PERJUANGAN KELAS DAN DIKTATUR PROLETARIAT



Kita semua tahu tentu, kutipan di atas diambil dari mana. Dan saya pribadi sangat sangat menyukai kalimat tersebut karena mencerminkan semangat dialektika-materialis yang ia ajukan.

Mengatakan bahwa teori tentang negara serta masalah kepemimpinan partai adalah ajaran utama Marxisme (ideologi yang mengacu pada teori dari Karl Marx) rasanya terlalu terburu-buru, karena sebagian besar dari interpretasi mengenai masalah negara dan kepemimpinan partai yang dikenal di sebagian besar kalangan kaum Kiri di Indonesia adalah ajaran utama Leninisme (alasan-alasannya tentu akan dapat dipahami apabila kita bersedia memperhatikan sejarah perkembangan gerakan Kiri di Indonesia). Hal ini juga mereduksi pemahaman bahwa diktator proletariat hanya diartikan dalam konteks negara (untuk membenarkan teori Lenin). Ini jelas pereduksian yang fatal, semenjak diktator proletariat dapat juga diinterpretasikan sebagai penguasaan alat produksi oleh proletariat. “Kuasa kelas tak akan lagi mampu menyamarkan dirinya dalam sebuah bentuk nasional; semua pemerintahan nasional sama saja dalam penentangannya terhadap proletariat,” kata Karl Marx sendiri dalam bukunya, Perang Sipil di Perancis. Tak pernah ada negara komunis.
semenjak dalam masyarakat komunis jelas negara tidak akan eksis (perhatikan tentang sejarah negara, struktur negara dan bagaimana negara bisa terbentuk—hal-hal yang juga akan mendeskripsikan apa itu negara—yang disinggung sedikit oleh Marx, dan dijabarkan lebih jauh oleh Lenin). Negara Soviet yang dibentuk oleh Lenin dan gerombolan Bolshevik-nya jelas bukan negara komunis. Itu definisi yang jelas absurd. Dan negara-negara blok Timur yang mengaku ‘negara komunis’ itu juga jelas ambruk bukan sekedar karena ajaran kelas dari Karl Marx dibuang, tapi lebih karena mereka telah sejak awal menghancurkan diri mereka sendiri—dengan mengkhianati teori-teori Karl Marx dan merengkuh teori lain yang oleh pihak penguasanya diklaim sebagai pengembangan dari teori Karl Marx. Kita mesti lebih berhati-hati, semenjak teori-teori V.I Lenin jelas berbeda dari teori-teori Karl Marx—walaupun sebagian orang menganggap bahwa apa yang dikemukakan oleh Lenin adalah sebuah kemajuan dari teori Karl Marx, toh nyatanya sebagian lain justru melihat sebaliknya. Dan soal keruntuhan blok Timur, salah satu sebab utamanya adalah karena sejak hari pertama pembentukannya, memang telah mengandung bibit-bibit kontra-revolusioner yang dibawa oleh Bolshevik.
Semenjak arus Marxisme sendiri telah semakin banyak, amatlah naif apabila lantas kita hanya mengakui satu-satunya arus adalah arus yang dialirkan melalui kanal Leninisme. Ini justru sangat bertentangan dengan konsep dialektika-materialis yang mendasari pola pemikiran Karl Marx, bahwa manusia ditentukan oleh kondisi material yang ada di sekelilingnya—dan vice versa. Pemahaman teori Karl Marx beserta penerapannya di jalan-jalan kawasan urban Paris tentu berbeda dengan di pematang-pematang sawah Karawang. Bahkan pemahaman dan penerapan di pematang sawah Karawang tahun 1945 pun jelas akan berbeda dengan yang terjadi di tahun 2001, tentu saja. Hanya para ortodok yang tinggal di bawah tempurung sajalah yang akan menganggap semuanya sama persis.

