بِـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيـْـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــمِ
[1]Telah berkata Syaikh Imam Abul Muzhaffar 'Abdul Malik bin Ali bin Muhammad al-Hamdani:
menceritakan kepada kami Syaikh Abu 'Abdillah Yahya bin Abil Hasan bin
al-Banna. Menceritakan kepada kami bapakku, Abu 'Ali Hasan bin Ahmad bin
Abdillah bin al-Banna. Menceritakankepada kami Abul Husain Ali bin
Muhammad bin Abdillah bin Busyran al-Mu'addal. Menceritakan kepada kami Utsman bin
Ahmad bin Sammak. Menceritakan kepada kami Abu Muhammad al-Hasan bin
Abdul Wahhab bin Abu al-‘Anbar —dengan dibacakan kitabnya kepadanya— pada bulan
Rabiul al-Awwal tahun 293 H. Menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin
Sulaiman al-Minqari al-Bashri di Tinniis. Menceritakan kepadaku 'Abdus bin
Malik al-Aththar.
Dia berkata: Aku mendengar Abu 'Abdillah Ahmad
bin Muhammad bin
Hanbal berkata,
"Pondasi Ahlis Sunnah menurut kami
adalah:
1.
Berpegang
teguh pada jalan hidup para sahabat Rasulullahصلي الله عليه وسلم .
2.
Berqudwah (mengambil teladan) pada mereka.
3.
Meninggalkan
bid'ah-bid'ah.
4.
Setiap
bid’ah
adalah kesesatan.
5.
Meninggalkan
permusuhan dan berduduk-duduk dengan Ahlil Ahwa’ (pengekor hawa nafsu).
6.
Meninggalkan
perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan agama.
7.
As-Sunnah
menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah صلي الله عليه وسلم.
8.
As-Sunnah
adalah penjelas Al-Quran yakni petunjuk-petunjuk dalam Al-Quran.
9.
Di
dalam As-Sunnah tidak ada qiyas.
10.
As-Sunnah
tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur dengan akal dan hawa nafsu,
akan tetapi dengan ittiba' dan meninggalkan hawa nafsu.
11.
Dan
termasuk dari Sunnah yang tidak boleh ditinggalkan dan bila ditinggalkan satu
perkara saja darinya maka ia tidak menerima dan beriman dengannya (Sunnah) dan
tidak termasuk dari ahlinya.
12.
Beriman
terhadap taqdir baik
dan buruknya dan membenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya.
Tidak boleh mengatakan: "Kenapa" dan "bagaimana", karena
hal itu tiada lain hanyalah membenarkan dan mengimaninya. Barangsiapa yang tidak mengerti penjelasan hadits
(tentang taqdir) dan
akalnya tidak sampai, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya. Maka wajib
baginya mengimaninya dan berserah diri, seperti hadits: Ash-Shaadiqul
Mashduuq.
Dan semisalnya hadits tentang taqdir, juga semua
hadits-hadits tentang melihat Allah meskipun jarang terdengar dan banyak yang
tidak suka mendengarnya, maka wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak
darinya satu huruf pun, dan hadits-hadits selainnya yang ma'tsur dari
orang-orang yang tsiqah (terpercaya).
Tidak boleh mendebat seseorang tentangnya dan mempelajari
Ilmu berdebat, karena berdebat tentang
taqdir, ru’yah,
Al-Quran
dan yang selainnya dari (prinsip-prinsip) As-Sunnah adalah makruh dan
terlarang. Dan tidak termasuk Ahli Sunnah (orang yang berbicara dan berdebat
tentang taqdir, ru'yah dan Al-Quran) meskipun perkataannya sesuai dengan As-Sunnah
hingga ia meninggalkan perdebatan dan berserah diri serta beriman terhadap
atsar-atsar.
13.
Al-Quran adalah
Kalam Allah dan bukan makhluk, dan tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Quran bukan
makhluk, karena sesungguhnya kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya, dan tiada
suatu bagianpun dari-Nya yang makhluk dan hindarilah berdebat dengan orang yang
membuat perkara baru tentangnya, orang yang mengatakan lafazhku dengan Al-Quran adalah
makhluk dan selainnya serta orang yang tawaqquf tentangnya, yang mengatakan,
"Aku tidak tahu makhluk atau bukan makhluk akan tetapi ia adalah kalam
Allah." Karena orang ini adalah ahli bid’ah,
seperti orang yang mengatakan Al-Quran adalah makhluk. Sesungguhnya Al-Quran adalah Kalam
Allah dan bukan makhluk.
