GELAS-GELAS KRISTAL MANAJEMEN EMOSI WANITA


oleh : DR. H. Setiawan Budiutomo

Allah berfirman:
"Dan bergaullah bersama mereka (isteri) dengan cara yang patut (diridhai oleh Allah). Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."(QS. An-Nisa:19).

Bila para pakar merasa kesulitan memahami hakekat manusia, seperti yang diungkapkan Dr. Alexis Karel dalam bukunya Man is The Unknown, maka manusia kebanyakan akan lebih sulit memahami jiwa wanita yang aktualisasi emosinya bagaikan gelas kristal, indah namun mudah pecah.

Memahami Wanita
Dalam bahasa Arab wanita sering disebut al-jins al-lathif (jenis yang lembut). Yang dikaitkan dengan dinamika kejiwaan, relung emosional dan perasaannya.

Kondisi emosi yang khas ini merupakan kelebihan sekaligus kekurangan wanita, sehingga kadang wanita sering salah paham dan sulit memahami dirinya sendiri, apalagi mengendalikan dan mengelola emosi secara baik. Padahal kata wanita dalam bahasa Jawa sendiri merupakan kependekan dari wani ditata yang berarti berani ditata atau dikelola.

Sementara itu manusia pada dasarnya sudah merasakan kodrat hidup dan dapat menangkap adanya sesuatu yang menjadi fitrah maupun takdirnya, sebagaimana diungkapkan dalam surat al-Qiyamah: 14. "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri." Namun banyak manusia lebih suka mencari jati diri diluar dirinya dan cenderung mencari kambing hitam dengan menutupi atau membodohi diri sendiri. Karenanya, Allah mengingatkan manusia untuk melihat kedalam dan jujur pada diri sendiri sehingga dapat mengelola kekurangan dan kelebihannya secara optimal tanpa upaya manipulasi atau distorsi. Dalam QS. Adz-zariyat:21 Allah berfirman: Dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak memperhatikan?

Begitupun dalam kehidupan pernikahan. SuratAr-Rum:21 yang begitu agung melandasi ikatan perkawinan sehingga dicantumkan di halaman pertama buku nikah sebagai wasiat ilahi, mengemukakan bahaimana hubungan suami istri itu harus dilandasi pada kesadaran tenggang rasa, ngrekso dan ngemong satu sama lain yang juga merupakan bahasa lain dari manajemen emosi dalam rumah tangga.

Rasulullah bersabda:
"Terimalah wasiat tentang memperlakukan kaum wanita (isteri) dengan cara yang baik. Karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Dan sesuatu yang paling bengkok itu adalah sesuatu yang terdapat pada tulang rusuk yang paling atas. Jika hendak meluruskannya secara paksa tanpa hati-hati, maka kalian akan mematahkannya. Sedang jika kalian membiarkannya, maka ia akan tetap melekuk. Oleh karena itu, terimalah wasiat memperlakukan wanita dengan baik." (HR. Ahmad dan Al-Hafidz Al-Iraqi).

Syeikh Waliyullah Ad-Dahlawi dalam Hujjatullah al-Balighah (II/708) menjelaskan makna hadits di atas ialah: "terimalah wasiat dariku (rasulullah) dan gunakan untuk memahami wanita (isteri). Karena pada penciptaannya terdapat sesuatu yang bengkok. Sebagaimana lazimnya setiap sesuatu akan mewarisi sifat dasarnya, maka jika seseorang ingin mengarungi bahtera rumah tangga, maka ia harus siap untuk mentolerir dan memaafkan perkara-perkara sepele yang terjadi dan menahan amarah karena sesuatu yang tidak disukainya."

