RESENSI : SEPOTONG SURGA DI ANDALUSIA



Buku: Sepotong Surga di Andalusia
Penulis: Maria Rosa Menocal
Penerbit: Mizan, 2006
Halaman: xix + 409 halaman

 Buku ini ditulis oleh Maria Rosa Menocal. Seorang Profesor bahasa Spanyol dan Portugis di Yale University. Buku ini jadi memikat karena terdapat kisah sejarah yang mengaggumkan. Tentang bagaimana Islam tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang majemuk. Tentu ini bukan sekedar cerita mengenai buku ini melainkan juga bagaimana Andalusia jadi potongan sejarah yang pantas dipelajari. Masa silam  yang sekarang ini banyak dirindukan oleh sejumlah Gerakan Islam untuk dihidupkan kembali.
Masa keemasan yang telah membawa Islam sebagai ajaran yang terbuka, toleran dan melindungi minoritas. Masa gemilang yang membawa Islam dalam budaya pengetahuan yang mengagumkan sekaligus mempengaruhi abad-abad berikutnya. Ini adalah pintu dimana Eropa menemukan kekayaan pengetahuan sebenarnya. Semangat yang kini menjadi penting untuk dihidupkan kembali dan menjadi relevan untuk ditengok. Setelah banyak kecaman, tuduhan bahkan segala bentuk kesangsian atas Islam. Juga perlu dilihat setelah banyak gerakan Islam selalu membaca masa lampau hanya dalam sudut pandang ’syariah’ dan ’khilafah’. Masa lampau ternyata lebih kaya ketimbang itu. Andalusia membuktikan masa lampau yang toleran, maju, terbuka dan penuh dengan karya-karya agung.
Andalusia diibaratkan sepotong surga. Kota yang dipimpin oleh salah satu keturunan Bani Umayyah. Bersinar, melimpah dan memiliki kekayaan pengetahuan. Padahal kota itu tegak dari tangan seorang pelarian. Abd Al-Rahman masih muda dan nekat. Keturunan terakhir Dinasti Umayyah. Cucu Hisyam, khalifah kesepuluh Damaskus. Ditembusnya gunung pasir Afrika untuk menghindar dari pembantaian ganas dinasti Abbasiyah. Semua keluarganya musnah. Kala itu Abd Al-Rahman masih berusia awal dua puluhan tahun. Berlari ke arah barat menuju perbatasan yang sangat jauh. Menembus Palestina, Mesir dan Afrika Utara. Kebetulan ibunya salah satu keturunan suku Barber. Salah satu suku dari daerah yang kini populer dengan nama Maroko. Kesanalah Abd Al-Rahman berlari. Di daerah yang disebut oleh kaum muslim sebagai ’Maghrib’ (Barat Jauh) kekuasaan Ummayah yang telah roboh coba ditegakkan. Bukan seperti sebuah kisah persilatan yang pekat dengan adegan duel. Kekuasaan itu tegak memang lewat duel dengan penguasa lokal. Silih berganti terjadi peperangan. Tapi yang paling memukau adalah cara Abd al-Rahman dalam menegakkan sekaligus memperluas kekuasaanya. Andalusia negeri yang bertahan tidak saja lewat serdadu. Lebih banyak oleh pertemuan kebudayaan. Lebih banyak oleh kemampuan untuk saling belajar. Anak muda pelarian itu bukan saja membuktikan sebagai penguasa. Dirinya membawa kecerdasan yang sempurna.
Abd Al-Rahman yang dijuluki sebagai ’elang Quraisy’ mampu meramu kedua kekuatan itu. Anak muda yang hidup dalam zaman pertengahan itu memilih untuk menjadi jembatan atas arus kebudayaan yang beragam. Disitu terdapat kaum Yahudi, Kristen dan Muslim yang hidup berdampingan. Abd Al-Rahman berada di titik temu beragam keyakinan itu. Dan sebagai penguasa pintar diramunya keberagaman itu menjadi kekayaan tak ternilai yang hingga sekarang dikenang oleh sejarah.  Kordoba salah satu kekayaan paling bernilai dari penguasa Ummayah. Salah satu kota Andalusia yang agung. Pameran kemakmuran dilukis dalam frase pemandangan di kota itu. Di sana, terdapat: sembilan ratus kamar mandi umum dan puluhan ribu toko; ratusan atau mungkin ribuan masjid; air yang mengalir dari saluran air; jalan-jalan yang mulus dan penuh dengan penerangan, perpustakaan khalifah yang mengoleksi sekitar empat ratus ribu buku dan itu hanya salah satu dari tujuh puluh perpustakaan di Kordoba. Khalifah ini begitu sangat mencintai buku. Katalog perpustakaan Khalifah berjumlah 44 jilid dan katalog itu berisikan informasi tentang segala macam buku yang mencapai sekitar 600.000 judul.
