Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’
bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf.
Nasab Imam Syafii dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertemu pada kakek mereka Abdu Manaf. Jadi, Imam Syafii adalah seorang
laki-laki Quraisy asli. Adapun ibunya adalah seorang dari Bani Azdi atau
Asad.
Imam Syafii dilahirkan pada tahun 150 H/767 M di Kota Gaza,
Palestina. Tahun kelahiran beliau bertepatan dengan wafatnya salah
seorang ulama besar Islam, yakni Imam Abu Hanifah rahimahullah.
Ayahnya wafat saat Syafii masih kecil sehingga ibunya memutuskan untuk
hijrah ke Mekah agar Syafii mendapatkan santunan dari keluarganya dan
nasabnya pun terjaga.
Di Mekah, Syafii kecil mulai mempelajari bahasa Arab, ilmu-ilmu
syariat, dan sejarah. Ia terkenal sebagai seoarang anak yang cerdas, di
usia enam atau tujuh tahun 30 juz Alquran sudah sempurna bersemayam di
dalam dadanya. Keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang baginya
dalam menuntut ilmu, Syafii mencatat palajarannya di atas tulang-tulang
hewan atau kulit-kulit yang berserakan. Namun ia dimudahkan dengan
karunia Allah berupa daya hafal yang sangat kuat sehingga beban ekonomi
untuk membeli buku dan kertas bisa terganti. Setelah beliau merasa cukup
menuntut ilmu di Mekah, Madinah menjadi destinasi berikutnya dalam
menimba ilmu. Di sana adaseorang ulama yang dalam ilmunya, yakni Imam
Malik rahimahullah.
Proses Menuntut Ilmu
Saat menginjak usia 13 tahun, gubernur Mekah mendorongnya agar
belajar ke Madinah di bawah bimbingan Imam Malik. Selama belajar kepada
Imam Malik, sang imam negeri Madinah sangat terkesan dengan kemampuan
yang dimiliki remaja dari Bani Hasyim ini. Kemampuan analisis dan
kecerdasannya benar-benar membuat Imam Malik kagum sehingga Imam Malik
menjadikannya sebagai asistennya dalam mengajar. Padahal kita ketahui,
Imam Malik adalah seorang yang sangat selektif dan benar-benar tidak
sembarangan dalam permasalahan ilmu agama, tapi kemampuan Syafii muda
memang pantas mendapatkan tempat istimewa.
Di Madinah, Imam Syafii larut dalam lautan ilmu para ulama. Selain
belajar kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada Imam Muhammad
asy-Syaibani, salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah. Di antara
guru-guru Imam Syfaii di Madinah adalah Ibrahim bin Saad al-Anshari,
Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawaridi, Ibrahim bin Abi Yahya, Muhammad
bin Said bin Abi Fudaik, dan Abdullah bin Nafi ash-Sha-igh.
Adapun di Yaman, beliau belajar kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam
bin Yusuf yang merupakan hakim di Kota Shan’a, Amr bin Abi Salama, salah
seorang sahabat Imam al-Auza’i, dan Yahya bin Hasan. Sedangkan di Irak
beliau belajar kepada Waki’ bin Jarrah, Abu Usamah Hamad bin Usamah
al-Kufiyani, Ismail bin Aliyah, dan Abdullah bin Abdul Majid
al-Bashriyani.
Dengan kesungguhannya dalam mempelajari ilmu syariat ditambah
kecerdasan yang luar biasa, Imam Syafii mulai dipandang sebagai salah
seorang ulama besar. Terlebih ketika gurunya yang mulia, Imam Malik
wafat pada tahun 795, Imam Syafii yang baru menginjak usia 20 tahun
dianggap sebagai salah seorang yan paling berilmu di muka bumi kala itu.
Di antara keistimewaan fikih Imam Syafii adalah beliau mampu
menggabungkan dua kelompok yang memiliki sudut pandang yang berbeda
dalam memahami fikih. Kelompok pertama dikenal dengan ahlul hadits,
yaitu orang-orang yang mencukupkan diri dengan hadis tanpa butuh
intepretasi atau analogi-analogi (qias) dalam menetapkan suatu hukum.
Sedangkan kelompok lainnya dikenal dengan ahlu ra’yi atau mereka yang
menggunakan hadis sebagai landasan penetapan hukum namun selain itu
mereka juga memakai analogi-analogi dalam menetapkan hukum. Imam Syafii
mampu mengkompromikan dua kelompok ini bisa menerima satu sama lainnya.
Ibadah Imam Syafii
Tidak diragukan lagi, seorang ulama yang terpandang selain memiliki
keilmuan yang luas, mereka juga merupakan teladan dalam beribadah.
