Keadilan dalam Islam (Social Justice in Islam)


Oleh Ibn Kammuna
12 Agustus, 2009
Dalam artikel ini aku membahas konsep keadilan dalam Islam. Seringkali kita mendengar keterangan dari Muslim bahwa “Islam mengutamakan keadilan,” “Islam itu adil,” “Islam mengutamakan masyarakat yang adil.” Artikel ini dibagi dalam tiga bagian:
(1) Apakah keadilan itu dan bagaimana keadilan dapat ditegakkan
(2) Penerapan keadilan dalam Islam:
(i) Jizya
(ii) Politik
(iii) Wanita
(iv) Warisan
(v) Hukuman bagi kriminal
(3) Kesimpulan
(1) Apakah keadilan itu dan bagaimana keadilan dapat ditegakkan
Konsep pengertian “Keadilan” bukanlah sains eksakta yang pasti dan tidak berubah. Keadilan berkembang dan menjadi bertambah dewasa di seluruh sejarah umat manusia. “Keadilan” dalam teori etika bisa sama dan bisa juga tidak sama dengan pengertian “Keadilan” dalam teori politik. Aku tidak tertarik untuk membahas perbedaan keduanya secara ilmiah karena usaha tersebut lebih cocok untuk dilakukan para akademis. Aku lebih tertarik untuk membahas keadilan sosial. Islam mengaku menawarkan keadilan sosial dan kukira para Muslim yang mengatakan “Islam itu adil” tentunya punya konsep pengertian keadialan sosial dalam benaknya.
Salah satu konsep sosial yang terbaik yang kita miliki adalah Hukum Emas yakni “perlakukan orang lain seperti dirimu sendiri ingin diperlakukan.” Ini merupakan hukum y ang hebat dan bernilai emas pula. Hukum ini mengutamakan persamaan hak dan kedudukan manusia di dalam masalah² sosial. Tiada perbedaan kelas atau sistem kasta segala. Ini berarti semua umat manusia saling bersaudara dan berusaha untuk memperlakukan satu sama lain dengan cara yang baik dan manusiawi. Setiap orang yang berakhlak harus menerapkan dan menyebarluaskan hukum seperti ini.
Meskipun konsep Keadilan sukar untuk dijabarkan dalam istilah yang pasti, kita semua menyadari faktor apa yang dapat membentuk hukum yang adil. Jika setiap orang di suatu negara dapat mencalonkan diri jadi Presiden di negara itu, maka itu merupakan kebijaksanaan hukum yang adil. Jika sebagian orang tidak bisa jadi Presiden terpilih di suatu negara karena masalah warna mata mereka atau karena besar/kecil penghasilannya atau karena agamanya, maka hal ini merupakan hukum yang tidak adil. Kesimpulannya, kita bisa mengetahui penerapan Keadilan jika kita bisa merasakannya. Kita juga bisa merasakan ketidakadilan tatkala hal itu terjadi di hadapan kita.
Mari sekarang telaah (2) Islam dan penerapan keadilannya dalam beberapa masalah. Tentunya ada banyak masalah lain dalam Islam yang bisa ditelaah keadilannya pula, sehingga daftar singkatku tentunya bukanlah daftar yang lengkap.
(i) Jizya: Ini merupakan pajak yang dipungut dari masyarakat non-Muslim yang hidup di bawah Pemerintahan Muslim. Perlu diperhatikan bahwa “jumlah” bayaran pajak Jizya yang ditarik bukanlah hal yang relevan dengan apa yang sedang kita bahas di sini. Pajak Jizya ini tidak adil, dari segi manapun kau menilainya. Bayangkan saja jika kau hidup di suatu negara yang memaksamu untuk bayar pajak spesial hanya karena kau adalah orang Kristen atau Hindu atau Budha. Sungguh tak masuk akal untuk memaksa orang bayar pajak hanya karena mereka beragama tertentu. Setiap warga suatu negara harus tunduk di bawah aturan pajak yang sama yang diterapkan sama besarnya pada setiap warga di negara itu, tidak peduli apapun agama yang dianut warga tersebut. Hukum Emas sudah jelas penerapannya dalam hal ini.
