Dinasti Bani Abasiyah

Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Banî ‘Abbâs mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar.
Selain itu, perubahan tatanan negara juga ditengarai perubahan iklim sosial, pemerintahan, sampai politik. Hal ini dikarenakan selama 5 abad lebih kekuasaan Abbasiyah terdapat gesekan politik pemerintahan yang tidak menentu. Pada satu fase mungkin nampak stabil, dikarenakan kekuasaan secara penuh berada di tangan penguasa (khalifah). Namun pada fase yang lain, justru kekuasaan penguasa semakin melemah karena beberapa faktor baik internal maupun eksternal.
Abbasiyah, yang notabene merupakan dinasti yang memiliki kekuasaan dalam rentang waktu yang cukup lama dibandingkan dinasti yang lain, membuat penulis tertarik untuk mengulas sekilas tentang politik, ekonomi, administrasi, pemerintahan dan lain sebagainya.

Dinasti Abbasiyah 
Kekuasaan dinasti Banî ‘Abbâs atau khilafah Abbasiyah melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-‘Abbâs, paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abû al-‘Abbâs ‘Abdullâh ash-Shaffâh ibn Muhammad ibn ‘Alî ibn ‘Abdullâh ibn al-‘Abbâs[1]. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang, yakni dari tahun 132 H. (750 M.) sampai dengan 656 H. (1258 M.). Selama  kekuasaan Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.  Sebelum lebih jauh membahas tentang periodeisasi pemerintahan Abbasiyah, terlebih dahulu perlu dicatat bahwa salah satu faktor terjadinya revolusi pemerintahan Abbasiyah, yakni banyaknya kelompok (di antaranya Syiah, Khawarij, dan Mawâlî[2]), umat yang sudah tidak lagi mendukung kekuasaan imperium Bani Umayyah yang korup, sekuler dan memihak sebagian kelompok.[3] 
Adalah Abû al-‘Abbâs Ash-Shaffâh[4], pelopor-penggerak revolusi Abbasiyah dengan menggunakan ideologi keagamaan untuk meruntuhkan legitimasi kekuasaan Bani Umayyah. Bentuk propaganda tersebut berisi tentang pujian dan pembelaan Abbasiyah terhadap agama Islam, tentang ketakwaan, dan keutamaan keluarga dikarenakan memiliki kekerabatan yang dekat dengan Nabi Muhammad.[5] Menurut Hasan Ahmad,  propaganda ini berisi tiga hal penting, yaitu “al-musâwah” (persamaan antarbangsa),  al-imâmah li al-ridlâ min âl Muhammad (menjadikan pemimpin yang sah dari kerabat dekat Nabi), al-da‘wah ilâ al-ishlâh(mengajak untuk berdamai).[6] 
Propaganda tersebut pada intinya memberikan legitimisi  keagamaan keluarga ini untuk menggantikan Bani Umayyah dalam memimpin umat. Dan terbukti menjadi propaganda yang jitu guna menarik koalisi dari kelompok lain.
Propaganda Abbasiyah dimulai ketika ‘Umâr ibn ‘Abd al-‘Azîz (717-720 M.) menjadi Khalifah dinasti Umayyah. Umar memimpin dengan adil. Ketenteraman dan stabilitas negara memberikan kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakannya yang berpusat di Al-Humaimah. Pemimpin waktu itu adalah ‘Alî ibn ‘Abdillâh ibn ‘Abbâs, seorang zahid. Dia kemudian digantikan anaknya, Muhammad, yang memperluas gerakannya. Dia menetapkan tiga kota sebagai pusat gerakan, yaitu Al-Humaimah sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad wafat pada 125 H/ 743 M. dan digantikan anaknya Ibrahîm al-Imâm.  Panglima perangnya adalah seorang yang kuat asal Khurasan bernama Abû Muslim al-Khurasânî.[7] Abû Muslim berhasil merebut Khurasan yang selanjutnya disusul kemenangan demi kemenangan. Pada awal tahun 132 H/ 749 M, Ibrahîm al-Imâm tertangkap oleh pemerintah Umayyah dan dipenjara sampai meninggal. Kemudian dia digantikan oleh saudaranya , Abû ‘Abbâs. Tidak lama kemudian, bala tentara Umayyah dan Abbasiyah terlibat dalam pertempuran di Sungai Zab bagian Hulu.[8] Sistem Pemerintahan pada dinasti Abbasiyah berbeda dengan dinasti sebelumnya yang bersifat pemerintahan monarki, seperti yang ditegaskan oleh Ira M. Lapidus: 
