Mari, mari, kita bermain!
Saya terheran-heran hingga sekarang,
betapa lemahnya bayi manusia yang baru dilahirkan,
yang memerlukan parental care dalam jangka panjang
sebelum mampu berdiri sendiri, sementara anak itik,
sebelum mampu berdiri sendiri, sementara anak itik,
begitu keluar dari telur, langsung berjalan bahkan berlari dengan gesit.
Betapa saya tidak terheran-heran, bukankah manusia itu sudah demikian hebat,
sudah bisa mendarat di Bulan dan tak lama lagi di planet Mars?
(ioanes rakhmat)
Dalam pandangan Robert N. Bellah (dalam bukunya Religion in Human Evolution: From the Paleolithic to the Axial Age, 2011, 744 hlm), agama muncul dari proses evolusi biologis natural dan evolusi sosio-kultural. Tak ada keterlibatan dunia supernatural sama sekali. Ini konsisten dengan posisinya sebagai seorang sosiolog agama. Namun, dalam bukunya ini, dia menganalisis kelahiran agama-agama tidak hanya berdasarkan variabel-variabel sosio-kultural, tetapi menempatkannya dalam rentang sejarah panjang evolusi spesies di muka Bumi, planet kita yang terbentuk 4,5 milyar tahun lalu bersamaan dengan terbentuknya tata surya. Dalam bukunya ini, Bellah sebetulnya mengetengahkan 3 proses evolusi, yakni evolusi kosmik, evolusi biologis, dan evolusi sosio-kultural, yang ketiganya berinteraksi.
Pertama-tama harus dikemukakan bahwa bagi Bellah, evolusi spesies berjalan tidak hanya karena desakan alam lewatnatural selection, dan juga bukan hanya gene yang berperan di dalam proses ini untuk bertahan hidup (“the struggle for existence” atau “survival of the fittest”), tapi juga karena organisme sebagai satu kesatuan mengambil bagian di dalamnya dengan aktif lewat kapasitas-kapasitas yang ada pada organisme. Kapasitas-kapasitas ini memang secara genetik terkonstruksi, tetapi ketika kapasitas-kapasitas ini diaktualisasi oleh organisme (lewat perilaku, tindakan dan berbagai aktivitas simbolik), gene tidak mengontrolnya. Selain itu, setelah mencapai struktur yang kompleks sebagai organisme lewat proses evolusi yang panjang, pada dirinya sendiri organisme ini memiliki nilai fungsional dalam jagat raya, dan tidak bisa disusutkan (“irreducible”) hanya sebagai molekul-molukel atau atom-atom yang tak fungsional atau bahkanmeaningless. Pandangan semacam ini disebut “emergent theory”. Emergent theory bertolak belakang dengan pandangan yang reduksionistik, yang dipertahankan misalnya oleh Richard Dawkins yang memandang gene sebagai satu-satunya unit sentral pemroses evolusi, sementara organisme sendiri hanya sebagai sebuah “throwaway survival machine” (istilah Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene), mesin ketahanan hidup yang dapat disingkirkan begitu saja.
Menurut emergent theory, ketika evolusi berlangsung, bukan hanya variasi atau inovasi muncul dari natural selection dan adaptasi, tetapi stabilitas atau kontinuitas juga dipertahankan dalam mata-rantai evolusi. Hasil evolusi yang semakin kompleks karena inovasi, dan organisme yang menjadi sumber-sumber asal evolusi yang berstruktur kurang kompleks, tetap sama-sama ada dalam alam, kecuali oleh karena sebab-sebab tertentu organisme pendahulunya mengalami kepunahan total. Bakteri, misalnya, adalah mikro-organisme bersel tunggal, yang sudah ada di muka Bumi sejak proses evolusi baru berjalan, dan kini bakteri juga masih memenuhi planet kita, sama sekali tidak lenyap. Semakin simpel struktur suatu organisme, semakin tangguh dia; semakin kompleks strukturnya, semakin rentan dia.
