A. Biografi Abu Yusuf
Nama lengkap Abu Yusuf adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al Ansari. Ia lahir di Kufah, Irak pada tahun 731 M (113 H)[1]. Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut Ansari karena dari pihak ibunya masih mempunyai hubungan dengan kaum Ansar (pemeluk Islam pertama dan penolong Rasulullah SAW di Madinah). Sehingga kata-kata al-Anshari pada namanya merupakan nisbah dari sebutan nasab tersebut[2].
Sejak Abu Yusuf masih kecil, beliau mempunyai minat ilmiah yang tinggi, tetapi karena keadaan ekonomi keluarganya yang lemah, maka beliau bekerja mencari nafkah. Dalam belajar, beliau sangat gigih dan menunjukkan kemampuan yang tinggi sebagai ahlulhadis danahlurra’yi yang dapat menghafal sejumlah hadist. Hingga kemudian beliau mendalami ilmu fiqh yang dipelajarinya pada Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila atau Ibnu Abi Laila. Kemudian beliau belajar pada Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Karena melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi untuk membiayai semua keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya.
Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan Mazhab Hanafi ke berbagai dunia Islam. Hadist yang diriwayatkannya diperoleh dari guru-gurunya, antara lain Abi Ishaq al Syaibani, Sulaiman al Taymi, Yahya bin Said al Ansari, A’masi, Hisyam bin Urwah, Ata’ bin Sa’ib, dan Muhammad Sihaq bin Yasir.
Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah. Ketika itu Abu Yusuf tetap mewarisi prinsip gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun dalam bidang pemerintahan, terutama jabatan kehakiman. Namun, sejak Imam Abu Hanifah wafat, keadaan ekonomi keluarganya semakin lama semakin memburuk, hal itu membuat karier keilmuannya tidak berkembang. Sehingga pada tahun 166 H/782 M beliapun meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad. Dan disinilah karier keilmuannya berkembang hingga beliau memegang jabatan dalam kehakiman. Abu Yusuf meninggal pada tahun 182 H/798 M[3].
Abu Yusuf adalah seorang mufti pada masa kekhalifahan Harun al Rasyid. Jabatan penting yang pernah diamanahi pada Abu Yusuf :
1. Pada tahun 159-169 H/775-785 M Abu Yusuf diangkat sebagai hakim oleh Khalifah Abbasiyah, al Mahdi di Baghdad Timur. Jabatan ini terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan al Hadi pada tahun 169-170 H/785-786 M. Jabatan yang dipegangnya pada masa ini hanya memberi wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara yang diajukan serta memberi fatwa bagi yang membutuhkannya.
2. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar Rasyid, tahun 170-194 H (786-809 M), beliau menjabat sebagai Qadi (hakim) dan Qadi al Qudah, hakim agung, sebuah jabatan tertinggi dalam lembaga peradilan pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid[4]. Jabatan ini belum pernah ada sejak Bani Umayyah sampai pada masa Khalifah al Mahdi dari Daulah Abbasiyah. Pada masa ini, wewenang dan tanggungjawabnya sebagai hakim lebih luas, yaitu disamping memutuskan perkara, juga bertanggungjawab menyusun materi hukum yang diterapkan oleh para hakim. Wewenangnya yang paling penting adalah mengangkat para hakim di seluruh negeri.
B. Karya-karya Abu Yusuf
Abu Yusuf merupakan seorang tokoh yang cukup mempunyai nama besar. Hal ini dikarenakan pola berpikirnya yang maju, dan beliau juga seorang tokoh yang paling banyak menentukan kebijakan-kebijakan dalam kehidupan nasyarakat dan bernegara pada masa itu. Selain dari itu, beliau juga tokoh ilmuwan yang brillian. Sebagai bukti adalah karya ilmiah dan tulisan beliau yang merespon beberapa gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan sosial dan agama.
Di antara karya-karya dan tulisan beliau adalah sebagai berikut:
1. Kitab al-Atsar
Sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya. Ia mengemukakan pendapat gurunya, Imam Abu Hanifah, kemudian pendapatnya sendiri dan menjelaskan sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila.
