Puji syukur alhamdulillah
penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam semesta, manusia,
dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat,
taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Elektronik
Book (E-BOOK) ini dengan judul “DALIL AMALAN WARGA NAHDLIYIN (NU)’ ini dapat terselesaikan tidak kurang dari pada
waktunya.
Maksud dan tujuan
dari penulisan E-BOOK ini tidak lain sebagai informasi dan “meluruskan” dari
tuduhan golongan yang tidak sepaham dengan amalan-amalan warga nahdliyin,
sehingga mudahnya mereka mengatakan banyak amalan warga NU berbau Tahayul, Bid’ah
dan Churafat (TBC) .Sebenarnya penulis pun tidak mempermasalahkan sebuah
perbedaan pendapat namun penulis sangat merasa prihatin sebagai warga nahdliyin
ketika orang-orang dari golongan lain mempermasalahkan amalan-amalan yang juga
merupakan amalan yang penulis lakukan sebagai warga nahdliyin.
Pada kesempatan ini, penulis juga
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian e-book ini baik secara langsung maupun tidak langsung.. Demikian
pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulispun sadar bawasanya penulis
hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan,
sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jalla sehingga dalam penulisan
dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa
penulis harapkan dalam upaya untuk mengevaluasi diri penulis pribadi ^_^. Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan
penulisan dan penyusunan e-book ini ditemukan sesuatu yang dapat memberikan
manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh warga nahdliyin khususnya.
Kepanjen,12 Maret 2011
M. Imam Nawawi, S.PdI
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………………….. 1
Kata Pengantar …………………………………………………………………………….. 2
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………. 3
1.
Makna ”KULLU BID’AH DHOLALAH” …………………………………………. 4
2.
Mengenal Makna Bidah
………………………………………………………………. 7
3.
Pertanyaan dan jawaban seputar bidah ……………………………………………. 11
4.
Bid’ah sebuah kata sejuta makna ……………………………………………………15
5.
Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
..............................................
26
6.
Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan
dengannya ......................................................................................................................
42
7.
Dalil Sholat
sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
............................................ 45
8.
Dalil mengangkat
tangan waktu berdo’a
................................................................... 48
9.
Menyebut nama Rasulullah
saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana…
50
10.
Penggunaan Tasbih
bukanlah bid’ah sesat ………………………………………… 58
11.
Bagaimana hukum
menyuguhkan makanan baik kepada para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi
si mayit maupun bagi para pentakziah? ………………... 63
12.
Hukum Duduk Bersama Untuk Berdzikir
…………………………………………. 65
13.
Dalil Nyekar Bunga Di Kuburan ……………………………………………………. 66
14.
Dalil Tentang Bolehnya Bertabaruk ………………………………………………... 68
15.
Bagaimana hukumnya membaca manaqib?
……………………………………….. 71
16.
Dalil Bolehnya Bertawasul
………………………………………...………………… 77
17.
Hukum Maulid Nabi
…………………………………………………………………. 80
18.
Dalil Membaca dzikir dan syair sebelum
pelaksanaan shalat berjama'ah ………. 82
19. Berzikir dengan pengeras suara …………………………………………………….. 83
20.
Hukum Meng-Hadiah-kan
Fatihah …………………………………………………. 84
21.
Hukum Bacaan al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan
Jamuan makan untuk orang mati ... 85
22.
Tahlilan/Kenduri
Arwah, Mana dalilnya? …………………………………………. 87
23.
Hukum Membaca Al-Barzanji
………………………………………………………. 98
1. Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i
KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti :
SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN
makhluk hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtanii min
naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat
diterjemahkan secara mutlak dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya
jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai
dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan:
Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan
SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat
dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man sanna fil islami
sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa
memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada
perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi
dianggap baik oleh Nabi saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta
tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat
Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta
pembagiannya pada juz, ruku`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan
sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi
sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan
dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang
contohnya :
1. Adanya sebagian masyarakat yang
secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang
menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim
yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam
masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal
sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena
merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai
BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan,
bahwa amalan baik yang terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak
bertentangan dengan syariat Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan
perbuatan baik). Contohnya:
- Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan
shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan
Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara
langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi
yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya
dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak
didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya
ayat Alquran-Hadits yang memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan
adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi
mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat
tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang
tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih
dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau
kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi saw. mengadakan
isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak
pernah dilakukan oleh Nabi saw. namun masih terdapat dalil-dalil
Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
Contoh mudah, tentang pembacaan tahlil
(tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan adalah membaca surat
Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah perintah
Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha illallah,
Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga
pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi saw.
: Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang
jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan
kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam
Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu
rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi
termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena
senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan,
yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para ulama salaf, juga
tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan
bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw. pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri
beliau saw. selain penulisan Alquran.
Sebagaiman di dalam sabda beliau saw.
: La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni ghairal quran famhuhu.
Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran, barangsiapa menulis
dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir perkembangan Islam,
Nabi saw. menghapus larangan tersebut dengan
Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan
Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat
dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas
sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam penulisan artikel untuk
majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan pemahaman dan pemikirannya,
tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain masalah susunan bahasa. Jika
memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan dimuat, sekalipun isi
kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah
(terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan
dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan
penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk
diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya,
jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat
dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau
bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh ulama salaf
manapun. Namun karena
banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi
tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
2. Mengenal Makna Bidah
Ada sekelompok golongan yg suka membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai
kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan Maulid, Isra’ Mi’raj, Yasinan
mingguan, Tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan dalih “Agama ini telah
sempurna” atau dalih “Jika perbuatan itu baik, niscaya Rasulullah saw. telah
mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan “Itu bid’ah” karena tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti
Rasulullah saw. memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai
dari Rasulullah?”
Mem-vonis bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di
atas adalah lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw. tidak
mencontohkan ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam berbagai hadits dan
dalam fakta sejarah.
1. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari
Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh),
“Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya
yang pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara
terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling
aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di malam maupun siang
hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”.Dalam riwayat at Turmudzi yang ia
shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak
mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats
melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).”
Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih
berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi
mengakuinya.
Hadis di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan
sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau ada
perintah dari Nabi saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para
muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami
shalat di belakang Nabi saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari
ruku’ beliau membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang
yang memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka
al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya untuk-Mu
segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta diberkahi).
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang yang membaca
kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda, “Aku menyaksikan tiga
puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”
Ibnu Hajar berkomentar, “Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya
berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus oleh Nabi
saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua dibolehkannya
mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak menggangu.”
3.
Imam
Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat,
lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا،
و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapkan
kalimat-kalimat tadi?
Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw., aku tidak mengucapkannya
melainkan menginginkan kebaikan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit
terbuka untuk menyambutnya.”
Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku tidak pernah
meninggalkannya.”
Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi
yang ia riwayatkan: “Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meningglakannya
semenjak aku mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian.”
Di sini diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat
dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/ belum pernah
dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dan reaksi Rasul saw. pun
membenarkannya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar biasa.
Al hasil, Rasulullah saw. telah men-taqrîr-kan (membenarkan) sikap sahabat yang
menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah beliau ajarkan.
4. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab
Shahihnya, pada bab menggabungkan antara dua surah dalam satu raka’at dari
Anas, ia berkata,
“Ada seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali ia
shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad sampai
selesai kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada setiap raka’atnya
ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata, “Engkau selalu mengawali
bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah dengan surah lain, jadi sekarang
engkau pilih, apakah membaca surah itu saja atau membaca surah lainnya saja.”
Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau
kalian tidak keberatan aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain
untuk menjadi imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak
menjadi imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang itu
seraya bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang
diperintahkan teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surah
itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku mencintainya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal
keta’atan walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi
selama amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka
beliau selalu merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi yang
mendorongnya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah khusus dalam
masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum dianjurkannya
berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak bertentangan dengan dasar
tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa
mengawali bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca surah
lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu diklakukan Nabi saw.
adalah yang seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan kaidah umum dan
bukti nyata bahwa praktik-prakti seperti itu dalam ragamnya yang bermacam-macam
walaupun seakan secara lahiriyah berbeda dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak
berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam
Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid,
dari Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi SAW.
Mengutus seorang memimpin sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila
memimpin shalat membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengn surah al
Ikhlash (Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada nabi saw., maka
beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika mereka
bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat ar Rahman
(Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Beritahukan
kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadis Muttafaqun Alaihi).
Apa yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., namun
kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakunya dengan
mengatakan bahwa Allah mencintainya.
3. Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah
Orang-orang yang tidak sependapat dengan amalan warga NU biasanya membidahkan amalan warga
Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:
- Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)
- Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)
- Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw.) tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahawi)
- Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)
- Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)
- Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-adakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya." (HR. Daruquthin dari Anas).
Setelah kita membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi.
Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat
menolak bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku
menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan ajaran Syariat Islam,
contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku itu
bertentangan dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi
hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan mereka -non muslim dalam
ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta dalil lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku
agamaku. Jadi jelaslah, perilaku “Doa Bersama Muslim non Muslim” ini ini jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada
tuntunannya sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal
ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena
tidak bertentangan dengan syariat Islam,
bahkan ada
perintahnya baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah
dimulai dengan
- Mengumpulkan masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab : majlis dzikir).
- Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ?
- Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?
- Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat Alquran).
- Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.
- Doa penutup.
- Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya.
Tentunya dalam masalah ini
sangat bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak ubahnya saat
Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang
disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah.
Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah
yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model
Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti
ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BID'AH
HASANAH.
Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah
Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi
mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw.
melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau
lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat
di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun
mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sahabat Umar, beliau
berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan
berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata
: Ni'matil bid'atu haadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan
tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat
Umar ini terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah
tokoh-tokoh Saudi Arabia seperti kita
lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan
penuh, sekaligus dengan mengkhatamkan Qur’an. Hal ini sama lestarinya dengan
bid'ahnya para Wali songo yang mengajarkan
tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut
shalat tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan
para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami
sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an
yangkusha min ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan
hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan
dengan syariat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari
orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya
sedikit pun.
Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah
mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat
Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu
berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik
umat Islam yang lainnya.
CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH
Setelah
baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan.
Umat islam mengakuinya berdasar dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh
berikut,
1.
Pembukuan
al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan
ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab
dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh
setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.
2.
Sholat tarawih seperti
saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam
shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat
ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa
3.
Modifikasi
yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at.
Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.
4.
Pembukuan
hadits beserta
pemberian derajat hadits shohih, hasan, dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke
hadits lainnya. Bahkan Rasul saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau
karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak
era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10
H.
5.
Penulisan
sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll.
Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll
6.
Saat ini
melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw. atau para
sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas
kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai
mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.
7.
Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam pengajarannya
dipakai sistem klasikal.
dan masih banyak contoh-contoh lain.
4. Bidah sebuah kata sejuta
makna
Setelah adanya
uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini mengenai faham
Salafi/Wahabi dan pengikutnya, marilah kita teruskan mengupas apa yang dimaksud
Bid’ah menurut syari’at Islam
serta wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan
demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang
dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling
berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang
menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat
ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan
batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas
pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam
pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka
terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri
tentang bid’ah.
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka
akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini
tampak jelas bahwa Rasulullah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu,
baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan
suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik
ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik
ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal
yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari
Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw.
bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia
memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa
dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan
kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia
tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits
yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu
Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan
dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para
ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasar kan keumuman lafadh, bukan
berdasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama
diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw.,
berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi
Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat
bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan
(sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan
yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an
Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah
.Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan Rasulullah saw. yaitu jalan yang
ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan
hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh
firman Allah SWT. dalam Surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku
sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa
cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan
maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan
mengantarkan kepada keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut penjelasan Ar-Raghib
Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76
mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan
masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat
kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang
banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang
tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh
didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia
mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah
sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan.
Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah
(jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami
sunnah Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai
persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak
dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi
dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut
kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan
menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah
yang ditempuh Rasulullah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu
yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu
kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw.
mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw.,
itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak
sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita
namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah
kita dapat membedakan lebih
dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan
bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh
Rasulullah saw. termasuk kategori sunnah.
Itu memang benar, akan tetapi kejadian
yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk
dapat mengetahui bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima
kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang
dibiarkan Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun
yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau
saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan
lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang
didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa
beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan
dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan
para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang
bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak
dilakukan dan tidak diperintah- kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali
hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama
amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para
sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat
mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya
sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh
agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang
lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat
kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan
atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena
agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan
batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw.
berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulullah saw.
jika
amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka
prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya
semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., dan tidak mendatangkan
madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian
istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang
terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang lalu.
Amal kebajikan
seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa,
karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang
bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulullah
saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”),
serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap
amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam
pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja-kan secara mutlak.
Sayangnya
mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih
mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulullah saw. yang
membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’)
yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada
perintah dari beliau saw.!
Disamping itu
banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulullah saw.
umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin
Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya
petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah
(baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang
mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat
dan tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah
timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih
memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam
Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu
Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة
ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada
dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai
dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah,
maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat
Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا
اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ
يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara
baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an,
Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah
perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan
salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah
tercela’.
Menurut
kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah
yang buruk dan tercela. Banyak sekali
para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan
banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi,
Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu
Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk
dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di
masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum
syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam
fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada
asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang
bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah
itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’,
maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap
jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk
bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang
lima”.
