SERBUAN IDEOLOGI PASAR



Suara Merdeka, 30 Januari 2007

''Serbuan'' ideologi pasar makin menggoyahkan nilai-nilai kehidupan yang selama ini dianggap merupakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Ada kecenderungan, ideologi pasar menjadikan orang bersifat konsumtif, mengukur harga diri berdasarkan materi, mendewakan uang serta materi. Karakteristik tersebut, tentu saja dapat menggerus nilai-nilai seperti hemat, menahan diri, tidak jor-joran, tidak pamer kekayaan/kemewahan dan sejumlah sifat-sifat lainnya yang selama ini dianggap luhur oleh bangsa Indonesia. Lantas bagaimana sebaiknya bangsa menyikapi makin melunturkan nilai-nilai luhur bangsa?
Apa yang dilontarkan Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha, M.Si. pada Seminar Nasional ''Menempatkan Kepentingan Nasional dalam Percaturan Global'' betul-betul membuka mata, hati dan telinga. Dalam seminar yang diselenggarakan Universitas Hindu Indonesia (Unhi) bekerja sama dengan Lemhanas di kampus setempat Selasa (18/4), dia menyebut nilai-nilai luhur Pancasila semakin jarang digaungkan. Seolah-olah sudah lapuk dan ketinggalan zaman. Masih wajarkah kita menyebut diri sebagai seorang nasionalis?
Mengutip pendapat Manfred B. Steger dalam bukunya ''Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar'', Gunadha mengatakan bahwa globalisme adalah ideologi pasar neoliberalisme. Ciri-ciri ideologi ini, meyakini mekanisme pasar berdasarkan konsep-konsep neoliberalisme adalah yang terbaik. Karenanya harus didorong terus untuk diimplementasikan. ''Sebagaimana halnya sebuah ideologi yang membicarakan gagasan, ide-ide berdasarkan cara pandang tertentu, ideologi ini pun berusaha terus memperluas pengaruhnya,'' katanya. Gunadha menilai saat ini sudah terjadi proses depancasilaisasi di Indonesia. Pancasila secara apriori cenderung dianggap tidak relevan atau ketinggalan zaman sehingga tidak lagi dihargai dan dimaknai secara penuh. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap Pancasila hanya alat represi pemerintah terhadap rakyat. Padahal, kalaupun benar Pancasila pernah digunakan sebagai alat kekuasaan untuk merepresi dan mengebiri hak-hak politik rakyat, bukan berarti Pancasila sudah berakhir. ''Justru, sebenarnya Pancasila belum pernah dilaksanakan dengan benar bahkan sampai detik ini. Jika kita objektif memberi penilaian, Pancasila sejatinya merupakan konsep yang sangat bagus dan komprehensif. Banyak ahli di dunia mengatakan Pancasila adalah ideologi yang lengkap karena mencakup berbagai aspek yakni ketuhanan, kemanusian, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial. Tidak banyak ideologi yang mencakup demikian banyak aspek kehidupan,'' katanya.
Lebih-lebih kalau melihat pengalaman selama ini, rapuhnya pengamalan terhadap ideologi Pancasila itu meninggalkan sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Pengalaman buruk berupa penyalahgunaan oleh kekuasaan menyebabkan rasa antipati dan apriori itu tumbuh subur.
 Ideologi Dunia

Ditambahkan, banyak orang mengatakan kapitalisme sudah menjadi ideologi dunia. Lebih-lebih sejak runtuhnya kekuatan ''raksasa'' blok komunis-sosialis, maka hegemoni kapitalisme dalam mempengaruhi pola pengambilan keputusan, kebijakan dan implementasinya di masyarakat dalam berbagai tingkatan makin kuat dan kokoh. Namun, perlu dipertanyakan apakah benar hanya kapitalisme yang mampu memakmurkan?
Menjawab pertanyaan itu, Gunadha mengajak belajar dari Cina. Secara ekonomi, Cina sangat maju. Namun bukan berarti Cina sudah meninggalkan sosialisme dan menganut kapitalisme. Maknanya, klaim kapitalisme/neoliberalisme sebagai satu-satunya cara meraih kemakmuran masih bisa diperdebatkan. Di pihak lain, pernyataan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu bahwa demokrasi tidak menjamin kemakmuran juga tidak boleh dimaknai secara kontrari-ekstrem bahwa untuk mencapai kemakmuran lalu harus tidak demokratis. ''Tentu saja, bukan itu maknanya,'' ujarnya.
Demokrasi, tambahnya, harus dimaknai lebih sempurna. Sebagai suatu konsep atau sistem, demokrasi bukanlah sistem yang paling sempurna. Karena demokrasi bisa dimaknai sesuai aneka kepentingan. Ekses yang paling sering terjadi adalah demokrasi menjurus menjadi anarkisme. Ekses lain yang tak kalah berbahaya adalah demokrasi menjelma menjadi tirani kaum mayoritas terhadap kelompok minoritas. Padahal dalam konsepnya yang ideal, semestinya tak ada suatu kepentingan pun dari kelompok minoritas yang boleh dikorbankan hanya lantaran kalah suara atau kuantitatif. ''Justru sebaliknya, demokrasi mestinya mampu membela dan mengartikulasikan kepentingan kelompok minoritas yang cenderung termarginalkan,'' tegasnya.
 Sebagai sebuah bangsa, kata dia, Indonesia dituntut mampu menentukan sistem ekonomi terbaik tanpa harus terjebak pada pilihan apakah kapitalistik atau sosialistis. Sebab, sistem ekonomi bukanlah sesuatu yang harus ditentukan lebih dulu untuk diterapkan secara membabi-buta tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi khusus yang ada di masyarakat. Ditambahkan, konsep bangsa sebagaimana termuat pada pasal 33 UUD 45 sepertinya makin diabaikan dan dilabrak. ''BUMN-BUMN dijual atau diprivatisasi, padahal itu menguasai hajat hidup orang banyak. Di sisi lain, sejumlah kebijakan terlalu berorientasi menarik iklim investasi sehingga terkadang melalaikan kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan nasional,'' katanya mengkritisi.
 Identitas Budaya