Apabila lantas di bawah sistem kapitalisme lanjut beberapa Marxis mulai melihat bahwa perlu ada pendekatan yang berbeda untuk melanjutkan perjuangan kelas, yaitu justru menyoroti sistem konsumsi (berbeda dengan interpretasi ortodok para Marxis yang menyoroti sistem produksi), maka amatlah terburu-buru untuk melabeli mereka sebagai sebuah penyimpangan. Henry Lefebvre (bukan Lefebre) di tulisan-tulisan terakhirnya memang semakin pro-borjuasi, tetapi toh bukan berarti secara keseluruhan ia salah kaprah. Ada benarnya apabila di tengah masyarakat konsumen teori Marx mengenai fethisisme dan komoditi menjadi sangat penting. Tidak untuk membela Lefebvre, tapi untuk secara obyektif lebih melihat kondisi yang berkembang pada masa tersebut, di mana pasca Perang Dunia II, sistem kapitalisme ‘merombak’ pola kerjanya setelah belajar dari krisis yang menimpa sistem tersebut pada tahun-tahun sebelumnya (berangkat dari asumsi bahwa kapitalisme menggali kuburnya sendiri, sistem tersebut juga akan berupaya untuk memperpanjang nafasnya dengan merombak banyak sisinya).
Teori Karl Marx memang harus disesuaikan dengan kondisi obyektif perkembangan kapitalisme global (atau lebih spesifiknya, kapitalisme lanjut) yang dikumandangkan para ekonom pemuja neoliberalisme, persis seperti apa kata para Marxis yang sering digeneralisir oleh para Marxis puritan sebagai ‘Post-Marxis’. Tetapi untuk melihatnya lebih jelas, kita juga tidak bisa mereduksi seluruh teoris ‘Post-Marxis’ sebagai kaum pro borjuasi yang melemahkan gerakan proletariat.
Memang demikian apabila kita melihat pada Lefebvre di teori-teori terakhitnya, atau pada Jean Baudrillard, tapi apakah kita juga akan mengatakan demikian pada para ‘Post-Marxis’ seperti Antonio Negri (yang berkata, “Sebagai Marxis, kita harus mampu melangkah melampaui Marx dengan menggunakan teori yang telah secara presisi dicanangkan oleh Marx.”), Georg Lukács, Andre Breton atau Guy Debord? (Dalam konteks terminologi, kata ‘post’ seharusnya berarti sesuatu yang melampaui dengan cara meniadakan yang sebelumnya. Terminologi ‘post-Marxis’ rasanya kurang tepat apabila diberikan pada para Marxis—setidaknya bagi mereka yang mendeskripsikan diri mereka sebagai Marxis—yang berangkat dari teori-teori Marx untuk membuat berbagai penyesuaian, mengembangkannya. Terminologi ‘post-Marxis’ biasanya hanya diberikan oleh para Marxis ortodok pada para teoris lain yang tidak sejalan dengan interpretasi mereka untuk kepentingan ideologis mereka sendiri dengan menggunakan karya-karya Marx.)
Apa yang sering lupa untuk disorot oleh para Marxis ortodok adalah bahwa kapitalisme terus berevolusi demi melanggengkan penghisapannya. Borjuis, kini tak lagi sekedar berupa sosok fisik, melainkan berupa mentalitas psikologis yang terus diupayakan dikembangkan (dan ditularkan, disuntikkan—ironisnya—termasuk ke urat nadi para proletariat sendiri) oleh sistem kapitalisme untuk menghancurkan gerakan proletariat yang ingin memutuskan rantainya. Masalahnya, banyak teori-teori mengenai proses ini dikembangkan oleh para ‘intelektual borjuis’ yang justru sebagian besarnya memilih untuk semakin berpihak pada borjuasi. (Perhatikan bagaimana Jurgen Habermas misalnya, menulis tentang bagaimana sistem kapitalisme lanjut melemahkan gerakan proletariat dengan cara menguasai teknologi informasi; atau bagaimana Michel Foucault menerangkan tentang proses sekuriti kapitalisme modern melalui konsep panopticon dan biopower—konsep yang lantas diadaptasi dan dikembangkan oleh para Marxis Otonomis dan operais-operais Italia. Terlepas dari apakah secara individu mereka memilih berpihak pada borjuis, toh teori-teori mereka dapat kita gunakan untuk mempertajam gerak proletariat. Atau apabila meminjam bahasa Situationist International: metoda ‘detournment’, menggunakan rekuperasi secara terbalik, memanfaatkan produksi kapitalisme untuk menyerang dan mengekspos kelemahan kapitalisme sendiri dalam rangka untuk menghancurkannya. Ironisnya, khususnya di Indonesia, amat sangat jarang kaum yang mendeskripsikan dirinya sebagai Marxis, memahami hal tersebut.) Tapi apabila kita cermat, toh masih berserakan kaum, yang tidak melabeli diri atau gerakan mereka sebagai Marxis, yang mengumandangkan peperangan melawan kapitalisme bukan? (Setuju atau tidak, contohnya, toh Subcommandante Marcos yang awalnya seorang Marxis, bergerak melampaui interpretasi ortodok Marxis dan berhasil membentuk komunitas Zapatista—yang jelas juga tak dapat kita golongkan sebagai kelompok pro-borjuasi. Atau bagaimana kita mendeskripsikan pemberontakan Oaxaca di Meksiko, atau para piquiteros di Argentina belum lama ini, akankah para insurgen tersebut kita labeli sebagai pro-borjuasi hanya karena mereka menolak dipimpin oleh ‘Partai Komunis’, dan menolak membentuk ‘negara komunis’ padahal mereka secara material telah melakukan proses ‘diktator proletariat’ dengan cara menduduki dan mengoperasikan alat-alat produksi di bawah kontrol langsung para pekerjanya? Mau labelin mereka sebagai borjuis?)
Mengutip Dawan Rahardjo, “Memang, ketika negara komunis belum berdiri, metode perjuangan kelas dipakai. Tapi, setelah berdiri, metode perjuangan kelas tidak lagi dikehendaki dan digantikan dengan sistem politik yang monolitik di tangan satu-satunya partai komunis. Ternyata, sistem monolitik itu telah gagal.” Dalam poin tersebut Dawan memang benar. Tapi Dawan sekaligus bermasalah saat ia berkata “Tidak ada hambatan bagi gerakan komunis untuk bekerja dalam sistem demokrasi.”
Sekian dulu tanggapan yang jelas tidak lengkap ini, semoga bisa dipahami. Kecuali apabila memang Suar Suroso bertujuan untuk ‘memurnikan’ Marxisme dengan cara-cara mengkolaborasikannya dengan Leninisme untuk pada gilirannya mencanangkan bahwa itulah satu-satunya kebenaran, itu masalah lain yang saya tentu malas untuk membahasnya di sini karena hanya akan buang-buang waktu. Tapi yang pasti sekali lagi, toh manusia berkembang dipengaruhi oleh kondisi material yang ada di sekelilingnya, sekaligus manusia itu sendiri juga yang menciptakan kondisi material tersebut. Dan dengan itu, tentu saja, ‘pemurnian’ menjadi sebuah omong kosong yang sangat sangat tidak dialektis. Ingat kata-kata Karl Marx kan?“Aku bukan Marxis.” Mana yang lebih penting, menggunakan teori-teori Karl Marx demi mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh Karl Marx sendiri (masyarakat komunis), atau sekedar mengglorifikasi teori Karl Marx? Apakah teori Marx memperkaya, atau justru memiskinkan sisi intelektual hidup manusia?

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post