DALIL SYAR’I TENTANG HARAMNYA ROKOK

Ust Farid Nu'man

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad Dary Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Agama adalah nasihat”, Kami berkata: “Untuk Siapa ya Rasulullah?” Beliau bersabda: Untuk Allah, untuk KitabNya, untuk RasulNya, untuk para imam kaum muslimin, dan orang-orang umum dari mereka.” (HR. Muslim. Lihat Imam an Nawawi, Riyadhus Shalihin, Bab Fi An Nashihah, hal. 72, hadits no. 181. Maktabatul Iman, Manshurah,Tanpa tahun. lihat Juga Arbain an Nawawiyah, hadits no. 7, Lihat juga Imam Ibnu Hajar al Asqalany, Bulughul Maram, Bab At targhib fi Makarimil Akhlaq, hal. 287, hadits. No. 1339. Darul Kutub al Islamiyah. 1425H/2004M)

Inilah nasihatku untuk diriku sendiri, dan saudaraku kaum muslimin, juga para da’i, atau imam mesjid, yang masih terbelenggu dengan candu rokok ….. untuk mereka yang mencari ketenangan dengan merokok, padahal seorang mu’min mencari ketenangan melalui dzikir dan shalat … untuk mereka yang tengah mencari kejelasan dan kebenaran …. Untuk merekalah risalah ini dipersembahkan …

Rokok, siapa yang tidak kenal dengan benda satu ini. Ia telah menyatu dalam kehidupan sebagian manusia. Baik orang awam, atau kaum intelek, miskin atau kaya, pedesaan atau kota , pria bahkan wanita, priyai atau kiayi. Kehidupan mereka seperti dikendalikan oleh rokok. Mereka sanggup untuk tidak makan berjam-jam, tetapi ‘pusing’ jika berjam-jam tidak merokok. Mengaku tidak ada uang untuk bayar sekolah, tetapi koq selalu ada uang untuk membeli rokok. Sungguh mengherankan!

Tulisan ini diturunkan dalam rangka menyelamatkan umat manusia, khususnya umat Islam, dari bahaya rokok, serta bahaya para propagandis (pembela)nya dengan ketidakpahaman mereka tentang nash-nash syar’i (teks-teks agama) dan qawaidusy syar’iyyah (kaidah-kaidah syariat). Atau karena hawa nafsu, mereka memutuskan hukum agama karena perasaan dan kebiasaannya sendiri, bukan karena dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah, serta aqwal (pandangan) para ulama Ahlus Sunnah yang mu’tabar (yang bisa dijadikan rujukan). Lantaran mereka, umat terus terombang ambing dalam kebiasaan yang salah ini, dan meneladani perilaku yang salah, lantaran menemukan sebagian para da’i hobi dengan rokok. Padahal para da’i adalah pelita, lalu, bagaimana jika pelita itu tidak mampu menerangi dirinya sendiri? Wallahul Musta’an!

Mereka beralasan ‘tidak saya temukan dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang mengharamkan rokok.’ Sungguh, ini adalah perkataan yang mengandung racun berbahaya bagi orang awam, sekaligus menunjukkan keawaman pengucapnya, atau kemalasannya untuk menelusuri dalil. Sebab banyak hal yang diharamkan dalam Islam tanpa harus tertera secara manthuq (tekstual/jelas tertulis) dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Kata-kata ‘rokok’ jelas tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah secara tekstual, sebab bukan bahasa Arab, nampaknya anak kecil juga tahu itu. Nampaknya, orang yang mengucapkan ini tidak paham fiqih, bahwa keharaman dalam Al Qur’an bisa secara lafaz (teks tegas mengharamkan) atau keharaman karena makna/pengertian/maksud. Nah, secara lafaz memang tidak ada tentang haramnya rokok, tetapi secara makna/pengertian/maksud, jelas sangat banyak dalilnya. Orang yang mengucapkan kalimat seperti ini ada beberapa kemungkinan, pertama, ia benar-benar tidak tahu alias awam dengan urusan syariat, jika demikian maka ucapan “tidak saya temukan …dst” itu bisa dimaklumi. Kedua, ia telah mengetahui adanya ayat atau hadits yang secara makna mengharamkan apa pun yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain termasuk rokok, tetapi ia memahaminya sesuai selera dan hawa nafsunya sendiri, tidak merujuk kepada pandangan para Imam dan Ulama yang mendalam. Ketiga, ia sudah mengetahui dalilnya tetapi ia sembunyikan dari umat, atau ia pura-pura tidak tahu, maka ini adalah sikap dusta dan kitmanul haq (menyembunyikan kebenaran) yang dikecam dalam agama.

