Khamami Zada
Dosen STAINU Jakarta,
Koordinator Program Kajian dan Penelitian Lakpesdam NU
Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari semangat penyebaran
Islam yang dilakukan secara intensif oleh para pendahulu dalam kerangka
perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan keislaman. Tak heran, jika pada
awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional dalam bentuk halaqah-halaqah.
Namun seiring dengan kemajuan zaman, modernisasi pendidikan Islam mulai
tampak dengan diambilnya bentuk madrasah[i] [1] sebagai
salah satu pendidikan Islam, selain pesantren. Semuanya ini dilakukan untuk
memenuhi target atau tujuan pendidikan Islam yang berorientasi individual dan
kemasyarakatan.
Secara umum, ada dua pandangan teoretis mengenai tujuan pendidikan Islam.[ii] [2] Pandangan
teoretis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang
menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan masyarakat yang
baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis.
Pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan
diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan terget
pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat
kepercayaan, sikap ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima
dan sangat berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya, karena kepercayaan, sikap,
ilmu pengetahuan, dan keahlian yang bermanfaat dan diterima oleh sebuah
masyarakat itu senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa pendidikan dalam
masyarakat tersebut harus bisa mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi
segala bentuk perubahan yang ada.[iii] [3]
Pandangan teoretis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang
lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat belajar.
Pandangan ini terdiri dari dua aliran. Aliran pertama, berpendapat bahwa
tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih
kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat
dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua
mereka. Dengan demikian, pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial ekonomi
suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan
intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik.[iv]
[4]
Studi Islam di Timur dan Barat
Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan semakin
berkembangnya model-model pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai lapisan
masyarakat. Dari tingkat yang paling dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI) hingga
perguruan tinggi (UIN, IAIN, STAIN, PTAI), pencarian yang ideal tentang studi
Islam terus dilakukan, terutama untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam
yang adiluhung. Bagaimana pun harus diakui bahwa model pendidikan Islam di
Indonesia masih jauh dari memuaskan, terutama jika dilihat dari sistem
pengelolaan, kualitas kurikulum, hingga pada kualitas lulusannya.
Yang tak kalah seriusnya adalah tantangan globalisasi yang memungkinkan
sebuah lembaga pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu yang bertaraf
internasional. Sebagaimana diketahui, orientasi pendidikan Islam di Indonesia
masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian
tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat diakui secara
internasional. Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan memiliki
kualifikasi internasional, tidak lepas dari pandangan tentang studi Islam, yang
selama ini diperdebatkan antara studi Islam di Timur dan Barat.
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam di
Barat; teologis dan sejarah agama-agama. Pendekatan kajian teologis, yang
bersumber dari tradisi dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan
pemahaman normatif mengenai agama-agama. Karena itu, kajian-kajian diukur dari
kesesuaiannya dengan dan manfaatnya bagi keimanan. Tetapi dengan terjadinya
marjinalisasi agama dalam masyarakat Eropa atau Barat pada umumnya, kajian
teologis yang normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji
agama-agama.[v] [5]
Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman tentang
fenomena historis dan empiris sebagai manifestasi dan pengalaman
masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisis dalam kajian bentuk
kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim keimanan dan kebenaran
sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan, sesuai dengan
perkembangan keilmuwan di Barat yang sejak abad ke-19 semakin fenomenologis dan
positivis, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam
kajian-kajian agama, termasuk Islam di Barat.[vi] [6]
Dalam konteks inilah, pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai
"tradisi keagamaan yang hidup", yang historis, ketimbang
"kumpulan tatanan doktrin" yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits,
menemukan momentumnya yang kuat dalam pertumbuhan kajian-kajian Islam di
beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi ini tentu saja
pertama kali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di Amerika oleh
sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A. R. Gibb. Keduanya
memperingatkan "bahaya" mengkaji hanya "Islam normatif",
sebagaimana dirumuskan para ulama, dengan mengabaikan Islam yang hidup di
tengah-tengah masyarakat umum. Gagasan ini mendapatkan lahan yang subur di
universitas-universitas Amerika. Dan, sejak 1950-an sejumlah universitas mulai
mengembangkan pusat-pusat "studi kawasan" (area studies)
Islam, yang pada dasarnya mencakup berbagai disiplin yang berbeda, tetapi
memperoleh pendidikan khusus dalam bahasa-bahasa, kebudayaan dan masyarakat
Muslim di wilayah tertentu.[vii] [7]
Dengan kata lain, studi Islam di Barat melihat Islam sebagai doktrin dan
peradaban, dan bukan sebagai agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum
Muslimin melihatnya, tetap merupakan ciri yang tak mungkin dihapus. Oleh karena
Islam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah, maka Islam
diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek studi ilmiah lainnya. Ia dapat
dikritik secara bebas dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti karena apa yang
mereka kehendaki adalah pemahaman, dan bukannya usaha mendukung Islam sebagai
sebuah agama dan jalan hidup. Penempatan Islam sebagai obyek studi semacam ini,
memungkinkan lahirnya pemahaman yang murni "ilmiah" tanpa komitmen
apa pun terhdap Islam. Penggunaan berbagai metode ilmiah mutakhir yang
berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, memungkinkan lahirnya
karya-karya studi Islam yang dari segi ilmiah cukup mengagumkan, walaupun bukan
tanpa cacat sama sekali.[viii] [8]
Studi Islam kontemporer di Barat, yang berusaha keras menampilkan citra
yang lebih adil dan penuh penghargaan terhadap Islam sebagai agama dan
peradaban, dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang lebih
canggih dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang dipelopori
oleh sarjan-sarjana Muslim sendiri. Ini nampaknya menarik banyak perhatian dari
generasi baru pengkaji Islam negeri ini. Departemen Agama bahkan memberikan
dorongan lebih besar kepada dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi tingkat
pascasarjana ke Barat, sambil juga tetap meneruskan tradisi pengiriman
dosen-dosennya ke Timur Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya seperti Turki
dan Asia Selatan.[ix] [9]
Sementara di tempat lain, studi Islam di Timur Tengah sangat menekankan
pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Kajian Islam di Timur
bertitik tolak dari penerimaan terhadap Islam sebagai agama wahyu yang bersifat
transenden. Islam tidaklah dijadikan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah
yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-prinsip yang berlaku di dunia
keilmuwan, tetapi diletakkan secara terhormat sesuai dengan kedudukannya
sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan. Dengan demikian, sikap
ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan. Usaha-usaha studi ilmiah
ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam keyakinan dan menarik
maslahatnya bagi kepentingan umat. Orentasi studi di Timur lebih menekankan
pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang cenderung normatif.
Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan tradisi dan menjamin
stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai batas-batas tertentu,
menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya penghafalan daripada
mengembangkan kritisisme.[x] [10] Meskipun
kecenderungan ini tidak dominan, namun pengaruh kebangkitan fundamentalisme di
Timur Tengah telah mempengaruhi orientasi pendidikannya yang lebih normatif.
Dua orientasi studi Islam yang dikembangkan di lingkungan Perguruan Tinggi
Agama Islam (PTAI), masih dijalankan sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Namun
demikian, jika dilihat dari perkembangan yang terjadi di UIN, IAIN, dan STAIN
menunjukkan kecenderungan orientasi studi ke Barat. Hal ini dapat dilihat dari
semakin besarnya jumlah mahasiswa yang dikirim ke universitas-universitas
Barat, semacam McGill University, Leiden University, Ohio Institute, dll. Pasca
generasi Harun Nasution dan Mukti Ali menunjukkan meningkatnya gelombang
pengiriman mahasiswa ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Jerman,
dan Perancis.
Tak heran jika dekade 80-an dan 90-an terjadi perubahan besar dalam
paradigma Islam di kampus-kampus agama (PTAI). Kecenderungan pertama,
terjadinya pergeseran dari kajian-kajian Islam yang lebih bersifat normatif
kepada yang lebih historis, sosiologis, dan empiris. Pendekatan normatif dalam
kajian Islam menghasilkan pandangan serba idealistik terhadap Islam, yang pada
gilirannya membuat kaum Muslimin melupakan atau meniscayakan realitas dan,
karena itu, sering mengakibatkan mereka terjebak dalam "kepuasan
batin" yang semu. Sebaliknya pendekatan historis dan sosiologis membuka
mata mahasiswa di lingkungan PTAI tentang realitas-realitas yang dihadapi Islam
dan kaum Muslimin dalam perkembanagn dan perubahan masyarakat.