Upon coming to power, Mu’awiya began a new cycle of efforts to reconstruct both the authority and the power of Caliphate, and to deal with factionalism within the ruling elite. Muawiya began to change a coalition of Arab tribes into centralized monarcy.[9] 
“Setelah berkuasa, Muawiyah memulai siklus baru dari upaya untuk merekonstruksi baik otoritas dan kekuasaan kekhalifahan, dan untuk berurusan dengan sikap golongan/kesusukan dalam elit penguasa. Muawiya mulai mengubah koalisi suku Arab menjadi terpusat monarki.”
Sementara itu, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan politik, sosial dan kultur budayanya.[10] Terbukti pada dinasti Abbasiyah pada periode pertama dinamakan periode persia I, dikarenakan unsur persia sudah masuk dalam pemerintahan. Seperti yang dinyatakan Jurji Zaydan, dalamHistory of Islamic Civlization: 
We call this period Persians, althought it comes within the ‘Abbasid age because the dynasty of the time, thought Arabian in recpect of its sovereigns, language, and relegion, was persian in recpect of its pilotics and administration.[11] 
“kami katakan periode pertama ini, periode persia, walaupun termasuk masa dinasti  Abbasiyah. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman persia yang masuk (dihargai) pada penguasa, bahasa, bahkan agama. Seperti halnya persia juga dihargai pada kancah politik dan administrasi (negara)” 
Periodeisasi Dinasti Abbasiyah 
Berbicara tentang dinasti Abbasiyah, Para sejarawan membagi masa pemerintahannya menjadi lima periode: (1) Periode Pengaruh Persia Pertama ( 132 H/ 750 M – 232 H/ 847 M), (2) Periode Pengaruh Turki Pertama (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M), (3) Periode Pengaruh Persia kedua (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M), (4) Periode Pengaruh Turki kedua (447 H/ 1055 M – 590 H/ 1194 M), (5) Periode kemunduran (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M).
Sementara itu Musyrifah Sunanto, lebih meringkas periodeisasi dinasti Abbasiyah menjadi empat periode, yaitu:[12] (1) Masa Abbasi I, semenjak lahirnya daulah Abbasiyah tahun 132 H./ 750 M. sampai meninggalnya khalifah Al-Watsîq 232 H./ 847 M. (2) Masa Abbasi II,  232-334 H./ 847-946 M., mulai khalifah Al-Mutawakkil sampai berdirinya Daulah Buwaihi di Baghdad. (3) Masa Abbasi III, 334-447 H./956-1055 M., mulai berdirinya daulah Buwaihi sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad. (4) Masa Abbasi IV, tahun 447-656 H./1055-1258 M., mulai masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar di bawah pimpinan Hulagu.
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara dua klasifikasi tersebut. Hanya saja, klasifikasi Musyrifah tidak mencantumkan secara detail masa kemunduran dinasti Abbasiyah. 
Periode Pengaruh Persia Pertama (132 H./750 M.–232 H./847 M.) 
Pada priode ini pemerintahan Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.[13] Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Namun setelah periode ini berakhir pemerintahan Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembangan.
Salah satu ciri pemerintahan Abbasiyah pada priode pertama ini adalah adanya unsur non Arab yang memengaruhinya seperti Persia dan Turki. Pada awal pemerintahannya Abbasiyah lebih cenderung seperti pemerintahan Persia, di mana raja memunyai kekuasaan yang absolut yang mendapatkan mandat langsung dari Tuhan.[14] 
Sebenarnya masa pemerintahan pendiri dinasti Abbasiyah sendiri sangat singkat, hanya berlangsung sekitar empat tahun yakni tahun 750 M.–754 M. Maka sebenarnya di balik kesuksesan dimulai pada khalifah berikutnya, yaitu Abû Ja‘far al-Manshûr[15] (754 –775 M.). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari golongan Mu’awiyah yang masih tersisa, kaum Khawarij dan Syiah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaan, tokoh-tokoh yang mungkin menjadi saingannya, satu persatu disingkirkan. Salah satu buktinya, Abdullâh ibn ‘Alî (Gubernur Syria) dan Shâlih ibn ‘Alî (Gubernur Mesir), keduanya memiliki jabatan gubernur pada saat khalifah sebelumnya, dan keduanya dibunuh oleh Abû Muslim al-Khurasânî atas perintah Abû Ja‘far. Bahkan Abû Muslim juga akhirnya dihukum mati pada tahun 755 M., karena dikhawatirkan menjadi ancaman bagi kekuasaan.[16] 
