Keutamaan Dan Bahaya Hutang Piutang Menurut Pandangan Islam


Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.

A. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.(1)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.(2)

Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.

B. HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
:IDalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu  pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki.rRafi’, bahwa Nabi  Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (3)

juga bersabda:rNabi
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. . Hadits ini di-hasan-kantIbnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud  oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).

C. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG:
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah  pernah berhutang.(4)rsesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi  Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut , merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan dirRasulullah  siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda  (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, makarRasulullah  dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yangrRasulullah  diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk  bersabda:rmembayarnya. Rasulullah
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” ).t(HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash

, bahwa Beliau bersabda:rDiriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

bersabda:r, bahwa Rasulullah tDari Abu Hurairah
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

bersabda:r bahwa Rasulullah tDari Ibnu Umar
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri ditDari Abu Qatadah  tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku  kepadanya “Ya, jikarakan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah  engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).

D. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHOLIH?
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.

E. BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
:IDalilnya firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (5)

[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.

Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.(6) Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena .Iancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.(7)

[3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَرضى الله عنهقَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّصلى الله عليه وسلمسِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَصلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّصلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »
, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepadatDari Abu Hurairah  seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya r membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Idengan lebih. Semoga Allah  bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّصلى الله عليه وسلموَهُوَ فِى الْمَسْجِدِوَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
di masjid,r ia berkata: “Aku mendatangi Nabi tDari Jabir bin Abdullah  sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)

Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.

[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَرضى الله عنهعَنِ النَّبِىِّصلى الله عليه وسلمقَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
bersabda: “Barangsiapa yangr, ia berkata bahwa Nabi tDari Abu Hurairah  mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya  akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapaI(mengembalikannya), maka Allah  mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka  akan membinasakannya”.IAllah  (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka  melelahkanI membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah IAllah  badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?

[5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.

[6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.

[7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang :rmenghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.

[8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

[9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”.r, Nabi tDari Samurah  (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)

[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dantDari Jabir bin Abdullah  dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka  meminta syafaat (bantuan) kepadarenggan. Akupun mendatangi Nabi   berkata, “Pisahkan kormamurmereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau  sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka)  pun datang lalu duduk dan menimbang setiaprakupun melakukannya. Beliau  mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)

[11]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَرضى الله عنهأَنَّ رَسُولَ اللَّهِصلى الله عليه وسلمقَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
bersabda: “Memperlambatr, bahwa Rasulullah tDari Abu Hurairah  pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. .)t(HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah

[12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
berfirman:IAllah
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

bersabda:rDiriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِفَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ »
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)

قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Bukhari III/1272 no.3266)

Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.

Pesan Malaikat Jibril yang Mulai Terlupakan
Di Kufah, Abu Hanifah memiliki seorang tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja, menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia minum-minum seraya bernyanyi-nyanyi dan berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk sekali, kemudian tertidur pulas.

Abu Hanifah yang telah terbiasa melaksanakan shalat sepanjang malam, tentu saja merasa terganggu oleh suara nyanyian tukang sepatu tersebut. Namun, ia  diam saja. Pada suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya, ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia baru saja ditangkap polisi dan ditahan.

Seusai shalat subuh, Abu Hanifah naik bighalnya menuju istana. Ia hendak menemui Amir Kufah. Kedatangan Abu Hanifah disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang berkenan menemuinya.

“Ada yang bisa aku bantu?” tanya sang Amir.

“Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan Amir,” jawab Abu Hanifah.

“Baiklah,”  kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.

Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya secara perlahan. Sementara, si tukang sepatu berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata, “Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?”

“Tidak, bahkan sebaliknya,” jawab si tukang sepatu.

“Terima kasih. Semoga Allah memberimu balasan kebajikan,” lanjut si tukang sepatu

Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih khusyu’ dalam ibadahnya setiap malam.

Tembok Pembatas

Di era globalisasi, kini merupakan sebuah hal biasa ketika setiap kita terlihat sibuk dalam kesehariannya, bahkan terdapat sebuah ungkapan “pulang dan pergi seharian sehingga tak  mampu melihat matahari terbit dan tenggelam”.  Tingginya tingkat egoisme, individualisme dan hedonisme mengakibatkan terciptanya “tembok pembatas” dalam bermasyarakat. Adakalanya “tembok pembatas” dalam bermasyarakat timbul dikarenakan kurangnya intensitas bersosialisasi dalam bermasyarakat.

Padatnya aktifitas dan besarnya peranan kita dalam sebuah institusi ataupun organisasi, tak jarang menjadikan sedikitnya waktu untuk bersosialisasi dalam bermasyarakat. Dalam hal ini, Rasulullah saw telah mengingatkan umatnya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah saw menjadikan akhlak kepada tetangga sebagai acuan penilaian kebaikan seseorang. ”Sebaik-baik kawan di sisi Allah adalah yang paling baik (budi pekertinya) terhadap kawannya, sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik kepada tetangganya.”

Dan Allahpun berfiman dalam QS. An Nisa’:36, “Berbuat baiklah kepada kedua orang, ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan membangga-banggakan diri”.

Letak Sebuah Kebermanfaatan

“Khairun naasi anfa’uhum linnaas”,  sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain. Manusia bukan sekedar makhluk indvidu, melainkan manusia adalah makhluk social, yang mana segala yang ada dalam dirinya  berpotensi membawa pengaruh terhadap lingkungan disekitarnya. Menjadi manusia bermanfaat disini tidaklah sekedar bermanfaat bagi institusinya, golongannya ataupun organisasinya, melainkan meliputi seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat pada umumnya.

“Menjadi ada adalah karunia, sebab kita tak dapat mengadakan diri kita sendiri. Tapi menjadi ada saja tidaklah cukup, kita ada karena diperintahkan untuk memiliki makna,”  kata Ustadz Ahmad Zairofi.

Bagaimana kita dapat menjadi manusia yang bermanfaat jika enggan untuk bersosialisasi dalam bermasyarakat?

Sebagaimana kisah Abu Hanifah yang tetap menebarkan kebaikan terhadap tetangganya dengan membantunya mendapatkan ampunan dari sang amir hingga menjadikan si tukang sepatu tersadar dan tidak mengulangi kebiasaan buruknya. Sebagaimana pula kisah khalifah umar yang begitu memperhatikan kondisi masyarakat disekitarnya, hingga rela menggendong karung gandum seorang diri guna membantu kekurangan tetangga disekitarnya.

Islam memerintahkan umatnya untuk bertetangga secara baik. Bahkan, Rasulullah saw pernah mengira tetangga termasuk dalam ahli waris, dikarenakan seringnya Jibril mewasiatkan agar bertetangga dengan baik. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jibril selalu mewasiatkan kepadaku tentang tetangga sampai aku menyangka bahwa ia akan mewarisinya” (HR Bukhari-Muslim). Namun, ternyata waris atau warisan yang dimaksud Jibril adalah agar umat Islam selalu menjaga hubungan baik dengan sesama tetangga. Bertetangga dengan baik itu, termasuk menyebarkan salam ketika bertemu, menyapa, menanyakan kabarnya, menebar senyum, dan mengirimkan hadiah. Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak sayur maka perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu” (HR Muslim)

Dan dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh bukhari, terdapat seorang wanita bersusah payah melaksanakan shalat wajib, bangun malam, menahan haus dan lapar, serta mengorbankan harta untuk berinfak, namun menjadi mubazir lantaran buruk dalam bertutur sapa dengan tetangganya. Rasulullah bersumpah terhadap orang yang berperilaku demikian, tiga kali, dengan sumpahnya, ”Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman…!”

Sahabat bertanya, ”Siapa, ya Rasulullah?”

Beliau menjawab, ”Orang yang tetangganya tidak pernah merasa aman dari keburukan perilakunya”

***

“Ya Tuhan, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami termasuk orang-orang yg merugi” (QS.Al A’raf : 23)

Oleh : Meylina Hidayanti, Sragen
Guru IPS Terpadu SMPIT Az Zahra Sragen

Sebelum Islam datang, masyarakat Arab hidup dengan penuh kesederhanaan. Warga Mekkah dimuliakan dengan keberadaan Baitullah yang telah dimuliakan oleh bangsa-bangsa Arab sejak jamannya Nabi Ibrahim as dan Nabi Isma’il as. Orang-orang dari berbagai penjuru jazirah Arab setiap tahunnya datang berziarah ke tempat yang dimuliakan itu.

Ramai dikunjungi orang, Mekkah pun berubah menjadi sebuah pusat perdagangan. Keberadaan mata air Zamzam memastikan siklus hidup di kota itu bisa berjalan dengan lancar.

Akan tetapi, meski Mekkah menjadi tempat yang penting dalam jalur perdagangan internasional, ia tetaplah hanya sebuah kota di tengah lautan pasir yang seolah tak berujung. Tanpa Baitullah dan Sumur Zamzam, ia tidak menarik perhatian siapa pun.

Jangan bandingkan dengan Indonesia yang hijau dan kekayaan buminya melimpah, sehingga Belanda terpikat dan bernafsu sekali untuk menjajah. Jazirah Arab secara umum tidaklah subur. Tidak ada sumber daya alam melimpah yang menarik hati negara-negara adikuasa (minyak bumi baru menjadi komoditi penting setelah revolusi industri di Eropa).

