Oleh Ibn Kammuna
12 Agustus, 2009
Dalam artikel ini aku membahas
konsep keadilan dalam Islam. Seringkali kita mendengar keterangan dari Muslim
bahwa “Islam mengutamakan keadilan,” “Islam itu adil,” “Islam mengutamakan
masyarakat yang adil.” Artikel ini dibagi dalam tiga bagian:
(1) Apakah keadilan itu dan
bagaimana keadilan dapat ditegakkan
(2) Penerapan keadilan dalam
Islam:
(i) Jizya
(ii) Politik
(iii) Wanita
(iv) Warisan
(v) Hukuman bagi kriminal
(3) Kesimpulan
(1) Apakah keadilan itu dan
bagaimana keadilan dapat ditegakkan
Konsep pengertian “Keadilan”
bukanlah sains eksakta yang pasti dan tidak berubah. Keadilan berkembang dan
menjadi bertambah dewasa di seluruh sejarah umat manusia. “Keadilan” dalam
teori etika bisa sama dan bisa juga tidak sama dengan pengertian “Keadilan”
dalam teori politik. Aku tidak tertarik untuk membahas perbedaan keduanya
secara ilmiah karena usaha tersebut lebih cocok untuk dilakukan para akademis.
Aku lebih tertarik untuk membahas keadilan sosial. Islam mengaku menawarkan
keadilan sosial dan kukira para Muslim yang mengatakan “Islam itu adil”
tentunya punya konsep pengertian keadialan sosial dalam benaknya.
Salah satu konsep sosial yang
terbaik yang kita miliki adalah Hukum Emas yakni “perlakukan orang lain seperti
dirimu sendiri ingin diperlakukan.” Ini merupakan hukum y ang hebat dan
bernilai emas pula. Hukum ini mengutamakan persamaan hak dan kedudukan manusia
di dalam masalah² sosial. Tiada perbedaan kelas atau sistem kasta segala. Ini
berarti semua umat manusia saling bersaudara dan berusaha untuk memperlakukan
satu sama lain dengan cara yang baik dan manusiawi. Setiap orang yang berakhlak
harus menerapkan dan menyebarluaskan hukum seperti ini.
Meskipun konsep Keadilan sukar
untuk dijabarkan dalam istilah yang pasti, kita semua menyadari faktor apa yang
dapat membentuk hukum yang adil. Jika setiap orang di suatu negara dapat
mencalonkan diri jadi Presiden di negara itu, maka itu merupakan kebijaksanaan
hukum yang adil. Jika sebagian orang tidak bisa jadi Presiden terpilih di suatu
negara karena masalah warna mata mereka atau karena besar/kecil penghasilannya
atau karena agamanya, maka hal ini merupakan hukum yang tidak adil.
Kesimpulannya, kita bisa mengetahui penerapan Keadilan jika kita bisa
merasakannya. Kita juga bisa merasakan ketidakadilan tatkala hal itu terjadi di
hadapan kita.
Mari sekarang telaah (2) Islam
dan penerapan keadilannya dalam beberapa masalah. Tentunya ada banyak masalah
lain dalam Islam yang bisa ditelaah keadilannya pula, sehingga daftar singkatku
tentunya bukanlah daftar yang lengkap.
(i) Jizya: Ini merupakan pajak
yang dipungut dari masyarakat non-Muslim yang hidup di bawah Pemerintahan
Muslim. Perlu diperhatikan bahwa “jumlah” bayaran pajak Jizya yang ditarik
bukanlah hal yang relevan dengan apa yang sedang kita bahas di sini. Pajak
Jizya ini tidak adil, dari segi manapun kau menilainya. Bayangkan saja jika kau
hidup di suatu negara yang memaksamu untuk bayar pajak spesial hanya karena kau
adalah orang Kristen atau Hindu atau Budha. Sungguh tak masuk akal untuk
memaksa orang bayar pajak hanya karena mereka beragama tertentu. Setiap warga
suatu negara harus tunduk di bawah aturan pajak yang sama yang diterapkan sama
besarnya pada setiap warga di negara itu, tidak peduli apapun agama yang dianut
warga tersebut. Hukum Emas sudah jelas penerapannya dalam hal ini.