Pendapat beliau
ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam
risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al
Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam
Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam
Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan
lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya
bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi
beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah
(bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak
menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan
hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu
dibicarakan.
Sedangkan
menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang
ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin
Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut
ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu
dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti
menyanggah orang yang menyelewengkan
agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin
memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan
kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara
dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam
belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi
masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan
kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak
semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti
menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama
tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain
sebagainya.
5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai
dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua
bid’ah (masalah yang baru) adalah
dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum
pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau
haram, misalnya :
a). Pengumpulan
ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai
Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan
Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan
dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir
kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang
menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan
khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat
tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau
sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian
gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada
universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak
para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel
dibelakang namanya.
d).
Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti
asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang
bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya
adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak
harus dikurung dahulu.
e). Tambahan
adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra.
Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di
Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya.
Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata
ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya.
Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah,
menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga
masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus
meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya
Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern
lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang
baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal
bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan
sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan
bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa
hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga
didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai
dengan zamannya Rasulullah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya;
pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full ac
sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup
(beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik
Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa
Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at
Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua
masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup
pintu ijtihad para ulama, terutama pada
zaman sekarang teknologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran
dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana
telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i,
Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para ulama
lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak
menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab
(dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah
bagian dari agama”.
Semua amal
kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulullah saw.
telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw.
dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka
prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah
diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai
bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah
dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk
kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada
abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang
belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui
kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap
ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad
bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara
kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah
tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap
mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah
membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat
disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah
Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash
mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau
ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana
kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun
begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau
hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada
zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan
pengingkar).
Masalah-masalah
serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini,
antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah
saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu
sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah
hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara
seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum
muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah
dholalah/sesat.
Sebuah hadits
yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia
selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia
tidak pernah menyaksikan Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305
dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid
yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba kami
melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak
orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada
‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra
seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa
dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga
‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah,
tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah
yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!
Dengan demikian
masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah.
Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat
yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut
bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum
syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah
As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin
Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik
(extrem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah
mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab
bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulullah
saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada
kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah SWT.
‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali
Imran (3) : 104).
Allah SWT.
berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh
keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu
Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ
أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ
فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang
menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. (
HR.Muslim)
Dalam hadits
riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya
dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun,
dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia
terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak
lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari
Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian
golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam
hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan
para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada
masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan
takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits
itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan
yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah
sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan
yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam
pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan
itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena
secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa
kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga
secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan
dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia
ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu
tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni
jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah
Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan
itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw.
saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain
: “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu
dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai
zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in,
Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah
Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya
mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri
(orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui
dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus
kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka
itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu
Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai
Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu
apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah
“ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan
pengertian penakwilan
kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini
dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah
(semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan
dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah
mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang
lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman
bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang
syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar
syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara
baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi
inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru
yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang
disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul
yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa
dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa
yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan mereka
yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash
yang khos (khusus) untuk masalah
yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak
bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang
lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya
dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca
hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin
menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan
kita kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua
perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh
keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun
juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT.
pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita
hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah
dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan
manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah
bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya
saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw.
sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan
maknanya.
Berbuat
kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja.
Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi)
baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang
yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun
tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak
Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak
pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak
asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan
mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan
telah memberi maaf.
5. Contoh-contoh
bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita
sekarang rujuk hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan
perintah Allah SWT. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi
masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup
jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak
pernah diamalkan, diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulullah saw. selama hal ini
tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah
boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama
dan mendapat pahala.
- Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulullah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai
hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga
sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak
pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat
wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi
karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu
Hajar dalam kitab Al-Fath
mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad
menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal
kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata
dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
- Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui
jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar
prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu dan
tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin
banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan
membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
- Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu
hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika berdiri (I’tidal)
sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah
seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana
lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami,
puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu).
Setelah shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’.
Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah saw. berkata
: ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu
lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut
dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak
diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut
tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur
dicontohkan
langsung oleh Nabi Muhammad saw.. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak
mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam
Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga
diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang
sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah
ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara
diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula
kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah
karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna
al-bid’ah
- Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
- Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang
dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan
oleh Rasulullah saw. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun
begitu Rasulullah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan
memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
- Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulullah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna
hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain;
‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena
terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah saw.
menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini
menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam
Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat
atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia
menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal
Surah yang lain, mungkin Rasulullah saw. akan menyuruhnya supaya belajar
menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi
karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni
Al-Ikhlas), Rasulullah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan
niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam
Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh
membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut
kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang
bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut
kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya,
tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah sesat,
dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang
tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara
baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah saw.
Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulullah
saw. bila tidak
keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan
yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah SWT.
- Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh
mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits
itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad
bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin
Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang
mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat
tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama
diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku
selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu
ahad’.
- Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan
lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulullah
saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu
sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw.
kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentu- an syari’at
dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan
dan meridhoinya.
- Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulullah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah
bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah saw.
terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di
dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau
memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena
anjuran dari Rasulullah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai
bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada golongan
yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu
sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits Rasulullah
saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan selain
mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi dari Ibnu
Abbas.
Sedangkan waktu
dan tempat berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat
Shubuh, ini juga berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas
bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang
diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta
para ulama lainnya diantaranya Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al
Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan
lain lain).
Bagaimana
mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah
sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas atas
prakarsanya para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw. malah
diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
- Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi seraya berkata: Siapa diantara
kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah
seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau
memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut.
Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah
al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka
segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan
perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulullah
saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw., mereka menceriterakan apa yang telah
mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah saw. bertanya ; ‘Bagaimana
engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulullah saw.
membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing
tersebut “. (HR.Bukhori)
- Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak
hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan
ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulullah saw.
Semuanya itu diridhoi oleh Rasulullah saw. dan beliau memberi kabar
gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau
dianjurkan oleh Rasulullah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu
bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan
mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan
syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan
berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits
diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak
keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu
mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat
muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita
teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat
yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah
saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي
أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu
sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun
demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu
yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw.
memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas
yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad
dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada
orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang
penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang
dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang
dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya
Nabi saw.?
Memang benar,
bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi
berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada
masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing
dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk
mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau
mustahab.
Untuk
menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan
yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi
(pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal
sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw.
berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah
sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan
rusaknya kemurnian agama Allah SWT., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri
sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap
karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan
kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya
Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu
Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.?
‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun,
tidak berapa lama kemudian Allah SWT. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra
seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan
akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat
Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan
supaya melaksana- kan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra.
juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu
pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca
riwayat hadits ini yang dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya juz 4
halaman 243 mengenai pembukuan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah,
baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan
suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulullah saw. masih hidup.
Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid
bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya
mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima
baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak
pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah
sesat karena berada diluar perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan tetapi
banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak
persoalan yang telah kami kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan
perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah,
karena Rasulullah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata
tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat
walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut.
Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita
bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah saw. atau zaman
dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat
mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah SWT. dan untuk mengingatkan
(dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan
dapat diterima.
Sebagaimana
hadits Rasulullah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ
وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan
tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan,
siapa yang hijrahnya (tujuannya)
karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan
Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya
orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah
apa yang ada pada sikap Rasulullah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang
dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka
mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan
mereka.
Tetapi
sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para
ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para
ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah
membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam
bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua
bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung
pada Allah SWT. atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil yang membantah dan
jawabannya
Hanya
orang-orang egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkari
hal tersebut. Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan
pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh
karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Misalnya,
mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulullah saw.
berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits
Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa
yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits
tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin
dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits
tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat.
Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut
mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw.
serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. adalah bi’dah
dholalah.
Mereka tidak
memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang
dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca
contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan
bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah
diperintahkan Rasulullah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak
kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu
bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah
yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar
tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulullah saw. tidak pernah
memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada
satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in
dan tabi’ut-tabi’in.
Dan kalau sekiranya amalan
itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah, sahabat dan para
tabi’in?”
Atau ucapan
mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni
mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa
justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama
salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah
bid’ah”.
Kaidah-kaidah
seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan
oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah
untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang
baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw. dan sebagainya.
Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram,
mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada
kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal
agama.
Ucapan mereka
seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil
atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah
keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya
(umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain
sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukum- an mereka
terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram,
sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian
itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja- kan satu
perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah
diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan
sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an
maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak
bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus
sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi
hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum
pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan bagaimana Rasulullah saw.
menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita
contoh !
Demikian pula
para ulama mengatakan’ bahwa amalan
ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw.,
maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan
bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada
keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak
boleh dinisbahkan kepada Rasulullah saw. bila tidak ada dalil
dari beliau saw. !
Kalau kita
teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak
bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para
ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini
bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua
kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih
bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa
ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda
diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah
suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan
ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya
mereka berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun
amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal
beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah saw., umpama-
nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw.
sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu
kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara
langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang
dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan,
melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak
selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam
bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah
saja: Ada hadits Rasulullah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar
berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para
sahabat telah belajar atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah
dilakukan langsung oleh Rasulullah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti
shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain
sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian
meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah
ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung,
juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya
mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah
taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami
kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan
ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabatnya,
tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf
(ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis
tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan
bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil
dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurkan
agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala
bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya
semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah
digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis
(maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh
golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir
dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah SWT.
dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan
oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang
daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini
jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah
tegas dan jelas larangannya dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat
diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa
saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulullah), maka
berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam
hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا
مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu
melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu
melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits
ini Rasulullah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا
فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila
sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman
golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang
telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan
hadits Barangsiapa yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya
beberapa keterangan dari Rasulullah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana
beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para
ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat
ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT.
(QS Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang
telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah
saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat
tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga
takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan
sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang
oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah
saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau
ditambah. Saya ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan
bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama
menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak
berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita
tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan
apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi
bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk
pokok agama.
Telitilah isi
hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ
أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ
أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ
الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ,
وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ
اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu
yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang
telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu
dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku
mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi
pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya
dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul
(musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon
kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku
lindungi”.
Dalam hadits
qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping
amalan wajibnya.
Mari kita rujuk
ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak
harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal
saja.
Firman Allah SWT
dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang
sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu
itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian
dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang
raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat ini
menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan
perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba
yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat
sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja
itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah
hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak
bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh
raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu
safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat
Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan
segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada
ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan
bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat
An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala
sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis
tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi
Sulaiman as.
Dalam surat
Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan
atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah
diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang
sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni
oleh Allah SWT. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya
(siksa).
Dalam surat
Aali ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang
Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin)
ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam
ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin
Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulullah
saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah
atau semua orang Arab.
Dalam surat
Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah
adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh
ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum
Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum
musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat
Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu
urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua
urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang
dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah SWT.
tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau
keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat
Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini
terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir
durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu
bermaksud khusus.
Dalam surat
Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan
seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah
berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami
ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya
untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak,
bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah,
bahwa secara umum manusia adalah makhluk
yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang
ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang
walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu tidak
terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits
Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang
yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam
tidak akan masuk neraka”. Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan
secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa
seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan
menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar
mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan2
harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya
yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan
oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih
Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulullah saw.
yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah.
Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits
mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua
anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulullah saw.
menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan
dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak
contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak
sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat
yang lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat
didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal
yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari
kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga
halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya
umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak
semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut
agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam
bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki
bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak
kenyataan membuktikan, bahwa Rasulullah saw. membenarkan dan meirdhoi
macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw.
Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas.
Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada
satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita
buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya
(yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah
bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat
daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu
sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah
dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulullah saw. masalah Bid’ah,
akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan
bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip
dalam hal bid’ah ini, silahkan membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal
Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID – AL-HUSAINI.
6. Qadha (penggantian)
Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya
Sebagian
golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak
dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak
sah orang yang ketinggalan sholat fardhu dengan sengaja untuk
menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus menambah sholat-sholat sunnah
untuk menutupi kekurangan- nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh
hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar diantaranya
Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi
yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari
kita ikuti beberapa hadits tentang qadha sholat berikut ini
:
- HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.
Yang dimaksud
Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulullah saw. bagi orang yang ketinggalan
sholat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat
yang disengaja ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya.
Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang
sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga
hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau
tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang
meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa besar karena
kesengajaannya meninggalkan sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku
baginya.
- Rasulullah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).
- Rasulullah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
- Rasulullah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah kalau
sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak
dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh Rasulullah saw. pada waktu
setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat fardhu yang
sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah
ini.
- HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulullah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulullah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggang- an kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulullah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangannya.
Ada sementara
yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita
lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)?
Kemudian Rasulullah saw. bersabda: ’Bukankah aku sebagai teladan bagi
kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena
tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian
atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang
dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu
orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi
waktu sholat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah,
dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori
dari Imran bin Husain).