Sejak zaman sahabat, umat telah ijma’ (sepakat) bahwa Anjing adalah haram dimakan, namun adakah ayat atau hadits secara jelas yang menyatakan Anjing haram di makan? Tidak ada! Tetapi kenapa Islam mengharamkan? Karena kita memiliki qawaid al fiqhiyyah fi at tahrim (kaidah-kaidah fiqih dalam mengharamkan), maqashid syari’ah (esensi syariat) yang mafhum secara tersirat, serta qarinah (korelasi/petunjuk isyarat) tentang haramnya sesuatu walau tidak secara jelas disebut nama barangnya atau perbuatannya. Nah, kaidah-kaidah inilah yang nampaknya luput dari mereka dalam perkara rokok ini.

Dikhawatiri dari pandangan sebagian da’i yang terlalu tekstual dan kaku ini, nanti-nanti ada umat yang mengatakan bahwa memonopoli barang dagangan adalah halal, karena tidak ada ayat atau hadits secara terang tentang ‘monopoli’, Joget ala ngebor Inul juga halal, karena tidak ada ayat atau hadits yang membahas tentang goyangnya Inul! Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Ada lagi yang berkata, “Bukankah para kiayi juga merokok? Bukankah mereka ahli agama?”

Jawaban kami: Hanya Rasulullah yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), sedangkan selainnya (walau ulama atau kiayi) bisa saja salah. Kebenaran bukan dilihat dari orangnya, tapi lihatlah dari perilakunya, sejauh mana kesesuaian dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Kami amat meyakini dan berbaik sangka, para kiayi yang merokok pun sebenarnya membenci apa yang telah jadi kebiasaan mereka, hanya saja karena sudah candu, mereka sulit meninggalkannya. Akhirnya, tidak sedikit di antara mereka yang mencari-cari alasan untuk membenarkan rokok. Sungguh, Ahlus Sunnah adalah orang yang berani beramal setelah adanya dalil, bukan beramal dulu, baru cari-cari dalil dan alasan.

Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Perkataan seluruh manusia bisa diterima atau ditolak, hanya perkataan penghuni kubur ini (yakni Rasulullah) yang wajib diterima (tidak boleh ditolak).”

Imam Hasan al Banna Rahimahullah berkata: “Setiap manusia bisa diambil atau ditinggalkan perkataan mereka, begitu pula apa-apa yang datang dari para salafus shalih sebelum kita yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah, kecuali hanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam (yang perkatannya wajib diterima tidak boleh ditolak, pen) ….. “ (Al imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, hal.306. Maktabah at Taufiqiyah, Kairo. Tanpa tahun)

Memang keteladanan hanya ada pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaih wa Sallam.

Dan untuk para da’i hati-hatilah, sebab Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An Nahl (16): 116)

Dari Abdullah bin Amr bin al Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallah ‘ Alaihi Wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara begitu saja dalam diri manusia, tetapi dicabutnya ilmu melalui wafatnya para ulama. Sehingga orang berilmu tidak tersisa, lalu manusia menjadikan orang bodoh menangani urusan mereka. Mereka ditanya lalu menjawab dengan tanpa ilmu. Akhirnya, mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari, lihat Syaikh Fuad Abdul Baqi, Al lu’Lu’ wal Marjan, Kitabul ‘ilmi, hal. 457, hadits no. 1712. Darul Fikri, Beirut . 1423H/2002M)

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat adalah diambilnya ilmu (agama) dari kalangan ashaghir.” (HR. Abdullah bin al Mubarak, dalam kitab Az Zuhd, dengan sanad hasan)

Siapakah Ashaghir? Berkata Abdullah bin al Mubarak Rahimahullah, yaitu orang yang Qillatul ‘ilmi (sedikit ilmunya). Ya, sedikit ilmunya tetapi banyak gayanya! Lidahnya menjulur melebihi pengetahuannya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ”Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat majelisnya denganku pada hari kiamat nanti adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan sesungguhnya yang paling saya benci dan paling jauh dariku adalah yang banyak omongnya (ats tsartsarun), bermulut besar (al mutasyaddiqun), dan al mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kami telah tahu ats tsartsarun dan al mutasyaddiqun, tetapi apakah al mutafaihiqun? Rasulullah menjawab: “Yaitu al Mutakabbirun (orang yang merasa besar, sok berilmu). (HR. Imam At Tirmidzi, ia berkata: hadits ini ‘hasan’. Imam an Nawawi, Riyadhush Shalihin, Bab Husn al Khuluq, hal. 187, hadits no. 629. Maktabatul Iman, Al Manshurah)

Berikut ini akan kami paparkan adillatusy syar’iyyah (dalil-dalil syara’) dari Al Qur’an dan As Sunnah tentang haramnya rokok, yang tidak ada keraguan di dalamnya, berserta kaidah-kaidah fiqhiyyah yang telah disepakati para ulama mujtahidin, dan kami paparkan pula pandangan ulama dunia tentang rokok. Wallahul Musta’an!