14.
Beriman
terhadap ru'yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits
shahih yang diriwayatkan dari Nabi صلي الله عليه وسلم.
15.
Dan
Nabi صلي الله عليه وسلم pernah
melihat Rabbnya. Telah ada atsar yang shahih dari Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Qatadah dari lkrimah dari lbnu 'Abbas رضي الله عنهما dan diriwayatkan oleh Al-Hakam
bin Abban dari lkrimah dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما serta diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Yusuf
bin Mihran dari lbnu Abbas رضي الله عنهما. Dan hadits tersebut menurut
kami hendaknya difahami sesuai dengan makna zhahirnya, sebagaimana hal itu
datang dari Nabi صلي الله عليه وسلم sebab memperdebatkan tentangnya adalah
bid'ah. Akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan (makna) zhahirnya
sebagaimana hal itu datang (kepada kami), dan kami tidak memperdebatkan tentangnya
dengan siapapun.
16.
Beriman
kepada Al-Miizan
(timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana dalam hadits:
يَوْزِنُ العَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
فَلَا يَزِنُ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ
"Seorang
hamba akan ditimbang pada hari kiamat, maka ia tidak dapat mengimbangi berat
sayap seekor nyamuk."
Dan juga amalan-amalan para hamba akan ditimbang
sebagaimana dalam atsar, mengimani dan membenarkannya dan berpaling dari orang
yang menolaknya serta meninggalkan perdebatan dengannya.
17.
Allah
akan mengajak bicara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat tanpa ada penerjemah antara mereka dengan-Nya, dan kita wajib
mengimani dan membenarkannya.
18.
Beriman
dengan telaga dan bahwa Rasulullah memiliki telaga pada hari kiamat yang akan
didatangi oleh umatnya dimana luasnya sepanjang perjalanan sebulan dan
bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang di langit menurut riwayat-riwayat
yang shahih dari beberapa jalan.
19.
Beriman
kepada adzab kubur.
20.
Dan
bahwa umat ini akan diuji dan ditanya di dalam kuburannya tentang iman, islam,
siapa Rabbnya, siapa Nabinya, dan akan didatangi oleh Malaikat Munkar dan Nakir
sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah. Dan kita mengimani dan membenarkannya.
21.
Beriman
terhadap syafa'at Nabi صلي الله عليه وسلم dan suatu kaum yang
dikeluarkan dari api Neraka setelah terbakar dan menjadi arang, kemudian
mereka diperintahkan menuju sungai di depan Surga sesuai dengan kehendak
Allah, sebagaimana dalam atsar. Dan kita mengimani dan membenarkannya.
22.
Beriman
bahwa Al-masih ad-Dajjal akan keluar, tertulis di antara kedua matanya "Kafir". Dan beriman terhadap hadits-hadits tentangnya dan
bahwa hal
itu pasti terjadi.
23.
Dan
bahwa Isa bin Maryam عليه السلامakan
turun lalu membunuhnya
di pintu Lud.
24.
Iman
adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang sebagaimana dalam
hadits:
أَكْمَلُ الـمُؤْمِنِيْنَ عِيْمَانًا عَحْسَنُهُمْ
خُلُقًا
"Orang yang paling sempurna imannya adalah
orang yang paling baik akhlaknya."
25.
Barangsiapa
meninggalkan shalat maka ia telah kafir, dan tidak ada suatu amalan apapun yang apabila
ditinggalkan maka akan menyebabkan kekafiran melainkan shalat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya maka ia
telah kafir dan Allah telah menghalalkannya untuk dibunuh.
26.
Sebaik-baik
orang dari umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin 'Affan. Kami
mendahulukan mereka bertiga sebagaimana para sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم
mendahulukan mereka, mereka tidak berselisih pendapat dalam hal itu. Kemudian
setelah mereka adalah lima orang Ash-haabu asy-Syuura, yaitu: Ali bin Abi
Thalib, Thalhah, Zubair (bin Awwam), Abdurrahman bin Aufdan, Sa'ad (bin
AbiWaqqash). Mereka semua patut untuk menjadi khalifah, dan semuanya adalah
imam (pemimpin). Kami berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu Umar.