Ketika ditempatkan dalam mata-rantai evolusi spesies, kemunculan agama tak dapat dilepaskan dari naluri induk hewan-hewan sebelum munculnya mammalia, yakni naluri yang menggerakkan induk hewan-hewan untuk memelihara anak-anak yang baru dilahirkan (parental care). Parental care ditemukan pada sejumlah hewan pra-mammalia, seperti ikan, cumi-cumi, buaya, ular berbisa, dan juga burung, dan kemampuan menampakkan parental care ini diteruskan dengan stabil dan inovatif sampai ke hewan mammalia (misalnya anjing, kera, monyet, dan tentu saja manusia).
Parental care yang dialami anak-anak yang baru dilahirkan memberi rasa lega, tenang, relaks, bebas stress, pada mereka. Pada tahap berikutnya, rasa lega dan bebas stress ini ingin dialami kembali oleh makhluk-makhluk bernyawa, dan keinginan ini terpenuhi dalam kegiatan bermain (play). Bermain adalah suatu kegiatan rekreatif, yang bebas dari Darwinian pressure “the struggle for existence” (atau “survival of the fittest”). Bermain adalah suatu kegiatan yang berlangsung di “relaxed field” atau “relaxed selection”. Semua mammalia (misalnya serigala, anjing, chimpanse, manusia) adalah makhluk bermain. Manusia adalah homo ludens, makhluk bermain, yang baru muncul 300.000 tahun lalu (sementara spesies Homo sendiri muncul 5 juta tahun lalu bersama sepupunya chimpanse dan gorilla, dan 2 juta tahun lalu dari spesies Homo ini muncul 2 cabang, yakni Homo habilis dan Homo erectus, kemudian dari Homo erectus ini muncul Homo sapiens).
Melalui parental care dan empathy, atau parental love, yang dirasakan dialami kembali lewat play, terbangunlah social bonding yang memperluas ikatan kekerabatan. Dan lewat play, social bonding ini diperkuat dan diperluas terus-menerus, sehingga terbangunlah solidaritas. Bellah memanfaatkan sekian kajian mutakhir tentang play, untuk menggambarkan berbagai aspek play.
Ritual muncul dari play, bahkan ritual itu sendiri adalah play. (Bellah memberi banyak argumentasi dan contoh bahwa ritual adalah play). Play sebagai ritual juga ditemukan dalam komunitas chimpanse. Tapi play sebagai ritual religiushanya ditemukan pada spesies Homo sapiens yang memiliki kesadaran diri (consciousness) dan mind.
Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan (zat pengecat tubuh, manik-manik, suling sederhana, musik, tarian dan nyanyian), Bellah menyatakan bahwa ritual religius baru dilakukan Homo sapiens 40.000 tahun lalu di Eropa. Bellah rupanya belum mendapat info mutakhir bahwa ritual religius penyembahan ular Python oleh orang Barsawa di Ngamiland, Afrika Selatan, sudah dilakukan 70.000 tahun lalu (http://www.afrol.com/articles/23093). Dalam kajian-kajian tentang awal munculnya peradaban manusia, para pakar yang Eurosentris menegaskan bahwa kemampuan membangun peradaban baru muncul 40.000 tahun lalu di Eropa. Tapi, belakangan ini, posisi Eurosentris ini ditolak oleh para pakar yang Afrosentris, yang menegaskan bahwa kemampuan itu sudah muncul jauh lebih awal lagi, di Afrika, 70.000-80.000 tahun lalu. Dua kurun ini dinamakan kurun “human revolution”. Bukti-bukti arkeologis tentang ritual penyembahan Python oleh orang Barsawa mendukung posisi Afrosentris.
Nah, selama bahasa sintaktikal belum berkembang (“pre-linguistic era”), dan kemampuan membangun teori dan berpikir reflektif belum muncul (baru muncul pada Zaman Aksial), ritual sebagai aktivitas bermain tidak bisa disamakan dengan “worship”. Sebelum masuk ke Zaman Aksial (Axial Age) (era sampai 400/300 tahun SM), manusia mengenal hanya satu dunia saja, yakni dunia natural; dunia supernatural atau Oknum Ilahi yang dinamakan Allah tidak dikenal.