Dengan dasar budaya pengetahuan seperti itu tentu Andalusia mendapat julukan Hiasan Dunia (Ornament of The World) dan terjadilah lonjakan pemeluk Islam secara besar-besaran. Bahasa Arab menjadi bahasa yang dikagumi dan bahkan melebihi kekuatan bahasa latin. Jika bahasa latin hanya digunakan untuk bahasa Kitab suci maka bahasa Arab jauh berdaya jangkau. Mereka menggunakanya untuk karya puisi. Mereka memanfaatkanya untuk menulis kajian filsafat. Dan tentu untuk mengetahui kandungan Qur’an. Kitab yang menyimpan keindahan luar biasa. Ada julukan menggelikan pada penduduk Kristen yang tinggal di bawah pemerintahan Ummayah di Andalusia. Mereka menyebutnya ’Mozarab’ yang asalnya berarti ’aku ingin menjadi orang Arab’. Julukan yang menjadi simbol bagaimana terlindunginya orang Kristen di bawah penguasa muslim. Kedigdayaan bahasa Arab itu karena bahasa itu telah membawa bersama semua ilmu pengetahuan, mulai dari puisi hingga filfasat, yang memuaskan dahaga para pecinta pengetahuan. Situasi ini juga memikat warga Yahudi. Mereka juga tinggal di Andalusia. Mereka memilih untuk berbaur dengan kebudayaan Arab-Islam Umayyah sekaligus tetap menjadi anggota komunitas Yahudi.
Hingga akhirnya pada 929 M, Abd Al-Rahman III yang juga merupakan cucu ketiga memproklamirkan diri sebagai pemimpin orang beriman (Amir al-Muminin) dengan dibantu perdana menteri orang Yahudi, Hasdai ibn Shaprut. Puncak pengaruh yang bisa dikatakan sebagai cara untuk menyatakan bahwa Andalusia tidak lagi tunduk pada Dinasti Abbasiyyah yang ada di Baqdad. Proklamasi kekuasaan memberi sinyal dan tugas. Bagi Abd Rahman III, bukan deklarasi yang utama, melainkan bagaimana orang sepenuhnya mengerti bahwa memang layak Andalusia dijadikan sebagai kiblat dunia. Cita-cita yang kemudian didasari dengan curahan kebijakan yang dipusatkan pada pengembangan estetika, materi dan intelektual. Program kemajuan yang didanai dan didukung sepenuhnya oleh kerajaan. Salah satu perhatian utama adalah pembangunan kastil yang dinamai Madinah Al-Zahra (Kota Al-Zahra) Bukan sekedar istana tapi kota yang dikelilingi istana dan taman. Kota yang didirikan untuk mengenang seorang selir yang dicintai raja. Ekspresi cinta yang mahal sekaligus fantastis. Philip K Hitti menuliskan panorama istana itu dengan istana al-Zahra. Dimana untuk mempercantik istananya, ia mendatangkan marmer dari Numidia dan Kartago; tiang-tiang dan kolam dengan patung emas diimpor atau diperoleh sebagai hadiah dari Konstatinopel 10.000 pekerja dan 1.500 binatang pengangkut bekerja menyelesaikan bangunan itu selama bertahun-tahun....”
Andalusia kemudian disebut sebagai salah satu dari tiga pusat kebudayaan dunia, selain Konstatinopel dan Bagdad. Tidak hanya keindahan bangunan kota tapi juga bagaimana budaya pengetahuan hidup. Spanyol seperti pintu yang menghubungkan tradisi intelektual Yunani dan Barat. Melalui tangan para cendekiawan Islam melejit berbagai penemuan yang hingga sekarang masih berpengaruh. Para penguasa bukan hanya pintar di ladang pertempuran tapi juga pecinta seni dan pengetahuan. Abd Al Rahman selain pemuda pelarian yang nekad dan pintar juga seorang penyair. Tradisi berpuisi dirawatnya dan terdapat banyak seniman tinggal di Andalusia. Begitu juga Al Hakam penggantinya adalah khalifah yang begitu rakus pada buku.
Menurut buku ini, Andalusia tumbang karena gerakan “pemurnian”. Pasukan Muslim sendiri yang merontokkan kekuasaan Andalusia. Pasukan fanatis yang menginginkan gagasan kasar tentang penghentian pembauran. Mereka melihat ada “kesesatan” pada dinasti yang berlimpah, maju dan berkuasa ini. Iklim sekuler dalam kehidupan intelektual Andalusia dinilai sebagai pengkhianatan. Mereka lebih memilih menegakkan kekuasaan tidak dengan pena melainkan pedang. Dinasti Murabitun yang pada awalnya adalah paguyuban militer mengembangkan kekuasaan dengan membuang jauh-jauh tradisi intelektual. Masa itulah buku karya Al Ghazali dibakar habis. Kaum Yahudi bukan dilindungi tapi dimusuhi. Malahan mereka menumbangkan banyak raja kecil Yahudi. Keadaan tanpa kendali dan intrik yang terjadi dimana-mana mempercepat akhir kekuasaan Andalusia. Ujung kisah ini diakhiri dengan kemenangan total raja Kristen, Ferdinand yang menikahi Isabella. Berada di bawah pengaruh pendeta yang merupakan kepercayaan sang Ratu, Kardinal Ximenez de Cisneros, diawali periode pembersihan yang mengerikan. Granada menjadi kota tempat dikuburnya semua karya-karya Islam. Pembakaran buku jadi kegiatan utama. Dan pemaksaan orang masuk kristen jadi kebijakan pentingnya. Siapa yang menolak akan dihukum mati. Keadaan mengerikan yang berlangsung sejak abad ke-11. Tentu kemudahan hancurnya itu semua karena perpecahan internal, perebutan kekuasaan dan kerakusan antar penguasa Islam sendiri.