1.Dalil dari Al Qur’an

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Dan Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian dengan tangan kalian sendiri ke dalam jurang kerusakan.” (QS. Al Baqarah (2): 195)

“Dan Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri ..” (QS. An Nisa (4): 29)

Perhatikan dua ayat ini, tidak syak (ragu) lagi, merokok merupakan tindakan merusak diri si pelakunya, bahkan tindakan bunuh diri. Para pakar kesehatan telah menetapkan adanya 3000 racun berbahaya, dan 200 diantaranya amat berbahaya, bahkan lebih bahaya dari Ganja (Canabis Sativa). Mereka menetapkan bahwa sekali hisapan rokok dapat mengurangi umur hingga beberapa menit. Wallahu A’lam bis Shawab. Pastinya, umur manusia urusan Allah Ta’ala, namun penelitian para pakar ini adalah pandangan ilmiah empirik yang tidak bisa dianggap remeh. Al Ustadz Muhamad Abdul Ghafar al Hasyimi menyebutkan dalam bukunya Mashaibud Dukhan (Bencana Rokok) bahwa rokok bisa melahirkan 99 macam penyakit. Lancet, sebuah majalah kesehatan di Inggris menyatakan bahwa merokok itu adalah penyakit itu sendiri, bukan kebiasaan. Perilaku ini merupakan bencana yang dialami kebanyakan anggota keluarga, juga bisa menurunkan kehormatan seseorang. Jumlah yang mati karena rokok berlipat ganda. Majalah ini menyimpulkan, asap rokok lebih bahaya dari asap mobil.

Perhatikan dua ayat di atas, ia menggunakan sighat lin nahyi wa lin nafyi (bentuk kata untuk pengingkaran/larangan) yang bermakna jauhilah perbuatan merusak diri atau mengarah pada bunuh diri. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan al Ashlu fi an Nahyi lil Haram (hukum asli dari sebuah larangan adalah haram). Seperti kalimat wa laa taqrabuz zinaa .. (jangan kalian dekati zina) artinya mendekati saja haram apa lagi melakukannya. Maksudnya, ada dua yang diharamkan dalam ayat ini yakni 1. Berzina, dan 2. perilaku atau sarana menuju perzinahan. Ini Sesuai kaidah Ushul Fiqh, ‘ Ma ada ilal haram fa huwa haram’ (Sesuatu yang membawa kepada yang haram, maka hal itu juga haram).

Begitu pula ayat ‘Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri’, artinya, yang haram yaitu 1. Bunuh diri, dan 2. Perilaku atau sarana apapun yang bisa mematikan diri sendiri.

Imam Asy Syaukani berkata dalam Kitab tafsirnya, Fat-hul Qadir, tentang maksud ayat An Nisa 29 di atas:

Artinya: “Maksud firmanNya ‘Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri’ adalah Wahai muslimun, janganlah kalian saling membunuh satu sama lain, kecuali karena ada sebab yang ditetapkan oleh syariat. Atau, janganlah bunuh diri kalian dengan perbuatan keji dan maksiat, atau yang dimaksud ayat ini adalah larangan membunuh diri sendiri secara hakiki (sebenarnya). Tidak terlarang membawa maksud ayat ini kepada makna-makna yang lebih umum. Dalilnya adalah Amr bin al Ash berhujjah (berdalil) dengan ayat tersebut, ketika ia tidak mandi wajib (mandi junub) dengan air dingin pada saat perang Dzatul Salasil. Namun, Nabi Shaliallahu ‘Alaihi wa Sallam mendiamkan (tanda setuju) hujjah (alasan) yang yang dipakai olenya. Ini ada dalam Musnad Ahmad, Sunan Abu daud, dan lain-lain.” Demikian dari Imam Asy Syaukani Rahimahullah. (Lihat juga Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Jilid 1, hal. 480. Toha Putera Semarang, dengan naskah berbahasa Arab yang disesuaikan dengan naskah dari Darul Kutub Al Mishriyah)

Dalam ayat lain Allah Ta’ala juga berfirman:

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. Al Isra’ (17): 27)

Tidak ragu pula, hobi merokok merokok tindakan tabdzir (pemborosan) dan penyia-nyiaan terhadap harta. Mereka tidak mendapatkan apa-apa dari rokok kecuali ketenangan sesaat, bahaya penyakit yang mengancam jiwa, dan terbuangnya uang secara sia-sia. Bahkan, Allah Ta’ala menyebut mereka sebagai saudara-suadara syaitan.