Hadits ini
tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/meng- gampangkan sholat
ialah bila meninggalkan sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila
karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya
wajib menggadha sholat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak
menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang ketinggalan
kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak
ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang meninggal- kan sholat karena
tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan
untuk menggadha sholat !
- Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulullah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulullah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
- Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat
perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya),
perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha
atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
- Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen.).
Kesimpulan :
Kalau kita baca
hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat kita
insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng- gantikan sholat yang ketinggalan baik secara
disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh
ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu Imam Hanafi,
Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak
disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Semoga dengan
adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat bagi kita
semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa
pahamnya/anutannya yang paling benar.
7. Dalil
Sholat sunnah
Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian orang
telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut pandangan mereka
hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabat. Padahal
kalau kita teliti cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih
dalam madzhab Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan sunnah- nya sholat qabliyah
jum’at ini. Mari kita ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan sholat sunnah
diantaranya :
Hadits riwayat
Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulullah
saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama
yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits
ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya karena dia
disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh Ahmad dan
Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami
bahwa Nabi saw. menganjurkan supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan
sholat sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah
jum’at. Tetapi nyatanya para golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan
sunnah ini karena mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam
sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya
beliau melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan
sholat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin
Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi
sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau
wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat
dengan beliau saw. mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil
dari sunnah Nabi saw.
Penulis kitab Hujjatu
Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud
tersebut mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan
oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi
Muhammad saw.”
Dalam kitab
Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul
Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’
1V/10).
Hadits riwayat
Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat
qabliyyah jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia
menceriterakan bahwasanya Rasulullah saw. senantiasa melakukan hal yang
demikian”.(Nailul Authar III/313).
Penilaian
beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah : Imam Syaukani berkata: ‘Menurut
Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’. ; Hafidz Ibnu
Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya
shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam Al-Khulashah
mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga
telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.
Hadits riwayat
Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata;
Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulullah saw. tengah berkhutbah (khotbah
jum’at). Lalu Nabi saw. bertanya kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah
shalat dua raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum.
Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’
“. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali
dalam hadits ini bagaimana Rasulullah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat
sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga
dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan;
bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah
jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul
masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus
dikerjakan di masjid.
Syeikh Umairoh
berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu
mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”.
Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan
nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya)
datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga
Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan
dengan tegas :
Sabda Nabi saw.
‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at itu
adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul
masjid“.(Nailul Authar III/318)
Mengenai
derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu
Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz
al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat
Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah
saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya
shalat dua raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan
juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai
derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah
hadits shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah
shohih’. Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling
kuat untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua
raka’at qabliyyah jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu
Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai
kepada Nabi saw.) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu
kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.
Demikianlah
beberapa hadits yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah
jum’at.
Sedangkan
kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang
hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab
mereka ialah :
Hasiyah
al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at
itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka
disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat
raka’at”.
Al-Majmu’
Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan
shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan
dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah
empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.
Iqna’ oleh
Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu
sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya
juga empat raka’at”.
Minhajut
Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan
shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.
Begitu juga
masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat
qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan-keterangan
singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa
ini semua adalah sunnah Rasulullah saw., bukan sebagai amalan
bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah SWT.
8. Dalil mengangkat tangan waktu berdo’a
Sebagian
golongan ada yang membid’ahkan mengangkat kedua tangan waktu berdo’a.
Sebenarnya ini sama sekali tidak ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada
hadits bahwa Rasulullah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga
ulama-ulama pakar dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain
sebagainya) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab
atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah SWT.
Dalam kitab
Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim
Bahreisj cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah hadits berikut ini:
Sa’ad bin Abi
Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulullah saw. keluar dari Makkah menuju ke
Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulullah saw.
turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a
sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya
berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian
berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan
syafa’at (bantuan) bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku,
kemudian saya mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan
untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat
kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud
syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu Dawud).
Dalam hadits
ini menerangkan bahwa Rasulullah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat
tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan
adalah termasuk sunnah Rasulullah saw.
Dalam Kitab
Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 4 cetakan pertama tahun 1978
halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini
ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan
riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu
meminta (berdo’a kepada
Allah SWT.) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang
kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan)
ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan
melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam
hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat
tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan
menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan
(membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istighfar.
Diriwayatkan
dari Malik bin Yasar bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Jika kamu
meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan
dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw. : “Sesungguhnya
Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia
merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk
berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits
ini Allah SWT. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil
menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan
dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan
hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan
:
“Aku pernah
melihat Rasulullah saw. mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a
sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih ada
hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan
hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya
mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah SWT. Bagi saudaraku muslim yang
tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau
membid’ahkan saudara muslim lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a !.
Karena mengangkat tangan waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun
cara berdo’a kepada Allah SWT. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para
ulama pakar (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum–
dan para imam lainnya).
Janganlah kita
cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan
mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah, siapa yang
mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut
juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan sesat sama saja mengharamkan amalan
tersebut.
9. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan
awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahkan
panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad Rasulullah
saw., dengan alasan bahwa Rasulullah saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita
tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah
sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud
Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulullah saw.
yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam
risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam
Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut
nama Rasulullah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita)
didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai
beliau saw. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian
kedudukan beliau. Allah SWT.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi
martabat Rasulullah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang
kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut
nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali
untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah saw. Allah SWT.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian
memanggil sesama orang diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas
ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian
memanggil atau menyebut nama Rasulullah saw. cukup dengan nama beliau saja,
seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah
kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut
kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut
diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukkan
penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik dikala beliau masih
hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah SWT. Yang sudah
jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak
mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap
orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam
menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63)
Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulullah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi
Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut
Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya
dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah
atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap
berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh
Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan
tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang
diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin
memanggil Rasulullah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai
Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah SWT.
melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulullah saw. dengan ucapan-ucapan
tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyallah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para
ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal
tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan
atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas
turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat
ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah SWT.
dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain
sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah SWT. memuji kaum muslimin yang bersikap
hormat dan memuliakan Rasulullah saw., bahkan menyebut mereka sebagai
orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah SWT. mengajarkan kepada kita
tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut
Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan
kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah SWT. tersebut
cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah SWT. mengangkat dan menjunjung
Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau
junjungan kita Muhammad Rasulullah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali
dengan kata yang menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidina tidak
sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah SWT.
menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira
kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran
seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari)
Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan
diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut
orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak
dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan
Allah SWT.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa)
dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”.
(S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut
dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT. dalam
surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga
koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan
pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang
berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat
didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41
Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak
dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan
mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah SWT. dalam
Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah SWT., Rasul dan orang
yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat
digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk
menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang
semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan
untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan kata maula
. Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi
yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana
?!
Mengapa orang yang menyebut nama
seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para president, para raja atau
menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak
dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa
sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali
penyebutan nama Rasulullah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan
kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan
kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini
masih banyak orang yang menyebut nama Rasulullah saw. tanpa diawali dengan kata
sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw.).
Menyebut nama Rasulullah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal
hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan
oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain
sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih yang
menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid.
Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah
bagi keluarganya (rumah
tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja
dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan
paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu
junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim terdapat
sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw. memberitahu para sahabatnya, bahwa
pada hari kiamat kelak Allah SWT. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah
engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usaw.widuka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah SWT.
telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau
setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan
Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih
tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau
manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah saw.
tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan
jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh
pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah”
artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw.) sayyid didalam sholat”. Tampaknya
pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah saw. untuk
mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti
bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu.
Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulullah saw.mengucapkan kata-kata
dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang
hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu
tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan
hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh
para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas
pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas :
“Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam
kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan
sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam
As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih
madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan :
“Hadits itu sama sekali tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut,
masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La
tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi
Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam
Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula
Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan
tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang
yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada
para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’
(rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan
oleh Rasulullah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan
yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang
hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah saw.bersabda : “Aku
sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti
pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling
sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi
ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa
makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi
Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah seorang sayyid
yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulullah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada
hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang
diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim,
mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada
hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulullah
saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi
keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih
tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim
sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulullah
saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan
kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang
mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulullah saw. diawali dengan kata sayyidina
diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai
isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai
berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulullah saw.
naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau
bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulullah ! Beliau
bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab :
Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau
kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan
kepada kita bahwa Rasulullah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut
nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan
perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan
dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas
menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid
kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak
diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama
Rasulullah saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang
mencintai beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam
Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu
Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun
maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya).
‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut
kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah saw. adalah sayyidina
dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya
(keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an
takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati”
artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum
mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat
ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut
berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’mininat
au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau
tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang
beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Sa’ad, Rasulullah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii
sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah
engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum
wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua
orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam
Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu sayyida
asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid
pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu
kita menyebut puteri Rasulullah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna.
Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan
Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat
oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka
tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah saw. mengutus seorang
memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan
keledai, saat itu Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir:
“Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati
sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah saw.
menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit
sementara fihak
menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya,
karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulullah saw. tidak menyuruh
mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa
orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun
–misalnya– Rasulullah saw. melarang para
sahabatnya berdiri menghormati beliau saw., tetapi beliau sendiri malah
memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya
? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki
oleh Rasulullah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai
soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara
terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak,
si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya,
ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulullah saw. sekalipun beliau
menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah SWT,
beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan
beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulullah saw., harus merasa wajib
menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah SWT.
berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad
saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah
ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra.
menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci
diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulullah
saw. lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib
dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata
awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah?
Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud
ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian
mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan
sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada
beliau saw., karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu,
rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan
Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat
Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama
masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai.
Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad
shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali
ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang
sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah saw. menyebutnya
(Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu
‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal
sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda
berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam
bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi
orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama
pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulullah saw. yang tidak
tercantum disini.
Nah, kiranya
cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana
untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. Setelah orang mengetahui banyak
hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid,
apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam
menyebut nama beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang
yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah saw. sebagai
Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin
(Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana
tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau
maulana dimuka nama beliau saw.? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara
golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali
dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
10.
Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering yang kita dengar dari
golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang
melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu sebagaimana
kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan
sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka
bahwa Rasulullah saw. para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu
berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’
adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir
yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa
Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan
dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab,
tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari
kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya
kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah
Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme,
yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani
juga menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada
zaman sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang
memerintahkan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah SWT.
sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT..
Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak
terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah SWT.
dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi,
umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu
berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan
Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh
tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan
ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali itu
terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai ucapan
dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-hadits yang
menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang
berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan
cara menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang
mengatakan:
“Rasulullah saw. menghitung
dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara
beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits
berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan
bahwa Rasulullah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa
bertasbih (berdzikir), bertahlil dan
bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah SWT.).
Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah
dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan
akan diminta berbicara” .
Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari
dalam hadits itu tidak berarti melarang orang menghitung dzikir dengan
cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah
mendatangkan nash yang khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan
Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang
mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulullah saw. datang kerumahnya. Beliau
melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh
Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay,
apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk
menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat
berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulullah,
ajarilah aku’. Rasulullah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah
sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan
sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi
Waqqash ra. yang mengatakan:
“Bahwa pada suatu hari Rasulullah saw.
singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil
yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau
bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih
afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :
‘Subhanallahi ‘adada maa kholaga fis
samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi, subhanallahi ‘adada
maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu
dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi
mitslu dzaalika’ ”.
Yang artinya : ‘Maha suci Allah
sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang
dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah
Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada
Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah,
seperti tadi !’ “.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulullah
saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung
dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia
harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau
dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak
melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk
menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita
itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !
Beliau saw. malah mengajarkan kepada
mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan
berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulullah saw.
jadi terserah kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat
Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma,
batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagainya untuk
menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau
membid’ahkan sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya
meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah
menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan
juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa
Abu Shofiyyah, maula Rasulullah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian
mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir
hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia
mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu
Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk
bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit
hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang
berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba
sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah
yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan
seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya
bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji
kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu
dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’
.
Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung
dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id
Al-Khudri.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah
riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang
yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa ‘Ali bin
‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji
zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan
biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’
“.
Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak
sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung
dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.
Menurut riwayat bentuk tasbih yang
kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2
Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat
penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip
keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus . Sejak masa itu
tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada
beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai
hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah
bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang
semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang
mendekatkan diriku kepada Allah SWT. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah
Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih
makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun
beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf
maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan
adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang
penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk
tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai
dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih.
Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa
zaman nya Rasulullah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga
untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan
cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang
berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung
bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung
yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang
telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari
adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai
tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan
tangan atau jarinya juga, bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian
jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para
ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila
berdzikir.
Jadi masalah menghitung dengan
butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada
orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita
ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari
tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung
dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih
afdhal/utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang
berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal.
Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa
menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan,
yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir
yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa
yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan
mengucapkan Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama
yaitu Subhanallah. Allah SWT. melihat apa yang ada didalam hati orang yang
berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung
dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat
ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan
pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dn lain
sebagainya ??? Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin.
Amin.
Semoga dengan
keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi serta pengikutnya
dan keterangan bid’ah yang singkat ini insya-Allah bisa membuka hati kita
masing-masing agar tidak mudah mensesatkan, mengkafirkan dan sebagainya pada
saudara muslim kita sendiri yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu
juga yang berlainan madzhab dengan madzhab kita.