Pada mulanya, ibu kota negara dinasti Abbasiyah adalah Al-Hasyîmiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan stabilitas negara, akhirnya ibukota dipindahkan ke kota yang baru dibagun yaitu Baghdad.[17]Dekat bekas ibukota persia, Ctesophon, tahun 762 M. Sedangkan puncak keemasan dinasti Abbasiyah ini berada pada pemerintahan tujuh khalifah berikutnya, yaitu Al-Mahdî (775–785 M.), Al-Hâdî (775–786 M.) Hârûn ar-Rasyîd (786-809) Al-Ma’mûn (813-833 M.) Al-Mu‘tashim (833-842 M.) Al-Watsîq (842-847 M.) dan Al-Mutawakkil (847-861 M.).
Pada masa khalifah Hârûn ar-Rasyîd dan puteranya Al-Ma’mûn, Dinasti Abbasiyah benar-benar mencapai puncak keemasannya. Kekayaan yang melimpah dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, kesehatan dan pendidikan. Ar-Rasyîd juga membangun rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Sehingga pada masanya sudah ada sekitar 800 dokter.
Al-Ma’mûn, pengganti Hârûn ar-Rasyîd, dikenal sebagai Khalifah yang  sangat cinta kepada Ilmu. Pada masa ini terjadi gerakan penerjemahan buku-buku asing yang luar biasa. Bahkan tidak jarang khalifah menggaji para ahli penerjemah buku dari golongan Kristen dan dari agama lain yang ahli dalam bidang penerjemahan.[18] Dia juga banyak membangun lembaga pendidikan, di antaranya Bait al-Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang juga berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Pada masa ini pula mulai bermunculan imam-imam madzhab empat, mulai dari Imam Abû Hanîfah (700-767 M.) di Kufah, Imam Mâlik (713-795 M) di Madinah, Imam Asy-Syâfi‘î (767-820 M.) dan Imam Ahmad ibnHanbal (780-855 M.).
Terdapat beberapa faktor yang mendorong periode pertama mencapai keemasan, yaitu: pertama, adanya asimilasi dalam dinasti Abbasiyah. Unsur-unsur non arab (terutama Persia) dalam pembinaan peradaban Islam telah mendatangkan kemajuan di banyak bidang. Kedua, kebijaksanaan pemerintah yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban daripada perluasan wilayah. Dan yang paling banyak memengaruhi perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam pada periode ini adalah unsur kebudayaan yunani.[19] 
Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh persia sangat kuat dalam bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan, pengaruh yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.
Pada masa Al-Mu‘tashim (833-842 M.) terdapat kesempatan yang terbuka lebar bagi orang-orang Turki untuk masuk ke dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti peperangan telah dihentikan. Para tentara diberi pembinaan khusus untuk menjadi prajurit-prajurit yang profesional, dengan demikian kekuatan militer dinasti Abbasiyah menjadi lebih kuat.[20] 
Periode Pengaruh Turki Pertama (232 H./847 M.–334 H./ 945 M.) 
Periode ini ditandai dengan kebangkitan orang Turki, dan salah satu cirinya adalah orang Turki memegang jabatan penting dalam pemerintahan. Hal ini terbukti dengan dibangunnya kota Samara oleh Al-Mu‘tashim. Pilihan Al-Mu‘tashim memasukkan unsur Turki dalam ketentaraan dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antar golongan Arab dan Persia sejak masa Al-Ma’mûn.  namun setelah kekuasaan berpindah di tangan Al-Mutawakkil,[21] seorang khalifah yang lemah, para jenderal Turki berhasil mengontrol pemerintahan sejak kematian Al-Mutawakkil,[22] sehingga khalifah selanjutnya hanya dijadikan sebagai “boneka“  atau simbol seperti khalifah Al-Muntashir, Al-Musta‘în, Al-Mu‘tazz, Al-Mahdî.[23] 
