainnya
yang jumlahnya ribuan, misalnya versi Barnabas, tidak diakui), maka mereka pun
mulai meneliti latar belakang psikologis dari masing-masing penulis Bibel
tersebut yang menghasilkan teks yang berbeda-beda itu. Ketika menelaah
keputusan Gereja, mereka berspekulasi untuk menemukan motif politis-ekonomisnya,
karena pengalaman Barat memang menunjukkan bahwa Gereja tidak luput dari
ambisi-ambisi semacam itu. Tidak cukup sampai di situ, mereka pun menganggap
kaum agamawan adalah kelompok yang berusaha menjadi penguasa sejati atas umat
manusia dengan menggunakan fatwa-fatwanya. Maka Lord Acton, ahli ilmu
pemerintahan dan politik di masa lampau, menyerukan retorikanya: “All power
tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” (setiap kekuasaan punya
kecenderungan untuk korup; kekuasaan yang absolut korup secara absolut pula).
Karena kaum agamawan dianggap berusaha mempertahankan kekuasaan absolutnya,
maka mereka pun diyakini sebagai pelaku korupsi yang paling parah di muka bumi.
Pada kenyataannya, hal yang demikian memang pernah terjadi di Barat.
Setelah didera penjajahan selama berabad-abad lamanya, bangsa-bangsa
Timur memandang Barat secara ambigu. Di satu sisi, mereka membenci penjajahan,
namun di sisi lain, mereka meniru para penjajahnya itu. Rendah diri yang sudah
menjangkiti mereka sedemikian lama membuat mereka kebingungan dalam
mendefinisikan kemajuan. Bagi mereka, yang maju adalah yang paling pandai
meniru para mantan majikannya. Maka Barat pun menjadi kiblat bagi Timur,
termasuk sikap skeptisnya.
Al-Qur’an tidak luput dari proyek dekonstruksi besar-besaran yang
dilakukan oleh sekelompok muslim yang terlanjur inferior ini. Mereka pikir,
kalau tidak ragu maka tidaklah kritis, dan kalau tidak kritis tidaklah modern.
Demi modernisasi, segala sesuatunya harus diperbarui, dan pembaruan (dalam imajinasi
mereka) harus dimulai dari keraguan. Mereka ragu apakah al-Qur’an benar-benar
wahyu Tuhan atau semata-mata penafsiran Nabi Muhammad saw atas wahyu Tuhan yang
sebenarnya. Mengikuti skeptisisme di Barat, mereka pun mengikuti pendapat yang
kedua. Oleh karena itu, mereka pun menganalisis kondisi psikologis Rasulullah
saw yang menentukan jenis penafsiran yang beliau lakukan terhadap wahyu Tuhan.
Tentu saja, mereka tidak benar-benar berani untuk menyatakan bahwa Nabi
Muhammad saw telah melakukan kesalahan, walaupun sebenarnya memang demikianlah
yang ada dalam pikirannya.
Selain meragukan al-Qur’an, mereka pun meragukan mushhaf yang kita
kenal sekarang. Mushhaf yang distandardisasi oleh Khalifah ‘Utsman ibn
al-‘Affan ra ini pun dicurigai sebagai bentuk rekayasa Sang Khalifah untuk
memperkuat hegemoni kabilahnya sendiri. Fakta bahwa beliau memerintahkan
pembakaran semua mushhaf setelah dihasilkannya mushhaf standar (yang kita kenal
dengan nama Mushhaf ‘Utsmani sekarang) mereka anggap sebagai bukti bahwa ‘Utsman
ra memang benar-benar telah bermain politik kotor; tujuannya tidak jauh dari
kekayaan, kekuasaan dan dominasi tunggal. Mereka lupa bahwa sejarah peradaban
Islam telah berjalan begitu panjang sehingga ‘Utsman ra dan keturunannya sudah
tidak lagi memiliki kekuasaan, sedangkan umat Muslim masih saja bersepakat
menggunakan Mushhaf ‘Utsmani dan tidak pernah mencurigai motifnya. Kaum
orientalis memang mengira bahwa interaksi umat Muslim dengan al-Qur’an sama
saja dengan interaksi masyarakat Kristen dengan Bibel. Mereka pikir, ketika
semua mushhaf selain Mushhaf ‘Utsmani dibakar, lantas umat Muslim ‘kehilangan
pegangan’. Padahal, sejak awal memang al-Qur’an bukanlah sebuah teks, melainkan
ayat-ayat yang dihapal. Media penyimpannya bukanlah tinta dan kertas, melainkan
ingatan otak manusia. Meskipun banyak mushhaf dibakar, namun al-Qur’an masih
hidup dalam ingatan umat. Dengan kata lain, jika Mushhaf ‘Utsmani menyimpang
dari ayat-ayat yang diajarkan oleh Rasulullah saw, maka umat Muslim pasti akan
mengetahuinya, meski mushhaf mereka dibakar.
Skeptisisme terhadap agama sejatinya adalah sebuah pilihan sikap
‘malu-malu’ untuk menyatakan keateisan seseorang. Untuk menyatakan diri tak
beriman begitu sulit, namun untuk beriman secara kaaffaah begitu beratnya.
Mereka menyebut dirinya kritis, namun anehnya yang dikritisi tidak pernah
jauh-jauh dari agama. Di luar masalah-masalah agama, mereka jarang sekali
bersikap kritis. Sebagai contoh, jika benar-benar kritis, mengapa mereka tidak
meminta bukti nyata dari ayah-ibunya untuk memberi kepastian bahwa mereka
benar-benar orang tua kandungnya? Jika mereka naik kendaraan umum, bus, kereta
api, kapal laut atau pesawat, mengapa mereka tidak mengecek dulu apakah para
pengemudinya memiliki surat ijin dan kemampuan yang memadai? Atas nama sikap
kritis yang jujur, semestinyalah mereka melakukan penelitian yang komprehensif
untuk mengungkap latar belakang psikologis Freud, motif politis-ekonomis Marx
dan syahwat dominasi Nietzsche, sebelum mereka menelan bulat-bulat pendapat
mereka tentang agama. Untuk hal-hal semacam ini, kaum skeptis biasanya hanya
duduk manis.