Abrahah dan Pasukan Gajahnya yang terkenal itu memang pernah melakukan serangan terbuka ke Mekkah, terutama ke Ka’bah. Akan tetapi, motifnya bukan ekonomi, melainkan ‘harga diri’. Abrahah adalah penguasa di Yaman yang telah membangun sebuah rumah ibadah besar di Shan’a. Proyek raksasa itu ia prakarsai karena dengki melihat masyarakat Arab yang perhatiannya begitu penuh tertumpah pada Baitullah. Oleh karena itu, ia pun bertekad untuk menghancurkan Ka’bah, sehinga orang-orang Arab mau beribadah di negerinya itu. Bangsa Romawi dan Persia, dua kerajaan yang adidaya pada masa itu, tidak pernah tertarik untuk menandingi popularitas Ka’bah, dan karenanya, keduanya juga tidak tertarik untuk menginvasi Mekkah dan Arab secara umum.

Mungkin karena tidak ada ‘tantangan’ dari luar, maka masyarakat Arab pun tak merasa perlu untuk membangun pemerintahnya sendiri. Tidak ada koordinasi yang mengikat kecuali perjanjian-perjanjian temporal antarkabilah. Secara umum, masing-masing kabilah saling bersaing untuk mendominasi, bahkan tidak jarang saling memerangi. Jika di sekitar Baitullah mereka senantiasa menahan diri, maka tidak demikian halnya di luar kota Mekkah. Di sana, mereka bebas untuk saling berperang dan menghabisi satu sama lainnya. Tidak ada yang menyatukan mereka, bahkan mereka tak merasa perlu untuk bersatu.

Dengan pola kehidupan sederhana yang hanya berkutat di antara bertani, beternak, mengurus keperluan rumah tangga dan berdagang, masyarakat Arab pun tidak akrab dengan kemampuan baca-tulis. Tidak banyak orang yang memiliki keterampilan ini, meskipun mereka yang bisa baca-tulis senantiasa dianggap terhormat di lingkungannya. Hanya saja, penggunaannya memang sangat terbatas. Kebanyakan hanya digunakan untuk keperluan membaca dan menulis syair-syair atau cerita-cerita kepahlawanan. Sedikit sekali yang menggunakannya untuk keperluan administrasi dan dokumentasi.

Karakter lainnya yang menonjol dari masyarakat Arab pada era Jahiliyah ini adalah rendah diri yang sudah terlanjur kronis. Mereka mengaku sebagai pewaris risalah Nabi Isma’il as, namun kelurusan ‘aqidah tauhid tersebut tidak disertai dengan kepercayaan diri. Di Mekkah, ‘Amr ibn Luhayy memulai tradisi penyembahan berhala. Dalam sebuah perjalanannya ke Syam, ia melihat para penduduk Syam menyembah berhala, kemudian menganggapnya sebagai hal yang baik. Ia lalu membawa berhala ke kampung halamannya, dan tidak lama kemudian warga Mekkah lainnya mengikuti. Akhirnya semua kabilah punya berhala, setiap rumah punya berhala, dan Ka’bah dikelilingi oleh ratusan berhala, sedangkan berhala-berhala yang besar diletakkan di dalamnya. Tidak ada sebab lain yang mendasari tindakan peniruan semacam ini kecuali perasaan rendah diri. Tidak jauh beda dengan kebiasaan merokok.

Di Yatsrib, masyarakat Arab hidup bersama-sama kaum Yahudi. Meskipun kaum Yahudi ini minoritas, namun mereka sangat dominan, karena merekalah yang menjadi ‘juragan-juragan’ perekonomian di kota itu. Selain karena masalah ekonomi, orang-orang Arab juga merasa rendah diri karena alasan agama. Pada saat itu, kaum Yahudi seringkali membangga-banggakan agamanya, karena mereka memiliki Kitab Suci Taurat, dan terutama sekali karena mereka mengklaim bahwa Tuhan akan menurunkan seorang pemimpin besar – seorang Nabi Akhir Jaman – untuk memimpin mereka, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Taurat. Tentu beda dengan masyarakat Arab yang tidak punya Kitab Suci sebagai pegangan, dan tidak menemukan keterangan-keterangan tentang Nabi Akhir Jaman sebagaimana yang didapatkan oleh para Ahli Kitab di dalam Kitab-kitab Sucinya. Ketika Rasulullah saw diutus, beliau pernah membai’at sekelompok warga Yatsrib yang berkunjung ke Mekkah. Mereka mengetahui kenabian beliau berdasarkan ciri-ciri yang sudah dijelaskan oleh kaum Yahudi di kampung halamannya. Pada kenyataannya, justru kaum Yahudilah yang kebanyakan tidak merespon dakwah beliau, hanya karena sentiment rasis yang tidak mau mengakui kepempimpinan dari selain Bani Israil.

Tanpa tantangan, tanpa persatuan, tanpa aturan baku, tanpa pemerintahan, tanpa kemampuan baca-tulis, tanpa tradisi administrasi dan dokumentasi, tanpa pemahaman yang baik akan warisan ajaran para Nabi, dan tanpa harga diri. Maka tenggelamlah masyarakat Arab dalam kejahilan. Mereka berkomat-kamit di depan berhala agar permohonannya terkabul, datang ke ahli nujum untuk mengetahui masa depan, mengundi nasib dengan anak panah, mengkhususkan berbagai jenis makanan dan minuman untuk sesaji dan seterusnya. Perempuan dianggap sebagai komoditas, pernikahan diperlakukan bagai ‘transaksi’, seorang suami menyuruh istrinya untuk datang kepada lelaki lain yang lebih terhormat agar digauli sehingga bisa mendapatkan keturunan yang baik, seorang perempuan menikahi banyak lelaki, seorang lelaki menikahi perempuan-perempuan dalam jumlah tak terbatas, dan tentu saja, pelacuran merajalela. Khamr? Jangan ditanya!

Di tengah-tengah kaum yang jahil ini, datanglah Sang Nabi Akhir Jaman yang telah dijanjikan di dalam Taurat dan Injil itu. Pendeta Bahira dapat mengenalinya dengan mudah, sedangkan orang-orang Yahudi mengenalinya bagaikan mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Masyarakat Arab mengenalnya sebagai Sang al-Amin; orang yang bisa dipercaya dalam segala urusan.
Nabi Muhammad saw memang ‘ummiy (tak bisa baca tulis), namun beliau pula yang telah mencanangkan ‘gerakan hapus buta huruf’ di tengah-tengah masyarakat Arab. Sahabat-sahabat kepercayaannya seperti Abu Bakar ra adalah tokoh-tokoh yang dikenal mampu membaca dan menulis. Beliau menugaskan sahabat-sahabat lainnya menjadi sekretaris-sekretaris pribadinya, hingga sejarah mencatat jumlah sekretaris pribadinya itu mencapai lima puluh orang lebih. Masing-masing sekretaris memiliki tugasnya yang spesifik. Ada yang bertugas mencatat ayat-ayat al-Qur’an yang baru diturunkan, ada yang mencatat pembagian harta ghanimah (rampasan perang), ada yang mencatat pembagian zakat, ada yang menulis surat-surat diplomasi, dan sebagainya. Baca-tulis menjadi kemampuan dasar, sementara tradisi administrasi dan dokumentasi mulai dikembangkan.

Rasulullah saw tidak hanya menyeru manusia agar shalat, shaum, zakat dan berhaji. Lebih dari itu, beliau pun mengajarkan cara hidup yang cerdas. Makan dan minum sesuai kadarnya, tidur sesuai kebutuhannya, berolahraga sesuai keperluannya, dan berumah tangga sebagaimana mestinya. Bukan hanya mengajarkan perbuatan-perbuatan baik, beliau pun menyuruh manusia agar meninggalkan perbuatan yang sia-sia. Nabi saw tidak suka melihat pemuda yang hanya bisa nongkrong di pasar-pasar, mengobrol tanpa tujuan, atau menghabiskan hari dengan bersantai-santai. Beliau memerintahkan manusia untuk berdiri dan duduk dalam keadaan mengingat Allah dan memikirkan ciptaan-Nya, hingga akhirnya semua pemikiran bermuara pada ucapan: “Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilan, subhaanaka, faqinaa ‘adzaaban-naar…” (Ya Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka).

Lahirlah masyarakat Muslim yang haus akan ilmu dan memeras akalnya untuk mencari sebanyak-banyaknya manfaat dari segala hal yang ada di sekitarnya (karena tak ada sesuatu pun yang sia-sia), sedangkan setiap ilmu yang bertambah membuat imannya semakin tebal dan semakin takut akan siksa neraka. Maka dimulailah era intelektual baru dalam sejarah bangsa-bangsa Arab.

Hal yang paling sulit dari banjir informasi di abad informasi, adalah menyaringnya…

Kemampuan yang paling hebat, dan juga paling mengerikan dari para filsuf, sastrawan, dan penulis amatiran (seperti saya), adalah merangkai kata-kata. Kemampuan persuasi, yang bisa membuat hal-hal yang sebenarnya koplak, terlihat bijak. Suatu hal-hal yang jelas salah pun, akan bisa terlihat luar biasa benar, luar biasa masuk akal, lengkap dengan argumen yang indah dan berbunga-bunga, yang kedengarannya muncul dari seorang bijak berjanggut yang sedang bersemedi di bawah pohon, lengkap dengan kicauan burung di latar belakang.