Di sini Rasulullah saw tidak bermaksud memvonis wanita berperangai buruk. Beliau ingin pria realistis dan siap berinteraksi dengan wanita, sementara wanita siap mawas diri. Artinya, jika terjadi ledakan emosi, atau menyaksikan luapan perasaan yang tidak berkenan dihati, suami akan bersabar serta menghindari dari sikap reaktif dan amarah yang dapat menumbuhkan kebencian, bahkan ia dapat melihat sisi baik pasangannya. Karena itu, rasulullah bersabda: "seorang mukmin hendaknya tidak membenci mukminat hanya karena satu perangai yang dianggap buruk. Sebab, jika ia membenci satu perangai, maka pastilah ada perangai lain yang akan ia sukai."

Tidak ada agama atau tradisi yang lebih peduli, apresiatif, menghargai kodrat dan hak wanita melebihi Islam. Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia (QS. Ali-Imran: 191).Ketika Dia mengamanatkan tugas penting seperti hamil, menyusui dan mendidik anak pada wanita, Allah pun membekalinya dengan sifat yang sesuai.

Menurut Dr. Frederick, tabiat dan keadaan psikis wanita mengalami proses stagnasi. Seandainya wanita tidak memiliki emosi dan kemanjaan anak-anak, sulit baginya menjadi ibu yang baik. Wanita bisa dipahami anak-anak karena perasaannya mengandung sifat kekanak-kanakan. Bahkan, lanjut Dr.Frederick, dalam perkembangannya wanita cenderung bersifat kekanak-kanakan. Wanita lebih banyak menggunakan praduga, perasaan dan emosi ketimbang rasio. Wanita terkondisikan untuk lebih bersikap pasif daripada bersifat aktif, pun bersikap pasrah daripada bersifat menguasai. Wanita secara kodrati tercipta untuk berada ditengah anak dan suami sehingga ia merupakan titik sentral dalam menjaga keharmonisan anggota keluarga dengan kecenderungan masing-masing. (Hayatuna al Jinsiyah, hal. 70).

Maka jika suami mampu memahami isterinya, ia akan mendapat kesenangan dari isteri dalam batas-batas fitrah. Sebaliknya, jika ia tidak mampu memahami isterinya, boleh jadi ia akan menghancurkan keluarganya. Karena itulah Nabi saw lalu mengingatkan suami untuk mendampingi, membimbing dan tidak menjatuhkan hukuman kepada isteri hanya karena suatu sifat jelek karena sesungguhnya ia pun demikian.


Pembelaan Islam pada Wanita
Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Rakaiz al Iman Bayna al Aqlu wa al Qalbu, menegaskan rahmat al Islam menyentuh wanita dan melindunginya dari kesewenangan pria. Islam mengajarkan pemeluknya tentang posisi dan jati diri wanita agar dapat melakukan tugasnya dengan baik. Wanita dituntut menjaga dan mengelola nilai-nilai kewanitaannya dengan baik.

Apabila fenomena dan realitas kewanitaan ini dipungkiri akan terjadi disharmoni dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Rasulullah saw berpesan: "Sesungguhnya kaum wanita itu adalah saudara kaum pria, maka sayangilah mereka sebagaimana kalian menyayangi diri kalian sendiri." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Syariat Islam telah mempelopori pengibaran bendera kesetaraan gender dengan menjadikan kaum wanita sebagai mitra suami dalam mengelola keluarga dan masyarakat.

Kemampuan memahami dan mengelola emosi merupakan kunci cinta kasih suami istri menuju keluarga sakinah (QS.Ar-Rum:21). Dengannya Allah menumbuhkan cinta suci di hati suami-isteri sehingga mereka terdorong untuk menunaikan hak dan kewajiban masing-masing tanpa paksaan. Nabi saw. pernah mengungkapkan kenangan cintanya pada Khadijah, "aku sungguh telah mendapatkan cinta sucinya." (HR. Muslim).