Pada periode ini, Terdapat 13 Khalifah yang memerintah, yaitu  Al-Mutawakkil (232-247 H./847-861 M.), Al-Muntashir (247-248 H./861-862 M.), Al-Musta‘în (248-252 H./862-866 M.), Al-Mu‘tazz (252-256 H./866-869 M.), Al-Muhtadî (256-257 H./869-870 M.), Al-Mu‘tamid (257-279 H./870-892 M.), Al-Mu‘tadid (279-290 H./892-902 M.), Al-Muktafî (290-296 H./902-908 M.), Al-Muqtadir (296-320 H./908-932 M.), Al-Qâhir (320-323 H./932-934 M.), Ar-Râdlî (323-329 H./934-940 M.), Al-Muttaqî (329-333 H./940-944 M.), Al-Muktafî (333-335 H./944-946 M.).
Setelah orang-orang Turki  mulai melemah karena persaingan di antara mereka sendiri, khalifah ar-Râdlî menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad ibn Râ’iq, gubernur Wasith dan Bashra. Namun demikian, walaupun Muhammad ibn Râ’iq diberi gelar amîr al-umarâ’, keadaan Abbasiyah bukan menjadi lebih baik, dari dua belas khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar. Selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka diturunkan dari tahta.[24] 
Di antara faktor penting yang menyebabkan mundurnya dinasti Abbasiyah pada periode ini adalah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi sangat lambat.
2. Profesionalisasi tentara, sehingga menyebabkan Abbasiyah sangat tergantung pada mereka (padahal, para tentara terdiri dari orang-orang Turki).
3. Kesulitan keuangan, diakibatkan pembiayaan tentara sangat tinggi.[25] 
~ Periode Pengaruh Persia kedua (334 H./945 M.–447 H./1055 M.) 
Periode ini berjalan lebih dari 150 tahun, namun secara de facto kekuasaan khalifah dilucuti dan bermunculan dinasti-dinasti baru. Kemunculan dinasti Buwaihiyah[26] ini pada awalnya untuk menyelamatkan khalifah yang jatuh sepenuhnya di bawah kekuasaan para pengawal yang berasal dari Turki. Dominasi Buwaihiyah dimulai sejak diangkatnya Ahmad ibn Buwaihî oleh khalifah Al-Muktafî sebagai jasanya dalam menyingkirkan pengawal-pengawal Turki. Ahmad ibn Buwaihî diangkat sebagai amîr al-umarâ’ dan diberi gelar Mu‘izz ad-Daulah yang justru berikutnya menjadi senjata makan tuan guna menurunkan khalifah.[27] 
Pada masa ini dinasti Abbasiyah menghadapi dua problem yang besar yaitu: (1) Adanya pemerintah  tandingan, yaitu berdirinya Fathimiyah (967-1171 M.), dinasti Samaniyah di Khurasan (847-1055 M.), Hamidiyah di Suriah (924-1003 M.), Umayyah di Spanyol (756-1030.), Ghaznawiyah di Afghanistan (962-1187 M.). (2) Adanya perang ideologi antara Syiah dan Sunni.[28] 
Meskipun demikian, pada periode ini perkembangan ilmu pengetahuan masih mengalami perkembangan. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Fârâbî (870-950 M.), Ibn Sînâ (980-1037 M.), Al-Bîrûnî (973-1048 M.), Ibn Miskawaih (930-1030 M.), dan kelompok studi Ikhwân ash-Shafâ’.[29] 
Terdapat sederet nama penguasa yang berasal dari Buwaihi, yakni Mui‘zz ad-Daulah (942-967 M.), ‘Izz ad-Daulah (967-977 M.) ‘Âdldl ad-Daulah (977-982 M.), Syaraf ad-Daulah (982-989 M.), Bahâ’ ad-Daulah (989-1012 M.), Sulthân ad-Daulah (1012-1020 M.), Musyrif ad-Daulah (1020-1025 M.), Jalâl ad-Daulah (1025-1043 M.), ‘Imâd ad-Daulah (1043-1048 M.), Abû Nashr Mâlik ar-Rahîm (1048-1055 M.). 
~ Periode Pengaruh Turki kedua (447 H./1055 M.–590 H./1194 M.) 
Masa ini berawal ketika Saljuk mengontrol kekuasaan Abbasiyah dengan mengalahkan bani Buwaihi, dan berakhir dengan serbuan tentara mongol. Kekuasaan Saljuk berawal ketika penduduk Baghdad marah atas tindakan jenderal Arselan Basasieri yang memaksa rakyat Baghdad untuk menganut Syiah dengan cara menahan khalifah Al-Qâ’im (423-468 H./1031-1075 M.) dan menghapuskan nama-nama khalifah Abbasiyah dan menggantikannya dengan nama-nama khalifah Fathimiyah. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama dengan dikalahkannya Arselan oleh tentara bayaran Tughrul Bey, yang pernah menjadi tentara bayaran Abbasiyah. Atas jasanya ini, khalifah Al-Qâ’im menobatkannya sebagai penguasa yang sah dan resmi dengan gelar Sulthân wa Mâlik asy-Syarq wa al-Maghrib, serta mengawinkannya dengan putri Al-Qâ’im.[30] 