11.
Bagaimana hukum menyuguhkan
makanan baik kepada para jamaah yang datang membacakan tahlil bagi si mayit
maupun bagi para pentakziah?
Ada dua pendapat di kalangan ulama berkaitan dengan
hukum menyuguhkan makanan dari pihak keluarga si mayit kepada para jamaah
tahlilan maupun orang-orang yang datang bertakziyah.
a.
Pendapat yang menyatakan makruh. Hal ini
didasarkan pada dua hadits:
Pertama, hadits
Jarir bin Abdullah al-Bajali yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah dengan
sanad yang shahih. Jarir bin Abdullah berkata: "Kami menganggap berkumpul
pada keluarga mayit dan penyuguhan makanan dari pihak keluarga mayit bagi
mereka (yang berkumpul) termasuk niyahah (ratapan)." Berdasarkan hadits
ini, para ulama madzhab Hanafi berpendapat makruh memberikan makanan pada hari pertama, kedua,
ketiga dan setelah tujuh hari kepada pentakziyah
sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam Ibn Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar juz 2 hlm. 240.
Kedua, Hadits riwayat al-Tirmidzi, al-Hakim dan lain-lainnya, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: "Buatkan makanan bagi keluarga Ja'far, karena mereka sekarang
sibuk mendengar kematian Ja'far." Para ulama berpendapat, bahwa yang
disunnatkan sebenarnya adalah tetangga keluarga mayit atau kerabat-kerabat
mereka yang jauh membuatkan makanan bagi keluarga mayit yang sedang
berduka, yang cukup bagi kebutuhan mereka
dalam waktu selama sehari semalam.
Pendapat ini diikuti oleh mayoritas fuqaha, dan mayoritas ulama
madzahib al-arba'ah. Dan ini juga merupakan praktek warga Nahdliyin, saat
ada tetangga meninggal, maka para tetangga takziyah dengan membawa beras, uang
serta membantu memasak untuk keluarga musibah dan memasak bagi yang bertakziah
yang mana makanan itu berasal dari tetangga2 sekitar dan sama sekali tidak
mengambil harta dari keluarga musibah.
b.
Ulama yang lain berpendapat bolehnya
menyuguhkan makanan dari pihak keluarga mayit bagi para jamaah tahlilan maupun para pentakziyah, meskipun pada
masa-masa tiga hari hari pertama pra meninggalnya si mayit. Hal ini didasarkan
pada beberapa dalil antara lain:
Pertama, Ahmad bin Mani' meriwayatkan dalam Musnad-nya dari jalur al-Ahnaf bin
Qais yang berkata: "Setelah Khalifah Umar bin al-Khaththab ditikam, maka
beliau menginstruksikan agar Shuhaib yang bertindak sebagai imam shalat selama
tiga hari dan memerintahkan menyuguhkan makanan bagi orang-orang yang datang
bertakziyah." Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, sanad hadits ini bernilai
hasan. (Lihat al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah fi Zawaid al-Masanid
al-Tsamaniyah, juz 1, hlm. 199, hadits no. 709).
Kedua, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd dari al-Imam
Thawus (ulama salaf dari generasi tabi'in), yang berkata: "Sesungguhnya
orang-orang yang meninggal dunia itu diuji oleh di dalam kubur mereka selama
tujuh hari. Mereka (para generasi salaf) menganjurkan mengeluarkan sedekah makanan
untuk mereka selama tujuh hari tersebut." Menurut al-Hafizh
Ibn Hajar, sanad hadits
ini kuat (shahih). (Lihat, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Mathalib al-'Aliyah, juz 1,
hlm. 199, hadits no. 710).
Ketiga, “Kami keluar bersama
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada penggali
kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian
kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita (istri
mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya
didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian
diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian dimakanlah
oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam makan dengan suapan, dan bersabda:
“aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin
pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata
: “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli
kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk
membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka
aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu
kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah
makanan ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra
lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942]
At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan
al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih. Lebih jauh lagi,
didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasulullah menerima ajakan wanitanya, yakni istri
dari yang wafat”.)
12.
Hukum Duduk Bersama Untuk
Berdzikir
Alhamdulillah, di bumi Sunni
Syafi`i, Indonesia ini masih banyak umat Islam yang mengamalkan ajaran Nabi saw.,
antara lain yang disebutkan dalam hadits hasan riwayat Imam Tirmidzi dari Abu
Hurairah, Nabi saw. bersabda : Maa qa`ada qaumun lam yadzkurullaha fiihi walam
yushallu `alan nabiyyi shallallahu alaihi wasallam, illaa kaana alaihim
hasratan yaumal qiyaamah, (tidaklah suatu kaum yang duduk di suatu tempat, dan
tidak berdzikir kepada Allah dan tidak pula bershalawat untuk Nabi saw.,
kecuali mereka akan ditimpa penyesalan pada hari kiamat). Yang dinamakan kaum
dalam hadits di atas adalah sekelompok orang yang duduk bersama dalam suatu
majelis. Jika saja yang dimaksudkan adalah perorangan, maka Nabi saw. cukup
mengatakan maa qa`ada rajulun (tidaklah seseorang yang duduk), tetapi Nabi saw.
mengatakan qaumun (suatu kaum).
Artinya baik mereka membacanya
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bahkan pemahaman yang lebih dekat
dengan kebenaran, adalah secara bersama-sama, baik dengan suara pelan dan
lirih, yang hanya dapat didengarkan oleh dirinya sendiri, maupun dengan
mengangkat suara secara wajar sehingga terdengar suara lantunan-lantunan dzikir
yang menentramkan jiwa, hal ini sama seperti yang dilakukan umat Islam di saat
menggemakan takbiran di malam Hari Raya
secara bersama-sama dengan suara keras. Semua cara dalam menghidupkan majelis
dzikir dan shalawat yang dilakukan oleh suatu kaum secara bersama-sama, tidak
ada larangan secara spesifik baik dari Alquran maupun hadits shahih manapun.
Karena itu, kegiatan masyarakat
Indonesia yang marak dilakukan di pedesaan, perkampungan, maupun perkotaan
dalam mengadakan majelis dzikir kepada
Allah, majelis shalawat untuk Nabi saw., maupun majelis ta`lim untuk memahami
ajaran syariat Islam adalah sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.
Jadi mari kita
bersama-sama
lestarikan majelis dzikir, majelis shalawat dan majelis ta`lim di wilayah kita
masing-masing, agar tidak ada penyesalan pada hari Qiyamat nanti.
13.
Dalil Nyekar
Bunga Di Kuburan
Barangkali
telinga masyarakat Indonesia tidaklah asing dengan istilah nyekar. Adapun arti
nyekar adalah menabur beberapa jenis bunga di atas kuburan orang yang
diziarahinya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati, dan bunga lainnya
yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan sanak keluarga,
namun tak jarang pula kuburan orang lain yang dikenalnya. Nabi saw. sendiri pernah berziarah kepada dua kuburan muslim yang
sebelumnya tidak dikenal oleh beliau saw.
Sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasannya suatu saat Nabi SAW. melewati dua
kuburan muslim, lantas beliau SAW. bersabda: Sesungguhnya kedua orang ini
sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena suatu masalah yang besar,
tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan mengadu domba), sedangkan
yang satu lagi terbiasa tidak bersesuci (tidak cebok) jika habis kencing. Kemudian
beliau saw. mengambil pelepah kurma yang masih segar dan
memotongnya, untuk dibawa saat menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau
saw. menancapkan potongan pelepah kurma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala
masing-masing, seraya bersabda : Semoga Allah meringankan siksa dari kedua
mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersuci).
Berkiblat
dari hadits
shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi saw. untuk menziarahi
kuburan sanak famili dan orang-orang yang dikenalnya untuk mendoakan penduduk
kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar pengamalan nyekar
bunga di atas kuburan.
Tentunya
kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi saw. masih hidup, sangat berbeda dengan situasi di
Indonesia. Maksudnya, Nabi saw. saat itu melakukan nyekar dengan menggunakan pelepah kurma,
karena pohon kurma sangat mudah didapati di sana, dan sebaliknya sangat sulit
menemui jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil
bahwa yang terpenting dalam melakukan nyekar saat berziarah kubur, bukanlah
faktor pelepah kurmanya, yang kebetulan
sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon, termasuk juga jenis bunga dan
dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi dampak positif bagi mayyit
yang berada di alam kubur, yaitu dapat
memperingan siksa kubur sesuai sabda Nabi saw.
Karena Indonesia adalah negeri yang sangat
subur, dan sangat mudah bagi masyarakat untuk menanam
pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka
masyarakat Indonesia-pun menjadi kreatif, yaitu disamping mereka melakukan
nyekar dengan menggunakan berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma
harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di Indonesia, maka
masyarakat juga rajin menanam berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan,
tujuan mereka hanya satu yaitu mengamalkan hadits Nabi SAW., dan mengharapkan
kelanggengan peringanan siksa bagi sanak keluarga dan handai taulan yang telah
terdahulu menghuni tanah pekuburan. Karena dengan menanam pohon ini, maka
kualitas kesegarannya pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.
Memang
Nabi SAW. tidak mencontohkan secara langsung penanaman pohon di tanah kuburan.
Seperti halnya Nabi SAW. juga tidak pernah mencontohkan berdakwah lewat media
cetak, elektronik, bahkan lewat dunia maya, karena situasi dan kondisi saat itu
tidak memungkinkan Nabi SAW. melakukannya. Namun para ulama kontemporer dari
segala macam aliran pemahaman, saat ini marak menggunakan media cetak,
elektronik, dan internet sebagai fasilitas penyampaian ajaran Islam kepada
masyarakat luas, tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW.,
namun dengan asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih
menyentuh masyarakat luas, sehingga pundi-pundi pahala bagi para ulama dan da’i
akan lebih banyak pula dikumpulkan. Yang demikian ini memang sangat
memungkinkan dilakukan pada jaman modern ini.
Jadi,
sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan masyarakat muslim di Indonesia,
mereka bertujuan hanya satu, yaitu mengikutijejak nyekarnya Nabi SAW., namun
mereka menginginkan agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih
langgeng, maka masyarakt-apun menanam pepohonaan di tanah pekuburan, hal ini
dikarenakan sangat memungkinkan dilakukan di negeri yang bertanah subur ini,
bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.
Ternyata
dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak
dikenal, dan memberikan solusi amalan nyekar dengan penancapan pelepah korma di
atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasnan siksa kubur yang tengah
mereka hadapi, menunjukkan bahwa keberadaan Nabi SAW. adalah benar-benar
rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan
dunia kasat mata, maupun alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian
hari.
(Literatur
tunggal: Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan
Abuya Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad
21)
14.
Dalil
Tentang Bolehnya Bertabaruk
Bertabarruk yang dimaksud di sini, adalah seseorang
yang sengaja mencari (Jawa : ngalap) barakah dari sesuatu yang diyakini baik,
dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.Adakalanya dengan mengambi sesuatu,
atau mengusap sesuatu, atau meminum sesuatu, atau sesuatu, bahkan melakukan
sesuatu dengan tujuan mencari barakah.Ada seseorang yang menjalankan bisnis
milik orang lain tanpa meminta sedikitpun bayaran atau keuntungan dari
bisnisnya itu, sebab ia hanya ingin mencari barakah, karena si pemilik modal
tiada lain adalah kiai/ustadz/guru agama-nya. Ada juga yang sengaja mencium
tangan atau bahkan dada seseorang yang dianggap shaleh maupun `alim dengan
tujuan mencari barakah. Atau mendatangi seorang yang shaleh dengan membawa air
lantas minta dibacakan surat Alfatihah atau doa kesembuahan dan sebagainya,
senuanya itu bertujuan mencari barakah. Demikian dan seterusnya.
Adapun amalan-amalan yang tertera di atas adalah menirukan perilaku para shahabat Nabi saw. sebagaimana yang
ditulis para ulama salaf dalam buku-buku mereka, antara lain :
(1). Imam Ibnu Hajar Alhaitsami menulis dalam kitab Majma`uz zawaid, 9:349 yang
disebutkan juga dalam kitab Almathaalibul \`Aaliyah, 4:90 : Diriwayatkan dari
Ja`far bin Abdillah bin Alhakam, bahwa shahabat Khalid bin Walid RA, Panglima
perang tentara Islam, pada saat perang Yarmuk kehilangan songkok miliknya,
lantas beliau meminta tolong dengan sangat agar dicarikan sampai ketemu.
Tatkala ditemukan, ternyata songkok tersebut bukanlah baru, melainkan sudah
hampir kusam, lantas beliau mengtakan : Tatkala Rasulullah saw. berumrah,
beliau saw. mencukur rambutnya
saat bertahallul, dan orang-orang yang mengetahuinya, mereka berebut rambut Rasulullah saw.,
kemudian aku bergegas mengambil rambut bagian ubun-ubun, dan aku selipkan pada
songkokku ini, dan sejak aku memakai songkok yang ada rambut Rasulullah saw.
ini, maka tidak pernah aku memimpim
peperangan kecuali selalu diberi kemenangan oleh Allah.