Agar  Gelas kristal ini tetap indah dan bening berkilau maka ia harus diperlakukan dengan penuh kelembutan (An-Nisa:19). Menurut Syeikh Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, ayat ini berarti, "wajib bagi kaum mukmin untuk mempergauli isteri dengan baik, yaitu menemani hidup dan mempergauli mereka dengan ma ruf dan berkenan di hati mereka serta tidak melanggar aturan syariat, tradisi dan kesopanan. Karena itu, mempersempit jatah nafkah, menyakiti fisik dan perasaan pasangan dengan perbuatan dan perkataan, sikap dingin dan masam, semua itu tidak termasuk pergaulan yang ma ruf." Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya (keluarganya) dan aku adalah sebaik-baik orang terhadap isteriku (keluargaku)." (HR. Ibnu Majah).


Rumah tangga ditegakkan atas dasar mawaddah (kasih asmara), yakni hubb (cinta kasih). Cinta yang tulus akan memotivasi sikap kooperatif, kompromistis, dan apresiatif. Saling mementingkan pasangan sehingga masing-masing memenuhi hak pasangan melebihi kewajiban, tidak hanya menuntut haknya. Suami-isteri harus bersabar atas kekurangan bahkan kesalahan masing-masing.

Tafsir Al-Manar menjelaskan maksud ayat dari surat An-Nisa:19 sebagai berikut, " bila kamu tidak menyukai mereka, karena cacat fisik atau watak yang timbul di luar kekuasaannya, kurang sempurna mengatur rumah tangga, atau ada kecenderungan kepada orang lain, maka bersabarlah dan jangan gegabah menjatuhkan keputusan. Jangan tergesa menceraikan mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."


Manajemen Emosi, Bukan Tidak Punya Perasaan
Manajemen emosi berarti bersabar atas tabiat, keadaan kodrati, bahkan perilaku pasangan, dengan tetap mentarbiah dengan ihsan sehingga membuahkan cinta yang tulus. Kebajikan harus tumbuh dari niat ikhlas agar mendapatkan timbal balik yang tulus. Kebaikan dan kebahagiaan pasangan tidak dijamin dengan nafkah lahir materi. Perlakuan dan sikap simpatik lebih efektif merebut hati pasangan sehingga timbul saling memaklumi kekurangan yang ada. Rasulullah berasabda: "Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan orang hanya dengan harta kalian, namun kalian akan dapat memuaskan orang dengan tatapan simpatik dan akhlak yang baik."

Keahlian manajemen emosi dapat dilihat pada perilaku dan pola hubungan suami istri pada zaman rasulullah saw. Kejengkelan Aisyah kepada Nabi saw, hanya diekspresikan melalui perubahan gaya bahasa. Nabipun tanggap terhadap ketidaksukaannya serta menyikapi dengan penuh kesabaran. Suatu hari Rasulullah saw mengatakan kepada Aisyah ra, "saya sangat mengenal, jika kamu sedang suka padaku maupun jika kamu sedang jengkel." Lalu Aisyah bertanya, "bagaimana engkau dapat mengetahuinya?" beliau menjawab, "jika kamu sedang suka, maka kamu menyatakan (dalam sumpah)  tidak, demi Rabb Muhammad , namun jika kamu sedang jengkel, menyatakan,  tidak, demi Rabb Ibrahim . (HR. Muslim). Itulah kelebihan Aisyah dalam mengelola emosi sehingga tidak melanggar norma kesopanan dan mengganggu keharmonisan keluarga.

Manajemen emosi bukan mematikan atau membekukan perasaan. Wanita harus bersikap ekspresif, komunikatif dan proaktif, baik terhadap suami maupun keluarga sehingga terbangun komunikasi yang sehat. Disinilah diperlukan kearifan wanita untuk tidak memancing ego dan emosi suami. Agar ia tidak sampai menggunakan kekerasan akibat kemarahannya.

Pribadi yang shalihah dapat mengelola emosi menjadi potensi yang membangun bukan merusak, mengokohkan bukan merobohkan serta mudah toleransi atau memaafkan orang lain. Sifat ini merupakan salah satu kunci kebahagiaan, kebaikan dan kelestarian rumah tangga. Allah berfirman: "dan orang-orang yang menahan amarah (emosi)nya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran:134). Wallahu A lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah



Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post