(ii) Politik: Di negara Muslim, hanya orang² Muslim saja yang bisa dipilih jadi Presiden negara itu. Hal yang sama juga berlaku untuk wakil² rakyat. Apakah ini bisa dianggap sebagai Keadilan? Tentu saja tidak. Hukum Emas menyatakan bahwa orang yang dicabut haknya untuk dipilih bisa jadi merupakan orang yang sangat layak untuk dipilih, yang sanggup memperbaiki keadaan sosial jika terpilih dan jika dapat kesempatan untuk melayani masyarakat. Satu²nya alasan mengapa orang ini tidak boleh mendapatkan kedudukan politis adalah karena dia bukanlah Muslim. Ini sungguh merupakan alasan yang botol. Seseorang mungkin saja mampu melayani kebutuhan masyarakat, tidak peduli apapun jenis agama yang dianutnya.
(iii) Wanita: Suami boleh memukul istri (Qur’an 4:34). Sedangkan istri tidak boleh memukul suami. Apakah ini hukum yang adil? Hukum Emas menyatakan bahwa ini jelas bukanlah hukum yang adil. Qur’an tidak mengandung ayat apapun yang sama tarafnya seperti Q 4:34, di mana istri boleh memukul balas suami. Dengan begitu aku menolak Qur’an sebagai buku yang berguna. Tapi jika Muslim menerima hukum yang ditetapkan Qur’an dan juga Hukum Emas secara bersamaan, maka orang ini tentunya menghadapi hal yang bertentangan satu sama lain. Orang ini harus menerima kenyataan bahwa suami boleh memukul istri, sedangkan istri tidak boleh memukul suami. Hal ini jelas bertentangan dengan Hukum Emas. Hukum Emas merupakan aturan moral universal (berlaku di seluruh dunia) untuk memperlakukan sesama manusia secara sama dan adil. Hukum Islam juga memperbolehkan suami punya sampai 4 istri, sedangkan sebaliknya, istri tidak boleh punya lebih dari satu suami. Hal ini jelas bukanlah aturan yang adil. Hukum Emas menyatakan jika kau ingin membuat aturan yang memperbolehkan suami punya sampai empat istri, maka sebaliknya istri pun juga seharusnya boleh dong punya sampai empat suami. Akan tetapi, Islam di sini adalah aturan satu arah saja, hanya menyenangkan hati suami saja, dan ini tentunya bertentangan dengan Hukum Emas. Aku juga ingin menambahkan pendapat pribadiku tentang punya banyak istri. Kupikir ini kebiasaan yang sangat buruk, keji, dan tak berkemanusiaan. Aku berpendapat poligami adalah perendahan derajat wanita sebagai manusia sepenuhnya.
(iv) Warisan: Islam punya begitu banyak aturan akan warisan. Islam juga mengatur siapa yang berhak menerima warisan dan berapa besar porsinya. Tapi satu aturan warisan Islam yang terjelek adalah jika seorang Muslim mati, maka putra²nya akan dapat dua kali lebih banyak daripada putri²nya. Bukankah itu merupakan aturan yang jahat dan tak berkemanusiaan? Aturan seperti ini jelas merendahkan martabat wanita, dan melanggar kode moral kebajikan universal. Terlebih lagi, aturan ini jelas sangat bertentangan dengan Hukum Emas tentang apa yang adil dan bijak.
(v) Hukuman bagi kriminal: “Mencuri” adalah contoh perbuatan kriminal dan hukumannya dalam Islam. Hukuman mencuri dalam Islam adalah potong tangan sang pencuri, tidak peduli berapapun jumlah barang yang dicuri.