Pada periode ini khalifah Abbasiyah hanya memiliki wewenang dalam bidang keagamaan saja, para khalifah itu adalah Al-Muqtadî (468-487 H./1075-1094 M.), Al-Mustazhir (487-512 H./1094-1118 M.), Al-Mustarshid (512-530 H./1118-1135 M.), Ar-Rasyîd (530-531 H./1135-1136 M.), Al-Muqtafî (531-555 H./1136-1160 M.),  Al-Mustanjî (555-566 H./1160-1170 M.), Al-Mustadî (566-576 H./1170-1180 M.), An-Nâshir (576-622 H./1180-1225 M.), Adz-Dzâhir (622-623 H./1225-1226 M.),  Al-Mustanshir (623-640 H./1226-1242 M.) Al-Musta‘shim (640-656 H./1242-1258 M.). Sedangkan bidang lainnya berada di bawah dominasi Turki, dengan sederet nama penguasa sebagai berikut: Tughrul Bey (1058-1063 M.), Alp Arselan (1063-1072 M.), Maliksyah (1072-1092 M.), Barkiyaruq (1092-1117 M.), Mahmûd ibn Muhammad (1117-1119 M.), Sanggar (1119-1131 M.), Tughrul II (1131-1134 M.), Mas‘ûd ibn Muhammad (1134-1154 M.).[31] 
Pemerintahan Abbasiyah yang didominasi oleh pengaruh Turki kedua ini berlangsung sekitar 102 tahun. Rentang waktu yang cukup lama ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain:
1. Adanya visi pada diri penguasa Saljuk seperti Alp Arselan dan Maliksyah.
2. Adanya kesatuan kokoh antar keluarga Saljuk, yaitu (1) Saljuk Persia yang berkuasa di Baghdad, (2) Saljuk Kirmân, (3) Saljuk Syria, (4) Saljuk Iraq, (5) Saljuk Rûm.
3. Paham umum Saljuk yang sama dengan paham umum rakyat yaitu sunni.[32] 
Meskipun demikian, ilmu pengetahuan juga berkembang pada masa ini. Adalah Nidzâm al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malisksyah mendirikan madrasah Nidzâmiyah (1067) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang madrasah ini tersebar diwilayah Iran dan Khuraran. Banyak para cendekiawan yang lahir dari lembaga pendidikan ini, antara lain Az-Zamakhsyarî, Al-Qusyairî dan Al-Ghazâlî.[33] 
Setelah berakhirnya Mas‘ûd ibn Muhammad yang menghabisi kekuasaan Saljuk, maka kekhalifahan Abbasiyah dikacaukan lagi dengan adanya kaum Khuarzamsyah dari Turki yang dulunya menjadi pembantu Saljuk yang kemudian manamakan dirinya dengan Atabeg (Bapak raja/Amir). Berkuasanya kaum Khuarzamsyah dibawah kepemimpinan Sultan ‘Alâ’ ad-Dîn Takash memaksa khalifah An-Nâshir (576-622 H/1180-1225 M.), khalifah ke-34, untuk mencari dukungan dari luar, dari bangsa Tartar-Mongol guna menghancurkan lawan politiknya. Dan sikap inilah yang akhirnya menjadikan dinasti Abbasiyah jatuh di tangan Mongol pada masa Hulagu Khan cucu Jengis Khan. Dikarenakan bantuan yang diharapkan untuk menghancurkan Khuarzamsyah, justru memusnahkan Baghdad dan kota Islam lainnya.[34] 
~ Periode Kemunduran (590 H./1194 M.–656 H./1258 M.) 
Pada periode ini Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan menunjukkan melemahnya kekuasaan politiknya. Hingga akhirnya pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan berarti (656 H./1258 M.).
Adapun faktor yang mengakibatkan hancurnya dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi dua, internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: (1) adanya persaingan yang tidak sehat antara bangsa-bangsa yang terhimpun dalam dinasti Abbasiyah, terutama Arab, persia dan Turki. (2) Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah. (3) Munculnya dinasti-dinasti kecil[35]yang memerdekakan diri dari Baghdad. (4) Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.
Sedangkan faktor eksternal meliputi: (1) Perang Salib yang terjadi beberapa gelombang, (2) hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulaghu Khan.[36] 
Dari ulasan periodeisasi di atas terlihat jelas bahwa dinasti Abbasiyah lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluaasan kekuasaan wilayah dan kekuatan militer. Inilah perbedaan pokok antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayyah.
Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Abbasiyah yang tak terdapat dizaman dinasti Umayyah yaitu: (a) Ibukota dipindahkan ke Baghdad, akibat perpindahan ini, pemerintahan dinasti Abbasiyah menjadi jauh dari pegaruh dari Arab. Sedangkan dinasti Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga, pemerintahan Abbasiyah yang memunyai pengaruh kebudayaan Persia yang sangat kuat dan pada periode kedua dan keempat bangsa turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini. (b) Penyelenggaraan negara pada masa dinasti Abbasiyah terdapat jabatan Al-Wazîr, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ditemukan dalam pemerintahan dinasti Umayyah. (c) Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, sebelumnya, tidak ada tentara khusus yang profesional. 
Faktor Kemunduran Pemerintahan Abbasiyah 
Terdapat perbedaan antara pakar sejarah mengenai faktor yang menyebabkan Abbasiyah mundur (Hancur). Akbar S. Ahmed, dikutip Istianah, menyebutkan faktor Internal sebegai berikut: (2) Roda pemerintahan dijalankan dengan sistem kekeluargaan. (2) Tidak menerapkan syariah, dalam artian mereka tidak mengindahkan syariah, terbukti dengan kehidupan mereka dengan berfoya-foya. (3) Komunikasi yang buruk, sehingga tidak mampu mencakup wilayah kekuasaannya. (4) Administrasi keuangan yang kacau balau (menurunya ekonomi), dikarenakan amanat baitul mal yang disepelekan.[37] 
Sedangkan faktor eksternal, merupakan faktor yang datangnya dari luar Abbasiyah, menurut Salaby yang dikutip Istianah, sebagai berikut: (1) Faktor Politis sebagai akibat dari banyaknya aliran dalam Islam seperti Bani Hasyim dan lain sebagainya. Artinya semangat ‘ashabiyah yang begitu kuat. (2) Faktor agama baik berkaitan dengan posisi agama dan negara atau adanya pertentangan akal dan wahyu yang itu semua terejawantahkan dengan munculnya aliran keagamaan. (3) Selain itu juga terdapat serangan besar dari luar yang menyebabkan kemunduran Abbasiyah, yaitu Perang Salib dan serangan Mongol.[38] 
Tidak jauh berbeda dengan pendapat tersebut, Al-Ausarî mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan kemunduran dinasti Abbasiyah yaitu: (1) Munculnya pemberontakan keagamaan seperti pemberontakan Zindiq, Gerakan Qaramithah, Hasyasyiyun, serta munculnya pemerintahan Ubaidiyah dan gerakan kebatinan. (2) Adanya dominasi militer atas khalifah dan kekuasaan mereka sehingga banyak menghinakan dan merendahkan para khalifah dan rakyat. (3) Munculnya kesenangan terhadap materi karena kemudahan hidup yang tersedia pada saat itu. (4) Sesungguhnya faktor yang paling berbahaya yang menghancurkan pemerintahan Abbasiyah adalah karena mereka telah melupakan salah satu pilar terpnting dalam Islam, yaitu jihad. (5) Munculnya serangan orang-orang Mongolia yang mengakhiri semua perjalanan pemerintahan Abbasiyah.[39] 
Penutup 
Dari gambaran di atas bisa diambil beberapa point penting sebagai kesimpulan, yaitu: (1) Abbasiyah merupakan dinasti yang menjalankan kekuasaan terlama dibandingkan dengan dinasti-dinasti lain. Namun masa keemasan Islam sebenarnya hanya berlangsung pada periode pertama saja ( 132 H./750 M.–232 H./847 M.), terutama sejak khalifah Hârûn ar-Rasyîd sampai Al-Watsîq. (2) Pola pemerintahan Abbasiyah berbeda antara periode ke periode selanjutnya, hal ini dikarenakan terdapat dominasi-dominasi dari golongan Persia dan Turki, dimulai sejak khalifah Al-Mu‘tashim. (3) Melemahnya komunikasi dan keadaan pemerintah dan ketidakstabilan negara dimanfaatkan oleh daerah-daerah kekuasaan Abbasiyah untuk memisahkan diri dari Abbasiyah di Baghdad. (4) Dearabisasi ditandai dengan adanya campur-tangan orang-orang non Arab dalam pemerintahan Abbasiyah. (5) Pola kehidupan mewah dan berfoya-foya keluarga khalifah merupakan salah satu faktor penting yang mengakibatkan hancurnya Abbasiyah, selain faktor eksternal berupa banyaknya aliran kegamaan dan serangan Perang Salib dan tentara Mongol.[]
Daftar Pustaka
Abu Bakar, Istianah, Sejarah Peradaban Islam, 2008 (Malang; UIN Press)