كُنَّا نَعُدُّ
وَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ وَاَصْحَابُهُ مُتَوَافِرُونَ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ
ثُمَّ عُثْمَانُ ثُمَّ نَسْكُنُ
"Kami menyebutkan secara berurutan tatkala
Rasulullah masih hidup dan para sahabat masih berkumpul, yaitu: Abu Bakar, kemudian
Umar, kemudian Utsman, kemudian kami diam.
Kemudian setelah Ash-haabu asy-Syura adalah Ahli
Badr dari kaum Muhajirin, kemudian Ahli Badr dari kaum Anshar dari para sahabat
Rasulullah صلي الله عليه وسلم sesuai
dengan kadar hijrah dan keterdahuluan (masuk Islam).
27.
Kemudian
sebaik-baik manusia setelah para sahabat adalah generasi yang Rasulullah صلي الله عليه وسلم diutus padanya. Setiap orang yang bersahabat dengannya
baik setahun, sebulan, sehati, sesaat atau pernah melihatnya, maka ia termasuk
dari para sahabatnya. Ia memiliki keutamaan bersahabat sesuai dengan waktu
persahabatan dengannya. Karena keterdahuluannya bersama Beliau صلي الله عليه وسلم telah mendengar
darinya, dan melihat kepadanya.
Maka serendah-rendah derajat mereka masih lebih
utama dibanding generasi yang tidak pernah melihatnya, walaupun berjumpa Allah
سبحانه و تعالي dengan membawa seluruh amal
(kebaikan). Mereka orang-orang yang pernah bersahabat dengan Nabi صلي الله عليه وسلم, melihat
dan mendengar darinya, serta orang yang melihatnya dengan mata kepalanya dan
beriman kepadanya walaupun sesaat masih lebih utama—dikarenakan persahabatannya
dengan Beliau صلي الله عليه وسلم — daripada para tabi'in
walaupun mereka mengamalkan segala amal kebaikan.
28.
Mendengar
dan taat pada para imam dan pemimpin kaum mukminin yang baik maupun yang buruk dan kepada khalifah yang manusia bersatu padanya dan meridhainya. Dan juga
kepada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang (kekuatan) hingga ia
menjadi khalifah dan disebut sebagai Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukmin).
29.
Perang
dilakukan bersama para pemimpin yang baik maupun yang buruk terus berlangsung
sampai hari kiamat, tidak boleh ditinggalkan.
30.
Pembagian
fa’i (Harta rampasan perang dari kaum
kafir tanpa terjadi peperangan) dan penegakan hukuman-hukuman harus diserahkan
kepada para imam (pemimpin). Tidak boleh bagi siapapun untuk mencela dan
menyelisihinya.
31.
Membayar
zakat/sedekah kepada mereka (para imam/pemerintah) boleh dan terlaksana. Barang siapa membayarkannya kepada
mereka maka hal itu telah cukup/sah baginya, baik pemimpin itu baik maupun jelek.
32.
Melaksanakan
shalat jum'at di belakang mereka dan di belakang orang yang menjadikan mereka
sebagai pemimpin hukumnya boleh dan sempurna dua raka'at. Barangsiapa yang
mengulangi shalatnya maka ia adalah mubtadi' (pelaku bid'ah) yang meninggalkan
atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah. Tidak ada baginya sedikitpun dari keutamaan
shalat jum'at apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat di belakang para
imam/pemimpin, baik pemimpin itu baik maupun buruk. Karena Sunnah memerintahkan
agar melaksanakan shalat bersama mereka dua raka’at
dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. Tanpa ada keraguan terhadap hal itu di
dalam hatimu.
33.
Barangsiapa
yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin
muslimin, padahal manusia telah bersatu dan mengakui kekhalifahan baginya
dengan cara apapun, baik dengan ridha atau dengan kemenangan (dalam perang),
maka sungguh orang tersebut telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan
menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah صلي الله عليه وسلم. Dan
apabila ia mati dalam keadaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyyah.
34.