(2). Imam Bukhari dalam Kitabus syuruuth, babus syuruuthu fil jihaad,
meriwayatkan dari Almasur bin Makhramah dan Marwan, mengatakan bahwa Urwah
(tokoh kafir Quraisy) memperhatikan perilaku para shahabat Nabi SAW., lantas
mengkhabarkan kepada kawan-kawannya sesama kafir Quraisy : Wahai kaumku, demi
tuhan, aku sering menjadi delegasi kepada para raja, aku menjadi delegasi
menemui Raja Kaisar, Raja Kisra, dan Raja Najasyi, tetapi demi tuhan belum
pernah aku temui para pengikut mereka itu dalam menghormati para raja itu,
seperti cara para shahabat dalam menghormati Muhammad (SAW.), demi tuhan,
setiap Muhammad meludah, pasti telapak tangan mereka dibuka lebar-lebar untuk
menampung ludah Muhammad, lantas bagi yang mendapatkan ludah itu pasti langsung
diusapkan pada wajah dan kulit masing-masing (tabarrukan). Jika Muhammad
memrintahkan sesuatu, mereka bergegas menjalankannya. Jika Muhammad berwudlu
mereka berebut bahkan hampir berperang hanya untuk (bertabarruk) mendapatkan
air bekas wudlunya. Jika mereka berbicara di depan Muhammad pasti merendahkan
suaranya, mereka tidak berani memandang wajah Muhammad dengan lama-lama karena
rasa hormat yang sangat dan lebih daripada umumnya.
(3).
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Anas bin
Malik RA, bahwa Nabi saw. datang ke Mina, lantas melaksanakan lempar Jumrah,
kemudian mencukur rambutnya, dan meminta kepada si pencukur untuk mengumpulkan
rambutnya, dan beliau saw. membagikannya kepada masyarakat muslim.
(2). Riwayat serupa di atas juga terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, yang
mengatakan bahwa Nabi saw. menyerahkan potongan rambutnya kepada Abu Thalhah dan beliau saw.
memerintahkan : Bagikanlah kepada orang-orang.
(3). Imam Muslim meriwayatkan juga dari
shahabat Anas RA berkata, bahwa suatu saat Nabi saw. beristirahat tidur di
rumah kami sehingga beliau saw. berkeringat, lantas ibu kami mengambil botol
dan menampung tetesan keringat Nabi saw., kemudian Nabi saw. terbangun dan
bersabda : Wahai Ummu Sulaim, apa yang engkau lakukan ? Ummu Sulaim menjawab :
Kami jadikan keringatmu ini sebagai parfum, bahkan ia lebih harum dari semua jenis parfum.
(4). Sedangkan dalam riwayat Ishaq bin
Abi Thalhah, bahwa Ummu Sulaim istrinya Abu Thalhah menjawab : Kami
mengharapkan barakahnya untuk anak-anak
kami. Lantas Nabi saw. bersabda : Engkau benar.
(5). Imam Thabarani meriwayatkan dari Safinah RA, berkata : Tatkala Rasulullah saw.
berhijamah (canthuk), beliau saw. bersabda kepadaku: Ambillah darahku ini, dan
tanamlah jangan sampai ketahuan binatang liar, burung, maupun orang lain..!
Lantas aku bawa menjauh dan aku minum, kemudian aku
ceritakan kepada beliau saw., maka beliau tertawa.
(6). Imam Thabarani juga meriwayatkan hadits penguat, Nabi saw.
bersabda : Barangsiapa yang darah (daging)-nya bercampur dengan darahku, maka
tidak bakal disentuh api neraka.
(7). Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Anas RA, bahwa suatu saat Nabi saw. mampir ke rumah Ummu Sulaim,
yang dalam rumah itu ada qirbah (tempat air minum) menggantung, lantas beliau saw.
meminumnya secara langsung dari bibir qirbah itu dengan berdiri, kemudian Ummu
Sulaim menyimpan qirbah tersebut untuk bertabarruk dari sisa bekas tempat minum
Nabi saw.
(8). Ibnu Hajar Alhaitsami menulis
riwayat hadits dari Yahya bin Alharits Aldzimaari berkata : Aku menemui
Watsilah bin Al-asqa` RA lantas aku tanyakan : Apa engkau membaiat Rasulullah
dengan tanganmu ini ? Beliau menjawab : Ya.. ! Aku katakan : Sodorkanlah
tanganmu untukku, dan aku akan menciumnya. Kemudian beliau memberikan tangannya
kepadaku, dan akupun
menciumnya. (HR. Atthabarani).
(9). Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin, mengatakan ; Kami
melintas di Arrabadzah, lantas diinfokan kepada kami : Di situ ada Shahabat
Salamah bin Al-aqwa` RA, lantas kami menjenguk beliau RA, dan kami ucapkan
salam. Lantas beliau RA menjulurkan tangannya seraya berkata : Aku membaiat
Nabi saw. dengan kedua tanganku ini...!
Kemudian beliau membuka telapak tangannya yang gemuk besar, kemudian kami berdiri dan kami menciumnya.
(10). Imam Bukhari meriwayatkan dari Asmaa binti Abu Bakar RA, beliau sedang mengeluarkan baju jubbahnya Nabi SAW. dan
berkata : Ini jubbahnya Rasulullah saw.,
yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `aisyah wafat, sekarang aku
simpan...! Dulu Nabi saw. mengenakan jubbah ini, sekarang
sering kami cuci (dan airnya khusus kami berikan) kepada orang yang sakit untuk
penyembuhan (dengan bertabarruk dari air bekas cucian jubbah tersebut).
(11). Ibnu Taimiyyah dalam kitab karangannya, Iqtidhaaus shiraathil mustaqiim,
hal 367, meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa beliau memperbolehkan
amalan mengusap mimbar masjidnya Nabi SAW. dan ukirannya, untuk tabarrukan,
karena Shahabat Ibnu Umar RA serta para Tabi`in seperti Sa`id bin Musayyib dan
Yahya bin Sa`id yang tergolong ahli fiqih kota Madinah juga mengusap mimbar
Nabi saw. tersebut.
Masih
banyak bukti hadits-hadits Nabi saw.
tentang bolehnya bertabarruk kepada barang-barang milik Nabi saw., serta milik orang-orang shalih, dengan berbagai macam
bentuk dan cara termasuk mencium makam kuburan
Nabi saw. dan para wali serta orang-orang
shalih, selama tidak melanggar syariat Islam. Namun jika sampai menyembah
karena mempertuhankan barang-barang tersebut, tentunya diharamkan oleh syariat
Islam. Termasuk diharamkan juga adalah perilaku orang awwan yang menyembah dan
memberi sesajen kepada tempat-tempat maupun kuburan-kuburan angker yang
diyakini ada jin penunggu untuk dimintai banyak hal, padahal tempat-tempat tersebut bukanlah
tempat yang berbarakah dalam standar syariat Islam.
15.
Bagaimana hukumnya membaca manaqib?
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib?
Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah,
yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji
seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya
membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu
kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia:manaqib Umar bin
Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani,
manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada
orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain
sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap
menanyakan hukumnya manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib
Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk
akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi
darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri
menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutkan
cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai
ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita
tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar
bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang
bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita
tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari
unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa
menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu
sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah
memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa
menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul
Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing
tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala
membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?
Apakah
selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi
Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya
karomah.Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan
menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang
sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS
An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى
عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ
إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ
رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir
al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada
wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan
musyrik?
Memanggil-manggil untuk dimintai
pertolongan baik kepada wali yang sudah mati
atau kepada bapakc ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa
pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat
memberikan pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya
syirik. Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah
Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta
pertolongan kepada para wali itu maksudnya adalah bertawassul minta dimohonkan
kepada Allah Ta’ala.
Manakah
yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan
perantaraan (tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraan
pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara
jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau
wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan
perantaraan Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu
tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak
atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai
kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada
kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti
itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul
kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang
sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al
Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah
Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى
أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah
aku maka akan Aku sambut kepadamu.
(Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيِنَ
Maka
sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ
إِلَهًا أَخَرَ
Dan
orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih
banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul
akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan
pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan
contoh di bawah ini:
Saudara mempunyai majikan yang kaya
raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan
termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja di
perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap
kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia.
Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan,
yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru
saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik
hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba perhatikan! kepada siapa saya
memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar
itu?Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan
membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan
yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana
yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa
anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah
gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada
siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah
pengemis itu meminta?
Salah
satu budaya mengenang sejarah dan autobiographi wali adalah manaqib. Manaqiban
atau membaca manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk terus-menerus menyambung
tali silaturahmi dengan Syekh Abdul Qadir al Jailany yang dikenal dengan
sultanul aulia. Bagaimana dan apa seputar manaqib itu. Tulisan ini sekedar pendapat
pribadi.
Ayat di
bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di belakang
orang-orang yang selalu berada dalam jalan kembali kepada Allah SWT.
واتبع
سبيل من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah
kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan." (QS
Luqman: 15)
Bersyukur
kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa mendengar tausiah atau
nasehat para ulama yang tidak bosan-bosannya mendorong manusia agar meningkatan
kualitas iman ruhaninya. Bukan sekedar kata-kata, prilaku dan contoh
kehidupannya merupakan pelajaran yang amat berharga yang semestinya dijadikan
teladan bagi para murid-muridnya atau para simpatisannya. Semoga upaya para
ulama ini dapat kita ikuti baik yang mengaku murid-muridnya atau yang menyukai
perjalan ruhani menuju Mahabbah kepada Allah.
Salah
satu tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren adalah mengamalkan manaqib.
Manaqib yang dibaca adalah seputar prikehidupan Syeikh Abdul Qodir al Jilany
q.s.a yang dikenal dengan Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib yang dibaca
adalah Manaqib Syeikh Abdul Qadir al Jilany.
Dalam
pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang terdapat
dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya dengan khusu’ mendengarkan secara
aktif dengan memuji Allah dengan kalimat-kalimat yang terdapat dalam Asmaul
Husna. Bagi yang mengerti bacaannya dapat menye¬lami lebih dalam maksud dan
pelajaran-pelajaran dari isi kitab tersebut. Sebab di dalamnya berisi
perikehidupan, kebiasaan dan kelebihan-kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang
tidak mengerti akan diterangkan oleh gurunya.
Pembacaan
manaqib
ini mempengaruhi tingkat kerohanian para pengamal thareqah. Karena dengan
membaca manaqib diharapkan dapat menda¬patkan limpahan kebaikan dari Allah SWT
(berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh Abdul Qadir Al Jilani
terdapat autobiographi (catatan perjalanan kehidupan) tentu saja di dalamnya
terdapat sejarah, nasihat, prilaku yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh
Abdul Qoadir q.s.a
Pengertian
dan Manfaat Manaqib
Menurut
kamus Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan kata jama’ yang
berasal dari kata Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal jalan menuju gunung
atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahuan tentang akhlaq yang terpuji,
akhlaqul karimah. Dari pengertian ini manaqib dapat diartikan sebuah upaya
untuk mendapatkan limpahan kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara memahami
kebaikan-kebaikan para kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai
oleh Allah dan para wali sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuunallah
wayubibbuhum).
Sebagaimana
ditulis dalam quran:
"Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al Maidah (5): 54)
Ensiklopedi
Islam mengartikan manakib sebagai sebuah sejarah dan pengalaman spiritual
seorang wali Allah SWT. yang di dalamnya terdapat cerita-cerita, ikhtisar
hikayat, nasihat-nasihat serta peristiwa-peristiwa ajaib yang pernah dialami
seorang syekh. Semuanya ditulis oleh pengikut tarekat atau para pengagumnya dan
dirangkum dari cerita yang bersumber dari murid-muridnya, orang terdekatnya,
keluarga dan sahabat-sahabatnya (Ensiklopedi Islam: 152).
Jadi,
manakib adalah kitab sejarah atau autobiographi yang bersifat hagiografis
(menyanjung) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan teladan bagi pembacanya
disamping juga tujuan tabarruk (mengharap berkah) dan tawassul (membuat
perantara pembaca dengan Allah).
Manaqib
adalah Tawasul
Mengenai
masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi menyampaikan bahwa tawassul
dan tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau dalam Ushul Fiqh
disebut dengan tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan bagian-bagian kecil
(tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke dalam induk tersebut. Namun,
al-Buthi dengan tegas mengata¬kan bahwa tawassul adalah tindakan sunnah dengan
bukti banyaknya dalil nash hadits yang shahih. Al-Bukhari meriwayatkan dari
Ummu Salamah bahwa beliau pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut
tersebut beliau simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap
barokah Nabi (Fiqh al-Sirah:177-178).
Pada
masa Rasulullah saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana Rasulullah saw.
pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui Uways al Qarny r.a untuk
memintakan ampunan kepada Allah SWT. Karena uways ini menurut Nabi saw. akan
menjadi salah satu raja di surga.
Tawasul
berupa Amal
Hadits
tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. . bahwa
Rasulullah saw. bercerita dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu
intinya adalah ada tiga orang yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah
batu besar menutupi mulut gua. Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah
agar batu bisa tersingkir. Ketika satu demi satu orang berdoa, mereka
berwasilah dengan amal sholeh masing-masing; orang pertama berwasilah pada amal
dimana ia pernah memberikan susu kepada ibudanya padahal anaknya sangat
membutuhkan; “Aku lebih menguta¬makan ibu terlebih dahulu dari pada anak-anakku
meskipun anaku merengek meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah
kemampuan orang kedua ini menghentikan niat hendak mau menggauli sepupu
perem¬puannya padahal sudah memberikan uang 100 dinar, namun tidak jadi karena
sepupu perempuan¬nya meminta menikahkannya, akhirnya membatal¬kan niat jahat
tersebut. Sedangkan orang ketiga memiliki wasilah amal dima¬na dia memakan hak
gaji pegawai. Ketika ditegur “takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi
aku.” Karena merasa takut kepada Allah, setelah sekian lama orang ini
memberikan ganti uang hak pegawai itu berupa peternakan lembu dan anak-anaknya
yang telah berkembang biak yang modalnya diambil dari hak pekerja tersebut.