Al-Ausairy, Ahmad. “Sejarah Pemerintahan Islam, sejak zaman Nabi Adam Hingga Abad xx” 2010(Jakarta Timur; AkbarArmedia)

Dewan Editor Ensiklopedi. “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam” 2005 ( Jakarta; PT Backtiar  Baru Van Hoeve)

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam , cet. Ke-6 , 1997 (jakarta; PT Ikrar Mandiriabadi)

J.V. Barus (et al), Perpustakaan Nasional RI “Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar” 2005, cet.4. (Jakarta ; Pt Ichtiar Baru Van Hoeve)

Khudhari Bek, Muhammad, “Muhadharah Tarikhu al-Umam al-Islamiyah: Daulah al-Abbasiyah” 1986 ( Beirut; Dar al-Qalam)

LAPIDUS, IRA. M.. “Sejarah Sosial Umat Islam”, Bag-1 dan 2. 1999 (Jakarta; Raja Grafindo Persada)

Lapidus, Iran M.“ A History og Islamic Sosieties” 1990 (Australia; Syndicate of The University of Cambridge)

Mahmud, Hasan Ahmad . “al-‘Alamu al-Islami Fi al-‘Ashri al-Abbasyi” 1995 (Mesir : Mathba’ah al-Madani)

Shodiqin, Ali. dkk, “Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern” 2009 (Yogyakarta: LESFI)

Sunanto, Musyrifah.“Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam”. 2003 (Jakarta; Prenada Media)

Yatim, Badri. “Sejarah Peradaban Islam”2008 (Jakarta; Rajagrafindo Persada)

Zagharut, Fatahi.“ Min Dzakhairi al-Turast al-islamy al-Nawajil al-Kubra Fi al-Tarikh al-Islamy ”2009 ( Mesir; al-Andalus al-Jadidah)