Berkata Imam Asy Syaukany tentang tafsir ayat ini:

“… Bahwa orang yang berbuat mubadzir (pemboros) diumpamakan seperti syaitan, dan setiap yang diumpamakan dengan syaitan maka baginya dihukumi sebagai syaitan, dan setiap syaitan adalah ingkar (terhadap Allah, pen), maka orang yang mubadzir adalah orang yang ingkar.” (Imam Asy Syaukany, dalam Fat-hul Qadir-nya)

Sebagian ulama –seperti Imam Asy Syaukany ini- ada yang mengatakan bahwa berlebihan dalam berinfak juga termasuk tabdzir (pemborosan)[1], maka apalagi berlebihan dalam merokok! Berpikirlah wahai manusia!

Maka, haramnya rokok adalah muwafaqah bil maqashid asy Syari’ah (sesuai dengan tujuan syariat) yang menghendaki terjaganya lima hal asasi (mendasar), yaitu agama, nyawa, harta, akal, dan keturunan. Imam al Qarafi al Maliki menambahkan menjadi enam, yaitu kehormatan.

Allah Ta’ala juga menyebut tentang ciri-ciri orang yang beriman yakni orang yang:

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya” (QS.Al Mu’minun (23): 8)

Kesehatan adalah anugerah dari Allah yang harus dijaga, itu adalah amanah dari Allah Ta’ala yang tidak boleh dikhianati. Dalam hadits disebutkan, “Laa Imanan liman laa amanata lahu (tidak ada iman bagi orang yang tidak menjaga amanah). Seharusnya, seorang muslim yang baik berhati-hati dengan perkara amanah ini, sebab akan menjatuhkannya dalam kategori kemunafikan. Wal ‘Iyadzubillah!

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Yaitu jika diberi amanah ia tidak mengkhianatinya, bahkan ia menunaikannya kepada pihak yang memberinya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Jilid 3, hal. 239)

Itulah orang yang beriman, ia menjaga amanah. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak menjaga amanah?

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tanda orang munafik ada tiga: jika bicara ia dusta, jika janji ia ingkar, jika diberi amanah ia khianat.” (HR. Bukhari dan Muslim, Lihat Imam an Nawawi, Riyadhus Shalihin, Bab al Amr bi Ada’I al Amanah, hal. 77, hadits no. 199, dan juga Bab al Wafa’ bil ‘Ahdi wa Injaz bil Wa’di, hal. 201, hadits no. 687. Maktabatul Iman, Manshurah. Lihat juga kitabnya Syaikh Fuad Abdul Baqi, Al Lu’Lu’ wal Marjan, Bab Bayan Khishal al Munafiq, hadits no. 38. Darul Fikr, Beirut . Lihat juga Imam Ibnu Hajar al Asqalany, Bulughul Maram, Bab at Tarhib min Masawi al Akhlaq, hal. 279, hadits no. 1296. Cet. 1, Darul Kutub al islamiyah. 1425H/2004M)

Demikianlah dalil-dalil Al Qur’anul Karim yang amat tegas dan jelas tentang larangan merusak diri sendiri dan berbuat mubadzir, mengkhianati amanah kesehatan, yang semua itu telah dilakoni oleh aktifitas merokok. Bagian ini telah kami paparkan juga beberapa hadits, dan pandangan para ulama terdahulu kita. Alhamdulillah …


2. Dalil-dalil dari As Sunnah Al Muthahharah

Selain beberapa hadits di atas, ada lagi beberapa hadits lain yang memperkuat larangan merokok bagi seorang muslim. Kami hanya akan menggunakan hadits-hadits yang maqbul (bisa diterima periwayatannya) yaitu yang shahih atau hasan, ada pun hadits yang mardud (tertolak/tidak boleh digunakan khususnya dalam masalah aqidah dan hukum) yaitu hadits dhaif, tidak akan kami gunakan. Nas’alullaha as salamah wal ‘afiyah …

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa SallamI bersabda:

“Di antara baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Imam At Tirmidzi, ia berkata ‘hasan’. Bulughul Maram, Bab Az Zuhd wal Wara’, hal. 277, hadits no. 1287. Darul Kutub al Islamiyah)

Ya, tanda baiknya kualitas Islam seseorang adalah ia meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat. Rokok tidak membawa manfaat apa-apa, kecuali ancaman bagi kesehatan dan jiwa dan pemborosan. Ada pun ketenangan dan konsentrasi setelah merokok, itu hanyalah sugesti. Hendaknya bagi seorang muslim yang sadar dan faham agama merenungi hadits yang mulia ini.