Kata-kata bijak berikut ini, saat pertama anda membacanya, anda mungkin akan manggut-manggut setuju, hati anda tersentuh, bahkan mata anda akan berkaca-kaca sambil menghela napas panjang sambil membatin: ‘iya juga yaa..’ Benarkah itu bijak? Yuk kita kritisi..

     “Kita tidak perlu menghakimi keburukan orang lain. Biarlah itu urusan dia dengan Tuhannya. Hanya Tuhan yang tahu mana yang paling benar. Hanya Tuhan lah yang berhak menghakimi, di akhirat kelak..”

Wow, wow, wow, tunggu dulu.. Jika saja hanya Tuhan yang berhak menghakimi, mari kita bubarkan semua lembaga peradilan, karena manusia tidak berhak menghakimi bukan? Mau orang korupsi, mencuri, menjadi gay dan lesbian, menghina agama, bahkan membunuh orang lain, biarkan saja. Toh kita tidak berhak menghakimi orang lain kan? Hanya Tuhan yang berhak.  Jadi jika ada polisi yang coba mendenda kita karena buang sampah atau merokok sembarangan di Singapura, tampar saja si sok tahu itu, dan katakan: “hanya Tuhan yang berhak menghakimi saya!!” Jika kita hanya membiarkan Tuhan yang mengadili semua keburukan-keburukan manusia di dunia, kita tidak perlu hukum lagi, dan mari kita kembali ke zaman batu (bahkan manusia zaman batu pun punya peraturan). Atau kita ikuti saja kata-kata teman saya: “Lemah teles, Gusti Alloh seng mbales..”

    “Kenapa kita ribut-ribut masalah yang sepele sih? Pornografi diributin, penulis buku yang mempromosikan lesbi dihalangin.. Lady Gaga diributin.. Mendingan urusin tuh koruptor, mereka yang lebih berbahaya bagi bangsa kita ini..”

Weks.. Ini sih sama saja dengan: “Ngapain kita tangkap orang yang nyolong sandal, tuh yang maling motor aja dikejar..”. Lha perbuatan buruk, besar atau kecil, tetap harus dihalangi. Jika orang tersebut menentang pornografi, bukan berarti dia diam saja terhadap koruptor kan? Bukankah lebih baik kita menjaga dari keduanya. Katakan: say no to pornografi dan korupsi! Dua-duanya, menurut saya, cepat atau lambat, akan menghancurkan negara ini. bahkan masyarakat barat sendiri pun cukup resah dengan pornografi, koq malah kita mendukungnya?

    “Tuhan itu maha kuasa, maha agung, maha besar. Jadi ga perlu dibela. Jika kalian membentuk gerakan untuk membela agama, itu sama saja dengan kalian melecehkan kekuasaan dan kekuatan Tuhan. Tuhan ga perlu dibela..”

Weleh, tunggu sebentar. Organisasi-organisasi agama yang dibentuk selama ini, dari agama manapun, didirikan untuk membela Tuhan, atau untuk kepentingan para pemeluk agama? Organisasi tersebut dibentuk untuk mengurusi, menyuarakan, dan mengakomodasi kepentingan para penganutnya. Jika organisasi tersebut bertujuan melindungi kepentingan para anggotanya, kenapa dituduh sedang berusaha membela Tuhan? Saya koq tidak ingat ada organisasi agama yang visi dan misi organisasinya adalah: “untuk membela Tuhan di muka bumi..”

    “Kenapa sih anti banget dengan seks bebas? Anti banget dengan rok mini? Padahal diam-diam toh suka nonton film porno, doyan seks juga, suka melototin paha juga.. Dasar otaknya aja yang kotor.. Bersihin tuh otaknya, jangan urusin pakaian orang lain.. Kalau otaknya bersih dan imannya kuat, mau ada yang telanjang di depannya juga ga akan tergoda.. Gak usah munafik dan sok suci deh..”

Lhaaa… Sebentar… Kelompok yang anti seks bebas bukan berarti mereka ga doyan seks ya.. Yang menjadi penentu adalah bagaimana cara kami menyalurkan hasrat kami.. Kami tentu saja suka seks, menikmati seks, tapi dengan pasangan kami, dengan cara yang bertanggung jawab.. Seks merupakan rahmat Tuhan, tapi nikmatilah secara bertanggung jawab.. Jika kami memang maniak seks yang suka meniduri semua makhluk yang berkaki dua, tentu saja kami dengan senang hati mendukung seks bebas.. Itu berarti kami makin bebas meniduri berbagai macam wanita tanpa harus pusing mikirin pampers dan susu, karena, dengan menyebarnya paham seks bebas, makin banyak wanita yang bersedia kami manfaatkan (dan kami tiduri), kemudian kami tinggalkan setelah puas..

Otak kami yang kotor? Ayolah, jika saja para lelaki diciptakan tanpa nafsu, maka sudah lama manusia punah.. Sudah kodratnya laki-laki akan tergerak nafsunya jika melihat paha wanita.. Jika ada lelaki yang dengan gagah berani bilang tidak tergerak nafsunya saat melihat paha wanita cantik, itu hanya omong kosong agar semakin banyak wanita yang memamerkan pahanya dengan senang hati.. Rok mini, memang diciptakan untuk memancing perhatian (dan nafsu) para lelaki.. Jika kami memang berfikiran kotor dan tak bisa menahan iman, tentu kami akan turun ke jalan untuk mendukung semua wanita memakai rok mini.. Makin banyak wanita yang bisa memuaskan nafsu kotor kami.. Jadi, siapakah yang berfikiran kotor dan tidak bisa menahan iman? Para lelaki yang menentang rok mini, atau pendukungnya? Para penentang seks bebas, atau pendukungnya?

Propaganda, seringkali seperti pelacur, menggunakan riasan tebal dan indah untuk menutupi kebusukan di baliknya..

Saya pernah tinggal di kos-kosan di Yogya, yang anak-anaknya terdiri dari berbagai macam aliran: agnostik, atheis, kejawen, liberal, penyembah keris, bahkan ada begitu bingung, sehingga akhirnya mengaku sebagai komunis relijius…

Dengan beragamnya fikiran yang pernah kami perdebatkan, diiringi menyeruput kopi dan menghisap rokok, fikiran saya dijejali dengan berbagai macam aliran lengkap dengan argumen yang luar biasa indah.. Mungkin itu yang membuat saya jadi terlatih mengasah logika, sambil garuk-garuk kepala, dan selalu mencoba melihat jauh ke balik kata-kata nan indah itu.. Nih, kata-kata bijak yang lagi trend saat ini:

    “Lady Gaga koq diributin.. Apa bedanya dengan yang sudah ada di Indonesia? Penyanyi Indonesia juga banyak tuh yang seronok. Tuh penyanyi dangdut seronok masuk sampai ke kampung-kampung, ditonton anak-anak. Jika mau adil, yang seperti itu juga dilarang dong..”

Lha para pendukung kebebasan itu memangnya selama ini mendukung pelarangan pornografi sampai ke kampung-kampung? Dulu saat Inul banyak yang menentang, kaum liberalis juga menggunakan dalil yang sama: ‘yang lain juga dilarang doong’. Protes soal chef Sarah Quin (betul ga ya namanya?), juga ditentang dengan alasan: ‘dia ga sengaja tampil seronok koq’. Jika tempat-tempat maksiat digerebek, katanya menghalangi orang cari nafkah. Jika penyanyi dangdut seronok itu diprotes masyarakat sekitar, dijawab: urus dosa masing-masing, kalau ga suka ya ga usah nonton.. Bahkan di saat semua itu berusaha dikurangi dengan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, banyak yang menjerit-jerit: “jangan memasung kebebasan berekspresi!” Intinya kan sebenarnya: “Jangan larang kami melakukan pornografi dan pornoaksi, di tingkat manapun! Mau kami menari bugil sambil mutar-mutarin baju di atas kepala di genteng rumah kami, yo jangan protes!” Jadi, kenapa membanding-bandingkan Lady Gaga ama Keyboard Mak Lampir? (julukan para pedangdut seronok di daerah kami..). Toh dua-duanya sebenarnya kalian dukung, atas nama kebebasan berekspresi? Kami, malah sedang berusaha menentang dua-duanya..

    “Kita hidup dlm masyarakat yg sangat plural, sehingga setiap individu hendaknya bebas memilih & menjalankan apapun prinsip hidupnya (termasuk mendukung Irshad Manji atau Lady Gaga), lalu semuanya saling menghormati dlm segala perbedaan pilihan tsb”

Hmm.. Bijak dalam teori, kacau balau dalam praktek. Jika saja semua individu bebas menjalankan prinsip hidupnya, maka kita ga perlu nunggu suku Maya meramalkan akhir dunia. Bisa dibayangkan, jika banyak orang yang mendukung Sumanto, lalu menjalankan prinsip hidupnya sebagai kanibal, maka ayam goreng Kentucky ga bakal laris lagi, dan banyak orang yang nenteng-nenteng pisau daging dan botol merica di jalanan.. Atau, jika banyak orang yang mendukung Amrozi, kemudian menjalankan prinsip hidupnya sebagai pelaku bom bunuh diri, maka terminal bus way yang paling sesak pun akan bubar dalam 5 detik (termasuk penjaga tiketnya) begitu ada lelaki menyandang ransel datang mendekat..