Dari ketiga wasilah orang tersebut Allah mengge¬rakkan batu besar yang menutupi
gua sehingga mereka bertiga bisa lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari
hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang dapat
mengantarkan kita kepada Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan
pertolongan terhadap derita seorang hamba karena tertimpa musibah seperti
derita tiga orang yang terjebak di dalam gua.
Dalil
Manaqib
Mendekati
Allah dengan cara mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah sesuai
dengan firman Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: “.... dan ikutilah jalan orang
yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir
al Qurthuby mengartikan “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT) yaitu kembali
kepada jalan para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan demikian maka mengikuti
jalan orang-orang sholeh apalagi para ulama dan aulia merupakan anjuran Allah
dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekha¬watiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus:
62)
Jadi
dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah meru¬pakan salah satu jalan
tempuh untuk memperoleh rakhmat dan karunia Allah dengan cepat. Sebab dengan
manaqib ini kita dapat mengenal, memahami, serta menyelami karakter serta
sifat-sifat wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk diteladani.
Kalau
Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang hidup
setelahnya patut kita contoh. Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul Qadir al Jilany
(Allah telah mensuci¬kan sir nya) yang dikenal dengan sultanul auliaa (Penghulu
para wali).
Diantara
para pembaca manakib ada yang mengamalkan pembacaan manaqib ini secara berkala
mingguan, bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendaki. Atau dalam
moement-moment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir anak atau acara
walimahan. Tentu saja harapannya adalah agar memperoleh keberkahan dalam
kehidupan jasmani dan rohani dunia wal akhirat. Jadi tunggu apalagi, makiban
yuks! Wallahu ‘alam (MK)
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
16. Dalil Bolehnya Bertawasul
Banyak pemahaman saudara-saudara
kita muslimin yang perlu diluruskan tentang tawassul, tawassul adalah berdoa
kepada Allah dengan perantara amal shalih, orang shalih, malaikat, atau
orang-orang mukmin.
Tawassul kepada Rasulullah disebutkan dalam beberapa ayat
Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64, “Dan Kami
tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu
memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang yang
dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya) Rasulullah
SAW.
Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu
Katsir, “Berkata Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan
segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya
As-Syaamil dari Al-Ataby; berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW. maka
datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu’alaika ya Rasulullah! Saya
telah mendengar Allah berfirman;
Walaupun
sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian datang
kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul memintakan ampun untuk
mereka, mereka pasti mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu
(kekuburan Rssulullah) dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa’at
dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia membaca syair memuji
Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran dan melihat
Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda, “Wahai Ataby temuilah orang
Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Tawassul merupakan hal yang
sunnah, dan tak pernah ditentang oleh Rasul saw., tak pula oleh Ijma Sahabat
radhiyallahuanhum, tak pula oleh Tabiin, dan bahkan para Ulama dan Imam-Imam
besar Muhadditsin, mereka berdoa tanpa perantara atau dengan perantara, dan tak
ada yang menentangnya, apalagi mengharamkannya, atau bahkan memusyrikkan orang
yang mengamalkannya.Pengingkaran hanya muncul pada abad ke 20 ini, dengan
munculnya sekte Wahabi Salafi sesat yang memusyrikkan orang-orang yang
bertawassul, padahal Tawassul adalah sunnah Rasul saw., sebagaimana hadits
shahih dibawah ini :
"Wahai Allah, Demi orang-orang yang
berdoa kepada Mu, demi orang-orang yang bersemangat menuju (keridhoan) Mu, dan
Demi langkah-langkahku ini kepada (keridhoan) Mu, maka aku tak keluar dengan
niat berbuat jahat, dan tidak pula berniat membuat kerusuhan, tak pula keluarku
ini karena Riya atau sumah.. hingga akhir hadits. (HR Imam Ahmad, Imam Ibn
Khuzaimah, Imam Abu Naiem, Imam Baihaqy, Imam Thabrani, Imam Ibn Sunni, Imam
Ibn Majah dengan sanad Shahih).
Hadits
ini kemudian hingga kini digunakan oleh seluruh muslimin untuk doa menuju
masjid dan doa safar.
Tujuh Imam Muhaddits meriwayatkan
hadits ini, bahwa Rasul saw. berdoa dengan Tawassul kepada orang-orang yang
berdoa kepada Allah, lalu kepada orang-orang yang bersemangat kepada keridhoan
Allah, dan barulah bertawassul kepada Amal shalih beliau saw. (demi langkah2ku
ini kepada keridhoan Mu). Siapakah Muhaddits?, Muhaddits adalah seorang ahli
hadits yang sudah hafal minimal 40.000 (empat puluh
ribu) hadits beserta hukum sanad dan hukum matannya, betapa jenius dan
briliannya mereka ini dan betapa Luasnya pemahaman mereka tentang hadist Rasul saw.,
sedangkan satu hadits pendek, bisa menjadi dua halaman bila disertai hukum
sanad dan hukum matannya.
Lalu hadits diatas diriwayatkan
oleh tujuh Muhaddits, apakah kiranya kita masih memilih pendapat madzhab sesat
yang baru muncul di abad ke 20 ini, dengan ucapan orang-orang yang dianggap
muhaddits padahal tak satupun dari mereka mencapai kategori Muhaddits , dan
kategori ulama atau apalagi Imam Madzhab, mereka hanyalah
pencaci, apalagi memusyrikkan orang-orang yang beramal dengan landasan hadits
shahih. Masih banyak hadits lain yang menjadi
dalil tawassul adalah sunnah Rasululloh saw., sebagaimana hadits yang
dikeluarkan oleh Abu Nu'aim, Thabrani dan Ibn Hibban dalam shahihnya, bahwa ketika wafatnya Fathimah binti
Asad (Bunda dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, dalam hadits itu disebutkan
Rasul saw. rebah/bersandar dikuburnya dan berdoa : "Allah Yang
Menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Hidup tak akan mati, ampunilah dosa
Ibuku Fathimah binti Asad, dan bimbinglah hujjah nya (pertanyaan di kubur), dan
luaskanlah atasnya kuburnya, Demi Nabi Mu dan Demi para Nabi sebelum Mu,
Sungguh Engkau Maha Pengasih dari semua pemilik sifat kasih sayang.",Maka
jelas sudah dengan hadits ini pula bahwa Rasululloh saw. bertawassul di kubur,
kepada para Nabi yang telah wafat, untuk mendoakan Bibi beliau saw. (Istri Abu
Thalib).
Demikian pula tawassul Sayyidina
Umar bin Khattab ra. Beliau berdoa meminta hujan kepada Allah : Wahai Allah..
kami telah bertawassul dengan Nabi kami (saw.) dan Engkau beri kami hujan, maka
kini kami bertawassul dengan Paman beliau (saw.) yang melihat beliau (saw.),
maka turunkanlah hujan".
maka hujanpun turun. (Shahih
Bukhari hadits no.963 dan hadits yang sama pada Shahih Bukhari hadits
no.3508).Umar bin Khattab ra melakukannya, para sahabat tak menentangnya,
demikian pula para Imam-Imam besar itu tak satupun mengharamkannya, apalagi
mengatakan musyrik bagi yang mengamalkannya, hanyalah pendapat sekte sesat ini
yang memusyrikkan orang yang bertawassul, padahal Rasululloh saw. sendiri
bertawassul.
Apakah mereka memusyrikkan
Rasululloh saw.?, dan Sayyidina Umar bin Khattab ra bertawassul, apakah mereka
memusyrikkan Umar?, Naudzubillah dari pemahaman sesat ini.
Mengenai pendapat sebagian dari
mereka yang mengatakan bahwa tawassul hanya boleh pada orang yang masih hidup,
maka entah darimana pula mereka mengarang persyaratan tawassul itu, dan mereka
mengatakan bahwa orang yang sudah mati tak akan dapat memberi manfaat lagi,
pendapat yang jelas-jelas datang dari pemahaman yang sangat dangkal, dan
pemikiran yang sangat buta terhadap kesucian tauhid. Jelas dan tanpa syak bahwa
tak ada satu makhlukpun dapat memberi manfaat dan mudharrat terkecuali dengan
izin Allah SWT, lalu mereka mengatakan bahwa makhluk hidup bisa memberi
manfaat, dan yang mati mustahil?, lalu dimana kesucian tauhid dalam keimanan
mereka?Tak ada perbedaan dari yang hidup dan yang mati dalam memberi manfaat
kecuali dengan izin Allah,
Yang hidup
tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah, dan yang mati pun bukan
mustahil memberi manfaat bila dikehendaki Allah. karena penafian kekuasaan
Allah SWT atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas.Ketahuilah bahwa
tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi
berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada
Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah Robbil
alamin, yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi shalih, hidup atau
mati tak membedakan Kudrat ilahi atau membatasi kemampuan Allah, karena
ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah tetap abadi walau mereka
telah wafat.Contoh lebih mudah nya sbb, anda ingin melamar pekerjaan, atau
mengemis, lalu anda mendatangi seorang saudagar kaya, dan kebetulan mendiang
tetangga anda yang telah wafat adalah abdi setianya yang selalu dipuji oleh si
saudagar, lalu anda saat melamar pekerjaan atau mungkin mengemis pada saudagar
itu, anda berkata : "Berilah saya tuan.. (atau) terimalah lamaran saya
tuan, saya mohon.. saya adalah tetangga dekat fulan.
Bukankah ini mengambil manfaat
dari orang yang telah mati?, bagaimana dengan pandangan bodoh yang mengatakan
orang mati tak bisa memberi manfaat??, jelas-jelas saudagar akan sangat
menghormati atau menerima lamaran pekerjaan anda, atau memberi anda uang lebih,
karena anda menyebut nama orang yang ia cintai, walau sudah wafat, tapi
kecintaan si saudagar akan terus selama saudagar itu masih hidup., pun
seandainya ia tak memberi,
Namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahmaan Arrhiim, Yang Maha Pemurah dan Maha Menyantuni?? dan tetangga anda yang telah wafat tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang lamaran anda pada si saudagar,
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
17. Hukum Maulid Nabi
Tradisi merayakan maulid Nabi SAW. 12 Rabiul Awwal (sebagian
ada yang mengatakan 9 Rabiul Awwal, juga ada yang mengatakan 17 Rabiul Awwal)
tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam.
Kalangan awam di antara mereka barangkali tidak tahu
asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama akan
tahu bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait
dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat.
Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Alasan di atas dapat dilihat dari bentuk isi acara maulid Nabi yang sangat bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan gairah ke-Islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW. sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah. Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan
maulid Nabi SAW., “Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW., yaitu
manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW. sejak
kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang
dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak
lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik). Orang yang
melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW., menampakkan
suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw. yang mulia.” (Al-
Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Terkait dengan bid’ah, Imam Syafi’i menjelaskan, “Sesuatu
yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam
agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW., prilakuk sahabat, atau
kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang
diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an,
Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).”
(Fathul Bari, juz XVII: 10)
Membaca Sholawat
Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi
orang-orang NU, disamping amalan-amalan lain. Ada shalawat “Nariyah”, ada
sholawat Badr, ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak
lagi. Belum lagi bacaan “hizib” dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya.
Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cita-cita kepada Rasulullah
sekaligus ibadah.
Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat
ialah sabda Rasulullah, “Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan
membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya.
Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan
shalawat dengan segala ragamnya.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulkan 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengabulkan 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.
Rasulullah di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan
salam dan dia akan menjawabnya sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat
tadi. Seperti tersebut dalam hadits. Rasulullah SAW. bersabda: Hidupku, juga
matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarakan dan juga dibicarakan,
amal-amal kalian disampaikan kepadaku; jika saya tahu amal itu baik, aku memuji
Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. (Hadits riwayat
Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat ‘ala an-Nabi). Imam
Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid meyakini bahwa hadits di atas
adalah shahih. Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan ampun umatnya
(istighfar) di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya
pasti bermanfaat.
18.
Dalil Membaca
dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah
Amalan
ini adalah baik dan dianjurkan, dengan alasan.
1. Dari sisi dalil, membaca syair di
dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Diriwayatkan
dari Abu Dawud, Nasai, dan Ahmad, pada masa Rasulullah SAW., para sahabat juga
membaca syair di Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar
berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan
syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah
melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia
darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya.‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah saw.,
jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh
al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah mendengarnya).
” Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya
kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata
krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila
Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).
2. Dari sisi syiar dan penanaman akidah
umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat
jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat.
19.
Berzikir dengan pengeras suara
Dzikir
adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan
kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati,
jiwa yang tulus, dan khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati
yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang
memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir
dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan
khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan
cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara
untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih
utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan
mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi saw. yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak
bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni
disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Contoh hadits yang menganjurkan untuk
mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini, "Aku
mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila
mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR
Bukhari dan Muslim). Ibnu Adra’ berkata, "Pernah Saya berjalan
bersama Rasulullah saw. lalu bertemu dengan seorang
laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya
berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'.
Rasulullah saw. menjawab, "Tidak, tapi dia sedang mencari
ketenangan." Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan
berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda,
"Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah
sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang
seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq)
antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang
mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu
lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat
atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak
mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang
yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus
merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan
ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).
20.
Hukum Meng-Hadiah-kan Fatihah
Di antara tradisi
umat Islam adalah membaca surat al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya untuk
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Para ulama mengatakan bahwa
hukum perbuatan ini adalah boleh. Ibnu
'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan, "Disunnahkan
menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi saw.”
