ambiguitas genetalia /seksual / interseks

Orang normal pada umumnya memiliki 46 buah atau 23 pasang kromosom jika bukan XX maka XY. Kromosom XX untuk perempuan dan XY untuk laki-laki. Tetapi ada juga orang yang memiliki kromosom XXY. Dalam sebuah film produksi Argentina yang berjudul XXY telah diceritakan bahwa seseorang yang memiliki 2 alat kelamin atau mengalami ambiguitas seksual / ambiguitas genetalia. Seseorang yang memiliki kromosom XXY berarti ia mengalami interseksual dimana dia mengalami kebingungan apakah dia seorang laki-laki ataukah perempuan. Namun kebingungan mereka berbeda dengan transeksual karena memang penderita interseksual memiliki 2 alat kelamin yang berkembang tidak sempurna. Hal ini sangat mempengaruhi psikologis penderitanya, misalnya mereka lebih mudah cemas, stress, dan akhirnya mengkonsumsi obat penenang atau semacam obat anti depresan untuk menenangkan jiwanya. Faktor yang mempengaruhi psikologisnya antara lain tingkah laku mereka, lingkungan budaya, dan faktor lainnya.

Dalam pediatric psychology dijelaskan bahwa interseksual dapat didiagnosa dari kecil. Kemungkinan seseorang mengalami interseksual dapat dideteksi ketika 2 bulan sebelum bayi dilahirkan. Dan semasa hamilpun kelainan ini sudah dapat dilihat melalui serangkaian tes diagnosa. Hal ini bisa dilakukan karena pada usia kandungan 7-10 minggu kandungan sudah ada hormon kelamin, tinggal dilihat seberapa banyak jumlah hormon androgen yang dimiliki bayi. Ketika memasuki usia kandungan 9-14 minggu kandungan, bentuk alat kelamin mulai terlihat jelas.

Hormon androgen yang dilihat bertujuan untuk mengetahui seberapa besar hormon maskulinitas di dalam tubuh bayi. Dan hal ini yang dapat dijadikan perkiraan mengenai adanya kelamin ganda pada tubuh bayi.

Interseksual sendiri sebenarnya disebabkan karena adanya pembelahan yang tidak sempurna pada alat kelamin. Kemudian setelah bayi dilahirkan seolah-olah ia tidak memiliki penis padahal ia memiliki penis yang tertutup oleh selaput. Kasus ini bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Hanya saja sejauh ini kasus interseksual banyak terjadi pada laki-laki (mengoperasi dan memilih menjadi seorang laki-laki).

Kasus interseks ini tidak hanya terjadi di luar negeri saja. Di Indonesia, khusunya di daerah Jawa Tengah terdapat kurang lebih 400 kasus interseksual. Salah satu orang yang berhasil dioperasi alat kelaminnya dan akhirnya menjadi seorang pria adalah Bapak Ardi Sutrisno. Ternyata di dalam keluarga Bapak Ardi ada 6 orang dari 8 orang anak yang mengalami interseksual, dimana semuanya ternyata dinyatakan sebagai pria. Faktor genetik / herediter merupakan penyebab utama interseksual karena salah satu dari orang tuanya adalah carier. Dibutuhkan kesiapan mental dari pihak keluarga dan lingkungan untuk selalu memberikan dukungan kepada penderita interseksual agar ia tetap bisa bertahan dengan keadaannya.

Seperti dalam kasus Bapak Ardi, ia mulai merasa aneh dengan dirinya manakala ketika SMP ia beribadah menggunakan mukena (awalnya ia perempuan). Kemudian hingga SMA ia tidak mendapatkan menstruasi. Sampai suatu saat ia datang ke RS Dr.Kariadi untuk memeriksakan dirinya kepada dokter dan psikolog. Sampai akhirnya diketahui bahwa ia harus memutuskan untuk operasi alat kelamin. Operasi ia lakukan ketika berusia 23 tahun. Saat ini ia sudah menikah dengan seorang perempuan yang juga teman lamanya dan telah dikaruniai seorang anak.

Operasi penentuan alat kelamin biasanya dilakukan ketika seseorang berusia remaja dan dewasa awal, sekitar usia belasan. Karena operasi ini harus melalui observasi tingkah laku sehari-hari penderitanya. Dari pengamatan tingkah laku, sifat, lingkungan, dapat diketahui kecenderungan mana yang terbesar untuk penderita melakukan operasi sebagai laki-laki atau perempuan.

Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan dan apa saja yang menyebabkan seseorang mengalami interseksual atau berkelamin ganda dan apakah ada teori-teori khusus mengenai interseksual, maka di bawah ini akan dipaparkan informasi mengenai interseksual. Informasi yang ada dikutip dari kuliah umum yang disampaikan oleh Prof.Saskia W. dan Arianne Dessen, PhD, clin psych

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post