Gubernur Nusa Tenggara Barat, Dr. TGKH.
M. Zainul Majdi MA mengatakan, bacaan keliru atas teks-teks agama
menyebabkan tumbuhkan tingkat radikalisme para pemeluk agama. Hal itu
tidak hanya terjadi di Islam, namun juga agama lain.
Selain itu, faktor lain ialah depresi sosial dimana ada kontradiksi
antara nilai-nilai di tempat lahir dengan kota. Hal ini juga memicu
terjadinya tekanan ekonomi dimana terjadi ketimpangan antara yang kaya
dan tidak mampu.
“Pendidikan juga bisa menyumbang radikalisme dimana mereka yang
kemampuan logisnya baik akan mampu melihat adanya ketimpangan ekonomi.
Ini bisa memicu anak muda bergerak menuju ke arah radikalisme,” tutur
tokoh yang akrab dipanggil Tuan Guru Bajang (TGB) ini.
Yang memprihatinkan, saat ini dengan mudah kelompok lain menuduh grup
lain sebagai radikal lantaran tidak satu arah. Oleh karena itu, perlu
ada titik tengah yang menjadi alat ukur radikalisme seseorang atau
kelompok.
“Sebenarnya, banyak faktor yang menyebabkan radikalisme. Salah
satunya ialah hilangnya peran institusi yang baik sedikit demi sedikit.
Tapi yang saya lihat saat ini ialah ada institusi baik yang kekuatannya
sedikit demi sedikit hilang, bahkan hancur,” katanya, belum lama ini,
dalam serangkaian kegiatan di Jawa Timur, seperti di UIN Sunan Ampel
Surabaya.
Cucu pendiri Nahdlatul Wathan (NW) Lombok ini, mencontohkan beberapa
saat lalu ada pernyataan, pesantren sebagai sarang terorisme. Dengan
nada prihatin, dia menegaskan pesantren selama ini ikut berperan dalam
memerangi radikalisme.
“Apakah
kita lupa jutaan anak-anak belajar di pesantren. Ada juga yang menyebut
masjid sebagai lokasi menyebar radikalisme. Apakah tidak sadar, dengan
mengeluarkan statemen seperti itu orang akan meninggalkan tempat ibadah.
Lalu kemana masyarakat mencari perlindungan sosial? Tentunya akan ke
organisasi yang tak bisa dipercaya,” sesalnya.
“Apa titik tengahnya? Pancasila. Selain itu, rasionalisme, akal sehat
kolektif agar bisa menjaga negeri ini seperti saat founding father kita
mendirikan Indonesia,” tegas TGB, yang berkesempatan mampir di kediaman
Dahlan Iskan, di Surabaya.
Tetapi dia memberikan sejumlah syarat bahwa masyarakat saat ini
jangan melihat Pancasila sebagai doktrin ideologis semata, tapi harus
jadi doktrin transformatif. “Kita amalkan di hidup dan ini kerja
bersama, berijtihad di dalam ranahnya masing-masing,” katanya.
Yang kedua, Zainul meminta agar Pancasila tak diperlakukan secara
tradisional dan tekstual, melainkan Pancasila diperlakukan dengan
progresif dan konstekstual. Semuanya berperan sesuai dengan
pengamalannya masing-masing. “Jadi jangan terlalu sensitif kalau ada
upaya kreatif memaknai Pancasila, sebagai bagian optimisme kita,”