Ya, ya saya tahu.. Argumen saya di atas pasti akan berusaha dimentahkan dengan argumen: “yang penting kan ga merugikan kalian” dalam bentuk kata-kata bijak nan koplak berikut:

    “Apa salahnya dengan pornografi? Atau lesbi? Atau perbuatan-perbuatan maksiat lainnya? Toh ga merugikan anda. Jika anda tidak suka, ya ga usah ditonton, ga usah diikuti.  Jika takut anak anda terpengaruh, ya perkuat pendidikan iman anak-anak anda. Kalau iman sudah kuat, mau 1000 Lady Gaga datang ke Indonesia, iman kita (dan anak-anak kita) tidak akan terpengaruh..”

Hellooo.. Kita memang makhluk individu, tapi kita juga makhluk sosial. Setiap tindakan kita, sekecil apapun, akan berpengaruh terhadap lingkungan kita. Contoh gampangnya, kenapa kita protes sama tetangga kita yang buang sampah ke kali? “Toh sampahnya sampah dia sendiri (ya mana mungkin dia dengan ikhlas buangin sampahnya ente), kalinya bukan milik mbahmu, lantas kenapa ente yang sewot?” Lha memangnya kalo banjir, banjirnya muter-muter dulu cari siapa bajingan yang membuang sampah, lalu terus menyerbu menggenangi rumah tetangga anda saja sampai setinggi kepala?

Ok kita tidak suka perbuatan-perbuatan maksiat, dan kita berhasil menghindarinya. Lalu kita juga menanamkan iman yang kuat ke anak-anak kita, dan juga berhasil. Dan kita teriak ke luar sana: “Maree seneee Lady Gaga, Freddy Mercury, Jhon Kei dan Mak Lampir jadi satu!! Iman saya dan keluarga saya dah kuat koq!” Tapi sekian tahun ke depan, tiba-tiba ada anak tetangga kita yang kecanduan pornografi, lalu tidak tahan, dan akhirnya memperkosa anak perempuan kita.. Atau ada orang yang mabuk karena alkohol dan narkoba, lalu menabrak seluruh keluarga kita yang sedang jalan-jalan di trotoar.. Atau anak perempuan kita hilang, diculik sindikat yang menjualnya ke prostitusi.. Atau anak lelaki anda disodomi keluarga jauh anda.. Atau seorang pecandu merampok dan membunuh anda karena butuh uang untuk beli sabu.. Sama seperti banjir, ekses negatif dari perbuatan maksiat, tidak akan pernah pilih-pilih siapa korbannya, baik anda berbuat maksiat atau tidak..

Benar, bahwa kita tidak salah 100%, tapi, sebenarnya, kita tetap punya andil dalam hal itu. Kita sukses memperkuat iman keluarga kita, tapi kita abai dengan lingkungan kita. Itulah kenapa dalam Islam ada seruan: “amar makruf, nahi munkar”. Menyeru kepada kebajikan, mencegah kemungkaran. Jika kita mengabaikan kemunkaran di lingkungan kita, dengan prinsip: “urus dosa masing-masing”, yakinlah, cepat atau lambat, kita akan memetik hasilnya…

Masih enggan untuk amar makruf nahi munkar?

“Beri saya 10 media massa, maka saya akan merubah dunia..”

Saat ini, sungguh naif jika kita percaya media mainstream akan memberikan opini yang netral dan berimbang terhadap semua hal. Mereka akan memberikan opini yang sesuai dengan kepentingan sang pemilik (gimana kalo pemiliknya adalah Ryan Jagal?). Sungguh sangat berbahaya jika kita menganggap semua yang diberitakan media adalah berita yang 100% benar, tanpa berusaha mengkritisi dan mencari berita dari sudut pandang lain sebagai penyeimbang. Yuk, kita kritisi kata-kata bijak penutup ini.

    “Menonton atau membaca pornografi, kekerasan, atau apapun tidak akan mempengaruhi saya. Toh semua manusia dibekali filter untuk menyaring, dan otak untuk berfikir. Jadi mau saya baca atau tonton ribuan kali pun , tidak akan merubah pendirian saya.. Satu kali nonton konser lady Gaga tidak akan membuat yg nonton jd pemuja setan dan lesbian kan?”

Hohohoho.. Yuk kita bandingkan keadaan sekarang dan keadaan 20 tahun yang lalu, tahun 80-90an. Zaman dulu, seks bebas di Indonesia masih sangat sedikit jumlahnya. Untuk kaum remaja saat itu, bergandengan tangan di depan umum saja, sudah menimbulkan ledekan yang membuat sang pelaku ingin menceburkan diri ke selokan terdekat. Lihat anak-anak sekarang? Mungkin anda sendiri yang dengan sukarela akan menceburkan diri ke selokan terdekat saat melihat gaya mereka berpacaran. Bahkan sekarang mereka dengan senang hati menyebarkan prilaku mereka dalam bentuk video yang jumlahnya mulai menyaingi produksi film porno Amerika dalam setahun.. Kenapa bisa bergeser? Apa anda kira para orang tua dan guru lah yang menanamkan dogma: “Anakku, kamu harus rajin-rajin seks bebas yaa, biar dapat rangking.. Yuk kita memasyarakatkan seks bebas dan menseks bebaskan masyarakat..”?

Jadi, siapa yang mengajari mereka? Jawabannya sederhana: media massa. Selama berpuluh-puluh tahun mereka menggempur otak bawah sadar kita dengan berbagai film, buku, berita, cerita, sinetron, dan lain-lain yang secara sangat halus menyiratkan: “Seks bebas itu hal yang biasa aja cooy.. Anak gaul, malu dong jika masih perawan di usia 18. Tuh, banyak artis idola kamu yang melakukannya.” Memang benar 1000 kali membaca, atau 1x nonton Lady Gaga belum tentu merubah kita.. Tapi, pesan-pesan itu ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun, dalam bentuk jutaan pesan per tahun, dari berbagai arah, terhadap anda dan keluarga anda. Yakin anda dan keluarga anda tidak terpengaruh sedikitpun?

Siapa yang paling mudah bobol? Tentu saja anak anda. Anda kira, kenapa iklan McDonald dan rokok mengarah kepada anak-anak dan remaja? Karena merekalah berada dalam fase yang labil dan paling mudah dipengaruhi, dibandingkan orang tuanya. Saat mereka menjadi dewasa dan lebih bijaksana, rokok, junkfood dan seks bebas itu sudah menjadi kebiasaan mereka, candu mereka, sehingga mereka akan sangat sulit meninggalkannya, walau akhirnya paham kerusakan macam apa yang ada dibaliknya.

“Tetap ngga ngaruh maaas, iman gue kan KW1″ Mungkin. Tapi, sedikit banyak, anda akan terpengaruh. Anda akan menjadi permisif: “Biar ajalah orang lain melakukannya, yang penting aku tidak.. Toh banyak yang melakukan, dan itu bukan urusanku”. Itulah yang menjadi target selanjutnya: menanggalkan kontrol sosial anda.. Jika laju ‘cuci otak’ ini terus berlanjut, sepuluh tahun ke depan, jangan heran jika akhirnya kitalah yang mengekspor video porno ke Amerika dan masyarakat Amerika lah yang nonton konser Iwak Peyek Tour 2022.

    “Jangan melihat siapa yang mengatakan dong. Kalau mau mengkritisi, kritisi gagasannya, kata-katanya, fikirannya. Jangan kritisi pribadi dan kelakuannya (bahasa alaynya: ad hominem).”

Oalaaah.. Saya beri contoh kasus ringan. Misalnya, kata-kata ini diucapkan dua orang yang berbeda: “Saya akan memajukan bangsa Indonesia. Saya akan berjuang menciptakan budaya bebas korupsi, pola hidup sederhana, dan mengikis habis kebohongan birokrat dan legislatif” Yang pertama, diucapkan oleh Buya Hamka. Satu lagi, diucapkan Angelina Sondakh. Saya rasa, yang pertama membuat anda manggut-manggut percaya, dan yang kedua membuat anda setengah mati menggigit bibir, lalu terguling karena tertawa terbahak-bahak.. Kenapa kata-kata yang sama persis, dengan nada sama persis, tapi diucapkan oleh dua orang yang berbeda, hasilnya bisa berbeda? Setiap kata-kata, sebijak apapun, selalu ada motif dibaliknya. Dan motif itu, sangat terkait dengan pribadi orang yang mengucapkannya. Jadi, kenapa kita tidak boleh mengkritisi pribadi yang mengucapkannya?

Jika anda ingin minta pendapat tentang gaya rambut, anda bertanya kepada penata rambut, atau ke tukang las? Jika saya bilang “lha masa tukang las mengerti soal gaya rambut”, apa itu ad hominem?