Dari Abu Shirmah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang memudharatkan (merusak) seorang muslim yang lain, maka Allah akan memudharatkannya, barang siapa yang menyulitkan orang lain maka Allah akan menyulitkan orang itu.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, ia menghasankan. Bulughul Maram, hal. 282, hadits no. 1311)

Ada istilah perokok pasif yaitu orang yang tidak merokok namun tanpa disengaja (baik ia sudah menghindar atau belum) ia menghirup juga asap rokok. Bahkan menurut penelitian, perokok pasif mendapatkan dampak yang lebih berbahaya, sebab selain ia mendapatkan racun dari asap rokok, juga mendapat racun dari udara yang ditiupkan si perokok yang telah bercampur dengan asapnya. Inilah mudharat (kerusakan) yang telah dibuat oleh para perokok aktif kepada orang lain. Jelas Rasulullah amat melarangnya, bahkan ia mendoakan agar Allah Ta’ala membalas perbuatan rusak orang tersebut.

Berkata Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya, Al Muhalla, ”Maka barangsiapa yang menimbulkan mudharat pada dirinya sendiri dan pada orang lain berarti ia tidak berbuat baik, dan barangsiapa yng tidak berbuat baik berarti menentang perintah Allah untuk berbuat baik dalam segala sesuatu.” (Al Muhalla, Jilid 7, hal. 504-505)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Salami bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia telah menjadi bagian kaum itu.” (HR. Abu Daud, Ahmad, dan Ibnu Hibban menshahihkannya. Bulughul Maram, hal 277, hadits no. 1283. Hadits ini juga dishahihkan para Ahli Hadits seperti Syaikh Syu’aib al Arnauth, Syaikh al Albany, dan Syaikh Ahmad Syakir Rahimahumullah)

Dalam sejarahnya, rokok pertama kali dilakukan oleh suku Indian ketika sedang ritual penyembahan dewa-dewa mereka. Kami yakin perokok saat ini tidak bermaksud seperti suku Indian tersebut, namun perilaku yang nampak dari mereka merupakan bentuk tasyabbuh bil kuffar (penyerupaan dengan orang kafir) yang sangat diharamkan Islam. Dan perlu diketahui, bahwa Fiqih Islam menilai seseorang dari yang terlihat (nampak), adapun hati atau maksud orangnya, kita serahkan kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra’ (17): 36)

Demikian, kami cukupkan dulu dalil-dalil dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebenarnya seluruh keterangan di atas –kami kira- sudah mencukupi, namun ada baiknya kami tambahkan beberapa hal untuk lebih meyakinkan lagi.


3. Qawaid al Fiqhiyyah (Kaidah-kaidah fiqih)

Dalam fiqih ada kaidah-kaidah yang biasa digunakan para Ulama mujtahid (ahli ijtihad) untuk membantu menyimpulkan dan memutuskan sebuah hukum, baik untuk keputusan haram atau halalnya sesuatu benda atau perbuatan.

Dalam menentukan haramnya rokok ini ada beberapa kaidah yang menguatkan, di antaranya:

Ma ada ilal haram fa huwa haram atau Al Washilah ilal haram fa hiya haram (Sesuatu atau sarana yang membawa kepada keharaman, maka hukumnya haram). Merusak diri sendiri dengan perbuatan yang bisa mengancam kesehatan dan jiwa, jelas diharamkan dalam syariat, tanpa ragu lagi. Maka, merokok atau perilaku apa saja yang bisa merusak diri dan mengancam jiwa, baik cepat atau lambat, adalah haram, karena perilaku tersebut merupakan sarananya.

Laa Dharara wa Laa Dhirar (janganlah kalian rusak (melakukan dharar) atau merusak orang lain). Sebenarnya kaidah ini adalah bunyi hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Merokok selain merusak diri sendiri, juga merusak kesehatan orang lain di sekitarnya (perokok pasif). Keduanya (yakni merusak diri sendiri dan merusak orang lain) sama-sama dilarang oleh syariat. Ada pun bagi pelakunya ia mengalami dharar mali (kerusakan pada harta, karena ia menyia-nyiakannya), dharar jasady (kerusakan tubuh, karena membahayakan kesehatan bahkan jiwa), dharar nafsi (merusak kepribadian-citra diri). Jika berbahaya bagi kesehatan saja sudah cukup untuk mengharamkan, apalagi jika sudah termasuk menghamburkan uang dan menurunkan harga diri. Tentu lebih kuat lagi pengharamannya.

Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (Menghindari kerusakan, harus didahulukan dibanding mengambil manfaat). Kita tahu, para perokok –katanya- merasa tenang dan konsentrasi ketika merokok. Baik, taruhlah itu manfaat yang ada, namun ternyata dan terbukti bahwa mudharatnya sangat jauh lebih besar, maka menurut kaidah ini walau rokok punya manfaat, ia tetap wajib ditinggalkan, dalam rangka menghindari kerusakan yang ditimbulkannya. Faktanya, manfaatnya tidak ada, hanya sugesti dan mitos.


4. Alasan Mereka dan Bantahannya

Mereka beralasan bahwa “hukum asal segala sesuatu (urusan dunia) adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil syariat yang mengharamkannya. Nah, kami tidak menemukan dalil pengharamannya.”

Alasan ini sudah terjawab secara tuntas dan rinci dari uraian di atas. Telah kami paparkan beberapa ayat, beberapa hadits, yang mengarah pada haramnya rokok (atau apa saja yang termasuk membahayakan kesehatan dan jiwa, dan mubadzir), beserta pandangan para Imam umat Islam. Ucapan “kami tidak menemukan dalil pengharamannya” bukan berarti tidak ada dalilnya. Sebab, tidak menemukan bukan berarti tidak ada. Hal ini, tergantung kejelian, kemauan, dan –yang paling penting- kesadaran manusianya. Memang, masalah ilmu dan kebenaran, bukan tempatnya bagi orang malas dan pengekor hawa nafsu dan emosi.

Mereka beralasan bahwa, “Kami pusing jika tidak merokok, jika merokok, kami kembali tenang dan konsentrasi.”

Alasan ini tidak layak keluar dari mulut orang Islam yang baik, apalagi da’i. Ucapan ini justru telah membuka kedok, bahwa orang tersebut telah ketergantungan dengan rokok, yang justru memperkuat keharamannya. Bahkan menurut Prof. Dr. Quraisy Syihab, rokok telah menjadi berhala bagi orang ini, sehingga ia tidak layak menjadi imam shalat. Itu menurut Prof. Dr. Quraisy Syihab. Bagi kami, ia masih boleh menjadi imam shalat, sebab Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu pernah shalat menjadi makmum di belakang ahli maksiat, yaitu seorang gubernur zhalim di Madinah, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafy.

Ya, ajaib memang. Jika, memang mengaku muslim (tidak usahlah mu’min kalau masih berat), seharusnya ia berdzikir kepada Allah Ta’ala supaya pikiran tenang, hati khusyu’ dan konsentrasi, bukan dengan merokok! Karena hanya dengan mengingat Allah Ta’ala hati menjadi tenang. Wallahul Musta’an!

Allah Ta’ala berfirman:

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du (13): 28)

Alasan lainnya adalah, “Bagi kami merokok adalah makruh saja, makruh’kan tidak berdosa.”

Jawaban ini hanya keluar dari orang yang wahnun fid din (lemah dalam beragama), tidak wara’, mempermainkan fiqih, dan mutasahil (menggampang-gampangkan). Jika benar itu makruh, maka tahukah Anda apa itu makruh? Ia diambil dari kata karaha (membenci), makruh artinya sesuatu yang dibenci, siapa yang membenci? Allah Ta’ala! Muslim yang baik, yang mengaku Allah Ta’ala adalah kekasihnya, ia akan meninggalkan hal yang dibenci kekasihnya. Kekasih model apa yang hobi melakukan sesuatu yang dibenci olah sang kekasih?

Dahulu, kami pun sekadar memakruhkan rokok, sebagaimana pendapat Imam Hasan al Banna dan Syaikh Said Hawwa Rahimahumallah. Namun, apa yang kami yakini itu, dan apa yang difatwakan oleh dua ulama ini adalah pandangan lama ketika sains belum berkembang, penemuan tentang bahaya rokok tidak separah seperti yang terkuak sekarang. Kami yakin, jika dua ulama ini berumur panjang dan diberi kesempatan untuk melihat perkembangan bahaya rokok, niscaya mereka akan merubah pendapatnya. Sebab mereka berdua adalah ulama yang terkenal open mind (pikiran terbuka), tidak jumud (statis/diam di tempat), mereka selalu terus mencari kebenaran.