Ar-Rabi’ mengatakan, “Imam Syafii membagi waktu malamnya menjadi tiga
bagian: bagian pertama adalah untuk menulis, bagian kedua untuk shalat,
dan bagian ketiganya untuk tidur.”
Di malam hari beliau tidak pernah terlihat membaca Alquran melalui
mush-haf, akan tetapi bacaan beliau di malam hari hanya dilantunkan
dalam shalat-shalatnya. Al-Muzani mengatakan, “Saat malam hari, aku
tidak pernah sekalipun melihat asy-Syafii membaca Alquran melalui
mush-haf. Ia membacanya saat sedang shalat malam (melalui hafalan pen.).”
Kefasihan Bahasa Imam Syafii
Selain menjadi bintang dalam ilmu fiqh, Imam Syafi’i juga dikenal
dengan kefasihan dan pengetahuannya tentang bahasa Arab. Beliau belajar
bahasa Arab kepada seorang Arab desa yang bahasa Arabnya fasih dan
murni. Hal itu serupa dengan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menitipkan beliau kepada ibu susunya yang berasal dari desa,
tujuannya agar bahasa Arab Nabi berkembang menjadi bahasa Arab yang
fasih ketika tumbuh dewasa. Ibnu Hisyam bercerita tentang kefasihan Imam
Syafii, “Saya tidak pernah mendengar dia (Imam Syafi’i) menggunakan apa
pun selain sebuah kata yang sangat tepat maknanya, seseorang tidak akan
menemukan sebuah pilihan diksi bahasa Arab yang lebih baik dan lebih
pas dalam mengungkapkan suatu kalimat.”
Perjalanan Hidupnya
Tidak lama setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafii ditugaskan
pemerintah Abasiyah ke Yaman untuk menjadi hakim di wilayah tersebut.
Namun beliau tidak lama memangku jabatan tersebut karena jabatan hakim
secara tidak langsung menghubungkannya dengan dunia politik yang sering
mengkompromikan antara kebohongan dengan kejujuran, dan beliau tidak
merasa nyaman dengan hal yang demikian.
Setelah itu, beliau berpindah menuju Baghdad dan menyebarkan ilmu di
ibu kota kekhalifahan tersebut. Kehidupan beliau di Baghdad dipenuhi
dengan dakwah dan mengajar, bahkan beliau sempat berkunjung ke Suriah
dan negeri-negeri di semenanjung Arab lainnya untuk menyebarkan
pemahaman tentang Islam. Sekembalinya ke Baghdad, kekhalifahan telah
dipegang oleh al-Makmun.
Al-Makmun memiliki pemahaman yang menyimpang tentang Alquran. Ia
menganut paham Mu’tazilah yang mengedepankan logika dibandingkan wahyu
Alquran dan sunnah. Al-Makmun meyakini bahwasanya Alquran adalah
makhluk, sama halnya seperti manusia. Pemahaman ini berkonsekuensi
menyepadankan antara logika manusia dengan Alquran, artinya Alquran pun
tidak mutlak benar sebagaimana akal manusia. Tentu saja keyakinan ini
bertentangan dengan keyakinan Imam Syafii dan ulama-ulama Islam sebelum
beliau yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah, yang
kebenarannya absolut.
Al-Makmun memaksa semua orang agar memiliki pemahaman yang sama
dengannya. Banyak para ulama ditangkap dan disiksa karena peristiwa yang
dikenal dengan khalqu Alquran ini. Akhirnya, pada tahun 814, Imam Syafii hijrah menuju Mesir, negeri dimana beliau berhasil merumuskan ilmu ushul fiqh.
Wafatnya
Sebagaimana lazimnya manusia lainnya, sebelum wafat Imam Syafii juga
merasakat masa-masa sakit. Dalam keadaan tersebut, salah seorang
muridnya yang bernama al-Muzani mengunjunginya dan bertanya, “Bagaiaman
keadaan pagimu?” Imam Syafii, “Pagi hariku adalah saat-saat pergi
meninggalkan dunia, perpisahan dengan sanak saudara, jauh dari gelas
tempat melepas dahaga, kemudian aku akan menghadap Allah. Aku tidak tahu
kemana ruhku akan pergi, apakah ke surga dan aku pun selamat ataukah ke
neraka dan aku pun berduka.” Kemudian beliau menangis.
Imam Syafii dimakamkan di Kairo pada hari Jumat di awal bulan Sya’ban
204 H/820 M. Beliau wafat dalam usia 54 tahun. Semoga Allah merahmati,
menerima semua amalan, dan mengampuni kesalahan-kesalahan beliau.