Baru pada Zaman Aksial, muncul agama-agama yang memiliki ide-ide tentang dunia transenden. Sebelum zaman ini tiba, memang manusia sudah memegang ide adanya makhluk-makhluk spiritual (roh nenek moyang, atau roh orang yang baru meninggal, atau roh-roh halus), dan memperlakukan hewan-hewan tertentu atau manusia-manusia tertentu sebagai makhluk-makhluk suci. Dari semua makhluk ini, tidak ada satupun yang dibayangkan mendiami dunia supernatural; semuanya menghuni hanya satu dunia, yakni dunia natural. Ide tentang adanya dunia supernatural, dalam zaman pra-Aksial, sama sekali belum masuk ke dalam kesadaran manusia. Menurut Bellah, ide tentang adanya oknum ilahi dalam dunia transenden muncul dalam Zaman Aksial karena umat-umat beragama mengalami berbagai tekanan sosial-politik, yang hanya bisa mereka tanggung kalau mereka membayangkan ada Allah di dunia transenden yang akan membela mereka. Teologi lahir dari politik.
Bellah membagi evolusi sosial-kultural dalam 4 tahap: kebudayaan episodik (atau unitif), kebudayaan mimetik (atau enaktif), kebudayaan mitik (atau simbolik), kebudayaan teoretik (atau konseptual). Ketika zaman yang lebih belakangan muncul, zaman-zaman sebelumnya tidak lenyap, tetapi co-exist, ada bersama-sama, dan berinteraksi. Nah, Zaman Aksial adalah zaman kebudayaan teoretik, zaman di mana manusia mampu merumuskan teori, menyangkal teori lama, dan berpikir reflektif; dalam zaman-zaman sebelumnya berlangsung evolusi kebudayaan episodik sampai kebudayaan mitik. Dalam kebudayaan episodik, manusia belum mampu berpikir reflektif, hanya berfokus pada masa kini, dan semua tindakannya terikat pada situasi-situasi episodik kehidupannya. Pada tahap mimetik, manusia berinteraksi lewat mimik dan bahasa isyarat lain (tak harus non-verbal), mengembangkan kemampuan dan skill lewat peniruan. Dalam zaman mitik, fokus beralih dari hal-hal yang kongkret ke hal-hal yang abstrak, mitos dan metafora memainkan fungsi utama secara kognitif dan intelektual dalam usaha memahami jagat raya secara umum dan menyeluruh, dan kelisanan mengungguli keaksaraan.
Anakku sayang....!
Parental care yang dialami anak-anak yang baru dilahirkan memberi rasa lega, tenang, relaks, bebas stress, pada mereka. Pada tahap berikutnya, rasa lega dan bebas stress ini ingin dialami kembali oleh makhluk-makhluk bernyawa, dan keinginan ini terpenuhi dalam kegiatan bermain (play). Bermain adalah suatu kegiatan rekreatif, yang bebas dari Darwinian pressure “the struggle for existence” (atau “survival of the fittest”). Bermain adalah suatu kegiatan yang berlangsung di “relaxed field” atau “relaxed selection”. Semua mammalia (misalnya serigala, anjing, chimpanse, manusia) adalah makhluk bermain. Manusia adalah homo ludens, makhluk bermain, yang baru muncul 300.000 tahun lalu (sementara spesies Homo sendiri muncul 5 juta tahun lalu bersama sepupunya chimpanse dan gorilla, dan 2 juta tahun lalu dari spesies Homo ini muncul 2 cabang, yakni Homo habilis dan Homo erectus, kemudian dari Homo erectus ini muncul Homo sapiens).
Melalui parental care dan empathy, atau parental love, yang dirasakan dialami kembali lewat play, terbangunlah social bonding yang memperluas ikatan kekerabatan. Dan lewat play, social bonding ini diperkuat dan diperluas terus-menerus, sehingga terbangunlah solidaritas. Bellah memanfaatkan sekian kajian mutakhir tentang play, untuk menggambarkan berbagai aspek play.
