III.13. FILSAFAT ISLAM

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

III.13. FILSAFAT ISLAM                                   (2/3) oleh Harun Nasution   Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada pula  soal  jiwa  manusia  yang  dalam  falsafat Islam disebut al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini  adalah  pemikiran yang  diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian:    1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,     tumbuh dan berkembang biak.       2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah     dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan     pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu     pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra     dalam yang berada di otak dan terdiri dari:           i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang         diperoleh pancaindra.              ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar         dari materi.              iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.              iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang         terlindung dalam gambar-gambar tersebut.               v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.       3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu     berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:           a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal         dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam         jiwa binatang.               b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang         tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan         malaikat.   Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam  materi,  sedang akal  teoritis  kepada  alam  metafisik.  Dalam  diri  manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang  terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak  meneruskan arti-arti,  yang  diterimanya  dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis.  Tetapi  kalau  ia  teruskan  akal teoritis akan berkembang dengan baik.   Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:    1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi     untuk menangkap arti-arti murni.       2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap     arti-arti murni.       3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak     menangkap arti-arti murni.       4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya     menangkap arti-arti murni.   Akal  tingkat  keempat  inilah  yang  tertinggi  dan  dimiliki filsuf-filsuf.  Akal  inilah  yang  dapat  menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.   Sifat seseorang banyak bergantung pada  jiwa  mana  dari  tiga yang  tersebut  di  atas  berpengaruh  pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan  dalam hal  ini  akal  praktis  mempunyai  malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya  tidak  menjadi  halangan  bagi  akal  praktis  untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.   Setelah tubuh  manusia  mati,  yang  akan  tinggal  menghadapi perhitungan   di   depan   Tuhan  adalah  jiwa  manusia.  Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.   Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa  berhajat kepada  badan  manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas,  yang  pada  mulanya  menolong  akal   untuk   menangkap arti-arti.  Makin  banyak  arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap  arti-arti  murni.  Kalau akal  sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.   Jiwa  tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai  fungsi-fungsi  fisik  seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di  akhirat. Jiwa  manusia,  berlainan  dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak  berkaitan  dengan  yang  bersifat  fisik  tetapi   yang bersifat  abstrak  dan  rohani.  Karena  itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia,  tetapi  di  akhirat.  Kalau  jiwa tumbuh  tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai  kesempurnaan  sebelum  berpisah dengan  badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum  sempurna  ia akan mengalami kesengsaraan kelak.   Dari   paham   bahwa  jiwa  manusialah  yang  akan  menghadapi perhitungan  kelak  timbul  faham  tidak  adanya  pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.   Demikianlah   beberapa  aspek  penting  dari  falsafat  Islam. Pemurnian konsep  tauhid  membawa  al-Kindi  kepada  pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins)  serta  diferensiasi  (al-fasl).   Sebagai   seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.   Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada  falsafat  emanasi yang  di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan  dalam  filsafat  emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang banyak dan hanya  berfikir  tentang  diriNya  Yang Maha   Esa,  timbul  pendapat  bahwa  Tuhan  tidak  mengetahui juz'iat, yaitu  perincian  yang  ada  dalam  alam  ini.  Tuhan mengetahui  hanya  yang  bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I,  II dan  seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan yang terjadi di alam ini.  Karena  inti  manusia  adalah  jiwa berfikir  untuk  memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung  dalam  bidang sains  para  filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum alam.   Inilah  sepuluh  dari   duapuluh   kritikan   yang   dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam. Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa  mereka kepada kekufuran, yaitu:       1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman          2. Pembangkitan jasmani tak ada          3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.   Konsep alam qadim  membawa  kepada  kekufuran  dalam  pendapat al-Ghazali  karena  qadim  dalam filsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan  dalam  zaman  yaitu  tidak pernah  tidak  ada  di  zaman  lampau.  Dan  ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka  syahadat dalam  teologi  Islam  adalah:  la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim,  maka  alam  adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.   Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme.  Politeisme  dan ateisme  jelas  bertentangan  sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid  yang  sebagaimana  dilihat   di   atas   para   filsuf mengusahakan  Islam  memberikan  arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong  al-Ghazali  untuk  mencap  kafir  filsuf  yang percaya bahwa alam ini qadim.   Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks   ayat-ayat   dalam   al-Qur'an   menggambarkan    adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh  ini?. Katakanlah:   Yang  menghidupkan  adalah  Yang  Menciptakannya pertama  kali."  Maka  pengkafiran  di  sini   berdasar   atas berlawanannya   falsafat  tidak  adanya  pembangkitan  jasmani dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.   Pengkafiran tentang masalah  ketiga,  Tuhan  tidak  mengetahui perincian  yang  ada  di  alam  juga  didasarkan  atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan  teks  ayat  dalam  al-Qur'an. Sebagai  umpama  dapat  disebut  ayat  59 dari surat al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.   Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur   dengan   Baghdad   sebagai  pusat  pemikiran  menjauhi falsafat.  Apalagi  di  samping  pengkafiran  itu   al-Ghazali mengeluarkan  pendapat  bahwa  jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah  filsafat  tetapi  tasawuf.  Dalam  pada  itu sebelum  zaman  al-Ghazali  telah  muncul  teologi  baru  yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh  al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh  sebab-sebab  yang  belum  begitu jelas   ia  meninggalkan  paham  Mu'tazilahnya  dan  munculkan sebagai  lawan  dari  teologi  Mu'tazilah  teologi  baru  yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.   Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari bercorak  tradisional.  Corak  tradisionalnya   dilihat   dari hal-hal    1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah     sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti     lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti     tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan     pemikiran ilmiah dan filosofis.       2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini     merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang     belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi     masih banyak bergantung pada orang lain untuk     membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan     paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada     kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap     statis.       3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari     paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini     diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan     menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum     alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah     kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak     sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi     biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak     Tuhan.   Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong  pada berkembangnya   pemikiran  ilmiah  dan  filosofis  sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali, teologi  tradisional  inilah  yang  berkembang  di dunia Islam bagian  Timur.  Tidak   mengherankan   kalau   sesudah   zaman al-Ghazali  ilmu  dan  falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah  dan  filsuf-filsuf Islam.   --------------------------------------------  (bersambung 3/3) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174

Indeks Islam | Indeks Paramadina | Indeks Artikel | Tentang Yayasan
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post