(ii) Politik: Di negara Muslim,
hanya orang² Muslim saja yang bisa dipilih jadi Presiden negara itu. Hal yang
sama juga berlaku untuk wakil² rakyat. Apakah ini bisa dianggap sebagai
Keadilan? Tentu saja tidak. Hukum Emas menyatakan bahwa orang yang dicabut
haknya untuk dipilih bisa jadi merupakan orang yang sangat layak untuk dipilih,
yang sanggup memperbaiki keadaan sosial jika terpilih dan jika dapat kesempatan
untuk melayani masyarakat. Satu²nya alasan mengapa orang ini tidak boleh
mendapatkan kedudukan politis adalah karena dia bukanlah Muslim. Ini sungguh
merupakan alasan yang botol. Seseorang mungkin saja mampu melayani kebutuhan
masyarakat, tidak peduli apapun jenis agama yang dianutnya.
(iii) Wanita: Suami boleh memukul
istri (Qur’an 4:34). Sedangkan istri tidak boleh memukul suami. Apakah ini
hukum yang adil? Hukum Emas menyatakan bahwa ini jelas bukanlah hukum yang
adil. Qur’an tidak mengandung ayat apapun yang sama tarafnya seperti Q 4:34, di
mana istri boleh memukul balas suami. Dengan begitu aku menolak Qur’an sebagai
buku yang berguna. Tapi jika Muslim menerima hukum yang ditetapkan Qur’an dan
juga Hukum Emas secara bersamaan, maka orang ini tentunya menghadapi hal yang
bertentangan satu sama lain. Orang ini harus menerima kenyataan bahwa suami
boleh memukul istri, sedangkan istri tidak boleh memukul suami. Hal ini jelas
bertentangan dengan Hukum Emas. Hukum Emas merupakan aturan moral universal
(berlaku di seluruh dunia) untuk memperlakukan sesama manusia secara sama dan
adil. Hukum Islam juga memperbolehkan suami punya sampai 4 istri, sedangkan
sebaliknya, istri tidak boleh punya lebih dari satu suami. Hal ini jelas
bukanlah aturan yang adil. Hukum Emas menyatakan jika kau ingin membuat aturan
yang memperbolehkan suami punya sampai empat istri, maka sebaliknya istri pun
juga seharusnya boleh dong punya sampai empat suami. Akan tetapi, Islam di sini
adalah aturan satu arah saja, hanya menyenangkan hati suami saja, dan ini
tentunya bertentangan dengan Hukum Emas. Aku juga ingin menambahkan pendapat
pribadiku tentang punya banyak istri. Kupikir ini kebiasaan yang sangat buruk,
keji, dan tak berkemanusiaan. Aku berpendapat poligami adalah perendahan
derajat wanita sebagai manusia sepenuhnya.
(iv) Warisan: Islam punya begitu
banyak aturan akan warisan. Islam juga mengatur siapa yang berhak menerima
warisan dan berapa besar porsinya. Tapi satu aturan warisan Islam yang terjelek
adalah jika seorang Muslim mati, maka putra²nya akan dapat dua kali lebih
banyak daripada putri²nya. Bukankah itu merupakan aturan yang jahat dan tak
berkemanusiaan? Aturan seperti ini jelas merendahkan martabat wanita, dan
melanggar kode moral kebajikan universal. Terlebih lagi, aturan ini jelas
sangat bertentangan dengan Hukum Emas tentang apa yang adil dan bijak.
(v) Hukuman bagi kriminal:
“Mencuri” adalah contoh perbuatan kriminal dan hukumannya dalam Islam. Hukuman
mencuri dalam Islam adalah potong tangan sang pencuri, tidak peduli berapapun
jumlah barang yang dicuri.
Aku memilih kasus potong tangan
bagi pencurian karena hal ini merupakan salah satu contoh kasus yang paling tak
berperikemanusiaan yang bisa dilakukan manusia dalam nama agama. Pertama, jika
kau potong tangan seseorang, maka kau membuat orang itu cacat dan kesusahan
seumur hidup. Semua pekerjaan membutuhkan kedua belah tangan untuk bisa
dilakukan dengan benar. Pada umumnya, setiap orang membutuhkan kedua belah
tangannya untuk bisa bekerja dan hidup menafkahi dirinya. Kedua, berapa banyak
barang yang dicuri pun patut dipertimbangkan. Jika seseorang mencuri sebuah Teh
Botol, maka hukumannya tentu harus lebih ringan dibandingkan orang yang mencuri
sebuah mobil atau sepeda motor. Jadi sudah jelas bahwa pencurian merupakan
tindakan kriminal yang hukumannya ditetapkan berdasarkan jumlah/nilai barang
yang dicurinya.