Didalamnya dikemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan ibn Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka[5].
3. Kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i
Kitab ini memuat beberapa pendapat dan pandangan Abu Yusuf tentang beberapa hukum Islam yang merupakan himpunan dari beberapa kritikan dan sanggahan-sanggahan beliau terhadap pendapat al-Auza’i di seputar perang dan jihad.
4. Kitab Adabu al-Qadhi
Sebuah kitab yang memuat tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim (Qadhi).
5. Kitab al-Maharij fi al-Haili
Kitab ini memuat tentang kajian biologi, tentang binatang-binatang dan hal-hal yang berkenaan dengannya.
6. Kitab al-Jawami’
Kitab ini banyak memuat tentang hal yang berkenaan dengan pendidikan[6].
7. Kitab al-Kharaj
Kitab ini merupakan karya monumental beliau. Selain kitab ini memuat tentang banyak masalah-masalah yang erat kaitannya dengan fenomena-fenomena sosial, kitab ini pun telah dijadikan sebagai panduan dalam menentukan kebijakan perekonomian pada masa dinasti Abbasiyyah, terutama sejak di bawah pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid. Dengan kitab ini pulalah beliau dinobatkan menjadi faqih dan juga sebagai tokoh ekonomi muslim klasik.
Kitab al-Kharaj mencakup berbagai bidang, antara lain:
a. Tentang pemerintahan, seoarang khalifah adalah wakil Allah di bumi untuk melaksanakan Perintah-Nya. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Kaidah yang terkenal adalah Tasharaf al-imam manuthum bi al-Maslahah.
b. Tentang keuangan, uang negara bukan milik khalifah tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dan penuh tanggung jawab.
c. Tentang pertanahan, tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
d. Tentang perpajakan, pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan pada kerelaan mereka.
e. Tentang peradilan, hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang subhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik dari pada kesalahan dalam menghukum. Jabatan tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan.
Selain dari beberapa kitab di atas sebagian ilmuwan menginformasikan tentang masih banyak lagi kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf, seperti kitab as-Salah (mengenai shalat), Al-Zakah (mengenai zakat), al-Shiyam (mengenai puasa), al-Bai’ (mengenai jual-beli), al-Fara’id (mengenai warisan), al-Wasiyyah (mengenai wasiat), dan lain-lain.
C. Latar Belakang Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal ini nampak dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, tidak keluar dari konteksnya. Ia berupaya melepaskan belenggu pemikiran yang telah digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan rasioanalitas dengan tidak bertaqlid.
Faktor ekstern, adanya sistem pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan.
Dengan keadaan seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-kharaj. Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yang dikirimkannya kepada penguasa dinasti Abbasiyah, khalifah harun al-rasyid. Dikemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut sebagai kitab al-Kharaj.
Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam pandangannya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yng lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan dalam hal pajak, ia telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai Canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya. Misalnya Abu Yusuf juga mengangkat kisah khalifah Umar ibn Khattab yang menghadapi kaum nasrani bani Tlaghlab. “Mereka adalah orang arab yang anti pajak, maka jangan sekali-kali kamu jadikan mereka sebagai musuh (karena tidak mau membayar pajak), maka ambillah dari mereka pajak dengan atas nama sedekah. Karena mereka sejak dulu mau membayar sedekah dengan berlipat ganda asal tidak bernama pajak”.
Mendengar hal itu pada mulanya Khalifah Umar menolak usulan ini, tetapi kemudian hari justru menyetujuinya, sebab didalamnya terdapat unsur mengais manfaat dan mencegah mudharat. Sebagai contoh dalam sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak.
Dalam bukunya Kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menguraikan kondisi-kondisi untuk perpajakan yaitu :
1. Charging a justifiable minimum (harga minimum yang dapat dibenarkan).
2. No oppression of tax-payers (tidak menindas para pembayar pajak).
3. Maintenance of a healty treasury (pemeliharaan harta benda yang sehat).
4. Benefiting both government and tax-payers (manfaat yang diperoleh bagi pemerintah dan para pembayar pajak).
5. In choosing between alternative policies having the same effects on treasury, preferring the one that benefits tax-payers (pada pilihan antara beberapa alternative peraturan yang memiliki dampak yang sama pada harta benda, yang melebihi salah satu manfaat bagi para pembayar pajak.