Tidak
halal memerangi penguasa (pemerintah) dan keluar dari ketaatan kepadanya
dikarenakan seseorang. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka ia adalah seorang mubtadi
(pelaku bid'ah) yang bukan di atas Sunnah dan jalan (yang lurus).
35.
Memerangi
para pencuri dan orang-orang Khawarij (yang keluar dari ketaatan kepada
penguasa) dibolehkan, apabila mereka telah merampas jiwa dan harta seseorang.
Maka bagi orang tersebut boleh memerangi mereka untuk mempertahankan jiwa dan
hartanya dengan segala kemampuan. Akan tetapi ia tidak boleh mengejar dan
mengikuti jejak mereka apabila mereka telah pergi dan meninggalkannya. Tidak
boleh bagi siapapun kecuali imam atau para pemimpin muslimin, karena hanya
diperbolehkan untuk mempertahankan jiwa dan hartanya di tempat tinggalnya, dan
berniat dengan upayanya untuk tidak membunuh seseorang. Jika ia
(pencuri/Khawarij) mati di tangannya dalam peperangan mempertahankan dirinya,
maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh (dari rahmat-Nya).
Dan jika ia (yang dirampok) terbunuh dalam keadaan
demikian sedang ia itu mempertahankan jiwa dan hartanya, maka aku berharap ia
mati syahid sebagaimana dalam hadits-hadits. Dan seluruh atsar dalam masalah
ini memerintahkan agar memeranginya [pencuri dan
khawarij] dan tidak memerintahkan
untuk membunuh dan mengejarnya. Dan tidak boleh membunuhnya jika ia menyerah
atau terluka. Dan jika ia menawannya maka tidak boleh membunuhnya dan tidak
boleh melaksanakan hukuman padanya akan tetapi urusannya diserahkan kepada
orang yang telah dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin, lalu ia menghukuminya.
36.
Kami
tidak bersaksi dengan (masuk) Surga atau Neraka bagi siapapun dari Ahli Kiblat
(kaum muslimin pent) disebabkan suatu amalan yang diperbuatnya. Kami
berharap (kebaikan) bagi orang shalih dan mengkhawatirkan (kejelekan) baginya.
Kami (juga) mengkhawatirkan (kejelekan) akan menimpa orang buruk lagi berdosa,
dan mengharapkan rahmat Allah baginya.
37.
Barangsiapa
berjumpa Allah dengan membawa dosa yang menyebabkannya masuk ke dalam Neraka
—sedangkan ia dalam keadaan bertaubat dan tidak berlarut-larut di dalam dosa—
maka sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan menerima taubat dari
hamba-hambanya serta memaafkan kesalahan-kesalahan.
38.
Barangsiapa
berjumpa dengan Allah sedangkan telah dilaksanakan hukuman dosa tersebut
padanya di dunia, maka itu adalah kaffarahnya (penghapus dosanya). Sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم.
39.
Barangsiapa
berjumpa Allah dalam keadaan terus menerus berbuat dosa tanpa bertobat darinya,
yang mana dosa-dosa tersebut mengharuskannya disiksa, maka urusannya terserah
kepada Allah. Jika Dia berkehendak, Dia menyiksanya. Dan jika Dia berkehendak,
Dia mengampuninya.
40.
Barangsiapa
berjumpa Allah dari orang kafir, niscaya Dia menyiksanya dan tidak mengampuninya.
41.
(Hukuman)
Rajam adalah hak bagi siapa yang berzina sedangkan dia telah terpelihara
(menikah), bilamana dia mengaku atau terdapat bukti atasnya.
42.
Rasulullah
صلي الله عليه وسلم telah
(melaksanakan hukuman) rajam.
43.
Demikian
pula para imam (pemimpin) pang lurus telah melaksanakan hukuman rajam.
44.
Barangsiapa
yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah صلي الله عليه وسلم atau
membencinya karena suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan
kejelekan-kejelekannya, maka dia adalah seorang ahli bid'ah, sehingga dia
menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci atau mencela pent)
mereka.
45.
Dan
nifaq adalah kekafiran: Yakni kafir kepada Allah dan beribadah kepada
selain-Nya, menampakkan keislaman di hadapan orang umum, seperti orang-orang
munafiq yang hidup di zaman Rasulullah صلي الله عليه وسلم.
