Adalah Hegel yang
pertama kali mengetahui bahwa ‘setiap filsafat... diperuntukkan untuk zamannya
sendiri dan terperangkap di dalam keterbatasan-keterbatasan zaman yang
bersangkutan’. Tetapi hal itu menimbulkan sebuah pertanyaan: bagaimana sebuah
pandangan filsafat dapat tetap hidup sesudah ‘zamannya’ lewat? Jawaban daripada
pertanyaan ini membawa kita melebihi argumentasi filosofis ke sebuah penetrasi
yang lebih mendalam mengenai ‘zamannya’ dan zaman kita. Itulah mengapa kunci
untuk menuju apa yang masih hidup dari pemikiran Hegel terdapat di dalam kritik
Marx terhadapnya.
Pertama-tama,
mari kita bahas mengenai apa yang dimaksud oleh Marx dengan "kritik".
Hal itu terkait erat dengan ide Hegel mengenai ‘peleburan’ [aufheben]
untuk menegasikan, dan dengan demikian memelihara kebenaran yang terdapat di
dalam sesuatu. Hal ini sama dengan sikap Marx terhadap agama: yang penting
adalah bukan menolak sentimen religius karena sentimen tersebut ‘tidak benar’,
tanpa dasar, dan kemudian merencanakan sebuah bentuk agama baru. Tetapi, kita
harus menemukan aspek-aspek dari cara hidup yang menimbulkan adanya agama-dan
kemudian merevolusionerkan aspek-aspek tersebut. Agama adalah ‘hati dari dunia
yang tidak berhati’, sehingga yang penting adalah untuk mendirikan sebuah dunia
dengan hati. Daripada sebuah solusi yang bersifat ilusi, kita harus, di dalam
praktek, menemukan solusi yang bersifat riil.
Karya filosofis
daripada Hegel adalah sebuah upaya untuk meringkas essensi daripada keseluruhan
sejarah filsafat, dan baginya hal itu adalah sejarah secara keseluruhan.
Sehingga, kritik Marx terhadap Hegel adalah sebuah kritik terhadap ilmu
filsafat itu sendiri. Ia mengambil kesimpulan bahwa filsafat tidak dapat
menjawab pertanyaan yang telah dibawa oleh filsafat ke permukaan. Pada
akhirnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bersifat filosofis, tetapi
bersifat praktis. Ketika Marx mengklaim bahwa karyanya bersifat ilmiah [wissenschaftlich],
ini tidaklah berarti bahwa dia sedang mengelaborasi seperangkat doktrin, yang
terdiri dari ‘teori-teori’, tetapi, dengan melacak kontradiksi dari ilmu
pengetahuan yang ada ke akarnya yang mana adalah cara hidup manusia yang tidak
manusiawi, ia dapat menjelaskan kebutuhan untuk merevolusionerkan cara hidup
tersebut, untuk melangkah dari kontemplasi ke solusi revolusioner yang
‘kritis-praktis’.
Hal ini sedikit
sekali berhubungan dengan cerita kuno mengenai Hegel, sang idealis dan Marx,
sang materialis, mengenai transisi dari ‘idealisme’ dan ‘demokrasi’ ke
‘materialisme’ dan komunisme, atau mengenai Marx yang melemparkan sistem
konservatif Hegel, untuk mempertahankan metode revolusionernya. Apabila kita
menerima seperangkat prasangka yang dulu pernah disebut dengan ‘Marxisme’, maka
kita tidak dapat bahkan untuk menjawab pertanyaan kami yang pertama. (Dan itu
hanya sebagian kecil daripada permasalahannya.)
Hampir di dalam seluruh hidupnya,
Marx secara terus-menerus kembali kepada Hegel, setiap saat mempertajam, baik
perbedaannya maupun persetujuannya dengan Hegel. Marx memulai kritiknya
terhadap Hegel dengan sejarah daripada filsafat Yunani, di dalam tesis
doktoralnya. Ia mengamati secara kritis ringkasan Hegel mengenai sejarah
daripada filsafat politik, yang berjudul Philosophy of Right (Filsafat Hukum).
Setelah memperlihatkan bahwa konsepsi Hegel mengenai negara modern didasarkan
pada relasi ekonomi borjuis, Marx dapat mengidentifikasi sudut pandang Hegel
mengenai ekonomi politik. Sekarang ia dapat memulai kritiknya terhadap
pencapaian-pencapaian dari pemikiran ekonomi borjuis, sebagai ekspresi yang
tertinggi dari ketidakmanusiawian masyarakat borjuis. Di dalam setiap tahap
daripada kerjanya, Marx menggunakan studinya terhadap Hegel untuk menembus ke
dalam koneksi yang essensial antara sikap filsafat terhadap dunia dan
bentuk-bentuk keterasingan sosial yang secara alamiah tidak manusiawi,
eksploitatif, dan menindas.
Tesis doktoral
Marx, yang dikerjakannya antara tahun 1839 dan 1841, adalah mengenai ‘Perbedaan
antara Filsafat Alam Demokritean dan Epikurean’. Caranya memperlakukan dua
atomis Yunani tersebut, kontradiktif dengan pendapat daripada Hegel-dan hampir
semua orang-di mana ia menekankan keaslian daripada Epikurus. Marx mengumumkan
bahwa tujuannya adalah untuk menemukan sumber daripada kesadaran-diri manusia
dan idea di realitas material. Yang lainnya adalah pendiriannya bahwa filsafat
harus ‘keluar menuju dunia’. Menemukan bahwa eksistensi tidak sesuai dengan
essensi, maka filsafat harus menjadi praktis, dan ‘memalingkan kemauannya
terhadap dunia penampakan’. (I: 85.) Lebih jauh lagi, ‘dunia yang berhadapan
dengan sebuah filsafat yang bersifat total di dalam dirinya, adalah...sebuah
dunia yang terkoyak-koyak’. (I: 491) Hal ini memberikan arah kepada kritik Marx
terhadap agama. Berbeda dengan Kant, Marx menganggap bahwa keyakinan agama
tidak hanya sebuah ilusi.