Abu Yusuf dengan keras menentang pajak pertanian. Ia menyarankan agar para petugas pajak diberi gaji dan prilaku mereka harus diawasi untuk mencegah korupsi dan praktek penindasan. Dan mengusulkan penggantian sistem pajak tetap (Lump Sum Sistem) atas tanah menjadi pajak proposional atas hasil pertanian. Sistem proposional ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi Automatic Stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi terlalu tajam. Bagi Abu yusuf metode pajak secara proposional dapat meningkatkan pemasukan Negara dari pajak tanah dari sisi lain mendorong para penanam untuk meningkatkan produksinya.
Abu Yusuf mengatakan : “Dalam pandangan saya, sistem perpajakan terbaik untuk menghasilkan pemasukan lebih banyak bagi keuangan Negara dan yang paling tepat untuk menghindari kezaliman terhadap pembayar pajak oleh para pengumpul pajak adalah pajak pertanian yang proposional. Sistem ini akan menghalau kezaliman terhadap para pembayar pajak dan menguntungkan keuangan Negara”.
Sistem pajak ini didasarkan pada hasil pertanian yang sudah diketahui dan dinilai, sistem tersebut mensyaratkan penetapan pajak berdasarkan produki keseluruhan, sehingga sistem ini akan mendorong para petani untuk memanfaatkan tanah tandus dan mati dan memperoleh bagian tambahan. Dalam penetapan angka, Abu Yusuf menganggap system irigasi sebagai landasannya, perbedaan angka yang diajukannya adalah sebagai berikut :
a. 40 % dari produksi yang diairi oleh hujan alamiah.
b. 30 % dari produksi yang diairi secara artificial 1/3 dari produksi tanaman (pohon palm, kebun buah-buahan dan sebagainya) 1/4 dari produksi tanaman musim panas.
Dari tingkatan angka diatas dapat dilihat bahwa Abu Yusuf menggunakan sistem irigasi sebagai kriteria untuk menentukan kemampuan tanah membayar pajak, beliau menganurkan menetapkan angka berdasarkan kerja dan modal yang digunakan dalam menanam tanaman.
Hal kontroversial dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada sunah Rasul. Dalam hal ini beliau mengutip hadits-hadits Rasullullah SAW. Yang mengatakan bahwa “Tinggi dan rendahnya barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan kita tidak bias mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut”. (riwayat Abdu a-Rahman bin Abi Laila dari Hikam bin ‘u Taibah)
Dan hadis yang menyatakan “Sesungguhnya urusan tinggi rendahnya harga suatu barang punya kaitan erat dengan kekuasaan Allah Swt. Aku berharap dapat bertemu dengan tuhanku dimana salah seorang diantara kalian tidak akan menuntutku karena kezaliman” (Hadits Tsabit Abu Hamzah al-Yamani dari Salim bin Abi Ja’ad).
Dan “. . .Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah serta pemberi rezeki. aku mengharapkan dapat menemui tuhanku dimana salah seorang diantara kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta”. (riwayat Sufyan bin Uyainah, dari Ayub dan Hasan).
Abu yusuf menyatakan bahwa hasil panen yang berlimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan sebaliknya, Kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil observasi. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun disisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga. Secara tegas AbuYusuf mengatakan ada beberapa variabel-variabel lain yang mempengaruhi, namun beliau tidak menjelaskan secara rinci.
Tapi bias dari variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu Negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Dapat dilihat bahwa pemikiran AbuYusuf menggambarkan adanya batasan-batasan tertentu bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan harga. Abu Yusuf lebih banyak mengedepankanra’yu dengan menggunakan perangkat analisis qiyas dalam upaya mencapai kemaslahatan‘ammah sebagai tujuan akhir hukum, yang didasarkan pada al-qur’an, al-hadits, maupun landasan-landasan lainnya. Hal ini yang nampak dalam pembahasannya kitab al-Kharaj, kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Yusuf adalah maslahah/kesejahteraan, baik sifatnya Mikro (individu) maupun Makro (kelompok).