Dengan begitu, aturan hukuman
Islam tidak dibuat untuk membentuk masyarakat yang mampu bertindak adil pada
para kriminal. Hukuman Islam potong tangan terhadap pencuri seharusnya tidak
boleh dilaksanakan sama sekali. Hukuman biadab seperti itu bukanlah bagian dari
masyarakat beradab, titik.
Bagaimana penerapan Hukum Emas
terhadap kasus pencurian? Jika kau mencuri sesuatu, mana yang kau pilih:
dipotong tangan dan mengemis bantuan hidup Pemerintah dan hidup miskin
seterusnya; atau memperbaiki kesalahanmu dan seterusnya hidup dengan lebih
baik. Hukum Emas memilih pilihan kedua bagi setiap warga yang melakukan
tindakan mencuri. Hukuman kriminal Islam sangat tidak cocok bagi kebutuhan
manusia.
(3) Kesimpulan
Pengamatan di atas menunjukkan
banyaknya masalah problematik dalam sistem hukum Islam. Islam tidak
memperlakukan setiap manusia sederajat. Islam tidak menawarkan aturan yang adil
bagi pria dan wanita. Sistem politik Islam juga tidak mendukung keadilan Hukum
Emas bagi warga non-Muslim yang hidup di negara yang sama. Sistem hukuman Islam
juga tidak menolong kehidupan warga yang melakukan tindakan kriminal.
Sebaliknya, hukum Islam memotongnya dan membuatnya kurang berguna bagi
masyarakat di seluruh hidupnya. Singkatnya, Islam itu tidak adil. Menurut
istilah Ali Sina, Islam itu cocoknya dimasukkan ke dalam keranjang sampah
sejarah manusia.
Konsep-konsep keadilan
1. Terma-terma Keadilan
al-Qur’an, setidaknya menggunakan
tiga terma untuk menyebut keadilan, yaitu al-‘adl, al-qisth, dan al-mîzân.
al-‘Adl, berarti “sama”, memberi
kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan
terjadi “persamaan”.
al-Qisth, berarti “bagian” (yang
wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. al-Qisth
lebih umum dari al-‘adl. Karena itu, ketika al-Qur’ân menuntut seseorang
berlaku adil terhadap dirinya, kata al-qisth yang digunakan. Allah SWT
berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth
(keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu
sendiri...(Surah al-Nisa’/4: 135).
al-Mîzân, berasal dari akar kata
wazn (timbangan). al-Mîzân dapat berarti “keadilan”. al-Qur’an menegaskan alam
raya ini ditegakkan atas dasar keadilan. Allah SWT berfirman: Dan langit
ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan). (Surah
al-Rahman/55: 7).
2. Makna-makna Keadilan
Beberapa makna keadilan, antara
lain;
Pertama, adil berarti “sama”
Sama berarti tidak membedakan
seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah
persamaan hak. Allah SWT berfirman: “Apabila kamu memutuskan perkara di antara
manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...” (Surah al-Nisa'/4:
58).
Manusia memang tidak seharusnya
dibeda-bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-papa,
laki-puteri, pejabat-rakyat, dan sebagainya, harus diposisikan setara.
Kedua, adil berarti “seimbang”
Allah SWT berfirman: Wahai
manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang). (Surah al-Infithar/82:
6-7).
Seandainya ada salah satu anggota
tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya,
pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan).
Ketiga, adil berarti “perhatian
terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya”
“Adil” dalam hal ini bisa
didefinisikan sebagai wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada
tempatnya). Lawannya adalah “zalim”, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi
(menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh merusak permainan catur,
jika menempatkan gajah di tempat raja,” ujar pepatah. Pengertian keadilan
seperti ini akan melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan
pada Ilahi.
Semua wujud tidak memiliki hak
atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya
mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh
sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Allah disebut qaiman bilqisth
(yang menegakkan keadilan) (Surah Ali ‘Imram/3: 18). Allah SWT berfirman: Dan
Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya (Surah Fushshilat/41: 46).
3. Perintah Berbuat Adil
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang
memerintah kita berbuat adil. Misalnya, Allah SWT berfirman: Berlaku adillah!
Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Surah al-Ma-idah/5: 8).