Kecenderungan kedua, orientasi keilmuwan yang lebih luas. Jika pada
masa sebelumnya orientasi keilmuwan cenderung ke Timur Tengah, khususnya
Universitas Al-Azhar, dalam dua dasawarsa terakhir kelihatan semakin luas dan
beragam. Dalam konteks ini, model pendekatan Barat terhadap Islam mulai banyak
bermunculan; yang pada pokoknya cenderung lebih bersifat historis dan
sosiologis. Pendekatan seperti ini mulai menemukan momentumnya dengan
kembalinya sejumlah tamatan universitas Barat untuk mengajar di UIN, IAIN,
STAIN, dll. Mereka kembali secara bergelombang, dimulai dengan generasi Mukti
Ali dan Harun Nasution dan kemudian disusul kelompok tamatan McGill University.
Gelombag selanjutnya adalah mereka yang dikirim belajar ke beberapa universitas
Amerika pada masa Menteri Agama, Munawir Sjadzali.[xi]
[11]
Kendatipun orientasi studi Islam di Indonesia lebih cenderung ke Barat,
studi di Timur Tengah tetap memiliki nilai penting, terutama dalam memahami
aspek doktrinal, yang menjadi basis ilmu pengetahuan dalam Islam. Dengan
demikian, orientasi studi islam di Timur dan Barat tetap signifikan dalam
rangka pengembangan pendidikan Islam di lingkungan PTAI seluruh Indonesia.
Membuka Kelas Internasional
UIN dan IAIN yang kurikulumnya
merupakan rujukan bagi sekolah tinggi dan institut yang tersebar di seluruh
Indonesia masih belum mampu menghadirkan kurikulum yang berisi elemen-elemen
yang membentuk pandangan hidup Islam, yang di dalamnya metafisika dan
epistemologi Islam dikonseptualisasikan dan dituangkan dalam mata kuliah wajib
bagi semua fakultas sehingga menjadi asas bagi semua disiplin ilmu. Pembagian
fakultas ushuluddin, syariah, tarbiyah, adab, dan dakwah masih memerlukan
pengembangan lebih lanjut sehingga mencerminkan makna al-jami'ah atau kulliyah
yang berarti universal. Kurikulumnya perlu diorientasikan agar dapat
menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak hanya memiliki otoritas di bidangnya,
tetapi juga otoritas dalam ilmu-ilmu keislaman di tingkat nasional dan
internasional.[xii] [12]
Jika di UIN, IAIN dan perguruan tinggi Islam lainnya ditanamkan konsep
pandangan hidup Islam dengan pandangan metafisika yang sistematis, para
mahasiswa akan dengan mudah mengidentifikasi isu-isu itu sebagai konsep
metafisika dan epistemologi yang bukan berasal dari pandangan hidup dan tradisi
pemikiran Islam.[xiii] [13] Karena
itulah, kini, mulai diupayakan pengembangan pendidikan Islam yang mengarah pada
tuntutan perbaikan mutu penyelenggaran, manajemen, kurikulum dengan standar
internasional. Salah satunya adalah dengan membuka kelas internasional
(pendidikan Islam), yang diharapkan dapat bersaing di tingkat global.
Inilah yang sedang diupayakan oleh Departemen Agama dengan membuka
fakultas/jurusan baru yang memiliki kualifikasi internasional. Di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syariaf Hidayatullah Jakarta, telah dibuka Fakultas Dirasat
Islamiyah (setara dengan S-1) yang berorientasi pada studi Islam di Timur
Tengah dan Kelas Interdispliner (setara dengan S-2) yang berorientasi pada
studi Islam di Barat. Di tempat lain, yakni IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN
Malang juga membuka fakultas/jurusan baru yang memiliki kualifikasi
internasional.
Dirasat Islamiyah
Fakultas Dirasat Islamiyah[xiv] [14] (Program
Internasional) bertujuan menyiapkan lulusan yang ahli dan profesional di bidang
studi Islam dan bahasa Arab. Fakultas ini didirikan atas kesepakatan kerjasama
antara IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Universitas al-Azhar, Kairo
Mesir, yang ditandatangai 17 September 1999. Fakultas ini mempunyai beberapa
keistimewaan:
1. Bertaraf internasional dengan standar
mutu sama seperti Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
2. Menyelenggarakan program studi Islam
komprehensif (syariah, aqidah, dan bahasa Arab) yang diperlukan bagi pembinaan
kader-kader mujtahid.