Aku memilih kasus potong tangan bagi pencurian karena hal ini merupakan salah satu contoh kasus yang paling tak berperikemanusiaan yang bisa dilakukan manusia dalam nama agama. Pertama, jika kau potong tangan seseorang, maka kau membuat orang itu cacat dan kesusahan seumur hidup. Semua pekerjaan membutuhkan kedua belah tangan untuk bisa dilakukan dengan benar. Pada umumnya, setiap orang membutuhkan kedua belah tangannya untuk bisa bekerja dan hidup menafkahi dirinya. Kedua, berapa banyak barang yang dicuri pun patut dipertimbangkan. Jika seseorang mencuri sebuah Teh Botol, maka hukumannya tentu harus lebih ringan dibandingkan orang yang mencuri sebuah mobil atau sepeda motor. Jadi sudah jelas bahwa pencurian merupakan tindakan kriminal yang hukumannya ditetapkan berdasarkan jumlah/nilai barang yang dicurinya.
Dengan begitu, aturan hukuman Islam tidak dibuat untuk membentuk masyarakat yang mampu bertindak adil pada para kriminal. Hukuman Islam potong tangan terhadap pencuri seharusnya tidak boleh dilaksanakan sama sekali. Hukuman biadab seperti itu bukanlah bagian dari masyarakat beradab, titik.
Bagaimana penerapan Hukum Emas terhadap kasus pencurian? Jika kau mencuri sesuatu, mana yang kau pilih: dipotong tangan dan mengemis bantuan hidup Pemerintah dan hidup miskin seterusnya; atau memperbaiki kesalahanmu dan seterusnya hidup dengan lebih baik. Hukum Emas memilih pilihan kedua bagi setiap warga yang melakukan tindakan mencuri. Hukuman kriminal Islam sangat tidak cocok bagi kebutuhan manusia.
(3) Kesimpulan
Pengamatan di atas menunjukkan banyaknya masalah problematik dalam sistem hukum Islam. Islam tidak memperlakukan setiap manusia sederajat. Islam tidak menawarkan aturan yang adil bagi pria dan wanita. Sistem politik Islam juga tidak mendukung keadilan Hukum Emas bagi warga non-Muslim yang hidup di negara yang sama. Sistem hukuman Islam juga tidak menolong kehidupan warga yang melakukan tindakan kriminal. Sebaliknya, hukum Islam memotongnya dan membuatnya kurang berguna bagi masyarakat di seluruh hidupnya. Singkatnya, Islam itu tidak adil. Menurut istilah Ali Sina, Islam itu cocoknya dimasukkan ke dalam keranjang sampah sejarah manusia.
Konsep-konsep keadilan
1. Terma-terma Keadilan
al-Qur’an, setidaknya menggunakan tiga terma untuk menyebut keadilan, yaitu al-‘adl, al-qisth, dan al-mîzân.
al-‘Adl, berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”.
al-Qisth, berarti “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. al-Qisth lebih umum dari al-‘adl. Karena itu, ketika al-Qur’ân menuntut seseorang berlaku adil terhadap dirinya, kata al-qisth yang digunakan. Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...(Surah al-Nisa’/4: 135).
al-Mîzân, berasal dari akar kata wazn (timbangan). al-Mîzân dapat berarti “keadilan”. al-Qur’an menegaskan alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan. Allah SWT berfirman: Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan). (Surah al-Rahman/55: 7).
2. Makna-makna Keadilan
Beberapa makna keadilan, antara lain;
Pertama, adil berarti “sama”
Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak. Allah SWT berfirman: “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...” (Surah al-Nisa'/4: 58).
Manusia memang tidak seharusnya dibeda-bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-papa, laki-puteri, pejabat-rakyat, dan sebagainya, harus diposisikan setara.
Kedua, adil berarti “seimbang”
Allah SWT berfirman: Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang). (Surah al-Infithar/82: 6-7).
Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan).
Ketiga, adil berarti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya”
“Adil” dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah “zalim”, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh merusak permainan catur, jika menempatkan gajah di tempat raja,” ujar pepatah. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi.
Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Allah disebut qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (Surah Ali ‘Imram/3: 18). Allah SWT berfirman: Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya (Surah Fushshilat/41: 46).
3. Perintah Berbuat Adil
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang memerintah kita berbuat adil. Misalnya, Allah SWT berfirman: Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Surah al-Ma-idah/5: 8).
Dijelaskan ayat ini, keadilan itu sangat dekat dengan ketakwaan. Orang yang berbuat adil berarti orang yang bertakwa. Orang yang tidak berbuat adil alias zalim berarti orang yang tidak bertakwa. Dan, hanya orang adil-lah (berarti orang yang bertakwa) yang bisa mensejahterakan masyarakatnya.
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman: Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)" (Surah al-A’raf/7: 29). Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) (Surah al-Nahl/16: 90). Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Surah al-Nisa/4: 58).
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan Keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapakmu dan keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar balikkan, atau engggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Nisa’/4:135).
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Surah al-Hujurat/49: 9).
4. Bidang-bidang Keadilan
Beberapa bidang keadilan yang wajib ditegakkan, antara lain,
Pertama, keadilan hukum
Ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, itulah ayat-ayat yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan hukum, kendati pada diri dan keluarga kita sendiri. Ketegasan tanpa pandang bulu inilah yang juga diteladankan Nabi Muhammad Saw.
Diriwayatkan, pada masa beliau, seorang perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah bernama Fatimah al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini membuat jajaran pembesar Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat hukum saat itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menjadi hakim-nya.
Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong (Surah al-Ma’idah/5: 38) tangan terus menghantui mereka. Dan jika hukum potongan tangan ini benar-benar diterapkan, mereka akan menanggung aib maha dahsyat, karena dalam pandangan mereka seorang keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik. Lobi-lobi politis pun digalakkan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas dihamburkan untuk upaya itu.
Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan sebagai pelobi oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah? Karena Usamah adalah cucu yang sangat disayangi Nabi. Melalui orang kesayangan Nabi ini, diharapkan lobi itu akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya meloloskan Fatimah dari jerat hukun bisa tercapai. Apa yang terjadi?
Upaya lobi Usamah bin Zaid, orang dekatnya, itu justru mendulang dampratan keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya simpati. Ketegasan Nabi dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikitpun, hatta oleh orang dekatnya. Untuk itu, Nabi lantas berkata lantang: “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Itulah ketegasan Nabi dalam menegakkan hukum, hatta pada orang yang paling disayanginya sekalipun.
Kedua, keadilan ekonomi
Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw misalnya bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.
Larangan demikian juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Surat al-Hasyr/59: 7).
Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut riwayat Ibnu Majah, Umar berkata, “Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa.”
Dalam kaca mata Umar, pemerintah wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Sehingga ketika ada oknum-oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang terugikan secara ekonomi, pemerintah tidak bisa tinggal diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Mebiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri.
Ketiga, keadilan politik
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil (imamun adil), pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat berjamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: "Aku takut kepada Allah", seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.” (HR Bukhari)
Pemerintah atau pemimpin yang adil akan memberi hak pada yang berhak, yang komitmen bertanggungjawab pada warganya. Tidak mudah menjadi pemimpin adil. Karena itu, kita tidak seharusnya berebut menjadi pemimpin. Inilah sebabnya Umar bin al-Khattab menolak usul pencalonan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penggantinya. Namun prinsipnya, Islam memandang siapapun berhak menjadi pemimpin tanpa melihat latar belakangnya, hatta orang Habasyah (Etiopia sekarang) yang rambutnya kriting laksana gandum sekalipun. Dan, sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW, kepemimpinannya harus ditaati.
Keempat, keadilan berteologi/berkeyakinan
Islam memberikan kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya. Termasuk keyakinan yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak boleh diganggu-gugat. Bahkan Muhammad Syahrûr menyatakan, percaya pada kekebasan manusia adalah satu dasar akidah Islam yang pelakunya dapat dipercayai beriman pada Allah SWT. Sebaliknya, kufr adalah tidak mengakui kebebasan manusia untuk memilih beragama atau tidak beragama.