Kasus Irshad Manji adalah contoh lain yang gamblang tentang hal itu. Dia dibesar-besarkan media sebagai seorang reformis muslim yang berusaha mencerahkan umat Islam. Tapi di dalam bukunya, ia membantah prinsip-prinsip Islam sendiri dengan cara mempromosikan lesbian, gay dan transgender, menghina jilbab, bahkan meragukan kesempurnaan Al Quran..  Jika kita mengkritisi pribadinya yang lesbian (dan tentu saja ia akan berjuang keras agar lesbian dihalalkan dalam Islam) dan mengkritisi sikapnya yang meragukan Al Quran, di mana salahnya? Bukankah kita memang selalu menilai siapa yang berbicara, bukan hanya apa yang ia ucapkan? Bagaimana mungkin dia seorang muslim, jika ia meragukan Al Quran? Itu kan sama saja dgn ia mengaku lesbian, sambil menyatakan lagi jatuh cinta dgn Rhoma Irama.. Lha kenapa jika kami meragukan keislamannya, tiba-tiba muncul teriak-teriak histeris “Ad hominem! Ad hominem!?”

Nah, kata bijak terakhir ini, mungkin adalah yang paling masuk akal, dan paling sulit dibantah. Tapi mungkin juga, inilah kata-kata bijak yang paling koplak..

     “Di masyarakat yang plural ini, janganlah ada pemaksaan kehendak. Biarlah setiap orang melakukan pilihannya sendiri, tanpa paksaan. Sesuatu yang dipaksa itu pasti tidak baik. Nilai yang dianut setiap orang berbeda, jadi jangan paksakan nilai yang kamu anut terhadap orang lain.. Jangan jadi tirani mayoritas..”

Sulit membantahnya kan?

Pertama-tama, saya tanya dulu: apakah sebagian besar dari kita memang dengan sukarela masuk kerja jam 8 dan pulang jam 5 atau bahkan lembur? Apakah memang kita yang memohon-mohon agar jatah cuti kita setahun cukup dua minggu? Apa anda memang luar biasa ikhlas dengan jumlah gaji anda sekarang? Jika tidak, kenapa anda tidak coba mengatakan kepada atasan anda sekarang:”Maaf pak, sebenarnya saya menganut paham bahwa kerja itu hanya 3 jam sehari, cuti 6 bulan dalam setahun, dengan gaji minimal 30 juta. Jadi, jangan paksakan kehendak bapak..”

Apa anda dulu saat remaja belajar dengan sukarela, ikhlas bin legowo?

Semua hukum dan undang-undang, apalagi dalam alam demokrasi, pada prinsipnya, adalah pemaksaan kehendak, dari sebagian besar masyarakat yang sepakat, kepada masyarakat lainnya yang tidak sepakat. Memangnya semua orang setuju dengan UU tentang Narkotika? Atau UU tentang Korupsi? Atau bahkan UU Pajak? Apa anda kira semua wajib pajak memang sudah gatal setengah mati ingin membayar pajak sebesar itu? Lha kenapa kaum liberal ga pernah menjerit-jerit di jalanan: “Jangan paksakan kehendak! Biarkan mereka bayar pajak seikhlasnya..”

Jadi kenapa, saat ada penduduk di suatu daerah setuju untuk memberlakukan perda anti prostitusi, perjudian dan miras, dengan hukuman cambuk bagi pelakunya, kaum liberal tiba-tiba lantang berteriak “Itu melanggar HAM!”. Anda kira memenjarakan orang itu tidak melanggar HAM nya untuk hidup bebas merdeka? Dan kenapa, ketika RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi berusaha disahkan, tiba-tiba saja prinsip demokrasi berdasar suara terbanyak dianggap sebagai tirani mayoritas? Jika memang begitu, ga ada salahnya dong jika para pecandu narkoba dan miras ramai-ramai naik xenia untuk demo di jalanan dan berteriak “Jangan jadi tirani mayoritas! Kalian sudah melanggar HAM kami untuk ajeb-ajeb sampai pagi..”.

Jika saja setiap undang-undang harus disepakati semua orang dulu baru bisa disahkan, maka kita tidak akan pernah punya undang-undang satu pun. Yang tidak boleh, adalah memaksa dengan kekerasan. Jika sudah banyak yang setuju, dan memang UU itu demi kebaikan bersama (sama seperti kita dipaksa belajar saat remaja), di mana salahnya?

Penutup

Jujur, saya tidak membenci orang-orang liberal. Beberapa teman-teman dekat saya adalah orang liberal. Dan saya tahu, beberapa dari mereka, memang yakin bahwa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bangsa.. Tapi, banyak juga di antara mereka yang hanya ingin menciptakan lingkungan yang tepat, untuk melampiaskan nafsu mereka..

Tapi, saya koq sama sekali tidak sreg melihat arah menuju kebebasan yang mulai sangat kebablasan ini. Lihat generasi muda kita. Terus terang, jika melihat gang motor melintas yang membuat saya ngeri, video porno remaja yang terbit seminggu sekali, anak-anak SD di warnet yang saling memaki sambil mendownload lagu “selinting ganja di tangaaan…”, remaja yang membentak ibunya, siswa SMP menjual diri demi beli handphone, dan penjual narkoba yang jauh lebih banyak daripada indomaret, saya kadang-kadang pingin kemas-kemas dan pesan tiket ojek sekali jalan ke Timbuktu. Bukan ini lingkungan yang saya bayangkan bagi saya dan anak-anak saya kelak.. Dan saya bisa bayangkan masa depan negara kita jika para remaja yang seperti ini yang menjadi para pemimpin kita kelak..

Lantas apa yang bisa kita lakukan? Mengharapkan media mainstream untuk mendidik remaja kita, sama saja seperti mengharapkan Lady Gaga mengisi kuliah subuh. Mereka lah yang menolak paling keras dan berjuang menggiring opini masyarakat setiap kali kita ingin negara mengendalikan mereka. Kadang-kadang, saya merasa, mereka lah yang menjadi lembaga superbody. Dan ingatlah: para wartawan media, adalah karyawan, yang tunduk pada kehendak majikan mereka.

Jurnalisme warga seperti kompasiana, forum-forum seperti kaskus, blog-blog, dan media-media online lainnya, mungkin itulah satu-satunya harapan kita di masa depan.  Sulit melawan media mainstream? Jelas, jika dilakukan sendirian. Tapi, saya yakin, banyak orang-orang yang memiliki nurani di luar sana yang, saya harap, bersedia menyeimbangkan dan memulihkan cuci otak masyarakat dari pengaruh yang telah media massa berikan. Ingatlah, revolusi raksasa yang merubah bangsa Arab sudah membuktikan, bahwa kekuatan jurnalisme warga yang bersatu bahkan mampu menumbangkan para pemimpin yang didukung salah satu negara terkuat di dunia. Demi hidup kita, dan hidup anak-anak kita, apa itu bukan sesuatu yang pantas diperjuangkan?

“Orang-orang yang mencari kebenaran itu, seperti air. Jika dihadang, ia berbelok. Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika dibendung dengan menggunakan beton dalam bendungan raksasa, ia akan menguap.. Ia tidak akan pernah lelah mencari jalannya…”

Dikutip dari artikel yang ditulis salah satu pengguna kompasiana.com, seorang user dengan nama Bintang13 membuat sebuah artikel yang membuat kaget banyak kalangan. Berikut ini adalah pemaparannya;

Tabir kebohongan mobil Kiat Esemka mulai terkuak. Mobil yang selama ini digadang-gadang sebagai buah karya siswa SMK itu ternyata hampir semuakomponennya mencomot dari mobil produk lain. Fakta tersebut disampaikan oleh Sukiyat, pengusaha bengkel di Klaten yang selama ini menjadi salah satu mitra dalam perakitan mobil Esemka.

Yang jadi masalah adalah kenapa hasil praktek sejumlah siswa Esemka Trucuk itu kemudian dibawa ke Solo untuk dipamerkan di SMK 2, dan kemudian diklaim sebagai (calon) mobil nasional oleh Walikota Solo Joko Widodo.

Mobil rakitan itu menggunakan sejumlah komponen dari mobil lain karena memang di Indonesia belum bisa memproduksi gigi transmisi. Tidak heran sehingga dipakailah komponen buatan Cina yang dibeli di Surabaya.

Kontroversi Kiat Esemka juga ramai dibicarakan di media sosial. Salah satu yang sering berkomentar adalah Danie H Soe’oed lewat akun @daniesoeoed. Menurut dia mencomot parts mobil lain memang wajar kalau untk belajar, tapi tidak untuk membohongi masyarakat dengan mengatakan itu produksi sendiri.

“Wahai orang2 tolol, taukah bedanya antara membuat dan merakit???? Kalau mau tetap beli mobnas, silahkan,” kicaunya di Twitter.

Melalui Twitter dia membeberkan asal muasal komponen yang menempel pada Kiat Esemka. Menurutnya, mesin Timor digabung dengan transmisi yang nyomot mobil Cina. Dia menyebut frame kaca depan belakang mengambil Daihatsu Espass, lampu belakang Panther, lampu depan punya Honda CRV. Sedangkan komponen kaki-kaki Esemka menggunakan komponen milik L-300 dan Kijang. “Kiat mengaku mesin mobil hanya diganti tutup cylinder headnya aja. Aslinya, mesin menggunakan mobil Timor. Saya dan siswa SMK Trucuk hanya membuat chasis dan bodi, mesinnya dari antah barantah.” bebernya.