Mari, mari, mari, kita bermain!
Ritual muncul dari play, bahkan ritual itu sendiri adalah play. (Bellah memberi banyak argumentasi dan contoh bahwa ritual adalah play). Play sebagai ritual juga ditemukan dalam komunitas chimpanse. Tapi play sebagai ritual religiushanya ditemukan pada spesies Homo sapiens yang memiliki kesadaran diri (consciousness) dan mind.
Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan (zat pengecat tubuh, manik-manik, suling sederhana, musik, tarian dan nyanyian), Bellah menyatakan bahwa ritual religius baru dilakukan Homo sapiens 40.000 tahun lalu di Eropa. Bellah rupanya belum mendapat info mutakhir bahwa ritual religius penyembahan ular Python oleh orang Barsawa di Ngamiland, Afrika Selatan, sudah dilakukan 70.000 tahun lalu (http://www.afrol.com/articles/23093). Dalam kajian-kajian tentang awal munculnya peradaban manusia, para pakar yang Eurosentris menegaskan bahwa kemampuan membangun peradaban baru muncul 40.000 tahun lalu di Eropa. Tapi, belakangan ini, posisi Eurosentris ini ditolak oleh para pakar yang Afrosentris, yang menegaskan bahwa kemampuan itu sudah muncul jauh lebih awal lagi, di Afrika, 70.000-80.000 tahun lalu. Dua kurun ini dinamakan kurun “human revolution”. Bukti-bukti arkeologis tentang ritual penyembahan Python oleh orang Barsawa mendukung posisi Afrosentris.
Nah, selama bahasa sintaktikal belum berkembang (“pre-linguistic era”), dan kemampuan membangun teori dan berpikir reflektif belum muncul (baru muncul pada Zaman Aksial), ritual sebagai aktivitas bermain tidak bisa disamakan dengan “worship”. Sebelum masuk ke Zaman Aksial (Axial Age) (era sampai 400/300 tahun SM), manusia mengenal hanya satu dunia saja, yakni dunia natural; dunia supernatural atau Oknum Ilahi yang dinamakan Allah tidak dikenal.
Baru pada Zaman Aksial, muncul agama-agama yang memiliki ide-ide tentang dunia transenden. Sebelum zaman ini tiba, memang manusia sudah memegang ide adanya makhluk-makhluk spiritual (roh nenek moyang, atau roh orang yang baru meninggal, atau roh-roh halus), dan memperlakukan hewan-hewan tertentu atau manusia-manusia tertentu sebagai makhluk-makhluk suci. Dari semua makhluk ini, tidak ada satupun yang dibayangkan mendiami dunia supernatural; semuanya menghuni hanya satu dunia, yakni dunia natural. Ide tentang adanya dunia supernatural, dalam zaman pra-Aksial, sama sekali belum masuk ke dalam kesadaran manusia. Menurut Bellah, ide tentang adanya oknum ilahi dalam dunia transenden muncul dalam Zaman Aksial karena umat-umat beragama mengalami berbagai tekanan sosial-politik, yang hanya bisa mereka tanggung kalau mereka membayangkan ada Allah di dunia transenden yang akan membela mereka. Teologi lahir dari politik.
