BEDUG & KENTONGAN SEBAGAI SARANA DAKWAH

Oleh Muhibbin
Ketika kita memasuki sebuah masjid, terutama masjid di desa-desa yang memiliki tradisi keagamaan lama, kita akan menemukan pasangan bedug dan kentongan yang umumnya ditaroh di sudut bagian belakang. Keduanya mempunyai peran sebagai sarana untuk mengumpulkan kaum muslimin dan muslimat ketika waktu sholat tiba.
Namun tahukah Anda bagaimana sejarah bedug dan kentongan? Bahkan seorang takmir pun belum tentu mengetahui sejarah keduanya, meski sang takmir sudah bertugas hampir setengah abad memakmurkan masjid, khususnya dalam menjaga waktu sholat. Seperti takmir masjid Baitul Muttaqien Wargabinangun  dan masjid Nurul Hidayah Dawuan, kedua takmir ini ketika ditanya distributor al-Basyar Fahmina tentang bagaimana  asal-usul bedug dan kentongan dijadikan penanda waktu di Masjid,  mereka menjawab “tidak tahu”.

Mereka hanya mampu menjawab bagaimana proses pembuatan bedug dan kentongan. Menurut takmir masjid Baitul Muttaqien, Ustadz Majali,  bedug yang telah berumur satu abad ini terbuat dari rangkaian kayu jati tua yang diikat dengan simpe atau besi panjang tapi tipis membentuk silinder dengan ukuran yang luar biasa besar. Kayu jati ini cukup kuat dan tahan rayap, tidak mengherankan jika pergantian bedug hanya dilakukan pada kulit kerbaunya saja yang menutupi bagian sisi kanan dan kiri. Sampai saat ini sudah dilakukan lima kali pergantian kulit selama masjid didirikan.
Bedug memang memiliki dua lubang, yakni lubang sisi  kanan dan lubang sisi kiri  yang keduanya ditutup dengan kulit kerbau dan dikunci dengan paku yang terbuat dari kayu hingga kokoh. Menurutnya, kulit kerbau yang bagus untuk bedug adalah kulit kerbau yang masih berusia muda, entah itu kerbau jantan atau betina. Suaranya akan terdengar lantang, berbeda dengan kulit kerbau yang sudah berumur tua yang menghasilkan suara tidak begitu jelas.
Hal ini berbeda dengan pendapat takmir masjid Nurul Hidayah Dawuan. Menurutnya, kulit yang baik untuk bedug adalah kulit kerbau betina yang halus, sedangkan kayu slinder untuk bedug terbuat dari kayu gelondongan pembulutan yang cukup besar dengan dilubangi di tengah-tengahnya.
Suara bedug sangat jelas terdengar untuk satu kampung pada zaman dahulu. Hal ini disebabkan karena masih sedikitnya rumah penduduk. Pada waktu itu rumah penduduk masih berupa gubuk, sehingga memungkinkan suara bedug menelusuk lorong-lorong rumah penduduk.  Berbeda dengan sekarang, suara bedug tidak bisa terdengar oleh seluruh penduduk kampung karena banyaknya rumah yang berdekatan sehingga membuat hunian kampung menjadi sumpek. Suara bedug hanya terdengar di sawah-sawah, karena ruangnya luas tidak tersekat-sekat oleh rumah atau bangunan. Suara yang hampir terdengar oleh orang sekampung justru dari kentongan. Kentongan  sendiri biasanya terbuat kayu nangka.
Bedug dan kentongan memang sudah menjadi ciri khas dari masjid, baik yang berada di Cirebon maupun Indonesia dengan bentuk yang cukup beragam. Namun al-Basyar Fahmina mendapatkan ketidakjelasan dari  asal-usul keduanya.  Hal ini, misalnya, dari penuturan ketiga tokoh masyarakat yang setiap hari beraktifitas di masjid.