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan
untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang
yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena
semua semua amal umatnya otomatis masuk dalam timbangan amal Rasulullah,
jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi saw.
kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi.
Al Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul
Muhkam al-Matin, hhm. 270, mengatakan, "Menurut saya boleh saja
seseorang menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi saw.,
meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh
umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat
tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.”
21.
Hukum Bacaan
al-Qur’an, Doa (Tahlil) dan Jamuan makan untuk orang mati
Dalam
hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil
dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya,
sebagai berikut, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah
dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39). Juga hadits Nabi Muhammad SAW., “Jika
anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara;
shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan
dia.”
Mereka
sepertinya, hanya secara parsial memahami kedua dalil di atas, tanpa
menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil,
do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati.
Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW.
beberapa di antaranya, “Dan orang-orang yang datang setelah mereka,
berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang
telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10) Dalam hadith
dijelaskan, “Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi saw.; Ya Rasulullah
sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua
bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu
Dawud).
Di
dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa surat Al-Najm ayat 39
di atas diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang
musyrik, dan orang musyrik tadi berkata, “Kalau engkau kembali kepada agama
kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akhera.t”
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa
menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan
berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada
orang mati dan lain-lainnya.
Ibnu
Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata
bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak
sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’
telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang
yang hidup.
Dr.
Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka
fid Diini wal Hayaah juz 1 : 442, sebagai berikut, “Sungguh para ahli fiqh
telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang
yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., seraya berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami
melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut
pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw. bersabda: Ya! Sungguh
pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya
mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana
salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah
tersebut dikirimkan kepadanya!"
Sedangkan Memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
22. Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana dalilnya?
Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat
suci Al-Qur’an, dzikir(Tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll),
Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan tsb, selain untuk yang
membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan
sampainya amalan tsb (karena keterbatasan ruang & waktu maka kami sampaikan
sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya Alloh akan disambung karena masih
ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama yang sering
dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya acara tahlilan
diantaranya pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani
dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1.
Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a :” Ya Tuhan kami,
beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari
kami” (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung
orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun (istighfar) untuk
orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah
meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2.
Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan
do’a tentang shalat jenazah, do’a setelah mayyit dikubur dan do’a ziarah kubur.
Tentang do’a shalat jenazah antara
lain, Rasulullah SAW. bersabda:
Artinya:” Dari Auf bin Malik ia
berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW. – setelah selesai shalat
jenazah-bersabda:” Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia,
sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya,
mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan
sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal
yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari
keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari
siksa kubur dan siksa neraka” (HR Muslim).
Tentang do’a setelah mayyit
dikuburkan, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‘Affan ra
berkata:” Adalah Nabi SAW. apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri
lalu bersabda:” mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati
untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya” (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do’a ziarah kubur
antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW.:
Artinya:” bagaimana pendapatmu kalau
saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul SAW. menjawab, “Ucapkan: (salam
sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu’min maupun muslim dan
semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang
dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya
pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra
bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu
ia datang kepada Nabi SAW. unntuk bertanya:” Wahai Rasulullah SAW. sesungguhnya
ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya
bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul saw. menjawab: Ya, Saad
berkata:” saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan
untuknya” (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya
Pahala Saum
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa
Rasulullah SAW. bersabda:” Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya”(HR Bukhari dan
Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya
Pahala Haji
Artinya: Dari Ibnu Abbas ra bahwa
seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan bertanya:”
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia
meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang,
apakah kamu membayarnya ? bayarlah
hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3.
Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do’a
dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya hutang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan
keluarga. Ini berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk
membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia
telah membayarnya nabi saw. bersabda:
Artinya:” Sekarang engkau telah
mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad)
4.
Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal.
Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak
dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan
utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan
sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Alqur’an dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang
membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika
demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur’an yang berupa perbuatan
dan niat.
Adapun dalil yang menerangkan shadaqah
untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke satu, dua sampai dengan ke
tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu’ mursal dari tiga orang tabi`ien yaitu
Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada
hadits-hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit)
di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati itu akan mendapat
fitnah (ujian) di dalam alam kubur mereka tujuh hari. Maka mereka (para sahabat) itu menganjurkan untuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama
hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat
Ubaid bin Umair:
Terjadi fitnah kubur terhadap dua golongan orang
yaitu orang mukmin dan orang munafiq. Adapun terhadap orang mukmin dilakukan
tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan 40 hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat
Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan
selama tujuh hari, sejak dikuburkan tidak
memisahinya.
Kemudian dalam beberapa hadits lain
menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu mengulangi pertanyaan-pertanyaan
tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini dapat dibaca dalam buku
“Thulu’ ats-tsuraiya di izhaari makana khafiya” susunan al Imam Suyuty dalam
kitab “ Al-Hawi lil fatawiy” jilid II.
Tambahan:
Sampainya
Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit (Orang Mati)
A.
Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits
tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“
Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti
sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari
sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini
menjadi pegangan Imam Ahmad, padaha imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang
yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah
mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu
umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (mukhtasar tadzkirah
qurtubi halaman 25).
Oleh
karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata
: “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang
dating padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in)
pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-qur’an dan menghadiahkan
(pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadialah ia ijma .
(Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits
dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“
Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan sesudah pemakaman
awal surat albaqarah dan akhirnya”
Hadits ini
agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat sedangkan
ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits
Riwayat darulqutni
“Barangsiapa
masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali,
kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati
(dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits
marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“
Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al
ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang
telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang
mati disitu”.
(Mukhtasar
Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits
Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari
Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Jika mati salah seorang dari
kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan
bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits
riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari
ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin
untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa
Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata
Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya
mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka
bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah
pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada
mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai
dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si
fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata
Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun
Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara
sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana
sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata
Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya
mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah
dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin wal hayat jilid I/442).
Di atas
adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid 24 pada hal. 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang
bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut
kepada simayat muslim lantas ibnu
taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih, takbir
dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ianya
sampai dan bagus serta baik.
Mengapa Wahhabi menolak dan menyesatkan
amalan ini.
Di atas adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk
fatawa juz 24 hal. 324.ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil
70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu adalah amat
memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata
Ibnu qayyim al-jauziyah:
“sesuatu
yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa
untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-qur’an dan menghadiahkan
pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai
kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka
fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata
Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al Khallal dalam kitabnya
Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping kubur” berkata :
Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami
yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan
kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah
mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan
surat al-baqarah disamping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah
bin Umar berkata demikian.
Ibnu
qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin
Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah
seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal,
dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit
dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk disamping kubur (sambil membaca
al-qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya
membaca al-qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar
dari kubur berkatalah imam Muhammad bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal :
“Wahai abu abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam
Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau
meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan
kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa
dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya
permulaan surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar
Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad
berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan
(Kitab ar-ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata
Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “ Tokoh-tokoh
madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik
sedekah atau membaca al-qur’an atau selain demikian daripada macam-macam
kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya
itu akan sampai kepadanya.
6. Imam
sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka yang meninggal, maka
mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca al-qur’an disampingnaya”.
(ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim al jauziyah dalam kitab
ar-ruh hal. 13).
7. Berkata
Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya
pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun
ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan
demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil
bahwa pendapat inilah yang kuat”. (hujjatu ahlisunnah wal jamaah halaman 13).
8. Berkata
Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang
yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya
kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan
adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi
rosail).
9. Berkata
imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang
yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan
al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan
dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan
adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi halaman 26).
Begitu
banyaknya Imam-imam dan ulama ahlussunnah yang menyatakan sampainya pahala
bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami
bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.
C. Dalam
Madzab Imam syafii
Untuk
menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam Al-adzkar
halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para ulama berbeda
pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafii
dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal
dan juga Ashab Syafii berpendapat bahwa pahalanya
sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah
sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut
dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj: “Dalam
Madzab syafii menurut qaul yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi
menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar
disampaikan pahala bacaan tersebut.
Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh
berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka
kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih
utama”.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam
hal pahala bacaan :
1. Qaul
yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul
yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam
menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh
Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang
dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab syafii itu dibawa atas
pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula
meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai
syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan
dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata
syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga
perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk
mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan
kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada
juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul
Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan
Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan
sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia
membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala
bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun
Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1.
Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala
bacaan itu kepadanya.
2.
Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk si mayyit juga disertai dengan doa
penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah
seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan
syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
D.
Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis
riwayat muslim :
“Jika
manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab :
Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan
hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati
karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu
(terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan
“inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka
itu adalah milik (haq) dari amil yakni
orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang
mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini
sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah
dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang
itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh
manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman
Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau
belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi
Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul
dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang
diusahakannya”.
Jawab :
Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai
dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam
syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1.
Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan
sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal
yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya.
Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya.
Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala
dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari
usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin
yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal
sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik
didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang
lain.
Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan
iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari
kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia
sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian
itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum
mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2.
Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan
sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan
seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa
yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan
sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa
yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang
lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi
huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan
arti “milik”).
Demikianlah
dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata
pengarang tafsir Khazin :
“Yang
demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi
Muhammad SAW.), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari
usaha orang lain”.
Jadi ayat
itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim,
bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat
tersebut berbunyi :
“ Atau
belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi
Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul
dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang
diusahakannya”.
c. Sahabat
Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat
tersebut :
“
ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan
firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka
dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’
(tafsir khazin juz IV/223).
Firman
Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu
adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan
orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman,
maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi
sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang
dikerjakannya”.
Jadi
menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti
sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d.
Tersebut dalam Nailul Authar juz IV
ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada
dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil
fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah
penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi
untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena
kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an
maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi
gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil
mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah
tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia
usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan
(daripada kejahatan)”.
Jawab :
Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung
unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang
mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka
kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang
lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari
usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh
harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari
sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut
mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa
laha illa maa kasabat”
“Tidak ada
baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia
usahakan”.
4. Dalil
mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“
Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab :
Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat
tersebut adalah :
“Pada hari
dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan
diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi
dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang
dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan
diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain
(Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan
dari Buku argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji
Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga
menjadi asbab hidayah bagi Ummat
23. Hukum Membaca Al-Barzanji
Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi (orang banjar
menyebutnya *Ba-Mulud’an*)
sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara
dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni
akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-ritual yang sarat
tradisi (lokal).
sudah melembaga bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap
memasuki Rabi’ul Awwal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi
pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara
dan acara; dari sekadar menggelar pengajian kecil-kecilan hingga seremoni
akbar dan bakti sosial, dari sekadar diskusi hingga ritual-ritual yang sarat
tradisi (lokal).
Di antara yang berbasis
tradisi adalah:
*Manyanggar Banua, Mapanretasi di Pagatan, Ba’Ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab.
Tapin, Kalimantan Selatan
*Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta,
*Gerebeg Mulud di Demak,
*Panjang Jimat *di Kasultanan Cirebon,
*Mandi Barokah *di Cikelet Garut, dan sebagainya.
Tradisi lain yang tak kalah populer adalah pembacaan Kitab
al-Barzanji. Membaca Barzanji seolah
menjadi sesi yang tak boleh ditinggalkan dalam setiap peringatan
Maulid Nabi. Pembacaannya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan
notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturnya.
Maulid Nabi. Pembacaannya dapat dilakukan di mana pun, kapan pun dan dengan
notasi apa pun, karena memang tidak ada tata cara khusus yang mengaturnya.
Al-Barzanji adalah
karya tulis berupa prosa dan sajak yang isinya bertutur
tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya
dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan
sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan manusia.
tentang biografi Muhammad, mencakup *nasab*-nya (silsilah), kehidupannya
dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul. Selain itu, juga mengisahkan
sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan manusia.
Judul aslinya adalah *’Iqd al-Jawahir *(Kalung Permata).
Namun, dalam
perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu
Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang
sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
perkembangannya, nama pengarangnyalah yang lebih masyhur disebut, yaitu
Syekh Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad al-Barzanji. Dia seorang
sufi yang lahir di Madinah pada 1690 M dan meninggal pada 1766 M.
*Relasi Berjanji dan Muludan
*Ada catatan menarik dari Nico Captein, seorang orientalis dari Universitas
Leiden, dalam bukunya yang berjudul *Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad
saw. *(INIS, 1994).
Menurutnya, Maulid
Nabi pada mulanya adalah perayaan kaum Syi’ah
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaannya.
Fatimiyah (909-117 M) di Mesir untuk menegaskan kepada publik bahwa dinasti
tersebut benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis di
balik perayaannya.
Dari kalangan Sunni, pertama kali diselenggarakan di Suriah
oleh Nuruddin
pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperingati karena dinilai *bid’ah *(mengada-ada dalam beribadah).
pada abad XI. Pada abad itu juga Maulid digelar di Mosul Irak, Mekkah dan
seluruh penjuru Islam. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang menolak
memperingati karena dinilai *bid’ah *(mengada-ada dalam beribadah).
Di Indonesia, tradisi
Berjanjen bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin
*(sebutan untuk warga NU). Berjanjen tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid
Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada upacara
kelahiran, *akikah *dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara
lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi
kurikulum wajib.