Dijelaskan ayat ini, keadilan itu
sangat dekat dengan ketakwaan. Orang yang berbuat adil berarti orang yang
bertakwa. Orang yang tidak berbuat adil alias zalim berarti orang yang tidak
bertakwa. Dan, hanya orang adil-lah (berarti orang yang bertakwa) yang bisa
mensejahterakan masyarakatnya.
Dalam ayat lain, Allah SWT
berfirman: Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth
(keadilan)" (Surah al-A’raf/7: 29). Sesungguhnya Allah memerintahkan
berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) (Surah al-Nahl/16: 90). Sesungguhnya
Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya
dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil). Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. (Surah al-Nisa/4: 58).
Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan Keadilan, menjadi saksi
karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapakmu dan
keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui keadaan
keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu tidak berlaku
adil. Jika kamu memutar balikkan, atau engggan menjadi saksi, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Nisa’/4:135).
Dan kalau ada dua golongan dari
mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi
kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil. (Surah al-Hujurat/49: 9).
4. Bidang-bidang Keadilan
Beberapa bidang keadilan yang
wajib ditegakkan, antara lain,
Pertama, keadilan hukum
Ayat-ayat yang telah disebutkan
di atas, itulah ayat-ayat yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan hukum,
kendati pada diri dan keluarga kita sendiri. Ketegasan tanpa pandang bulu
inilah yang juga diteladankan Nabi Muhammad Saw.
Diriwayatkan, pada masa beliau,
seorang perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah bernama Fatimah
al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini membuat jajaran
pembesar Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat hukum saat
itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menjadi
hakim-nya.
Bayang-bayang Fatimah
al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong (Surah al-Ma’idah/5: 38) tangan terus
menghantui mereka. Dan jika hukum potongan tangan ini benar-benar diterapkan,
mereka akan menanggung aib maha dahsyat, karena dalam pandangan mereka seorang
keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik. Lobi-lobi politis pun
digalakkan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan
diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas
dihamburkan untuk upaya itu.
Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu
Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas
dinobatkan sebagai pelobi oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah? Karena Usamah
adalah cucu yang sangat disayangi Nabi. Melalui orang kesayangan Nabi ini,
diharapkan lobi itu akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga
upaya meloloskan Fatimah dari jerat hukun bisa tercapai. Apa yang terjadi?
Upaya lobi Usamah bin Zaid, orang
dekatnya, itu justru mendulang dampratan keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya
simpati. Ketegasan Nabi dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikitpun,
hatta oleh orang dekatnya. Untuk itu, Nabi lantas berkata lantang: “Rusaknya orang-orang
terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka
melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka
mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad
mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Itulah ketegasan
Nabi dalam menegakkan hukum, hatta pada orang yang paling disayanginya
sekalipun.
Kedua, keadilan ekonomi
Islam tidak menghendaki adanya
ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara
lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa
dibenarkan. Nabi Muhammad Saw misalnya bersabda: Tidak menimbun barang kecuali
orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang
orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang
menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi
takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.
Larangan demikian juga ditemukan
dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan
kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah.
Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
(Surat al-Hasyr/59: 7).
Umar bin al-Khattab (khalifah
Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun barang
dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut riwayat Ibnu Majah, Umar berkata,
“Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang
berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang
menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk
Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya
dengan paksa.”
Dalam kaca mata Umar, pemerintah
wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Sehingga ketika ada
oknum-oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang terugikan
secara ekonomi, pemerintah tidak bisa tinggal diam apalagi malah ikut menjadi
bagian di dalamnya. Mebiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya
berbuat kezaliman itu sendiri.
Ketiga, keadilan politik
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ada
tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari
yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil (imamun
adil), pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah),
seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat
berjamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah,
keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak perempuan
berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: "Aku takut
kepada Allah", seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya
sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan
seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan
air mata dari kedua matanya.” (HR Bukhari)
Pemerintah atau pemimpin yang
adil akan memberi hak pada yang berhak, yang komitmen bertanggungjawab pada
warganya. Tidak mudah menjadi pemimpin adil. Karena itu, kita tidak seharusnya
berebut menjadi pemimpin. Inilah sebabnya Umar bin al-Khattab menolak usul
pencalonan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penggantinya. Namun prinsipnya,
Islam memandang siapapun berhak menjadi pemimpin tanpa melihat latar
belakangnya, hatta orang Habasyah (Etiopia sekarang) yang rambutnya kriting
laksana gandum sekalipun. Dan, sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW,
kepemimpinannya harus ditaati.