Tokoh pertama adalah pengurus DKM masjid Baitul Muttaqien Wargabinangun. Beliau menjelaskan bahwa asal-usul bedug bermula dari musyawarah kaum Muslimin bersama Nabi di Madinah ketika mau mencari jenis   petanda untuk mengumpulkan kaum muslimin saat waktu sholat tiba. Salah satu usul sahabat adalah bedug, demikian penjelasan tokoh ini. Namun ketika distributor al-Basyar Fahmina menelusuri kebenaran pendapat tokoh tersebut dalam  kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan yang merupakan kumpulan Hadits Bukhori Muslim. Distributor Fahmina tidak menemukan sama sekali cerita tentang bedug. Dalam Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar hanya menyebutkan usulan dari sahabat tentang penanda waktu, yakni dengan bel atau lonceng sebagaimana kaum Nashara, ada juga yang mengusulkan terompet seperti kaum Yahudi, kemudian ada juga yang mengusulkan menyalakan api unggun, hingga akhirnya Allah menunjukkan dalam mimpi sahabat yang mendapat contoh azan. Kemudian  disepakati oleh Nabi.
Tokoh kedua adalah pengurus DKM Nurul Hidayah Dawuan yang menjelaskan sepenggal cerita ketika beliau masih kecil. Cerita ini berasal dari kerabatnya di Desa Kalisapu yang sudah sepuh. Menurutnya, bedug diambil dari budaya masyarakat Hindu. Pada waktu itu, mereka menyukai seni pertunjukan wayang. Ketika terjadi pertunjukan wayang, lanjutnya, orang-orang berbondong-bondong datang ke lokasi. Jika waktu masih sore, mereka yang mempunyai banyak uang akan menghabiskannya dengan judi dengan aneka permainannya  dan minuman keras yang memang tersedia di lokasi pertunjukan wayang. Hanya anak kecil atau orang yang tidak memiliki uang untuk jajan, duduk anteng di depan pertunjukan wayang.
Baru ketika waktu menunjukkan pukul 22.00 malam, sang Dalang memukul bedug sebagai awal babak yang berisi peperangan. Ketika bedug ditabuh, para pengunjung segera berkumpul meninggalkan mainan, baik judi maupun minuman keras, untuk bersama-sama melihat pertunjukan peperangan dalam cerita wayang, yang mungkin seru dan menarik.
Fenomena ini kemudian diambil oleh para wali menjadikan bedug ditambah kentongan untuk menarik perhatian masyarakat agar berkumpul di sekitar masjid. Ketika masyarakat sudah berkumpul, mulailah sang wali memasukkan dakwah Islam di hati mereka. Falsafah bedug dan kentongan sendiri menurut tokoh yang alumni Pondok Lirboyo Kediri ini adalah jika kentongan ditabuh yang berbunyi tong…tong…tong.. berarti waktu kerja mencari rizki sudah entong atau habis. Kemudian, disambung dengan suara bedug yang berbunyidengdengdeng…. yakni waktu sedang untuk melaksanakan ibadah sholat. Nama bedug juga mempunyai pesan kehidupan, yakni jangan udug-udug atau sombong, congkak sebagai manusia ketika hidup di dunia, karena sikap ini akan meruntuhkan diri.
Tokoh terakhir yang juga seorang kyai, menceritakan bahwa bedug dan kentongan merupakan strategi dakwah dari Sunan Kalijaga untuk mempercepat penerimaan masyarakat terhadap Islam. Menurutnya, tujuh dari sembilan Wali ini di antaranya adalah seorang habib yang berasal dari luar Indonesia, satu percampuran antara Jawa dan Arab, yakni Sunan Gunung Jati, dan satu asli Jawa, yakni Sunan Kalijaga.
Pada sidang Walisongo, Sunan Ampel yang merupakan wali sepuh menghendaki pelaksanakan syari’at Islam untuk tanah Jawa sebagaimana telah dijalankan umat Islam di semenanjung Arab. Pendapat ini kemudian disanggah oleh Sunan Kalijaga, bahwa agar Islam menyebar luas  di tanah Jawa perlu memperhatikan adat istiadat masyarakat setempat dengan menumpangi ajaran Islam di dalamnya. Salah satunya adalah lewat bedug dan kentongan yang merupakan alat keseniaan yang sudah akrab di mata masyarakat. Bedug dan kentongan diambil, karena suaranya yang khas dan mempunyai falsafah sendiri  yang sama dengan pendapat tokoh kedua.
Dengan model dakwah Sunan Kalijaga ini, Islam dapat diterima secara luas oleh masyarakat Jawa yang kemudian menyebar ke seantero Nusantara. Itulah bentuk kearifan seorang juru dakwah.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post