Bukti kebebasan ini, antara lain: Allah SWT berfirman: Allah lebih tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (Surah al-Nahl/16: 125). Redaksi yang mirip bisa ditemukan juga pada Sûrah al-Najm/53: 30 dan Sûrah al-Qalam/68: 7.
Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir…. (Sûrah al-Kahf/18: 29).
Tidak ada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas-jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, siapa yang ingkar kepada taghut dan yang beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Sûrah al-Baqarah/2: 256).
Yang penting diperhatikan, adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut, semua memiliki konsekuensinya masing-masing. Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai “pilihan yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan.”
Kelima, keadilan kesehatan
Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman pada hari kiamat: Wahai bani Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku. Bani Adam bertanya: Wahai Rabbku, bagaimana bisa aku menjenguk-Mu sedang Engkau adalah Tuhan sekalian Alam? Allah menjawab: Tidakkah kamu melihat seorang hamba-Ku sedang sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu mengetahui, andaikata kamu menjenguknya, kamu mendapati-Ku di sisinya? (HR. Imam Muslim).
Hadis kudsi di atas menunjukkan, jika kita “menjenguk” – dalam pengertiannya yang luas – tetangga kita yang sakit, maka kita akan menemukan Allah SWT di sana. Tidak “menjenguk”nya berarti tidak menemukan-Nya. Apa maknanya? Kita bisa merenungkannya masing-masing. Yang jelas, dalam hal ini pemerintah juga wajib “menjenguk” warganya yang sakit. Siapapun dia dan apapun latar belakangnya. Cara “menjenguk”nya? Bisa saja dengan pengobatan geratis, dan sebagainya.
Keenam, keadilan pendidikan
Allah SWT berfirman: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Mujaadilah: 11). Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tholabul ilmi farîdhotun 'alâ kulli muslim” (HR. Ibnu Majah). (Setidaknya) dua argumen ini, memberikan pengertian bahwa menuntut ilmu atau mendapatkan pendidikan, adalah hak bagi siapapun tanpa pandang latar belakang.
5. Universalisme Keadilan Islam
Keadilan dalam Islam itu universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik batas nasionalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit, status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama sekalipun. Pada orang yang berbeda keyakinan dan bahkan hewan sekalipun, keadilan harus ditegakkan.
Allah SWT berfirman: Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (Surah al-An’am/6: 152).
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan. (Surah al-Hadid/57: 25).
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (Surah al-Nisa'/14: 135).
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Maidah/5: 8)
Orang berbeda agama pun wajib diberi keadilan. Allah berfirman: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan tuqsithu (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir) yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain untuk mengusir kamu... (Surah al-Mumtahanah/60: 8).
Kisah (a)
Seorang pria Mesir beragama Kristen Koptik (salah satu aliran Kristen yang berkembang di Mesir) mendatangi Umar bin al-Khattab di Madinah, yang kala itu sebagai pemimpin kaum muslim, untuk mencari keadilan.
Pria Mesir itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku mencari perlindunganmu dari penindasan.” “Kamu telah mencari perlindungan d imana ia seharusnya dilindungi,” jawab Umar.
“Ketika aku sedang berlomba dengan putra Amr bin Ash, aku berhasil mengalahkannya. Namun kemudian dia memukuli aku dengan cambuknya dan berkata: ‘aku adalah putra bangsawan’!” cerita pria Mesir mengadu.
Mendengar pengaduan itu, Umar yang dikenal adil dan bijaksana itu berang. Ia ingin memberikan keadilan pada orang Kristen Koptik itu. Umar lalu menulis surat untuk Amr bin ‘Ash (gubernur Mesir saat itu) dan memerintahkannya segera menghadap beserta putranya.