3. Memakai bahasa Arab sebagai bahasa
pengantar resmi perkuliahan dan memberikan peluang bagi para lulusannya untuk
mampu membaca langsung literatur utama studi keislaman.
4. Mempersiapkan alumni sebagai kader
ulama berwawasan keislaman moderat yang mampu menghadapi tantangan globalisasi,
terutama dari sudut keislaman.
Fakultas Dirasat Islamiyah memiliki staf pengajar dari Mesir dan India,
terutama untuk memenuhi standar yang mirip dengan Universitas al-Azhar.
Sayangnya, staf pengajar yang didatangkan dari luar negeri relatif sangat
sedikit, dan tidak memenuhi standar jumlah mahasiswa. Yakni, ada 2 staf
pengajar dari Mesir, dan 1 staf pengajar dari India. Sementara, staf pengajar
yang lain diisi oleh para lulusan Timur Tengah, seperti Mesir, Sudan, Yaman,
dan Arab Saudi. Mata kuliah yang diajarkan misalnya, adab wa naqd, ushul
al-adabiyah, tafsir, ulum al-tafsir, hadits, ulum
al-hadits, tauhid, tayarat fiqriyah, balaghah, fiqh
al-ibadah, fiqh al-lughah, ma'ajim, ashwat, lahjat, yang pada
awalnya menggunakan sistem paket, namun sekarang ini sudah menggunakan sistem
SKS, sama seperti mahasiswa UIN lainnya. Gelar yang diperoleh pun sama seperti
sarjana UIN atau IAIN lainnya, yakni SSI, bukan Lc, seperti kebanyakan alumnus
Universitas al-Azhar. Model penyampaian materi/perkuliahan tak ubahnya sistem
lama, yakni model ceramah, apalagi staf pengajar dari Timur Tengah, yang
cenderung menggunakan model ceramah, sehingga tidak mengundang partisipasi
aktif mahasiswa dalam berdiskusi dan mempertajam materi. Praktis, hanya sedikit
sekali staf pengajar yang menggunakan metode diskusi.[xv]
[15]
Gambaran ini menunjukkan betapa penyelenggaraam kelas internasional yang
berorientasi pada studi Timur Tengah belum maksimal dan bisa dikatakan tidak
memenuhi standar internasional, yang memiliki kualifikasi yang mumpuni, dengan
tidak seriusnya para pengelola dalam menyelenggarakan pendidikan Islam
berkualifikasi internasional.
Interdisciplinary Islamic Studies
Seyyed Hossein Nasr telah menegaskan bahwa kekacauan yang mewarnai kurikulum
pendidikan modern di kebanyakan negara Islam sekarang ini, dalam banyak hal,
disebabkan oleh hilangnya visi hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang
dijumpai dalam pendidikan Islam tradisional. Dalam tradisi intelektual Islam,
ada suatu hierarki dan kesalinghubungan antar-beragai disiplin ilmu yang
memungkinkan realisasi kesatuan (keesaan) dalam kemajemukan, bukan hanya dalam
wilayah iman dan pengalaman keagamaan, tetapi juga dalam dunia pengetahuan.
Ditemukannya tingkatan dan hubungan yang tepat antar-berbagai disiplin ilmu
merupakan obsesi para tokoh intelektual Islam terkemuka, dari teolog hingga
filosof, dari sufi hingga sejarawan, yang banyak di antara mereka mencurahkan
energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu. Subjek inipun merupakan
kunci bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah para pendidik Muslim
kontemporer melepaskan mata objektif atas kekacauan dan kerancuan yang
berkecamuk dalam kurikulum pendidikan saat ini, dengan peniruan buta terhadap
model-model yang tetap hidup dalam sistem madrasah.[xvi]
[16]
Dalam
konteks inilah, Departemen Agama RI bekerjasama dengan McGill University
Kanada,[xvii] [17] sejak
September 2003, membuka program studi Islam Antar Disiplin (Interdisciplinary
Islamic Studies) untuk S-2 di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Program studi ini bertujuan menghasilkan sarjana-sarjana
yang menguasai pengetahuan Islam yang luas dan dalam, dengan berbekal pada
pendekatan interdisiplin dan inklusif. Lulusan program ini diharapkan mampu
untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah sosial dan agama di dalam
masyarakat.
