Bagi banyak orang, termasuk saya, Muhammad
Zainul Majdi adalah nama yang asing. Meski ia merupakan salah satu
pejabat publik paling berprestasi di negeri ini. Prestasi yang berjubel tak membuatnya menjadi media darling,
atau sosok kesayangan media massa yang dapat membuat seseorang menjadi
terkenal. Jabatan juga tak mengantarnya pada posisi sebagai orang yang
sering diperbincangkan khalayak. Pendek kata, di mata kami publik yang
awam ini, ia adalah pejabat biasa-biasa saja.
Dalam kehidupannya
yang biasa-biasa saja itu, lelaki yang memenangkan lebih dari 44 persen
suara rakyat ini merupakan Gubernur termuda pertama di Indonesia. Museum
Rekor Dunia Indonesia (MURI) pun bemberinya titel "Gubernur Paling
Muda", sebab ia dilantik pada usia 36 tahun tiga bulan 17 hari.
Penghargaan
pertamanya tak datang ketika ia menjabat posisi Gubernur. Jauh sebelum
itu, pada 2008 ia menerima penghargaan nasional bidang layanan publik
"Investment Award" dan bidang kesehatan "Ksatria Bhakti Husada". Di
tahun-tahun selanjutnya, penghargaan tak pernah absen ia terima untuk
sumbangsihnya di berbagai bidang. Total 66 penghargaan dikantonginya
selama 2008 hingga 2016.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2012 menyematkan Bintang Mahaputera
Utama di dadanya, sebagai salah satu Tokoh Terbaik Bangsa. Ini
merupakan tanda bintang tertinggi yang diberikan kepada para putra
bangsa, atas jasa luar biasa terhadap nusa dan bangsa. Ia mendapatkannya
atas upaya membangun NTB, hingga dinilai pantas untuk ditiru oleh
daerah lain di Indonesia.
Sosok
bergelar adat Tuan Guru Bajang (TGB) ini, merupakan keturunan ulama
besar Pulau Lombok. Kakeknya bernama Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai
Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd, atau sering dipanggil Hamzanwadi
yang merupakan singkatan dari Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd
Nahdlatul Wathan Dīniyah Islāmiyah.
Hamzanwadi adalah pendiri
Nahdlatul Wathan, organisasi Islam dengan jumlah pengikut terbesar di
Lombok. Di Mekah, Mesir dan Lebanon, ia dihormati sebagai ulama besar.
Hamzanwadi menerbitkan banyak buku, yang menjadi pegangan bagi mereka
yang mempelajari agama.
Gelar Tuan Guru Bajang diberikan
masyarakat kepada Zainul Majdi, sebagai penghargaan. Tuan Guru merupakan
gelar yang diberikan warga Suku Sasak, NTB, kepada ulama besar.
Membimbing dan mengayomi umat Islam dalam kegiatan keagaamaan dan
kehidupan sosial merupakan tugas dari seorang Tuan Guru. Sedangkan bajang bermakna muda, sebab di usai 30-an tahun ia telah dipercaya memimpin masyarakat.
Dalam blog pribadinya, politikus Yusril Ihza Mahendra
pada 2008 menyebut TGB sebagai sosok sederhana. "Saya senang dengan
Tuan Guru, karena kepribadiannya yang bersahaja itu. Dia mengenakan
pakaian seadanya. Seringkali saya bertemu dengannya hanya memakai jubah
putih atau memakai kain sarung belaka dan hanya memakai sendal
sederhana."
Dalam artikel Jawa Pos berjudul “Tuan Guru dengan
Masa Depan yang Panjang” yang dimuat Jawa Pos pada Februari 2016,
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) era SBY Dahlan Iskan memuji
kesantunan TGB, bahkan ketika ia mengkritik pers.
"Inilah
gubernur yang kalau mengkritik tidak membuat sasarannya terluka. Bahkan
tertawa-tawa. Saking mengenanya. Saya mengenal banyak gubernur yang amat
santun. Semua gubernur di Papua termasuk yang sangat santun. Yang dulu
maupun sekarang. Tapi, gubernur yang baru mengkritik pers itu luar biasa
santun. ...Sebagai gubernur, Tuan Guru Bajang sangat mampu. Dan modern.
Sebagai ulama, Tuan Guru Bajang sulit diungguli. Inikah sejarah baru?
Lahirnya ulama dengan pemahaman Indonesia yang seutuhnya?"
TGB
memang seorang modern. Ia mengenyam pendidikan modern di Al Azhar, salah
satu universitas pemberi gelar tertua di dunia yang terletak di Kota
Kairo, Mesir. Di universitas ini, ia menempuh pendidikan sarjana hingga
doktoral. Di usia 20 tahun jelang kuliah, ia telah menghapal kitab suci.
Gelar doktor pun diraihnya dalam bidang tahfiz Quran sebanyak 20 juz.
Menjadi
panutan yang mengayomi umat, tak hanya tersirat pada gelarnya. Dalam
insiden di Bandara Changi Singapura, ia menunjukkan hal tersebut. Hari
itu 9 April 2017, Tuan Guru Bajang dan istri akan kembali ke tanah air.