“Ke mana Pria Mesir itu? Suruh dia ambil cambuk dan pukul putra Amr!” pinta Umar. Pria Mesir itu pun menuruti perintah Umar. Ia memukuli putra Amr bin Ash dengan cambuk.
Anas berkata, “Maka dia memukuli putra Amr. Demi Allah, ketika pria Mesir itu memukulinya, kami kasihan dan meratapinya. Dia tidak berhenti sampai kami menghentikannya.”
Kemudian Umar berkata pada Pria Mesir itu, “Sekarang pukulkan cambuknya ke kepala Amr yang botak itu.”
Pria Mesir itu bingung dan menjawab, “Ya Amirul Mukminin, yang menganiaya aku itu putranya, dan aku telah menyamakan kedudukanku dengannya.”
Umar lantas bertanya pada Amr bin ‘Ash, “Sejak kapan kamu telah memperbudak rakyatmu, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka?”
“Ya Amiral Mukminin, aku telah lalai dan pria Mesir itu tidak mendatangiku untuk mendapatkan keadilan,” jawab Amr.
Kisah (b)
Ali bin Abi Thalib (Khalifah Islam ke-4), pernah menemukan baju besinya di rumah seorang Yahudi. Maka Ali mengadukan Yahudi itu ke pengadilan karena diduga mengambil bajunya. Sayangnya, Ali tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu miliknya. Maka hakim memutuskan, yang salah adalah Ali dan yang berhak atas baju itu adalah Yahudi. Ali pun menerima keputusan pengadilan itu, kendati posisinya sebagai kepala negara dan yang dihadapi rakyatnya sendiri.
6. Pelaksana Keadilan
Islam hanya menekankan prinsip keadilan dan pentingnya keadilan bagi semua. Perihal bagaimana cara mendapatkan keadilan, itu sepenuhnya diserahkan pada umatnya. Termasuk bagaimana membangun negara yang akan menjadi sarana tercapainya keadilan, itu juga tidak diatur oleh Islam. Mau berasas Islam, sekuler, demokrasi, teokrasi, teodemokrasi, dan apapun namanya, yang penting ditekankan adalah KEADILAN.
Yang jelas, siapapun kita, baik sebagai individu maupun pemerintah, harus menjadi martir penegakan keadilan sesuai jangkaun wilayah kita. “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian/kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih,” pesan Nabi Muhammad SAW.
7. Buah Keadilan
Keadilan, dalam hal apapun, akan membuahkan kedamaian dan kesejahteraan. Inilah inti kemaslahatan bagi umat. Dan ini lebih mungkin dilaksanakan oleh para pemimpin atau pemerintah. Untuk itu, tasharruf imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin bagi warganya harus diorientasikan untuk kemaslahatan mereka). Sayyidul qaum khadimuhum (pempimpin umat adalah pelayan bagi mereka). Pemimpin harus melayani umatnya untuk mendapatkan keadilan ini. Karena itu, keadilan yang berujung pada kedamaian dan kesejahteraan harus dikejar terlebih dahulu ketimbang urusan pribadi ataupun golongan.
Ada kisah, khalifah Harun al-Rasyid pernah disindir sufi-pembanyol Nasruddin Hoja. “Kamu pilih keadilan atau harta?” tanya khalifah. “Harta!,” jawab Nasruddin tegas.
Khalifah marah bukan kepalang. “Harusnya yang kamu pilih keadilan. Itu juga yang saya pilih,” kata khalifah berang. “Orang memang akan menginginkan apa yang tidak dimilikinya,” jawab Nasruddin ringan.
Nasruddin punya keadilan, tapi tak punya harta, makanya ia menginginkan harta. Khalifah punya harta, tapi tak punya keadilan, makanya ia menginginkan keadilan. Bagaimana kita di negeri ini? Bahkan kita tidak punya dua-duanya! Inilah cermin masyarakat yang bangkrut. Wa Allah a’lam bi al-sawab.[]
.
Previous Post Next Post