Mata
kuliah yang diajarkan dibagi dalam tiga tingkatan: (1) Mata Kuliah Dasar, yang meliputi;
Qur'an and Hadits in Modern Cenotext, Contemporary Islamic Thought and
Movement, Islam in Southeast Asia, dan Methods and Theories in the Study of
Islam, (2) Mata Kuliah Kosentrasi terdiri dari; Political Science,
Contemporary Philosophy, Social Theories, dan Interdisciplinary Seminar,
dan (3) Mata Kuliah Penunjang.
Di PPs UIN Jakarta program studi Interdisciplinary Islamic Studies lebih
ditekankan pada kajian Islam yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (social
sciences), sementara di PPs IAIN Yogyakarta berfokus pada aksi sosial (social
work). Program studi ini bertujuan melahirkan sarjana Islam dlam bidang
pemikiran Islam yang memiliki penguasaan teoritik-metodologis dan kemampuan
analitis-kritis-implementatif dalam kajian kerja sosial untuk pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat yang pluralis, akual, dan transformatif.
Mata
kuliah yang diajarkan dibagi dalam dua tingkatan; (1) Mata Kuliah dasar, yang
terdiri dari: Qur'an and Hadits: theory and Methodology, Approaches to
Islamic Studies, Islamic Thought and Civilization, Islamic Thought about the
Role of Citizen in Social Life, dan Contemporary Islamic Movements, (2)
Mata Kuliah Interdiscipliner terdiri dari: Anthropology of Community
Empowerment, Human Behaviour and Social Environment, Social Welfare Policies
and Services, Popular Education and Communication, Methodology of Social
Work Research and Gender Analysis, Independence Studies in Social Work,
Theories of democracy on Globalization and Civil Soceity, dan Islam and Gender.
Staf Pengajar, selain dari UIN/IAIN dan Universitas lain di Indonesia, juga
didatangkan dari McGill University, seperti Bassam Tibi dan Van Der Meijk.
Selain dari McGill, dosen-dosen tamu dari negara lain yang sedang berkunjung ke
Indonesia, juga akan mengajar dan membimbing program studi ini. Bahasa yang
digunakan dalam seminar (perkuliahan) maupun penulisan tesis adalah bahasa
Inggris. Karena itu, sebelum mengikuti program ini, calon mahasiswa mengikuti
kursus bahasa Inggris selama enam bulan (Januari-Juni). Skor TOEFL calon
peserta sebelum mengikuti Kursus Intensif minimal adalah 475. Sedangkan untuk
dapat masuk dan mengikuti program studi, di akhir Kursus Intensif harus
mencapai 6,5 (EILTS) atau 550 (TOEFL) dan akan mendapatkan beasiswa selama
empat (4) semester atau dua (2) tahun. Mereka yang skornya tidak mencapai batas
minimal tersebut tidak dapat mengikuti program studi ini. Selain itu, mahasiswa
diberi kesempatan untuk berkunjung ke McGill University pada musim panas (summer
season).
Secara akademik, program studi Interdisciplinary Islamic Studies tampak sangat menantang bagi proses pencarian
pendidikan tinggi Islam, yang memiliki kualifikasi internasional, namun pada
umumnya, seperti juga dialami mereka yang studi Islam di Barat, kemampuan
doktrinal Islam tidak cukup memadai (Islam normatif), berbeda dengan studi
Islam di Timur Tengah yang biasanya sangat mumpuni dalam penguasaan
sumber-sumber Islam yang paling dasar, terutama dengan penguasaan bahasa
Arabnya dalam menggali khazanah intelektual Islam yang otentik.
Penutup
Di sinilah kita bisa melihat belum adanya perpaduan antara studi Islam di
Timur Tengah yang kaya akan penguasaan khazanah Islam dengan studi Islam di
Barat yang kaya metodologi. Prototype Fakultas Dirasat Islamiyah yang
benar-benar ingin meniru Universitas al-Azhar, ternyata masih jauh dari harapan
dengan terbatasnya pengelolaan, manajemen, kurikulum, dan staf pengajar,
sehingga untuk dapat memenuhi kualifikasi yang sama seperti Universitas
al-Azhar pun belum bisa dilakukan. Alih-alih, ingin mengembangkan yang lebih
baik dari Universitas al-Azhar, jelas
masih sangat kesulitan.