Dia melanjutkan pada saat menggarap proyek itu, Sukiyat ditekan berbagai pihak untuk melakukan kebohongan, tapi dia menolak membangun kebohongan lebih besar. Proyek mobil nasional hanya proyek politik segelintir orang untuk mengkatrol nama seseorang. “Makanya kalau sudah jadi jangan sibuk pencitraan aja. Jangan klaim mobnas kalau semua komponennya dari Cina. Harusnya masyarakat terbuka matanya untuk melihat politisasi mobnas. Itu hanya tunggangan pencitraan yang gagal total,” ucapnya.

Seperti biasanya, sebagai seorang dokter kesehatan keluarga di PKPU, sebuah lembaga kemanusiaan nasional yang berlisensi Ecosoc PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), saya ditugasi untuk menjalankan program kesehatan anak dan remaja di Penjara Anak di Tangerang.

Setelah beberapa kali berinteraksi dengan anak-anak yang ada dalam penjara itu, saya pun semakin nyaman, bisa berkomunikasi dan melakukan program kesehatan anak dan remaja dengan baik. Ini  dikarenakan, adanya dukungan yang sangat luar biasa dari para abdi negara yang sedang bertugas di penjara anak tersebut.

Sambil melakukan program kesehatan, pikiran saya bertanya-tanya, apa sebab anak-anak yang rata-rata seusia 10 tahun sampai 16 tahun itu sampai dapat di-masukkan ke dalam penjara anak ini.

Maka, dalam sesi program kesehatan berikutnya, berupa konsultasi kesehatan fisik dan psikologi secara langsung, saya membuat berapa pertanyaan yang harus dijawab oleh anak-anak.

Diantara pertanyaan itu bunyinya sebagai berikut: Apakah anak-anak mengetahui tempat tinggalnya saat ini dan apa namanya? Sebagian besar mereka mengetahui dan menjawab bahwa mereka tinggal di penjara anak.

Pertanyaan berikutnya, mengapa anak-anak harus tinggal di penjara anak ini? Beberapa anak menjawab bahwa ia melakukan kesalahan dan sudah selayaknya kalau ia harus tinggal di penjara anak.

Memang, ia di lahirkan untuk menjadi anak yang kurang ajar, pencuri, pencopet, anak yang senang perkelahian dan masih banyak “gelar-gelar” lainnya. Saya katakan bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang baik, bisa berbuat kebaikan dan bisa berprestasi untuk masa depannya.

Dengan penuh keyakinan, mereka kembali menyampaikan “gelar-gelar” di atas itu dan menambahkan bahwa orangtuanya atau bapak/ibunya sering mengatakan “gelar-gelar” itu berkali-kali. Bahkan ada anak yang mengatakan bahwa ia tidak layak lagi menjadi anak orangtuanya karena ibunya mengatakan bahwa ia adalah anak yang durhaka dan pasti akan masuk neraka! Astaghfirullah..

Sahabat Indonesian Golden Family, dari cerita di atas  mengingatkan saya dalam sebuah tulisan yang berjudul The Toxic Words (Kata-kata Beracun). Tulisan ini, meskipun hanya beberapa lembar namun merupakan hasil wawancara terhadap anak-anak yang ada di penjara. Sang peneliti mengajak anak-anak untuk “mengingat kembali” apa-apa yang terjadi sebelum mereka masuk di dalam penjara. Kemudian, ia menyusun kata demi kata menjadi satu kelompok kata-kata yang dianggap mengantarkan anak-anak tersebut masuk dalam penjara.

Susunan kata-kata itu disebutnya sebagai The Toxic Words (Kata-kata Beracun).

Benar saja, bahwa anak-anak yang masuk dalam penjara itu dalam kesehariannya sering mendapatkan kata-kata yang buruk yang menyangkut dirinya, seperti:

“Dasar kamu! Memang anak pembawa sial!”

“Kamu selalu menyusahkan orangtua!”

“Kamu memang anak terkutuk! Pasti hidupmu akan sengsara!”

Serta masih banyak lagi kata-kata yang buruk lainnya.

Lalu, apa hubungannya antara kata-kata yang buruk itu dengan perilaku anak yang buruk?

Ketika saya belajar NLP (Neuro Linguistik Programming), pembimbing saya mengatakan bahwa manusia melakukan proses berpikir dengan tiga cara yaitu pertama, Berpikir Visual adalah berpikir dengan cara kita membuat gambaran di dalam pikiran kita.Kedua, Berpikir Auditori adalah berpikir dengan cara kita melakukan dialog internal (self-talk). Ketiga, Berpikir Kinestetik adalah berpikir dengan cara melibatkan perasaan atau emosi kita.

Pembimbing saya juga mengatakan bahwa gambaran masa depan seseorang ternyata dapat di prediksi dari hal-hal yang dia yakini. Ketika kita meyakini sesuatu maka seluruh “sumberdaya” dalam tubuh kita sampai level sel terkecil pun akan mendukung apa-apa yang telah kita yakini itu.

Dan sebagian besar, suatu keyakinan dibentuk dari perilaku yang dilihat dan kata-kata yang didengarnya setiap hari khususnya yang menyangkut tentang diri kita. Jika perilaku buruk atau kata-kata buruk yang sering diterimanya, maka bisa dipastikan perlahan tapi pasti bahwa perilaku burukpun akan terwujud dan begitu pula sebaliknya.

Inilah jawaban, mengapa anak-anak itu sering melakukan pelanggaran-pelanggaran kehidupan sehingga ia harus merasakan hidup di dalam penjara. Pada saat orangtuanya terlalu sering mengatakan kamu memang anak kurang ajar, kamu memang anak pembawa sial atau kata-kata buruk lainnya, perlahan-lahan ia akan menyakini bahwa ia anak kurang ajar, ia anak pembawa sial da akhirnya iapun menjadi perilaku yag kurang ajar.

Sungguh, bila saya membahas masalah seperti ini saya merasa ngeri, kasihan, melihat fakta-fakta diatas amat sering terjadi di sekitar kita.

Masih sangat banyak para orangtua yang bila sedang memarahi anaknya maka keluar semua kata-kata beracun seperti itu. Kalau sudah demikian, kira-kira siapa yang salah, anak yang berperilaku buruk atau orangtua yang salah dalam mengajari anak agar bisa berbuat baik?

Ajaran para Nabi kita mengatakan bahwa anak adalah amanah dari Tuhan yang harus kita siapkan agar ia menjadi manusia yang berprestasi di dunia dan di akhirat.

Oleh karenanya, saya sendiri juga sedang mengingat-ingat kembali berapa banyak kata-kata buruk telah terucapkan pada anak-anak saya, pada istri saya. Sungguh, terasa ngeri sekali bila kita mengetahui dampak dari kata-kata buruk itu, bagaikan “racun” yang siap membunuh anak-anak kita.

Membunuh sifat manusianya sebagai makhluk spiritual ciptaan Tuhan, yang memiliki potesi dasyat dalam dirinya. Maka, solusi terbaik adalah adanya kesungguhan akan perubahan cara berpikir dan bersikap kita dari kekerasan menjadi kasih sayang.

Bagi ummat Muslim, sarana berpuasa, utamanya di bulan Ramadhan, adalah sarana yang paling tepat untuk melakukan perubahan itu.

Mengapa? Karena puasa (Ramadhan) merupakan salah satu “produk” dari Tuhan sebagai sarana paling tepat untuk “memprogramkan kembali” diri kita. Dari yang biasanya mudah mencaci-maki pada anaknya menjadi bertutur kata yang lembut, dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik lagi, seperti pesannya Nabi kita bahwa “Puasa adalah perisai.”

Apabila salah seorang diantaramu sedang berpuasa, hendaklah ia tidak berkata-kata keji dan tidak pula memperolok orang lain. Kemudiaan apabila ada seseorang yang hendak mencaci-makinya, hendaklah ia berkata: “Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.”

Hati memiliki kedudukan yang sangat penting. Baik dan buruknya seseorang sangat tergantung pada bagaimana keadaan hatinya, bila hatinya baik, maka baiklah orang itu dan bila hatinya buruk, buruklah orang itu. Rasulullah saw bersabda:

“Ingatlah, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, baiklah anggota tubuh dan apabila ia buruk, buruk pulalah tubuh manusia. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu hati harus kita perlakukan dengan baik dalam kehidupan ini. Paling tidak ada empat hal yang harus kita perlakukan terhadap hati kita masing-masing.

1. Dibuka

Hati harus dibuka dan jangan sampai kita tutup. Yang menutup hati biasanya orang-orang kafir sehingga peringatan dan petunjuk tidak bisa masuk ke dalam hatinya, Allah swt berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” (QS Al-Baqarah [2]:6-7)

Karena itu ketika Umar bin Khattab menutup hatinya dari petunjuk ia menjadi kafir bahkan sangat membenci Rasulullah saw hingga bermaksud membunuhnya, namun ketika hati sudah dibuka dengan mudah petunjuk bisa masuk ke dalam hatinya yang membuatnya tidak hanya beriman tapi amat mencintai Rasulullah saw.