Bellah membagi evolusi sosial-kultural dalam 4 tahap: kebudayaan episodik (atau unitif), kebudayaan mimetik (atau enaktif), kebudayaan mitik (atau simbolik), kebudayaan teoretik (atau konseptual). Ketika zaman yang lebih belakangan muncul, zaman-zaman sebelumnya tidak lenyap, tetapi co-exist, ada bersama-sama, dan berinteraksi. Nah, Zaman Aksial adalah zaman kebudayaan teoretik, zaman di mana manusia mampu merumuskan teori, menyangkal teori lama, dan berpikir reflektif; dalam zaman-zaman sebelumnya berlangsung evolusi kebudayaan episodik sampai kebudayaan mitik. Dalam kebudayaan episodik, manusia belum mampu berpikir reflektif, hanya berfokus pada masa kini, dan semua tindakannya terikat pada situasi-situasi episodik kehidupannya. Pada tahap mimetik, manusia berinteraksi lewat mimik dan bahasa isyarat lain (tak harus non-verbal), mengembangkan kemampuan dan skill lewat peniruan. Dalam zaman mitik, fokus beralih dari hal-hal yang kongkret ke hal-hal yang abstrak, mitos dan metafora memainkan fungsi utama secara kognitif dan intelektual dalam usaha memahami jagat raya secara umum dan menyeluruh, dan kelisanan mengungguli keaksaraan.
Bahkan Bellah sampai jauh mundur dalam waktu ke masa big bang yang terjadi 13,72 milyar tahun lalu (jika diukur dari planet Bumi). Baginya, evolusi di planet Bumi tak dapat dilepaskan dari big bang, dan secara khusus dia menyoroti kurun satu perseratus detik pertama setelah big bang. Evolusi kosmologis juga menjadi perhatiannya. Evolusi di planet Bumi adalah bagian dari evolusi kosmik. Dia menegaskan dengan benar bahwa setiap zat kimawi yang ada di Bumi dan pada tubuh kita, berasal dari dunia bintang-bintang (yakni bintang-bintang yang meledak, supernovae). Bagi dia, big bang juga sejarah. Dia menolak pandangan tradisional yang melihat sejarah hanya untuk masa ketika tulisan sudah ada (sampai ke kurun 5000 tahun lalu).
Ringkas kata, semua agama di muka Bumi berasal-usul dari naluri parental care makhluk-makhluk bukan mammalia, yang diteruskan ke mammalia, naluri yang selanjutnya melahirkan play, social bonding dan ritual, yang semuanya merupakan bagian dari mata rantai evolusi kosmik, evolusi geologis, evolusi biologis dan evolusi sosio-kultural. Tuhan sama sekali tak diperlukan untuk memunculkan agama-agama di dunia. Makanya, judul buku Bellah berbunyi Religion in Human Evolution.
Religious naturalism
Bellah bukan hanya mengarahkan perhatiannya ke evolusi keagamaan yang sudah berlangsung di masa lampau, tapi juga ke depan. Sehubungan dengan cultural wars yang kini sedang berlangsung sengit antara sains dan agama, Bellah mengusulkan (sejalan dengan unitive point of view-nya), untuk mempersatukan sains dan agama, kita perlu membentuk sebuah agama baru yang namanya agama naturalis. Dia menyebutnya religious naturalism, sebagai sebuah pendekatan keagamaan untuk mengakhiri cultural wars antara sains dan agama.
Naturalisme religius yang diusulkan Bellah, yang untuk mudahnya kita sebut saja agama naturalis, bukan langkah mundur ke zaman dulu. Maksud Bellah dengan istilah “naturalisme keagamaan” adalah: agama zaman sekarang tak perlu lagi berbicara tentang hal-hal supernatural, tapi cukup hal-hal natural saja.
Dalam pendekatannya ini, Bellah tidak meminta semua bahasa keagamaan dibuang, tapi objek-objek yang menjadi fokus bahasa keagamaan diganti. Semua hal dalam bahasa keagamaan yang semula diarahkan ke dunia adikodrati, kini diganti ke arah dunia kodrati saja. Jadi, hal-hal yang supernatural perlu di-renaturalisasi, diarahkan kembali ke dunia natural biasa, yang menjadi objek-objek kajian sains. Contohnya: Kalau kata “God”/“Allah” biasa dalam agama-agama diarahkan ke suatu entitas supernatural, kini diarahkan hanya ke hal-hal natural saja. Dalam naturalisme religius Bellah, God diganti menjadi, misalnya, kehidupan, atau life force, kreativitas alam, atau kebajikan tertinggi. Bagi Bellah, God tak perlu lagi dipahami sebagai sang khalik YM Kuasa yang berdiam di dunia supernatural, tapi cukup sebagai natural life atau creative universe. Nah, tugas para agamawan adalah melakukan re-naturalisasi semua supernatural language, menjadi natural language.