Selain al-Barzanji, terdapat
pula kitab-kitab sejenis yang juga bertutur tentang kehidupan dan kepribadian
Nabi. Misalnya, kitab
*Shimthual-Durar, karya al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (Syair
Maulud Al-Habsy),
*al-Burdah, karya al-Bushiri dan
*al-Diba, karya Abdurrahman al-Diba’iy.
Inovasi Baru
Esensi
Maulid adalah penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai
satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola
menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang
diyakini. Penghijauan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan
kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awwal.
Kaitannya dengan kebangsaan, identitas dan nasionalisme
seseorang akan lahir
jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut
agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya
Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial
itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
jika ia membaca sejarah bangsanya. Begitu pula identitas sebagai penganut
agama akan ditemukan (di antaranya) melalui sejarah agamanya. Dan, dibacanya
Kitab al-Barzanji merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan esensial
itu, yakni ‘menghidupkan’ tokoh idola melalui teks-teks sejarah.
Permasalahannya sekarang, sudahkah pelaku Berjanjen memahami
bait-bait indah
al-Barzanji sehingga menjadikannya inspirator dan motivator keteladanan?
Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna
tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah
kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu
kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman
mereka semakin komprehensif.
al-Barzanji sehingga menjadikannya inspirator dan motivator keteladanan?
Barangkali, bagi kalangan santri, mereka dapat dengan mudah memahami makna
tiap baitnya karena (sedikit banyak) telah mengerti bahasa Arab. Ditambah
kajian khusus terhadap referensi penjelas *(syarh) *dari al-Barzanji, yaitu
kitab *Madarij al-Shu’ud *karya al-Nawawi al-Bantani, menjadikan pemahaman
mereka semakin komprehensif.
Bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka tidak bisa
seperti itu.
Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab
itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya,
penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator
hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait
al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam)
secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah
yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji
ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga
mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap
aktivitas yang kadung tersakralkan itu.
Karena mereka memang tidak menguasai bahasa Arab. Yang mereka tahu, kitab
itu bertutur tentang sejarah Nabi tanpa mengerti detail isinya. Akibatnya,
penjiwaan dan penghayatan makna al-Barzanji sebagai inspirator dan motivator
hidup menjadi tereduksi oleh rangkaian ritual simbolik yang tersakralkan.
Barangkali, kita perlu berinovasi agar pesan-pesan profetik di balik bait
al-Barzanji menjadi tersampaikan kepada pelakunya (terutama masyarakat awam)
secara utuh menyeluruh. Namun, ini tidaklah mudah. Dibutuhkan penerjemah
yang andal dan sastrawan-sastrawan ulung untuk mengemas bahasa al-Barzanji
ke dalam konteks bahasa kekinian dan kedisinian. Selain itu, juga
mempertimbangkan kesiapan masyarakat menerima inovasi baru terhadap
aktivitas yang kadung tersakralkan itu.
Inovasi dapat diimplementasikan dengan menerjemahkan dan
menekankan aspek
keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair
al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan
bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti
dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada
Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor,
Senayan, Jakarta.
keteladan. Dilakukan secara gradual pasca-membaca dan melantunkan syair
al-Barzanji. Atau mungkin dengan kemasan baru yang tidak banyak menyertakan
bahasa Arab, kecuali lantunan shalawat dan ayat-ayat suci, seperti
dipertunjukkan W.S. Rendra, Ken Zuraida (istri Rendra), dan kawan-kawan pada
Pentas Shalawat Barzanji pada 12-14 Mei 2003 di Stadion Tennis Indoor,
Senayan, Jakarta.
Sebagai pungkasan, semoga Barzanji tidak hanya
menjadi ‘lagu wajib’ dalam upacara, tapi (yang penting) juga mampu
menggerakkan pikiran, hati, pandangan hidup serta sikap kita untuk menjadi
lebih baik sebagaimana Nabi.
Dan semoga,
Maulid dapat mengentaskan kita dari keterpurukan sebagaimana Shalahuddin Al-Ayubi
sukses membangkitkan semangat tentaranya hingga menang
dalam pertempuran.
Garis Keturunan Syekh al-Barzanji :
Sayyid Ja’far ibn
Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Syed ibn Abdul
Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Syed ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul
Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn
Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam
Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali
r.a. dan Sayidatina Fatimah binti Rasulullah saw.
Dinamakan Al-Barjanzy karena dinisbahkan kepada nama desa
pengarang yang terletak di Barjanziyah kawasan Akrad (kurdistan). Kitab
tersebut nama aslinya ‘Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) sebagian
ulama menyatakan bahwa nama karangannya adalah “I’qdul Jawhar fi mawlid
anNabiyyil Azhar”. yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi
Muhammad saw., meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.
Beliau dilahirkan
di Madinah Al Munawwarah pada hari Kamis, awal bulan Zulhijjah tahun 1126 H
(1960 M) (1766 beliau menghafal Al-Quran 30 Juz kepada Syaikh Ismail Alyamany
dan Tashih Quran (mujawwad) kepada syaikh Yusuf Asho’idy kemudian belajar ilmu
naqliyah (quran Dan Haditz) dan ‘Aqliyah kepada ulama-ulama masjid nabawi
Madinah Al Munawwarah dan tokoh-tokoh qabilah daerah Barjanzi kemudian belajar
ilmu nahwu, sharaf, mantiq, Ma’ani, Badi’, Faraidh, Khat, hisab, fiqih, ushul
fiqh, falsafah, ilmu hikmah, ilmu teknik, lughah, ilmu mustalah hadis, tafsir,
hadis, ilmu hukum, Sirah Nabawi, ilmu sejarah semua itu dipelajari selama
beliau ikut duduk belajar bersama ulama-ulama masjid nabawi. Dan ketika
umurnya mencapai 31 tahun atau bertepatan 1159 H barulah beliau menjadi seorang
yang ‘Alim wal ‘Allaamah dan Ulama besar.
Kitab “Mawlid al-Barzanji” ini telah
disyarahkan oleh al-’Allaamah al-Faqih asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin
Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299H dengan
satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan “al-Qawl
al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji” yang telah banyak kali diulang cetaknya di
Mesir.
Di samping
itu, kitab Mawlid Sidi Ja’far al-Barzanji ini telah disyarahkan pula oleh para
ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh
Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili al-Azhari dengan
kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al-Barzanji”. Beliau ini adalah seorang
ulama besar keluaran al-Azhar asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan
menjalankan Thoriqah asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217H (1802M)
dan wafat pada tahun 1299H (1882M).
Selain itu ulama
kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang
produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, an-Nawawi
ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi turut menulis syarah yang
lathifah bagi “Mawlid al-Barzanji” dan karangannya itu dinamakannya
“Madaarijush Shu`uud ila Iktisaa-il Buruud”. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid
Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad al-Hadi bin Sayyid Zain
yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, telah
juga menulis syarah bagi “Mawlid al-Barzanji” tersebut yang dinamakannya
“al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Mawlidin Nabiyil Azhar”.
Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran
al-Azhar asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah.
Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal
Ahzan fi Fadhaa-il Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan
“Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhau-il Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah
menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian
nendanya Sayyid Ja’far al-Barzanji dalam kitabnya “ar-Raudhul A’thar fi Manaqib
as-Sayyid Ja’far”.
Kembali kepada
Sidi Ja’far al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi
khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau
terkenal bukan sahaja kerana ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan
kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau
berdoa untuk hujan pada musim-musim kemarau. Diceritakan bahawa satu ketika di
musim kemarau, sedang beliau sedang menyampaikan khutbah Jumaatnya, seseorang
telah meminta beliau beristisqa` memohon hujan. Maka dalam khutbahnya itu
beliau pun berdoa memohon hujan, dengan serta merta doanya terkabul dan hujan
terus turun dengan lebatnya sehingga seminggu, persis sebagaimana yang pernah
berlaku pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. dahulu. Menyaksikan peristiwa
tersebut, maka sebahagian ulama pada zaman itu telah memuji beliau dengan
bait-bait syair yang berbunyi:-
سقى
الفروق بالعباس قدما * و نحن بجعفر غيثا سقينا
فذاك و سيلة لهم و هذا * وسيلتنا إمام العارفينا
Dahulu al-Faruuq dengan
al-’Abbas beristisqa` memohon hujan
Dan kami dengan Ja’far pula beristisqa` memohon hujan
Maka yang demikian itu wasilah mereka kepada Tuhan
Dan ini wasilah kami seorang Imam yang ‘aarifin
Sidi Ja’far
al-Barzanji wafat di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah
bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi s.a.w.
Karangannya membawa umat ingatkan Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat kasihkan
Junjungan Nabi s.a.w., membawa umat rindukan Junjungan Nabi s.a.w. Setiap kali
karangannya dibaca, pasti sholawat dan salam dilantunkan buat Junjungan Nabi
s.a.w. Juga umat tidak lupa mendoakan Sayyid Ja’far yang telah berjasa
menyebarkan keharuman pribadi dan sirah kehidupan makhluk termulia keturunan
Adnan. Allahu … Allah.
اللهم
اغفر لناسج هذه البرود المحبرة المولدية
سيدنا جعفر من إلى البرزنج نسبته و منتماه
و حقق له الفوز بقربك و الرجاء و الأمنية
و اجعل مع المقربين مقيله و سكناه
و استرله عيبه و عجزه و حصره و عيه
و كاتبها و قارئها و من اصاخ إليه سمعه و اصغاه
Ya Allah ampunkan pengarang
jalinan mawlid indah nyata
Sayyidina Ja’far kepada Barzanj ternisbah dirinya
Kejayaan berdamping denganMu hasilkan baginya
Juga kabul segala harapan dan cita-cita
Jadikanlah dia bersama muqarrabin berkediaman dalam syurga
Tutupkan segala keaiban dan kelemahannya
Segala kekurangan dan kekeliruannya
Seumpamanya Ya Allah harap dikurnia juga
Bagi penulis, pembaca serta pendengarnya
و
صلى الله على سيدنا محمد و على اله و صحبه و سلم
و الحمد لله رب العالمين
Dalam bukunya, Dan
Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi SAW. dalam Islam
(1991), sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel, menerangkan bahwa
teks asli karangan Ja’far al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk
prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi
untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi.
Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia
dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur
bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat
membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, semisal hasil terjemahan HAA
Dahlan atau Ahmad Najieh, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa
Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW., mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad SAW. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: “Natsar” dan “Nadhom”. Bagian “Natsar” terdiri atas 19 subbagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad SAW., mulai dari saat-saat menjelang paduka dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian “Nadhom” terdiri atas 16 subbagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.
Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa
betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam
bagian “Nadhom”, misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan:
Engkau mentari, engkau bulan/ Engkau cahaya di atas cahaya.
Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak
yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa,
batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan
disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar
metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai
“untaian mutiara”.
Namun, bahasa puisi yang gemerlapan itu, seringkali juga
terasa rapuh. Dalam karya Ja’far al-Barzanji pun, ada bagian-bagian deskriptif
yang mungkin terlampau meluap. Dalam bagian “Natsar”, misalnya, sebagaimana
yang diterjemahkan oleh HAA Dahlan, kita mendapatkan lukisan demikian: Dan
setiap binatang yang hidup milik suku Quraisy memperbincangkan kehamilan Siti
Aminah dengan bahasa Arab yang fasih.
Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur
kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri,
terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran,
hadis, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian
kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis,
sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.
Salah satu hal yang
mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far al-Barzanji adalah kenyataan bahwa
karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan
segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan
mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam di berbagai negeri
menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Sifatnya:
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Wajahnya tampan, perilakunya sopan, matanya luas, putih giginya, hidungnya mancung,jenggotnya yang tebal,Mempunyai akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan sangat pemurah.
Seorang
ulama besar yang berdedikasi mengajarkan ilmunya di Masjid Kakeknya (Masjid
Nabawi) SAW. sekaligus beliau menjadi seorang mufti Mahzhab Syafiiyah di kota
madinah Munawwarah.
“Al-’Allaamah
al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji adalah MUFTI
ASY-SYAFI`IYYAH di Kota Madinah al-Munawwarah. Banyak perbedaan tentang tanggal
wafatnya, sebagian menyebut beliau meninggal pada tahun 1177 H. Imam az-Zubaidi
dalam “al-Mu’jam al-Mukhtash” menulis bahwa beliau wafat tahun 1184 H, dimana
Imam az-Zubaidi pernah berjumpa dengan beliau dan menghadiri majelis
pengajiannya di Masjid Nabawi yang mulia.
Maulid karangan beliau ini adalah kitab maulid yang paling
terkenal dan paling tersebar ke pelosok negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur
maupun di Barat. Bahkan banyak kalangan ‘Arab dan ‘Ajam (luar Arab) yang
menghafalnya dan mereka membacanya dalam waktu-waktu tertentu. Kandungannya
merupakan khulaashah (ringkasan) sirah nabawiyyah yang meliputi kisah lahir
baginda, perutusan baginda sebagai rasul, hijrah, akhlak, peperangan sehingga
kewafatan baginda.
Wafat:
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Beliau telah kembali ke rahmatullah pada hari Selasa, setelah Asar,4 Sya’ban, tahun 1177 H (1766 M). Jasad beliau makamkan di Baqi’ bersama keluarga Rasulullah saw.
Kitab
maulid Barzanji sendiri telah disyarah (dijelaskan) oleh ulama-ulama besar
seperti Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy al-Maaliki al-’Asy’ari asy-Syadzili
al-Azhari yang mengarang kitab “al-Qawl al-Munji ‘ala Mawlid al- Barzanji” dan
Sayyidul ‘Ulama-il Hijaz, Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi “Madaarijush Shu`uud
ila Iktisaa-il Buruud”.