Sesungguhnya, perubahan pendapat atau ijtihad yang disebabkan perubahan kondisi, tempat, dan peristiwa, dalam sejarah khazanah fiqih Islam bukanlah hal yang aneh.[2] Imam Ahlus Sunnah, Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu ketika masih tinggal di Baghdad ia memiliki Qaul Qadim (pendapat lama), namun ketika ia hijrah ke Mesir dan wafat di sana, lantaran perubahan kondisi, tempat, dan juga kematangan usia dan ilmu, ia merubahnya menjadi Qaul Jadid (pendapat baru). Contoh lain sangat banyak dan bukan di sini tempatnya.

Yang pasti, kami telah merevisi apa yang kami yakini dahulu. Sebab para ahli telah menegaskan betapa bahayanya rokok bagi penghisapnya dan orang di sekitarnya, cepat atau lambat. Dahulu dengan keterbatasan pengetahuan yang ada, para pakar mengatakan bahaya rokok hanya ini dan itu. Namun sekarang ketika ilmu pengetahuan sudah maju, rahasia yang dahulu tertutup menjadi terbuka, racun yang dahulunya tersembunyi sekarang diketahui. Maka, tidak ragu lagi, bahwa saat ini kurang tepat jika rokok dihukumi makruh, melainkan haram. Masalahnya, adakah kesadaran dalam diri kita untuk merubah kebiasaan yang sudah mentradisi?

Sungguh, bersegera menuju kebenaran adalah lebih utama dari pada berlama-lama dalam kesalahan.


5. Pandangan Ulama Dunia Tentang Rokok

Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Ali Asy Syaikh berkata, “Saya pernah ditanya tentang hukum tembakau yang sering dihisap oleh orang yang belum paham tentang haramnya rokok. Maka kami jawab, bahwa kami kalangan para ulama dan syaikhSyaikh kita yang dahulu, para ahli ilmu, para imam da’wah, ahli Najd (daerah antara Makkah dan Madinah), dahulu sampai sekarang menghukumi bahwa rokok itu haram, berdasarkan dalil yang shahih, dan akal yang waras, serta penelitian para dokter yang masyhur.” Lalu Syaikh menyebut dalil-dalil tersebut, beliau juga mengatakan bahwa haramnya rokok telah difatwakan oleh para ulama dari kalangan madzhab yang empat.

Syaikh Abdurrahman bin Sa’di (Ulama tafsir terkenal) berkata, “Perokok, penjualnya, dan orang yang membantunya, semuanya haram. Tidak halal bagi umat islam memperolehnya, baik untuk dihisap atau untuk dijual. Barangsiapa yang memperolehnya, hendaknya ia bertaubat dengan taubat nasuha dari semua dosa. Sebab rokok ini masuk kepada dalil keumuman nash (teks Al Qur’an) yang menunjukkan haram baik lafazh atau makna..dst.”

Syaikh Musthafa al Hamami dalam An Nahdhatu al Ishlahiyah bekata tentang keanehan para perokok, “Tembakau dan rokok adalah perkara yang hampir sama. Keduanya memiliki daya tarik dan pengaruh yang kuat bagi para pecandunya, sehingga begitu menakjubkan, seolah-olah tidak ada daya tarik yang melebihi rokok. Kita saksikan bersama, betapa gelisahnya para penghisap rokok jika dia ingin merokok, sedangkan ia tidak punya uang. Maka ia akan mencari temannya yang merokok untuk mengemis walau satu batang. Hal ini kami ceritakan, karena kami melihatnya sendiri. Yang lucu, pengemis rokok itu orang yang berkedudukan tinggi, tetapi karena kuatnya dorongan untuk merokok membuat dirinya menjual harga dirinya untuk mengemis rokok walau satu batang!”

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan hafizhahullah dalam Al I’lam bi Naqdi Kitab al Halal wal Haram, berkata setelah ia menjelaskan haramnya rokok, “Begitulah intisari nasihat dari dokter tentang bahaya rokok, yang kami ketengahkan setelah fatwa para ulama tentang bahaya rokok. Apakah pantas bagi mereka yang sudah memahami berbagai macam fatwa ulama ini dan pandangan para dokter ahli, mereka masih ragu tentang haramnya rokok dan enggan meninggalkannya? Tidaklah yang demikian itu melainkan suatu ketakabburan tanpa alasan.”

Syaikh Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah berkata dalam Al Halal wal Haram fil Islam, “Kami mengatakan bahwa rokok, selama hal itu telah dinyatakan membahayakan, maka hukumnya haram. Lebih-lebih jika dokter spesialis sudah menetapkan hal itu kepada orang tertentu.