Dalam naturalisme religius Bellah, hanya ada satu dunia, satu realitas, yakni dunia atau realitas natural. Karena fokus sains memang hanya pada dunia natural, maka jika agama mau bersanding dengan sains, renaturalisasi itu harus dilakukan para agamawan.
Mengapa saya menyebutnya re-naturalisasi? Ini berkaitan dengan tipologi Bellah mengenai evolusi kebudayaan. Dalam pandangan Bellah (mengikuti seorang pakar lain), kebudayaan manusia sudah berjalan dalam 4 tahap evolusi kultural (sudah dikemukakan di atas). Empat tahap evolusi kultural Bellah itu mencakup: tahap episodik, tahap mimetik, tahap mitik, dan tahap teoretik. Dalam ketiga tahap pertama (episodik, mimetik, mitik), agama-agama yang ada sama sekali tidak mengenal dunia transenden/supernatural. Pada masa tiga tahap evolusi kultural itu, agama-agama hanya mengenal dunia natural/kodrati—dus, boleh disebut agama-agama natural. Meskipun dalam 3 tahap pertama itu orang mengenal ide tentang roh-roh halus, roh-roh nenek moyang/roh-roh orang yang baru mati, semua roh ini natural, dan berdiam di dalam dunia natural bersama manusia dan dapat berpengaruh pada manusia. Roh-roh itu oleh orang beragama dalam tiga zaman kebudayaan itu dipandang bagian dari dunia natural biasa. Nah, ketika masuk ke kebudayaan teoretik (Zaman Aksial, sampai dengan 400/300 tahun SM), barulah orang memperkenalkan ide tentang dunia supernatural. Nah, jelas jadinya, Bellah ingin kita kembali merangkul worldview kosmologis orang beragama pada tiga tahap pertama evolusi kebudayaan. Kita diminta Bellah hanya memegang ide tentang keberadaan hanya satu dunia, yakni dunia natural. Jadi, melakukan renaturalisasi! Tentu saja, posisi renaturalisasi Bellah ini konsisten dengan keahliannya sebagai sosiolog agama, bukan teolog.
Nah, dalam proyek menghidupkan kembali agama natural dalam era sains ini, para pemikir keagamaan tidak kembali ke zaman-zaman kuno itu. Mereka tidak kembali ke zaman-zaman kuno, sebab tugas mereka adalah melakukan renaturalisasi agama dalam pertemuan dengan sains modern. Contoh lagi: kalau sains modern mengenal dunia subatomik, tugas kaum agamawan adalah menerjemahkan dunia subatomik ini ke dalam bahasa keagamaan. Kalau sains modern mengenal evolusi sebagai fakta, kaum agamawan harus menerimanya juga sebagai fakta dan mencari bahasa keagamaan untuk evolusi. Pendek kata, dalam proyek naturalisme religius Bellah, dunia supernatural hilang kembali dari kosa kata agama-agama teistik. Agama-agama teistik berganti nama menjadi agama-agama naturalistik. Itulah naturalisme religius yang diusulkan Bellah. Tentu dengan mudah orang dapat menuduhnya mau menjinakkan bahkan menaklukkan agama di bawah kekuasaan sains, meskipun maksudnya yang sebenarnya adalah mempertemukan sains dan agama, mendamaikan keduanya, dan mempertahankan keduanya.
(Disarikan oleh ioanes rakhmat)
*Buku Bellah ini telah dibedah di Freedom Institute, Wisma Proklamasi, Jalan Proklamasi 41, Jakarta Pusat, pada 2 Agustus 2012, malam hari, dengan didahului buka puasa bersama. Bersama Zainal Abidin Bagir, saya tampil membahas buku ini, dengan dimoderatori Luthfi Assyaukanie.