Zaydan, Jurji. “ History of Islamic Civilization” 1978 (India; Fine Prees)
[1] Lahir pada 104 H di al-Hamimah, dari seorang Ibu bernama Raithah binti Ubaidillah bin Abdullah bin abdul madani al-Haritsi. Lihat  Muhammad Khudhari Bek, “Muhadharah Tarikhu al-Umam al-Islamiyah: Daulah al-Abbasiyah” 1986 ( Beirut; Dar al-Qalam) . 57
[2] Orang non arab yang baru masuk Islam, dibebani pajak yang tinggi dibandingkan yang lain. Lihat Ali Shodiqin dkk, “Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern” 2009 (Yogyakarta: LESFI),. 98
[3] Ali Shodiqin dkk, “Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern” 2009 (Yogyakarta: LESFI) . 98
[4] Abu Abbas Al-Shaffah, yang menggantikan saudaranya Ibrahim, memimpin gerakan melawan Umayyah. Di bawah pimpinannya, bala tentara Abbasiyah terlibat perang melawan tentara Umayyah di Zab Hulu, sebuah anak sungai Tigris, disebelah timur Mosul, Irak. Pihak Abbasiyah berhasil memenangkan perang itu dan terus menuju Syam (Suriah). Abu Abbas naik tahta sebagai khalifah pertama pada tahun 750 M. Lihat : J.V. Barus (et al), Perpustakaan Nasional RI “Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar” 2005, cet.4. (Jakarta ; PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE) .1
[5] Ali Shodiqin dkk, “Sejarah Peradaban Islam “Op. Cit . 98
[6] Hasan Ahmad Mahmud “al-‘Alamu al-Islami Fi al-‘Ashri al-Abbasyi” 1995 (Mesir : Mathba’ah al-Madani) . 19-23.
[7] “Salah satu tulang punggung kekuatan Abu Muslim al-Khurasani, adalah kelompok Qais Yaman. Kelompok ini sangat membenci Bani Umayyah karena tersingkir dari lingkaran kekuasaan Bani Umayyah yang lebih memilih pesaing mereka, yakni suku arab dari willayah utara”, Mudhar. Lihat Ali Shodiqin dkk, “Sejarah Peradaban Islam “Op. Cit .. 99
[8]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Ensiklopedi Islam , cet. Ke-6 , 1997 (jakarta; PT Ikrar Mandiriabadi).  4.
[9] Iran M. Lapidus “ A History og Islamic Sosieties” 1990 (Australia; Syndicate of The University of Cambridge). 58
[10] Suwito, et. al. “ Sejarah Sosial Pendidikan Islam” Cet. I. 2005 (Jakarta; Prenada Media) 11
[11] Jurji Zaydan “ History of Islamic Civilization” 1978 (India; Fine Prees).142
[12] Musyrifah Sunanto “Sejarah islam Klasik, Perkembangan Ilmu pengetahuan Islam”. 2003 (Jakarta; Prenada Media) hlm. 50
[13] Terbukti dengan perkataan  al-Manshur “Innama ana Sulthanu Allah Fi al-Ardhi” Badri Yatim, M.A “Sejarah Peradaban Islam”2008 (Jakarta; Rajagrafindo Persada) . 52
[14] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, 2008 (Malang; UIN Press),. 72
[15] Nama aslinya Abu Ja’far Abdullah bin muhammad bin Ali, lahir di al-Humaymah pada 101 H. Muhammad Khudhari Bek, “Muhadharah Tarikhu al-Umam al-Islamiyah: Op Cit. 66
[16] Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam Op. Cit. 50
[17] Disebut juga dengan “Madinah Al-Salam”. Pembangunan Baghdad sebagai ibukota,  menumbuhkan dua pemukiman besar di sekitar istana.Al-Haribyah, merupakan perluasan perkampungan militer Abbasiyah dalam bentuk distrik-distrik mencapai bagian utara komplek Istana. Al-Karkh, pemukiman yang dihuni oleh pekerja pembangunan yang didatangkan dari IraqSyiriaMesir dan Iran. yang mencapai bagian selatan istana. Belum pernah terjadi di timur tengah sebuah kota sedemikian besar. Baghdad tidak hanya pusat kota, melainkan sebuah pusat metropolitan, yang merupakan percampuran berbagai unsur kedaerahan dari segala lapisan dan penjuru sungai Tigris. Pada abad kesembilan, luas kota ini mencapai 25 mil persegi, dan berpenduduk sekitar 300.000 sampai 500.000. Lihat, IRA. M. LAPIDUS. “Sejarah Sosial Umat Islam”,Bag-1 dan 2. 1999 (Jakarta; raja Grafindo Persada) . 104-105
[18] Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase : a)Fase Pertama, Pada masa khalifah al-Masyhur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq b)Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Makmun hingga abad 3 Hijriyah. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. c)Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, tafsir bi al-Ma’tsur  dan bi al-Ra’yi. Lihat Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam. Op.Cit. 56
[19]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Ensiklopedi Islam, Op. Cit .  7
[20] Badri Yatim, M.A “Sejarah Peradaban Islam”2008 (Jakarta; Rajagrafindo Persada) . 53
[21]  “Ja’far al-Mutawakkil, akhirnya mati terbunuh oleh para pemberontak dengan bantuan anaknya sendiri al-Muntashir, sebelum akhirnya al-Muntashir juga terbunuh karena dirancuni oleh para jenderal setelah 6 bulan menggantikan posisi ayahnya al-Mutawakkil”. Lihat  Dewan Editor Ensiklopedi. “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam” 2005 ( Jakarta; PT Backtiar  Baru Van Hoeve) . 98-99
[22] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Ensiklopedi Islam. Op.Cit   8
[23] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, Op.Cit . 73
[24] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam Ensiklopedi Islam Op.Cit ,  8
[25] Ibid. 
[26] Merupakan dinasti dari golongan Syiah di bagian barat laut iran. Dinasti ini dibangun melalui usaha-usaha bersama tiga bersaudara yang berhasil berkuasa secara berdampingan dengan damai antara satu dengan yang lain. Nereka adalah 1) Ali bin Buwaihi yang berkuasa di Ishfahan, 2) Hasan bin Buwaihi yang menguasai rayy dan jabal diwilayah Iran, 3) Muhammad bin Buwaihi (yang termuda), yang berada di Khuzuztan dan al-Ahwaz. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam  Ensiklopedi Islam, Op. Cit .  267.
[27] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban IslamOp.Cit. 74
[28] Ibid. 75
[29] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam  Ensiklopedi Islam, Op. Cit.  8
[30] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban IslamOp. cit. 76
[31] Ibid. 78
[32] Ibid. 79
[33] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam.  Ensiklopedi Islam. Op.Cit 8
[34] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam. Op.Cit . 79
[35] Diantaranya dinasti Saljuk di Perisa dan Iraq, dinasti Umayyah II di andalusia, dinasti Ikhsyidiyah dilanjutkan dengan Fatimiyah di Mesir, dinasti Zaidiyah al-Buwaihiyah di Persia, dinasti Aghalibah di Utara Afrika,  dan dinasti Ahmdaniyah di al-Hilb . Lihat:  Fatahi  Zagharut “Min Dzakhairi al-Turast al-islamy al-Nawajil al-Kubra Fi al-Tarikh al-Islamy ”2009 ( Mesir; al-Andalus al-Jadidah) 68-69
[36] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam .Ensiklopedi Islam , Op.Cit.  9
[37] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, Op.Cit. 84
[38] Ibid. 85
[39] Ahmad Al-Ausairy “Sejarah Pemerintahan Islam, sejak zaman Nabi Adam Hingga Abad xx” 2010(Jakarta Timur; AkbarArmedia) . 260







































Previous Post Next Post