Sekali pun tidak jelas bahayanya terhadap kesehatan, tetapi yang jelas hal itu termasuk membuang uang untuk yang tidak bermanfaat, baik untuk agama atau urusan dunia. Dalam hadits dengan tegas Rasulullah melarang membuang-buang harta. Keharamannya lebih kuat lagi, jika ternyata sebenarnya ia amat memerlukan uang itu untuk dirinya atau keluarganya.” Inilah fatwa Syaikh al Qaradhawy saat kitabnya ini baru dibuat yakni tahun 1960-an. Dalam Hadyu al Islam Fatawa Mu’ashirah jilid 1, tahun 1988, Darul Ma’rifah Ia lebih panjang lagi menjelaskan tentang haramnya rokok setelah ia membandingkan seluruh alasan yang membolehkan, memakruhkan, dan mengharamkan. Dengan dalil yang ada, serta maksud dalil tersebut, beserta keterangn para dokter, Ia semakin mantap tentang haramnya rokok.

Di bawah ini akan kami sebutkan para ulama dunia (juga dalam negeri) yang mengharamkan rokok selain yang telah kami sebut di atas. Mereka adalah:

- Syaikh Abul A’la al Maududi (Pakistan)

- Syaikh Said Ramadhan al Buthy (Terakhir ia menetap di Swedia, dideportasi)

- Syaikh Sayyid Quthb (Mesir, pengarang Tafsir Fi Zhilalil Qur’an)

- Syaikh Muhammad Quthb (Adik Sayyid Quthb, tinggal di Mekkah)

- Syaikh Abdullah Nashih ‘Ulwan (Mesir)

- Syaikh Mahmud Syaltut (Mufti Mesir, ia sebenarnya seorang perokok, dengan kesadaran ia fatwakan bahwa rokok haram)

- Syaikh Musthafa al Maraghi (Rektor al Azhar, Mesir)

- Syaikh Abdul Halim Mahmud (Rektor al Azhar, mufti Mesir)

- Syaikh Ahmad Syakir (Ahli Hadits Mesir)

- Syaikh Musthafa as Siba’i (Siria)

- Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah (Ahli Fiqih, Mesir)

- Syaikh Fathi Yakan (Libanon)

- Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi (Anggota Komisi tetap fatwa Saudi Arabia)

- Syaikh Musthafa az Zarqa’ (Ahli Fiqih, Siria)

- Syaikh Muhammad nashirudin al Albany (Ahli Hadits, Jordania)

- Syaikh Abdullah ‘Azzam (Palestina)

- Syaikh al Hajj Amin Husaini (mufti Palestina)

- Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (Ahli hadits, Siria)

- Syaikh Salman al Audah (Saudi Arabia)

- Syaikh Safar al Hawaly (Saudi Arabia)

- Syaikh ‘Aidh al Qarny (Saudi Arabia)

- Syaikh Umar Sulaiman Asyqar (Ahli tafsir, Kuwait)

- Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq (Kuwait)

- Syaikh Abdul Majid Az Zindani (Rektor Universitas Al Iman di Shan’a, Yaman)

- Syaikh Abdul Karim Zaidan (Ahli Fiqih, Irak)

- Syaikh Ali Al Khafif (Ahli Fiqih,Mesir)

- Syaikh Mutawalli asy Sya’rawi (Ahli Tafsir, Mesir)

- Syaikh Jad al haq (Rektor Al Azhar, Mesir)

- Syaikh Manna’ Khalil Qattan (Ketua Mahkamah Tinggi, Saudi Arabia)

- Syaikh Ali Ash Shabuni (Ahli Tafsir, Saudi Arabia)

- Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Mufti Saudi Arabia, ketua Lembaga Ulama Besar)

- Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin (Saudi Arabia, anggota lembaga Ulama Besar)

- Syaikh Bakr Abu Zaid (Anggota lembaga Ulama Besar Saudi Arabia)

- Syaikh Abdurrahman al Jibrin (Idem)

- Syaikh Hammud al ‘Uqla

- Syaikh Hammud at Tuwaijiri (Saudi Arabia)

- Syaikh Ibrahim Jarullah (Saudi Arabia)

- Syaikh Yahya an Najmi

- Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’I (Yaman)

- Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhaly (Saudi Arabia)

- Syaikh Zaid bin Hadi al Madkhaly (Saudi Arabia)

- Syaikh Falih al Harby (Saudi Arabia)

- Syaikh Ibrahim ar Ruhaily (Yaman)

- Syaikh Salim Ied al Hilaly

- Syaikh Shalih al Munajjid

- Syaikh Ibrahim Syaqrah

- Syaikh Ali Hasan al Halaby

- Syaikh Ubaid al Jabiri


Demikianlah tulisan ini, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan menambah wawasan Ilmiah Islamiah, serta pertimbangan yang penting untuk siapa saja yang menghendaki kebaikan dunia dan akhirat.

Al faqir Ila Rahmati Rabbihi

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post