Semua tuhan/dewa,
baik yang penyembah berhala maupun Kristen, telah memiliki sebuah eksistensi
yang riil. Bukankah dewa Moloch berkuasa di zaman purbakala? Bukankah dewa
Apollo di Delphi adalah sebuah kekuatan yang riil di dalam kehidupan
orang-orang Yunani? (I: 104).
Pada tahun 1843,
Marx memulai karyanya mengenai analisis yang terinci dari bagian tentang negara
di dalam Philosophy of Right. Ini adalah merupakan puncak dari karya terakhir
Hegel, di mana ia berupaya memperlihatkan bagaimana kekuatan negara modern,
dipahami secara rasional, merekonsiliasikan kontradiksi-kontradiksi dari
‘masyarakat sipil’, yang mana adalah, masyarakat borjuis. Di mana masyarakat
sipil adalah ‘medan perang daripada kepentingan pribadi’, filsafat menunjukkan
bagaimana negara mengekspresikan kesatuan daripada sebuah kehidupan bangsa.
Negara adalah ‘aktualitas dari kebebasan yang konkrit’. Kritik Marx terhadap
filsafat negara dari Hegel membuat ia melihat bahwa masyarakat sipil dan negara
adalah asing terhadap kehidupan manusia yang sejati, yang mana pada waktu itu
disebutkannya sebagai ‘demokrasi sejati’.
Tidak lama
setelah ia meninggalkan karyanya mengenai negara, Marx membuat tiga langkah
maju ke depan, yang mana merubah hidupnya: ia melihat pentingnya peranan
revolusioner dari proletariat; ia menemukan bahwa apa yang ia namakan dengan
‘demokrasi sejati’ berhubungan dengan apa yang disebut oleh yang lain dengan
‘komunisme’; dan ia menyadari bahwa ia harus membuat sebuah studi yang kritis
tentang ekonomi politik. Hegel melihat ‘ruh’ maju dengan cara seperti ini: di
dalam setiap tahapan penyingkapannya, ruh-totalitas daripada kehidupan dan
aktifitas manusia-menemukan dirinya berkontradiksi dengan apa yag telah
diproduksi oleh dirinya, yang mana sekarang berhadapan dengannya sebagai
sesuatu yang asing. Filsafat merefleksikan keterasingan ini, dan
menyelesaikannya melalui refleksi ini, dan hal ini, menurut Hegel, adalah
bagaimana ruh menciptakan dirinya. Relasi daripada negara dengan masyarakat
sipil adalah sebuah contoh yang utama dari gerakan ini. Pada tahun 1844, kritik
Marx, baik terhadap filsafat maupun ekonomi politik, telah mencapai tingkatan
di mana ia dapat menemukan sesuatu yang lain di dalam kategori-kategori dan
ekspresi Hegel: kemanusiaan memang menciptakan dirinya sendiri-hal ini adalah
penemuan yang hebat dari Hegel-tetapi yang fundamental adalah bukan tindakan
daripada ruh, tidak pula kerja daripada filsafat, tetapi adalah tenaga kerja
material.
Dengan demikian
kritik Marx terhadap Hegel melangkah dari sejarah filsafat kuno, ke konsepsi
daripada negara. Kemudian baru terlihat bahwa ‘bentuk-bentuk politik berasal
dari masyarakat sipil dan anatomi daripada masyarakat sipil dapat ditemukan
pada ekonomi politik’. Adalah kritik ekonomi politik yang dikonsentrasikan oleh
Marx sampai dengan akhir hayatnya, tetapi hal ini dapat disalahpahami. Marx
tidak terlibat di dalam ‘kritik terhadap kapitalisme’, seperti yang sering kita
dengar. Hal itu dapat membuat kita terjebak di dalam perangkap utopian.
Tugasnya adalah untuk mempelajari ekspresi teoretis tertinggi dari relasi-relasi
borjuis, dan memperlihatkan bagaimana teori-teori ini menyembunyikan cara di
mana relasi-relasi tersebut menolak apa yang secara essensial adalah manusia.
Hubungan pertukaran daripada kepemilikan pribadi, yang dipresentasikan oleh
para tokoh Pencerahan sebagai dasar daripada kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan, sebenarnya adalah ‘lawan daripada relasi sosial’. Uang dan
kapital menggabungkan manusia secara bersama-sama, tetapi hanya dengan cara
memisahkan mereka. Karena masyarakat telah terfragmentasi, relasi-relasi sosial
borjuis memegang kekuasaan atas individu-individu yang dihubungkannya. Manusia
memperlakukan sesamanya-dan dirinya sendiri-sebagai benda, sementara kapital
menjadi subyek riil yang memerintah hidup mereka.
Hegel telah
berupaya untuk mengekspresikan cara kebebasan berkembang hanya di tingkatan
masyarakat secara keseluruhan, apa yang disebutnya dengan ‘Ruh’. Marx, yang
telah melangkah melebihi tujuan tradisional daripada filsafat, berupaya untuk
menyingkap kemungkinan dari individu sosial, yang mana perkembangan bebasnya
adalah kondisi, yang tanpanya ‘kebebasan perkembangan daripada semua’ tidak
dapat terwujud.