Hal yang amat berbahaya bila hati tertutup selain petunjuk dan nasihat tidak bisa masuk, keburukan yang ada di dalam hati juga tidak bisa keluar sehingga meskipun kita tahu bahwa itu buruk amat sulit bagi kita untuk mengeluarkan atau membuangnya.

Ibarat ruangan, bila kita buka pintu dan jendelanya, maka udara kotor bisa keluar dan udara bersih bisa masuk sehingga akan kita rasakan kesegaran jiwa. Berbagai bencana yang kita nilai dahsyat dalam kehidupan kita di dunia ini bisa kita pahami sebagai bentuk upaya menggedor hati manusia agar mau membukanya dan mengakui kebesaran Allah swt, namun ternyata hati yang tertutup rapat tetap saja tidak terbuka, mereka hanya mengatakan hal itu sebagai fenomena alam.

2. Dibersihkan.

Seperti halnya badan dan benda-benda, hati bisa mengalami kekotoran, namun kotornya hati bukanlah dengan debu, hati menjadi kotor bila padanya ada sifat-sifat yang menunjukkan kesukaannya kepada hal-hal yang bemilai dosa, padahal dosa seharusnya dibenci.

Oleh karena itu, bila dosa kita sukai apalagi sampai kita lakukan, maka jalan terbaik adalah bertaubat sehingga ia menjadi bersih kembali, Rasulullah saw bersabda: “Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak menyandang dosa” (HR. Thabrani).

Hati yang bersih akan membuat seseorang menjadi sangat sensitif terhadap dosa, karena dosa adalah kotoran “Dan janganlah engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS Asy Syu’araa [26]:87-89).

3. Dilembutkan

Kelembutan hati merupakan sesuatu yang amat penting untuk dimiliki, hal ini karena dengan hati yang lembut, hubungan dengan orang lain akan berlangsung dengan baik dan ia mudah menerima nilai-nilai kebenaran.

Kelembutan hati akan membuat kita meman-dang dan menyikapi orang lain dengan sudut pandang kasih sayang sehingga bila ada orang lain mengalami kesulitan hidup, ingin rasanya kita mengatasi persoalan hidupnya, ketika kita melihat orang susah, ingin sekali kita mudahkan, tegasnya kelembutan hati menjauhkan kita dari rasa benci kepada orang lain meskipun ia orang yang tidak baik, karena kitapun ingin memperbaiki orang yang belum baik.

Untuk bisa melembutkan hati, seorang muslim bisa melakukannya dengan banyak cara, diantaranya menyayangi anak yatim dan orang-orang miskin. Dalam satu hadits disebutkan:

“Seorang lelaki pernah datang kepada Rasulullah saw seraya melaporkan kekerasan hatinya, maka beliau menasihatinya: ‘Usaplah kepala anak yatim dan berilah makanan kepada orang miskin’ ” (HR. Ahmad).

Karena itu, amat disayangkan bila ada orang yang hatinya keras bagaikan batu sehingga sulit untuk diberi nasihat dan peringatan sebagaimana yang terjadi pada Bani Israil seperti yang disebutkan Allah swt dalam firman-Nya:

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]:74).

4. Disehatkan

Jasmani yang sehat membuat kita memiliki gairah dan semangat dalam menjalani kehidupan dan makanan yang lezat bisa kita nikmati. Namun bila jasmani sakit tidak ada gairah hidup dan makanan yang enaktidak antusias bagi kita untuk memakannya dan bila kita makanpun tidak kita rasakan kelezatannya.

Begitu pula halnya dengan hati, bila hati sakit kita tidak suka pada kebaikan dan kebenaran. Islam merupakan agama yang nikmat, namun bagi orang yang hatinya sakit tidak dirasakan kenikamatan menjalankan ajaran Islam kecuali sekadar menggugurkan kewajiban.

Hati yang sakit biasanya dimiliki oleh orang munafik, mereka nyatakan beriman tapi sekadar dilisan, mereka laksanakan kebaikan termasuk shalat tapi maksudnya adalah mendapatkan pujian orang, karena itu tidak mereka rasakan nikmatnya beribadah dan berbuat baik.

Allah swt berfirman: Diantara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yangberiman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orangyang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinyasendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS Al Baqarah [2]:8-10)

Karena itu, orang munafik akan mengalami penyesalan yang amat dalam disebabkan keburukan yang mereka sembunyikan di dalam hatinya, Allah swt berfirman: Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS Al Maidah [5]:52)

5. Ditajamkan

Hati harus kita asah hingga menjadi seperti pisau yang tajam. Pisau yang tajam akan mudah memotong dan membelah sesuatu. Bila hati kita tajam akan mudah pula membedakan mana haq dan mana yang bathil, bahkan perintahpun tidak selalu harus disampaikan dengan kalimat perintah, dengan bahasa isyarat saja sudah cukup dipahami kalau hal itu merupakan perintah yang harus dilaksanakan.

Nabi Ibrahim dan Ismail as merupakan diantara contoh orang yang memiliki ketajaman hati sehingga perintah Allah swt untuk menyembelih Ismail cukup disampaikan melalui mimpi dan Ismail menangkap hal itu sebagai perintah ketika Nabi Ibrahim menceritakannya, padahal Nabi Ibrahim tidak menyatakan bahwa hal itu merupakan perintah dari Allah swt.

Untuk mendidik kita menjadi orang yang memiliki ketajaman hati, puasa merupakan salah satu caranya, karenanya pada waktu puasa, teguran orang lain kepada kita meskipun dengan bahasa isyarat kita sudah menyadari akan kesalahan yang kita lakukan.

Bagi sebagian orang, skeptis itu identik dengan kritis. Tidak cukup dengan membenarkan keraguan, kalau perlu sekalian meragukan kebenaran. Yang demikian benar-benar telah terjadi, karena kajian-kajian post-modernis sudah mengabaikan sepenuhnya masalah kebenaran. Sebab, menurut mereka, kebenaran itu absurd, sama halnya seperti kejahatan. Oleh karena itu, mereka senantiasa berada dalam keraguan. Karena sikap semacam itu, mereka menganggap dirinya cendekia dan sudah berfilsafat.

Memulai setiap pengkajian dengan keraguan adalah prinsip yang senantiasa mereka tanamkan. Prinsip “membuka pintu ijtihad” digunakan dengan memberi kesan bahwa semua pendapat terdahulu salah dan perlu diperbarui. Mereka senantiasa ragu dengan agamanya sendiri dan merasa perlu mencari ‘kebenaran-kebenaran lain’ yang tidak dapat ditemukan di agamanya itu. Bicara tentang al-Qur’an, yang dibahas adalah budaya Arab, seolah-olah al-Qur’an diturunkan untuk mendukung budaya Arab. Bahkan kalau sudah membahas hadits, tidak jarang langsung dipotong dengan retorika “Banyak hadits yang tidak shahih!”, seolah-olah tidak mungkin lagi menemukan hadits yang shahih dan bisa dipercaya kebenarannya.

Jangankan para ulama, para Nabi dan Rasul pun kerap dituduh memiliki motif politis di balik ajarannya. Sebutlah misalnya Nabi Luth as yang pernah dituduh telah mengharamkan homoseksualitas semata-mata lantaran beliau kecewa karena putri-putrinya ditolak oleh para pemuda yang kebetulan homoseks. Karena itu, menurut mereka, status keharaman homoseksualitas sudah saatnya dicabut, karena motif di balik ‘fatwa Nabi Luth as’ telah terungkap. Pendapat semacam ini dimuat dalam Jurnal Fakultas Syariah IAIN Semarang yang diberi tajuk Indahnya Kawin Sesama Jenis.

Tuduhan yang tidak layak kepada seorang Nabi yang mulia ini nampaknya memang lahir dari jiwa-jiwa yang sangat jarang berinteraksi dengan al-Qur’an. Siapa pun yang sering membaca al-Qur’an – meski orang kafir sekalipun, asal jujur – pasti mengetahui bahwa al-Qur’an tidak pernah berbicara buruk tentang manusia-manusia pilihan seperti para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia sejati, yang bisa juga berbuat salah. Hanya saja, ada dua perbedaan fundamental antara kesalahan seorang Nabi dan seorang manusia biasa. Pertama, ‘standar kesalahannya’ berbeda, sebab standar kepribadiannya pun berbeda. Apa yang wajar dilakukan seorang manusia biasa bisa jadi tidak wajar bagi seorang Nabi. Lihatlah misalnya Nabi Yunus as yang meninggalkan kaumnya. Tindakan itu dilakukannya bukan karena beliau enggan berdakwah lagi, melainkan karena beliau hendak mencari obyek dakwah yang lebih terbuka hatinya, sebab dalam pandangannya, kaumnya sudah terlalu durhaka. Demikian juga Nabi Muhammad saw yang bermuka masam karena pembicaraannya pada seorang obyek dakwah potensial – seorang pemuka kaum – dipotong oleh seorang lelaki tua yang buta. Hal-hal ini sangat manusiawi bagi manusia biasa, bahkan bisa dibilang tidak dikategorikan sebagai sebuah kesalahan. Akan tetapi, Allah SWT menghukum Nabi Yunus as dan menegur Nabi Muhammad saw. Kedua kisah ini diabadikan dalam al-Qur’an. Perbedaan kedua, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam kisah Nabi Yunus as dan Nabi Muhammad saw di atas, adalah bahwa manusia biasa bisa jadi tidak menyadari kesalahannya, meski telah lewat masa bertahun-tahun. Bisa jadi karena memang ia sama sekali tidak sengaja melakukannya, atau karena kefasikannya, sehingga Allah SWT membiarkannya berada dalam kesesatan dan tidak menegurnya lagi (na’uudzubillaah). Hal yang demikian tidak berlaku bagi para Nabi. Nabi Yunus as langsung mendapat teguran keras dari Allah SWT, demikian juga Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, para Nabi berada dalam pengawasan dan kendali penuh dari Allah SWT, sehingga setiap kesalahannya – sekecil apa pun – akan langsung dikoreksi oleh Allah. Terakhir, jika ada pula yang ingin mempertanyakan mengapa Allah harus mengutus manusia yang bisa melakukan kesalahan, maka salah satu hikmahnya adalah karena para Nabi harus memberikan keteladanan pada manusia dalam segala hal, termasuk dalam hal taubat. Jika para Nabi tak pernah berbuat salah, tentu mereka tak perlu memperbaiki diri dan memohon ampun kepada Allah. Akibatnya, umat manusia akan kebingungan karena tidak pernah melihat pribadi-pribadi yang diteladaninya itu beri­-istighfar, berderai air mata karena mengharap pengampunan dan beruban karena memikirkan akhirat.