 Ditambahkan, masalah ras, etnisitas dan nasionalitas adalah masalah-masalah yang vital. Semua itu merupakan bentuk identitas budaya, yang dipandang sebagai konstruksi permormatif-diskursif, merupakan ciptaan budaya di mana kita mengidentifikasikan diri kita. Secara umum, identitas ras, etnik atau bangsa terbentuk dari kesadaran akan beberapa kesamaan (norma, nilai, simbol dan praktik budaya) dalam konteks historis, politik, sosial tertentu. Kesadaran itu sejatinya bersumber dari kesadaran tentang perbedaan antara ''kita'' dan ''bukan kita''.
Sayang, konsep tentang siapa-siapa yang termasuk bukan kita (konsep otherness) seringkali justru oleh kelompok tertentu dengan tujuan tertentu sengaja dikonstruksi dan dipelihara. Akhirnya, etnisitas dipahami sebagai proses pembentukan sekat yang dikonstruksi dan dipelihara pada kondisi sosio-historis tertentu.
''Dalam konteks ini, bagaimana meneguhkan identitas keindonesiaan tampaknya perlu dikembangkan dalam menjaga keberbedaan kita dalam arti positif. Akan sangat disayangkan jika suatu saat nanti dunia ini akan seragam. Di mana-mana orang memakai pakaian sama, tinggal di bangunan yang bentuknya seragam di seluruh dunia, beribadah dengan cara yang sama dan seterusnya, maka dunia ini akan begitu membosankan. Salah satu cara efektif memelihara identitas keindonesiaan itu adalah memagari mana yang jadi ciri khas kita yang tidak dimiliki bangsa lain dan memeliharanya dengan sepenuh daya,'' paparnya.
Diakui, kegamangan identitas memang cenderung menjadi-jadi dalam dunia yang makin kecil dan tanpa batas ini. Kecenderungan hedonisme, individualisme, materialisme, pragmatisme makin menguat seiring makin bebasnya arus informasi yang membawa berbagai macam nilai dari seluruh penjuru dunia. ''Karena itu diperlukan strategi kebudayaan yang tepat, yang melibatkan ahli kebudayaan, media, psikologi dan sebagainya guna mengatasi semua itu,'' tegasnya.
Perayaan Multikulturalisme
Dewasa ini, kata dia, pandangan yang dikenal dengan multikulturalisme (perbedaan bukanlah masalah-red) makin menyebarluas dan mendunia. Sayang, cara memperlakukan perbedaan itu yang justru menjadi sumber masalah. Dalam kaitan ini, founding fathers bangsa Indonesia Soekarno-Hatta sebenarnya sudah sangat bijaksana dan visioner ketika mengutip semboyan dari kitab Sutasoma yakni Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional di negara yang majemuk ini. ''Semboyan itu bisa dijadikan perekat untuk tetap mempersatukan bangsa ini,'' ujarnya.
Menurutnya, tantangan terbesar dalam perayaan multikulturalisme di Indonesia saat ini adalah menguatnya etnosentrisme dan fanatisme agama yang berlebihan. Padahal, jika mau berkaca dari sejarah perjalanan negeri ini, semua agama telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan NKRI. Hindu dan Buddha yang telah hidup berabad-abad di negeri ini telah mampu meletakkan tatanan hidup bernegara, norma-norma masyarakat, kebudayaan, bahkan ideologi bangsa ini. Sementara Islam dengan semangat ''jihad'' dan kemapanan organisasinya telah mampu mengarahkan perjuangan Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Kristen juga tak kalah penting peranannya dalam memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi negeri ini. ''Artinya, perbedaan sudah jadi bagian penting dalam pembangunan negeri ini dan tentunya dengan menghargai perbedaan itu pula negeri ini bisa dibangun kembali,'' katanya mengingatkan. * sumatika

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post