46. Dan sabda Nabi صلي الله عليه وسلم
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ
"Tiga perkara yang barangsiapa ada pada
dirinya maka ia adalah orang munafiq. "
Hadits
ini sebagai ancaman berat Kami meriwayatkannya seperti apa adanya. Kami tidak
menafsirkannya (dengan makna lain pent)
47.
Dan
sabdanya:
لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا
ضُلاَّلاً يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
"Janganlah
kamu kembali menjadi orang-orang kafir yang sangat sesat sepeninggalku. Sebagian
kamu membunuh sebagian yang lain.
"
Dan seperti hadits Nabi صلي الله عليه وسلم
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ
بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ
"Apabila dua orang muslim saling berhadapan
dengan mengangkat pedang, maka si pembunuh dan yang terbunuh keduanya masuk
kedalam Neraka.
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
"Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan
memeranginya adalah kekafiran."
dan seperti sabdanya صلي الله عليه وسلم
مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ
فَقَدْ بَاءَ أَحَدُهُمَا
"Barangsiapa yang mengatakan kepada
saudaranya,'Wahai orang kafir', Maka perkataan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya."
Dan seperti sabdanya صلي الله عليه وسلم
كُفْرٌ بِاللهِ تَبَرَّؤٌ مِنْ نَسَبٍ وَإِنْ دَقَّ
"Merupakan kekafiran kepada Allah adalah
berlepas diri dari nasab walaupun sekecil apapun."
48.
Dan
yang semisal hadits-hadits tersebut dari apa yang telah benar dan terjaga. Kami pasrah kepadanya
walaupun tidak tahu tafsirnya. Dan kami tidak membicarakannya dan tidak
memperdebatkannya. Dan kami (juga) tidak menafsirkan hadits-hadits ini kecuali
sebagaimana ia datang (seperti apa adanya). Kami tidak menolaknya kecuali
dengan apa yang lebih benar darinya.
49. Surga dan Neraka adalah dua makhluk yang telah diciptakan sebagaimana
sabda Rasulullah صلي الله عليه وسلم
(دَخَلْتُ الجَنَّةَ فَرَأَيْتُ
قَصْرًا)، (وَرَأَيْتُ الكَوثَرَ)، (واطَّلَعْتُ فِيْ الجَنَّةِ فَرَأَيْتُ
أَكْثَرَ أَهْلَهَا....كَذَ)، (واطَّلَعْتُ فِيْ النَّارِ فَرَأَيْتُ.... كَذَ وَ كَذَ)
"Aku
telah memasuki Surga, maka aku melihat sebuah istana. " "Dan
aku telah melihat Al-Kautsar." "Dan aku telah melihat Surga, lalu aku
melihat mayoritas penghuninya adalah demikian." "Dan aku telah
melihat Neraka, maka aku melihat begini dan begitu."
Maka barangsiapa menyangka bahwa keduanya. (Surga
dan Neraka) belum diciptakan, berarti ia telah mendustakan Al-Qur'an dan
hadits-hadits Rasulullah صلي الله عليه وسلم Dan aku (Imam Ahmad bin Hanbal pent) menyangka
bahwa ia tidak beriman dengan (adanya) Surga dan Neraka.
50.
Barangsiapa
meninggal dunia dari ahli kiblat dalam keadaan bertauhid, maka ia (berhak) dishalatkan
dan dimintakan ampunan baginya. Dan istighfar (permintaan ampunan kepada Allah) tidak boleh
dihalangi darinya. Dan menshalati jenazahnya tidak boleh ditinggalkan
disebabkan suatu dosa yang dilakukannya, baik dosa kecil maupun besar. Dan urusannya
terserah kepada Allah.
[1] Ini adalah Riwayat
dan Matan Ushulus Sunnah Karya Imam Ahmad yang disalin dari Syarah Ushulus
Sunnah Keyakinan al-Imam Ahmad dalam Aqidah, yang disyarah oleh Syaikh Walid
bin Muhammad Nubaih dan Ta’liq dari Syaikh Muhammad
‘Ied al-Abbasi. Terjemah oleh Muhammad Wasitho, Lc dengan penerbit CV. Darul
Ilmi tahun 2009. Kami tidak menyertakan syarah maupun ta’liq buku tersebut.
Ibnu Majjah