Atas sebuah kesalahpahaman, seorang pemuda menuduhnya merebut antrian
dan menghardiknya. Sebab sang pemuda tak menerima penjelasannya, TGB dan
istri pun mengalah, mereka mundur ke posisi antrian belakang.
Tak
dinyana, umpatan kasar tersebut tak serta merta berhenti. Perbuatan tak
terpuji itu terus berlanjut ketika mereka berada di dalam pesawat,
hingga tiba di Bandara Soekarno Hatta. Merasa pemuda itu tak dapat
tenang, TGB melaporkannya pada pihak keamanan bandara. Laporan itu
dimaksudkan agar si pemuda tenang, bukan ingin mempersoalkan perbuatan
tidak menyenangkan yang diterimanya. Saat itulah publik yang berada di
sana akhirnya mengetahui siapa sosok yang dicerca tadi: seorang
Gubernur!
Tentu saja pemuda yang mengumpatnya tadi, sebagaimana
penumpang lain, tak mengetahui hal itu. Penampilannya yang
sederhana--terbukti dengan pemilihannya atas maskapai penerbangan yang
digunakan, membuatnya tidak dikenali sebagai salah satu orang penting di
negeri ini. Dalam surat tertulisnya di hari yang sama, sang pemuda
meminta maaf.
Sepekan kemudian di hari Jumat, TGB berdiri di
mimbar Masjid Hubbul Wathan Islamic Center, Kota Mataram, NTB. Dalam
kutbahnya, ia membenarkan kejadian yang dialaminya dalam perjalanan dari
Singapura. Rupanya, isu ini santer diperbincangkan publik. Banyak pihak
menginginkan agar pemuda yang menghardik TGB diadili, sebab dianggap
menghina ulama.
Apa kata sang Tuan Guru?
"Saya tidak bisa
melarang orang marah, tapi kemarahan yang ada tidak boleh mendorong pada
satu bentuk kemaksiatan. Tetap jaga keamanan, kenyamanan, dan
ketenangan NTB." Tuang Guru tak menginkan adanya provokasi. Bersabar
adalah tuntunan pertama Quran jika mendapat perbuatan tidak
menyenangkan, jelasnya. Menurutnya, rasa sabar akan mendekatkan manusia
pada ketakwaan kepada Tuhan.
Ia menghimbau agar tak ada
masyarakat yang terprovokasi dalam bentuk apapun. "Kehebatan seseorang
bukan terletak pada siapa yang menang dalam bertarung fisik, melainkan
mampu mengendalikan diri pada saat marah," tambahnya. Masyarakat NTB
diminta mengendalikan diri dan menggunakan akal sehat dalam menyikapi
hal ini.
Baginya, menjaga persaudaraan adalah yang paling
dibutuhkan NTB. "Mari kita jaga keutuhan dan kebersamaan kita, jangan
terprovokasi dalam bentuk apapun, lelah kita bangun NTB ini, mari kita
rawat dengan sebenar-benarnya," ucapnya. Yang terjadi pada dirinya dan
keluarga, bagi TGB, menjadi pelajaran bersama. Adapun ia lebih
mementingkan perhatian masyarakat pada hal-hal produktif untuk
menumbuhkan semangat dalam membangun daerah.
Dua
kali di pertengahan 2013 di Mataram, saya berada di forum yang sama
dengan sang Tuan Guru. Saya hanya mengenalinya sebagai Gubernur baru.
Zainul Majdi namanya, ganteng orangnya, lucu pidatonya. Pada pertemuan
pertama, ia menyapa semua orang, termasuk saya. Tak ada kesan khusus
yang menyiratkan kebesaran gelar dan hatinya.
Beberapa hari
belakangan, mata saya terbuka. Betapa besar budi sang Tuan Guru. Dengan
kuasanya sebagai pemimpin, ia menegaskan kepada rakyat yang dipimpinnya
itu untuk menjaga keutuhan bangsa. Ia sadar betul, betapa berat ujian
yang sedang dihadapi bangsa kita kini. Ujian hati soal gesekan rasial.
Terlebih lagi, pemuda tersebut memeluk agama yang berbeda dengan
mayoritas warga NTB. Belakangan ini perbedaan agama kerap menjadi
"komoditas isu", menjadi bahan yang paling banyak dikonsumsi rakyat
negeri ini. Perpecahan terjadi, Bhinneka Tunggal Ika terpinggirkan.
Jika
Tuan Guru Bajang enggan meredam kemarahan umat, betapa besar kerugian
yang akan diterima bangsa Indonesia, tak hanya warga NTB. Namun ia
tunjukkan kebesarannya sebagai pemimpin, perintah tegasnya muncul
sebagai penyejuk: "Jangan ada yang terprovokasi!" serunya.
Pada
sang Tuan Guru, seluruh rakyat Indonesia--utamanya saya, perlu berguru
tentang cara menjadi bagian dari golongan orang-orang yang bersabar. Di
tahun-tahun terakhir, saya lupa apakah ada pemimpin agama yang mampu
meredam kemarahan umat? Wallahu a'lam.