Keempat, keadilan
berteologi/berkeyakinan
Islam memberikan kebebasan penuh
bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya. Termasuk keyakinan
yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak
boleh diganggu-gugat. Bahkan Muhammad Syahrûr menyatakan, percaya pada
kekebasan manusia adalah satu dasar akidah Islam yang pelakunya dapat
dipercayai beriman pada Allah SWT. Sebaliknya, kufr adalah tidak mengakui
kebebasan manusia untuk memilih beragama atau tidak beragama.
Bukti kebebasan ini, antara lain:
Allah SWT berfirman: Allah lebih tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dia lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (Surah al-Nahl/16: 125). Redaksi
yang mirip bisa ditemukan juga pada Sûrah al-Najm/53: 30 dan Sûrah al-Qalam/68:
7.
Dan katakanlah: kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu. Maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman,
dan siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir…. (Sûrah al-Kahf/18: 29).
Tidak ada paksaan untuk memasuki
agama. Sesungguhnya telah jelas-jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.
Karena itu, siapa yang ingkar kepada taghut dan yang beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Sûrah al-Baqarah/2:
256).
Yang penting diperhatikan, adalah
bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut, semua memiliki konsekuensinya
masing-masing. Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula dibarengi oleh
kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai
“pilihan yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan.”
Kelima, keadilan kesehatan
Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi
Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman pada hari kiamat: Wahai
bani Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku. Bani Adam bertanya: Wahai
Rabbku, bagaimana bisa aku menjenguk-Mu sedang Engkau adalah Tuhan sekalian
Alam? Allah menjawab: Tidakkah kamu melihat seorang hamba-Ku sedang sakit dan
kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu mengetahui, andaikata kamu menjenguknya,
kamu mendapati-Ku di sisinya? (HR. Imam Muslim).
Hadis kudsi di atas menunjukkan,
jika kita “menjenguk” – dalam pengertiannya yang luas – tetangga kita yang sakit,
maka kita akan menemukan Allah SWT di sana. Tidak “menjenguk”nya berarti tidak
menemukan-Nya. Apa maknanya? Kita bisa merenungkannya masing-masing. Yang
jelas, dalam hal ini pemerintah juga wajib “menjenguk” warganya yang sakit.
Siapapun dia dan apapun latar belakangnya. Cara “menjenguk”nya? Bisa saja
dengan pengobatan geratis, dan sebagainya.
Keenam, keadilan pendidikan
Allah SWT berfirman: Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Surah al-Mujaadilah: 11). Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tholabul ilmi
farîdhotun 'alâ kulli muslim” (HR. Ibnu Majah). (Setidaknya) dua argumen ini,
memberikan pengertian bahwa menuntut ilmu atau mendapatkan pendidikan, adalah
hak bagi siapapun tanpa pandang latar belakang.
5. Universalisme Keadilan Islam
Keadilan dalam Islam itu
universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik batas nasionalitas,
kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit, status (sosial, ekonomi, politik), dan
bahkan batas agama sekalipun. Pada orang yang berbeda keyakinan dan bahkan
hewan sekalipun, keadilan harus ditegakkan.
Allah SWT berfirman: Dan apabila
kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah
kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat. (Surah al-An’am/6: 152).
Sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama
mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan.
(Surah al-Hadid/57: 25).
Hai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau
terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (Surah
al-Nisa'/14: 135).
Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah
adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. (Surah
al-Maidah/5: 8)
Orang berbeda agama pun wajib
diberi keadilan. Allah berfirman: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan tuqsithu (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir) yang tidak menerangimu
karena agama, dan tidak mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain untuk
mengusir kamu... (Surah al-Mumtahanah/60: 8).
Kisah (a)
Seorang pria Mesir beragama
Kristen Koptik (salah satu aliran Kristen yang berkembang di Mesir) mendatangi
Umar bin al-Khattab di Madinah, yang kala itu sebagai pemimpin kaum muslim,
untuk mencari keadilan.
Pria Mesir itu berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, aku mencari perlindunganmu dari penindasan.” “Kamu telah
mencari perlindungan d imana ia seharusnya dilindungi,” jawab Umar.
“Ketika aku sedang berlomba
dengan putra Amr bin Ash, aku berhasil mengalahkannya. Namun kemudian dia
memukuli aku dengan cambuknya dan berkata: ‘aku adalah putra bangsawan’!”
cerita pria Mesir mengadu.