D. Teori Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
1. Mekanisme
Abu Yusuf dalam membenahi sistem perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki hak bila ekonomi tidak adil[7].
a. Menggantikan sistem Wazifah dengan sistem Muqasamah
Wazifah dan Muqasamah merupakan dua istilah yang digunakan Abu Yusuf dalam membahas sistem pungutan pajak. Menurut Abu Yusuf, sistem Wazifah perlu diganti dengan sistemMusaqamah, karena Musaqamah merupakan sistem yang bisa mencapai keadilan ekonomi[8]. Sistem Wazifah adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan.
Sedangkan sistem Muqosomah merupakan sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan presentase penghasilan atau pajak proporsional, sehingga pajak diambil dengan cara yang tidak membebani kepada masyarakat.
b. Membangun Fleksibilitas Sosial
Yang sering menjadi perbincangan dan diskusi yaitu ketika konsep agama dan negara dihadapkan tentang Muslim dan non-Muslim, diantaranya warga negara yang non-Muslim harus membayar pajak, sedangkan warga Muslim tidak diharuskan. Islam hanya mengakui warga Muslim yang mendapat kepastian hukum penuh, sedangkan non-Muslim tidak. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, Musta’min, dan Zimmi.
Ketiga kelompok ini mendapat perhatian khusus dalam pandangan Abu Yusuf, dengan memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah sesuai status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan, serta ketentuan hukum lainnya. Perhatian khusus tersebut diantaranya terlihat dalam mekanisme penetapan pajakJizyah terhadap mereka[9].
c. Membangun Sistem Politik dan Ekonomi yang Transparan
Menurut Abu Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara transparan[10], karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.
Pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan Insidental Revenue (Ghanimah dan Fai’) maupun Permanent Revenue (Kharaj, Jizyah, Ushr, dan Shadaqah/Zakat) dijelaskan secara transparan pengalokasiannya kepada masyarakat, terutama kaitannya dengan fasilitas publik.
Transparansi ini terwujud dalam peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan (al-Adalah), kehendak bebas (al-Ikhtiyar), keseimbangan (al-Tawazun), dan berbuat baik (al-Ikhsan).
d. Menciptakan Sistem Ekonomi yang Otonom
Salah satu upaya untuk mewujudkan visi ekonomi dalam pandangan Abu Yusuf adalah upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi pemerintah)[11].Dalam hal ini, mekanisme kerja yang beliau tawarkan adalah analisisnya terhadap regulasi harga yang bertentangan dengan teori supply and demand.
Bagi beliau, jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolak ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tapi ada kekuatan lain yang lebih menentukan.
2. Keuangan Publik
Yang menjadi prinsip dasar pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi adalah bahwa semua kekayaan yang dikumpulkan dan dikelola oleh khalifah adalah amanah dari Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Semua kebijakan negara harus mengedepankan aspek kepentingan rakyat seluas-luasnya.
Dalam konsep keuangan publik, penerimaan negara menurut Abu Yusuf dapat diklasifikasin dalam beberapa kategori utama, yaitu:
a. Ghanimah
Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui peperangan. Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik[12]. Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.
b. Pajak (Kharaj)
Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari non-Muslim[13]. Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai pajak antara lain sebagai berikut:
a) Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam.
· Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
· Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
· Wilayah yang dimiliki muslim diluar Arab (membayar Usyr).
b) Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai.
· Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr).
· Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj).
c) Tanah taklukan
· Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.
· Tanah taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayarKharaj.
· Tanah yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
· Tanah yang ditahan Negara, maka kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr danKharaj.
c. Zakat
Pertama, zakat pertanian[14]. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr, yaitu 10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyahmenurut Abu Yusuf adalah :
a) Lahan yang termasuk jazirah arab, meliputi Hijaz, Makkah, Madinah dan Yaman.
b) Tanah tandus atau mati yag dihidupkan kembali oleh orang slam.
c) Setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar.
d) Tanah yang diberikan kepada orang Islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi kita kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.
e) Tanah yang dimiliki oleh orang Islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melahirkan diri dari peperagan.
