LEGENDA SI PAHIT LIDAH DAN SI EMPAT MATA

Jaman dahulu kala dikisahkan, di daerah Banding Agung, Sumatera Selatan, hiduplah dua orang jawara yang gagah perkasa. Mereka sangat dikenal oleh masyarakat Banding Agung dan disegani lawan-lawannya. Kedua pendekar itu memiliki julukan si Pahit Lidah dan si Mata Empat.

Suatu hari, si Pahit Lidah datang menemui si Mata Empat. Ia berkata, "Hai, Mata Empat, kudengar kau sangat sakti. Tapi, kurasa kesaktianmu tidaklah sebanding denganku."

Merasa diremehkan oleh si Pahit Lidah, si Mata Empat pun berkata,"Apa maksudmu? Kau pikir sehebat apa dirimu? Untuk membuktikan siapa yang paling sakti di antara kita, ayo kita adu kesaktian!"

"Baiklah, aku terima tantanganmu. Masing-masing dari kita nanti harus menelungkup di bawah rumpun bunga aren. Kemudian, bunga aren itu dipotong. Siapa yang bisa menghindar dari bunga aren tersebut, dialah yang menang," jelas si Pahit Lidah menantang.


Akhirnya, mereka sepakat menentukan waktu untuk beradu kekuatan. Hari berganti, waktu yang telah ditentukan pun tiba. Si Mata Empat mendapat giliran pertama. Sesuai dengan namanya, si Mata Empat memiliki empat mata, yaitu dua di depan dan dua di belakang (kepalanya).

Dengan gesit, si Pahit Lidah memanjat pohon aren dan berhasil memotong bunganya. Sementara, si Mata Empat menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon tersebut. Dibantu oleh kedua matanya yang berada di belakang kepala, si Mata Empat berhasil menghindari bunga aren yang telah dipotong dari pohonnya oleh si Pahit Lidah. Selamatlah di Mata Empat.

Kini giliran si Mata Empat untuk memanjat pohon aren. Sedangkan, si Pahit Lidah menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon aren.

Tidak kalah gesitnya si Mata Empat memanjat. Setelah sampai di atas, ia memotong bunga aren. Dengan cepat, bunga aren tersebut meluncur ke bawah. Si Pahit Lidah tidak mengetahui bunga aren itu telah dipotong, hanya menelungkup tanpa menghindar. Akibatnya, tubuh si Pahit Lidah terkena hujaman bunga aren. Seketika itu juga ia tewas.

Melihat kematian si Pahit Lidah, hati si Mata Empat menjadi puas. Kini, dialah yang paling sakti di antara jawara yang lain. Namun, di balik rasa puasnya, si Mata Empat masih merasa penasaran tentang nama si Pahit Lidah.

"Dia pikir dia itu hebat?" ucap si Mata Empat sambil melihat ke arah si Pahit Lidah.

"Tapi, mengapa ia dipanggil si Pahit Lidah? Apakah lidahnya benar-benar pahit?" pikir si Mata Empat.

Karena penasaran, si Mata Empat pun menghampiri mayat si Pahit Lidah. Setelah itu, dibukalah mulut si Pahit Lidah. Setelah dilihat-lihat dengan teliti, ternyata lidah milik si Pahit Lidah tidak jauh berbeda dengan lidah miliknya.

"Benarkan lidahnya pahit?" tanya si Mata Empat dalam hati sambil menempelkan telunjuknya ke lidah si Pahit Lidah. Kemudian ia kecap jari telunjuknya yang telah terkena liur si Pahit Lidah itu ke lidahnya. "Memang terasa sangat pahit," ujarnya kembali dalam hati.

Akan tetapi, ia tidak mengetahui bahwa rasa pahit itu adalah racun yang berada di lidah si Pahit Lidah. Akibatnya, si Mata Empat pun tewas.

Kini, tidak ada lagi yang terkenal saat itu, Mereka tewas akibat kesombongannya sendiri. Mayat si Mata Empat dan si Pahit Lidah dimakamkan di tepi Danau Ranau. Danau itu masih ada sampai sekarang dan menjadi obyek wisata yang pemandangannya sangat indah.

Pesan moral:

Belajarlah untuk berbuat baik kepada semua orang. Manfaatkan pula ilmu yang kita miliki untuk berbuat kebaikan dan berguna untuk orang banyak. Sebab, dengan berbuat hal yang baik, kita akan menuai hasil yang baik pula.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post