Program studi Interdisciplinary Islamic Studies yang tampaknya ingin
memindahkan McGill University di Indonesia masih terjebak pada pendekatan Barat
yang empiris, historis, dan sosiologis. Padahal, studi Islam juga memerlukan
penguasaan sumber-sumber Islam yang paling otentik, yang tentu saja dapat
dilakukan dengan penguasaan bahasa Arab yang mumpuni. Bukan saja aspek
metodologi yang penting dalam setiap pendidikan Islam, tetapi penguasaan dasar
keislaman perlu terus diupayakan secara meyakinkan.
Jika model keduanya dapat digabung dan dipadukan menjadi satu model
pendidikan Islam di lingkungan PTAI, kiranya dapat menjawab kekurangan
masing-masing orientasi, yakni menguasa khazanah intelektual Islam yang paling
dasar dan otentik, juga menguasai metodologi yang dapat digunakan untuk memecah
masalah yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat. Apakah orientasi "studi Islam yang
normatif dan historis dapat dipadukan?” Tentu saja, sangat bisa demi suksesnya
pendidikan Islam di Indonesia, yang dapat disejajarkan dengan pendidikan Islam
di Timur Tengah dan Barat.
[i]
[1] Madrasah pertama kali didirikan oleh Nizhamul Mulk Dinasti Bani Saljuk pada
abad ke-15 Hijriyah, meskipun pada abad sebelumnya ada yang mengatakan Naisabur
sebagai madrasah yang pertama di dunia Islam. Lihat Muhammad Munir Misri, al-Tarbiyyah
al-Islamiyyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-'Arabiyyah, (Kairo:
'Alam al-kutub, 1977), hlm. 98.
[ii] [2] Tujuan
pendidikan Islam harus disandarkan pada ukuran-ukuran yang jelas; (1) filsafat
pendidikan Islam agar mampu menghadapi problem-problem sosial, (2) bersifat
realistis, terukur, dan memadai sehingga dapat diimplementasikan dengan mudah,
(3) sesuai dengan standar umum yang berlaku, bukan berdasarkan sesuatu yang
tidak lazim sehingga sulit mengimplementasikan dalam proses pendidikan, (4)
bersifat komprehensif, mencakup semua aspek yang dibutuhkan dalam pendidikan,
dan (5) melibatkan segenap ahli yang mampu mendukung dalam proses pendidikan.
Lihat Ibrahim Basyuni Amirah, Tadris al-'Ulum wa al-Tarbiyyah al-Islamiyyah,
(ttp: Dar al-Ma'arif, 1978), hlm. 108-111.
[iii] [3] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 163-165. Bandingkan dengan pemikiran Muhammad Athiyyah
al-Ibrasyi, yang menegaskan tujuan
pendidikan Islam lebih diorientasikan pada pengembangan pemikiran Islam,
kebebasan berfikir, perluasan wilayah kajian, pengembangan ilmu dari berbagai
aspek, dan nuansa falsafinya. Lihat
Muhammad Athiyyah al-Ibrasyi, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (ttp: al-Dar
al-Qaumiyyah li al-Tiba'ah wa alNasyr, 1964), hlm. 147.
[v] [5] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos, 2000), hlm. 229-230.
[viii] [8] Yusril Ihza Mahendra, Studi Islam
di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia, dalam Jurnal Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun
1994, hlm. 14.
[xi] [11] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi menuju Milenium Baru,op. cit., hlm. 172.
[xii] [12] Hamid Fahmy dkk, "Pengantar
Penerjemah" dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan 2003), hlm. 32.
[xvi] [16] Seyyed Hossein Nasr, "Kata
Pengantar", dalam Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir
Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali, Quth al-Din al-Syirazi,
(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 11.
[xvii] [17] Brosur PPs Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies di
Jakarta dan Social Work di Yogyakarta dan Wawancara dengan Salman,
mahasiswa program studi Interdisciplinary Islamic Studies semester I
tanggal 28 Desember 2003.