Kedua, objek zakat adalah zakat dari hasil mineral atau barang tambang lainnya. Abu Yusuf dan Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa standar zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti ganimah 1/5 atau 20% dari total produksi.
d. Faiy’
Faiy’ adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslimin dari harta orang kafir tanpa peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan[15].
Semua harta faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyrmerupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.
e. Usyr (Bea Cukai)
Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah dan penduduk kaum Harbi yang melewati perbatasan Negara Islam. Usyr dibayar dengan cash atau barang[16]. Abu yusuf, melaporkan bahwa Abu Musa Al- As’ari, salah seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah Umar bahwa para pedagang Muslim dikenakanbea cukai dengan tarif sepersepuluh di tanah-tanah Harbi. Khalifah Umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea cukai dari mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang Muslim.
Tarif usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia Muslim maka ia akan dikenakan zakat pedagang sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan ahl jimah dikenakan tarif 5%, kafir harbi dikenakan tarif 10%. Selain itu, kafir harbi dikenakan bea cukai sebanyak kedatangan mereka ke Negara Islam dengan barang yang sama tetapi, bagi pedagang Muslim dan pedagang ahl jimmah bea cukai hanya dikenakan sekali dalam setahun.
Dalam pengumpulan bea cukai, Abu Yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
Pertama, barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan. Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad al-anshari, atau yang sering dikenal Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113H (731M) dan meninggal dunia tahun 182H (789M). Sejak Abu Yusuf masih kecil, beliau mempunyai minat ilmiah yang tinggi, tetapi karena keadaan ekonomi keluarganya yang lemah, maka beliau bekerja mencari nafkah. Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Imam Abu Hanifah.
Kitab-kitab karya Abu Yusuf adalah Kitab al-Atsar, Kitab al-Kharaj, Kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i, Kitab Adabu al-Qadhi, Kitab al-Maharij fi al-Haili, Kitab al-Jawami’, Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila dan masih banyak lagi.
Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi dipengaruhi 2 faktor, yaitu:
a. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal ini nampak dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, tidak keluar dari konteksnya. Ia berupaya melepaskan belenggu pemikiran yang telah digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan rasioanalitas dengan tidak bertaqlid.
b. Faktor ekstern, adanya sistem pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan.
Pemikiran Abu Yusuf memperlihatkan perhatiannya yang besar pada sistem perekonomian yang semakin berkembang. Dan tanpa kehilangan jati dirinya, beliau mengedapankan nilai-nilai moral dan sosial yang merupakan salah satu implementasi dari pemahaman keislaman yang begitu mendalam. Kitab Al-Kharaj karyanya merupakan salah satu literatur dan bahan rujukan bagi para pemikir sesudahnya maupun pemikir-pemikir kontemporer dalam menyusun kembali sistem Islam yang sempurna dari sisi ekonomi.
Bukan hal yang mustahil jika dikemudian hari terbentuk sistem ekonomi Islam yang utuh yang merupakan hasil dari para pemikir ekonomi Islam klasik maupun kontemporer. Dengan tetap berbasis pada sayari’at ( Qur’an dan Sunnah ).
[1] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer.(Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005),
[2] “Biografi Abu Yusuf”. http://biografi Abu Yusuf.com/, diakses 26 September 2012.
[3] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006),
[4] Madjid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003.
[5] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada), hal 231-232.
[6] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta. Ekonisia. 2003. Hal. 152
[7] “Teori Pemikiran Abu Yusuf”. http://Teori Pemikiran Abu Yusuf.com/, diakses 26 September 2012.
[8] Ibid.
[9] “Teori Pemikiran Abu Yusuf”. http://Teori Pemikiran Abu Yusuf.com/, diakses 26 September 2012.
[10] Madjid, M. Nazori, Pemiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003.
[11] “Biografi Abu Yusuf”. http://biografi Abu Yusuf.com/, diakses 26 September 2012.
[12] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer, hal 72.
[13] Ibid. hal 76.
[14] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer, hal 72.
[15] Ibid. hal 74..
[16] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer, hal 75.