Lonceng kematian setelah mereka mulai meneguhkan kembali fanatisme dan membuang jauh-jauh iklim toleransi, kebebasan, dan penghormatan pada akal sehat Andalusia adalah kenangan agung. Mengajak kita untuk memahami betapa beratnya beban kebesaran. Kemajuan pengetahuan, budaya dan ekonomi tidak saja memerlukan kebebasan. Dibutuhkan kekuasaan yang menanggalkan etos fanastisme dan keinginan untuk menyingkirkan yang lain. Kombinasi fanatisme Islam yang diwakili oleh orang Berber dari Afrika Utara yang kemudian jadi pendiri dinasti Murabitun bersama dengan pasukan ’salib’ yang keji, tanpa toleransi membawa kepunahan Andalusia. Kekuasaan itu saja tak cukup. Disambung periode fanatisme yang menggebu. Yakni kehadiran kaum al Muwahidun yang meruntuhkan dinasti Murabitun dan sama fanatiknya yang bersamaan dengan pengaruh Paus Innocent III yang menggunakan kebijakan tangan besi. Sempurna sudahlah fanatisme yang berbalut agama itu hadir. Pedang agama dari orang tolol berkomplot bersama. Andalusia memberi pelajaran penting. Kebebasan ternyata memiliki musuhnya sendiri. Andalusia membenarkan dalil kalau fanatisme bisa menyembul tiba-tiba dan meluap begitu saja. Jika fanatisme kemudian merangkul kekuasaan maka yang bubar pertama kali adalah kemajuan pengetahuan. Dasar pengetahuan dianggap tak berguna dan kebebasan dikatakan sebagai kemunduran iman. Kedua buku ini adalah jendela untuk mengingatkan pada kita betapa bahayanya fanatisme dan luar biasanya anugerah kebebasan.
Buku ini memang sangat menarik, dilihat dari berbagai segi. Ketika saya mebacanya pertama kali, saya langsung terpikat untuk kemudian menjadikan buku referensi utama dalam studi kritik buku pada mata kuliah ini. Kajian obyektif perlu ditekankan terhadap apapun itu tak terkecuali pada buku ini. Di banyak tempat dalam buku ini, peran Islam dan ulama maupun intelektualnya ditempatkan sejajar dengan ilmuwan Yahudi. Juga, dalam beberapa kasus pemberontakan yang terjadi, penulis buku ini tidak mendasarkan apa yang para ulama dan para pejuang Islam lakukan itu atas dasar agama (ideologi) akan tetapi hanya merupakan ambisi belaka.
Menocal menyebutkan salah satu contoh yang menguatkan argumennya bahwa Peradaban Andalusia Islam tidak begitu puritan dalam memahami Islam (setidaknya pada kalangan penguasa) ialah dengan dibangunya patung hewan di tengah-tengah kota Madinah al Zahra. Dan masih banyak yang lain. Bahkan kehancuran kehancuran kota tersebut, serta kehancuran peradaban Islam di Andalusia menurut Menocal juga sebagian besar disebabkan oleh perpecahan pada umat Islam sendiri, dengan dikuasainya Andalusia oleh kaum Barber (Dinasti Murabitun dan Muwahidun). Satu kecenderungan yang mengarah pada merendahkan Islam tektualis sebagaimana yang dipahami oleh Mazhab Hambali, Maliki dan Zahiri. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa mazhab fiqih yang mayoritas di sana adalah Mazhab Maliki dan Mazhab Zahiri.
Namun yang menjadi kejanggalan sebagaimana diungkapkan oleh Abbas Mahmud Aqqad dalam bukunya tentang Ibnu Rusyd, beliau mengatakan bahwa merupakan suatu yang aneh filsafat bisa tumbuh pada suatu dinasti yang disitu berkuasa para penguasa Barber (kaum yang sangat sederhana dalam memahami agama, bahkan cenderung ortodoks). Perlu kita ketahui bahwa Ibnu Rusyd yang dikenal sebagai filosof besar Islam mulai menulis tentang filsafat, khususnya filsafat Aristoteles berawal dari diskusinya bersama Ibnu Tufayl dan seorang Khalifah (kalau bukan Amir) dari dinasti Muwahidun yang notabenenya berasal dari Mazhab Zahiri, satu mazhab yang menurut Ibnu Athaillah (pengarang Kitab al Hikam) hampir sama dengan mazhab Hanbali dalam salah satu diskusinya dengan Ibnu Taimiyah.
Begitulah untuk sekedar berselayar di samudra hikmah Ornament of The World, kita tidak harus kritis dalam membacanya. Karena gaya bahasanya, setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia pun juga tetap luar biasa dalam menggugah emorional pembaca. Serasa seorang pemudi membaca sebuah novel cinta atau cerita peri.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post