Mendengar pengaduan itu, Umar
yang dikenal adil dan bijaksana itu berang. Ia ingin memberikan keadilan pada
orang Kristen Koptik itu. Umar lalu menulis surat untuk Amr bin ‘Ash (gubernur
Mesir saat itu) dan memerintahkannya segera menghadap beserta putranya.
“Ke mana Pria Mesir itu? Suruh
dia ambil cambuk dan pukul putra Amr!” pinta Umar. Pria Mesir itu pun menuruti
perintah Umar. Ia memukuli putra Amr bin Ash dengan cambuk.
Anas berkata, “Maka dia memukuli
putra Amr. Demi Allah, ketika pria Mesir itu memukulinya, kami kasihan dan
meratapinya. Dia tidak berhenti sampai kami menghentikannya.”
Kemudian Umar berkata pada Pria
Mesir itu, “Sekarang pukulkan cambuknya ke kepala Amr yang botak itu.”
Pria Mesir itu bingung dan
menjawab, “Ya Amirul Mukminin, yang menganiaya aku itu putranya, dan aku telah
menyamakan kedudukanku dengannya.”
Umar lantas bertanya pada Amr bin
‘Ash, “Sejak kapan kamu telah memperbudak rakyatmu, padahal ibu-ibu mereka
telah melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka?”
“Ya Amiral Mukminin, aku telah
lalai dan pria Mesir itu tidak mendatangiku untuk mendapatkan keadilan,” jawab
Amr.
Kisah (b)
Ali bin Abi Thalib (Khalifah
Islam ke-4), pernah menemukan baju besinya di rumah seorang Yahudi. Maka Ali
mengadukan Yahudi itu ke pengadilan karena diduga mengambil bajunya. Sayangnya,
Ali tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu miliknya. Maka hakim memutuskan,
yang salah adalah Ali dan yang berhak atas baju itu adalah Yahudi. Ali pun
menerima keputusan pengadilan itu, kendati posisinya sebagai kepala negara dan
yang dihadapi rakyatnya sendiri.
6. Pelaksana Keadilan
Islam hanya menekankan prinsip
keadilan dan pentingnya keadilan bagi semua. Perihal bagaimana cara mendapatkan
keadilan, itu sepenuhnya diserahkan pada umatnya. Termasuk bagaimana membangun
negara yang akan menjadi sarana tercapainya keadilan, itu juga tidak diatur
oleh Islam. Mau berasas Islam, sekuler, demokrasi, teokrasi, teodemokrasi, dan
apapun namanya, yang penting ditekankan adalah KEADILAN.
Yang jelas, siapapun kita, baik
sebagai individu maupun pemerintah, harus menjadi martir penegakan keadilan
sesuai jangkaun wilayah kita. “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian/kullukum ra’in wa
kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih,” pesan Nabi Muhammad SAW.
7. Buah Keadilan
Keadilan, dalam hal apapun, akan
membuahkan kedamaian dan kesejahteraan. Inilah inti kemaslahatan bagi umat. Dan
ini lebih mungkin dilaksanakan oleh para pemimpin atau pemerintah. Untuk itu,
tasharruf imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin bagi
warganya harus diorientasikan untuk kemaslahatan mereka). Sayyidul qaum
khadimuhum (pempimpin umat adalah pelayan bagi mereka). Pemimpin harus melayani
umatnya untuk mendapatkan keadilan ini. Karena itu, keadilan yang berujung pada
kedamaian dan kesejahteraan harus dikejar terlebih dahulu ketimbang urusan
pribadi ataupun golongan.
Ada kisah, khalifah Harun
al-Rasyid pernah disindir sufi-pembanyol Nasruddin Hoja. “Kamu pilih keadilan
atau harta?” tanya khalifah. “Harta!,” jawab Nasruddin tegas.
Khalifah marah bukan kepalang.
“Harusnya yang kamu pilih keadilan. Itu juga yang saya pilih,” kata khalifah
berang. “Orang memang akan menginginkan apa yang tidak dimilikinya,” jawab
Nasruddin ringan.
Nasruddin punya keadilan, tapi
tak punya harta, makanya ia menginginkan harta. Khalifah punya harta, tapi tak
punya keadilan, makanya ia menginginkan keadilan. Bagaimana kita di negeri ini?
Bahkan kita tidak punya dua-duanya! Inilah cermin masyarakat yang bangkrut. Wa
Allah a’lam bi al-sawab.[]
.