Jika para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang memperlihatkan pemahaman yang begitu dangkal terhadap al-Qur’an, maka tentu kita bertanya-tanya: ‘syariat’ macam apa yang bisa mereka hasilkan? Prinsip-prinsip apa yang mereka gunakan untuk merumuskan ‘syariat’? Jika mereka senantiasa skeptis terhadap para Nabi, al-Qur’an, bahkan Islam itu sendiri, maka mengapa mereka masih menghubung-hubungkan pemikirannya dengan syariat?

Di Barat, skeptisisme terhadap agama memang sudah berkembang lama, bermula dari kegalauan masyarakat Eropa karena ketidakmampuannya untuk memahami Bibel. Mereka pun menerima pengaruh para tokoh yang sebenarnya bukan kaum agamawan. Tiga dari sekian banyak tokoh yang menonjol adalah Sigmund Freud, Karl Marx dan Friedrich Nietzsche. Dari Freud, orang Barat belajar menghubung-hubungkan setiap teks dan fatwa dengan kondisi psikologis manusia di belakangnya. Dari Marx, mereka belajar untuk mencurigai setiap sikap dan tindakan manusia sebagai suatu hal yang memiliki motif politis-ekonomis. Dari Nietzsche yang memang sudah patah arang dengan Kristen dan segala konsep ketuhanan, masyarakat Barat meyakini bahwa manusia memang makhluk keji yang memiliki dorongan naluriah untuk mendominasi atau menguasai orang lain.

Ketika ajaran-ajaran Freud diadaptasi dalam penelaahan kitab-kitab suci agama, maka lenyaplah kewibawaan agama itu sendiri. Karena Bibel sudah tidak dianggap sebagai wahyu Tuhan lagi (mereka sudah lama membedakan antara Kalam Ilahi / God’s Word dan Kitab Suci / Scripture), melainkan penafsiran pribadi dari para penulis Bibel terhadap wahyu Tuhan (Bibel yang diterima adalah versi Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, sedangkan versi-versi lainnya yang jumlahnya ribuan, misalnya versi Barnabas, tidak diakui), maka mereka pun mulai meneliti latar belakang psikologis dari masing-masing penulis Bibel tersebut yang menghasilkan teks yang berbeda-beda itu. Ketika menelaah keputusan Gereja, mereka berspekulasi untuk menemukan motif politis-ekonomisnya, karena pengalaman Barat memang menunjukkan bahwa Gereja tidak luput dari ambisi-ambisi semacam itu. Tidak cukup sampai di situ, mereka pun menganggap kaum agamawan adalah kelompok yang berusaha menjadi penguasa sejati atas umat manusia dengan menggunakan fatwa-fatwanya. Maka Lord Acton, ahli ilmu pemerintahan dan politik di masa lampau, menyerukan retorikanya: “All power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” (setiap kekuasaan punya kecenderungan untuk korup; kekuasaan yang absolut korup secara absolut pula). Karena kaum agamawan dianggap berusaha mempertahankan kekuasaan absolutnya, maka mereka pun diyakini sebagai pelaku korupsi yang paling parah di muka bumi. Pada kenyataannya, hal yang demikian memang pernah terjadi di Barat.

Setelah didera penjajahan selama berabad-abad lamanya, bangsa-bangsa Timur memandang Barat secara ambigu. Di satu sisi, mereka membenci penjajahan, namun di sisi lain, mereka meniru para penjajahnya itu. Rendah diri yang sudah menjangkiti mereka sedemikian lama membuat mereka kebingungan dalam mendefinisikan kemajuan. Bagi mereka, yang maju adalah yang paling pandai meniru para mantan majikannya. Maka Barat pun menjadi kiblat bagi Timur, termasuk sikap skeptisnya.

Al-Qur’an tidak luput dari proyek dekonstruksi besar-besaran yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang terlanjur inferior ini. Mereka pikir, kalau tidak ragu maka tidaklah kritis, dan kalau tidak kritis tidaklah modern. Demi modernisasi, segala sesuatunya harus diperbarui, dan pembaruan (dalam imajinasi mereka) harus dimulai dari keraguan. Mereka ragu apakah al-Qur’an benar-benar wahyu Tuhan atau semata-mata penafsiran Nabi Muhammad saw atas wahyu Tuhan yang sebenarnya. Mengikuti skeptisisme di Barat, mereka pun mengikuti pendapat yang kedua. Oleh karena itu, mereka pun menganalisis kondisi psikologis Rasulullah saw yang menentukan jenis penafsiran yang beliau lakukan terhadap wahyu Tuhan. Tentu saja, mereka tidak benar-benar berani untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw telah melakukan kesalahan, walaupun sebenarnya memang demikianlah yang ada dalam pikirannya.

Selain meragukan al-Qur’an, mereka pun meragukan mushhaf yang kita kenal sekarang. Mushhaf yang distandardisasi oleh Khalifah ‘Utsman ibn al-‘Affan ra ini pun dicurigai sebagai bentuk rekayasa Sang Khalifah untuk memperkuat hegemoni kabilahnya sendiri. Fakta bahwa beliau memerintahkan pembakaran semua mushhaf setelah dihasilkannya mushhaf standar (yang kita kenal dengan nama Mushhaf ‘Utsmani sekarang) mereka anggap sebagai bukti bahwa ‘Utsman ra memang benar-benar telah bermain politik kotor; tujuannya tidak jauh dari kekayaan, kekuasaan dan dominasi tunggal. Mereka lupa bahwa sejarah peradaban Islam telah berjalan begitu panjang sehingga ‘Utsman ra dan keturunannya sudah tidak lagi memiliki kekuasaan, sedangkan umat Muslim masih saja bersepakat menggunakan Mushhaf ‘Utsmani dan tidak pernah mencurigai motifnya. Kaum orientalis memang mengira bahwa interaksi umat Muslim dengan al-Qur’an sama saja dengan interaksi masyarakat Kristen dengan Bibel. Mereka pikir, ketika semua mushhaf selain Mushhaf ‘Utsmani dibakar, lantas umat Muslim ‘kehilangan pegangan’. Padahal, sejak awal memang al-Qur’an bukanlah sebuah teks, melainkan ayat-ayat yang dihapal. Media penyimpannya bukanlah tinta dan kertas, melainkan ingatan otak manusia. Meskipun banyak mushhaf dibakar, namun al-Qur’an masih hidup dalam ingatan umat. Dengan kata lain, jika Mushhaf ‘Utsmani menyimpang dari ayat-ayat yang diajarkan oleh Rasulullah saw, maka umat Muslim pasti akan mengetahuinya, meski mushhaf mereka dibakar.

Skeptisisme terhadap agama sejatinya adalah sebuah pilihan sikap ‘malu-malu’ untuk menyatakan keateisan seseorang. Untuk menyatakan diri tak beriman begitu sulit, namun untuk beriman secara kaaffaah begitu beratnya. Mereka menyebut dirinya kritis, namun anehnya yang dikritisi tidak pernah jauh-jauh dari agama. Di luar masalah-masalah agama, mereka jarang sekali bersikap kritis. Sebagai contoh, jika benar-benar kritis, mengapa mereka tidak meminta bukti nyata dari ayah-ibunya untuk memberi kepastian bahwa mereka benar-benar orang tua kandungnya? Jika mereka naik kendaraan umum, bus, kereta api, kapal laut atau pesawat, mengapa mereka tidak mengecek dulu apakah para pengemudinya memiliki surat ijin dan kemampuan yang memadai? Atas nama sikap kritis yang jujur, semestinyalah mereka melakukan penelitian yang komprehensif untuk mengungkap latar belakang psikologis Freud, motif politis-ekonomis Marx dan syahwat dominasi Nietzsche, sebelum mereka menelan bulat-bulat pendapat mereka tentang agama. Untuk hal-hal semacam ini, kaum skeptis biasanya hanya duduk manis.

4 Comments

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post