Oh, Counter Culture...

Kategori:Lainnya
>> Bre Redana
>> Kehidupan
>> Kompas, Minggu, 24 Februari 2008 [p.18]

San Francisco. "Be sure to wear flowers in your hair/summertime will be a love-in there." Ditulis oleh John Phillips clan dibawakan oleh The Mamas and the Papas pada tahun 1967, lagu itu segera menjadi senandung utopia, suatu ilusi mengenai komunitas "hippies", di kota yang cantik San Francisco, mengenakan bunga di rambut yang panjang, pada musim panas di mana cinta berkembang.
OLEH BRE REDANA

"Dalam pemikiran Freudian, naluri-naluri bawah sadar itu termasuk dorongan-dorongan seks. 'Free love, free sex, make love not war', adalah beberapa slogan gerakan tersebut."

Ilusi mengenai komunitas ba ru, sebagai komunitas tan dingan terhadap dunia yang telah mapan, bukanlah barang atau dagangan baru. Bulan Ja nuari 1967, di lapangan bernama Golden Gate Park, komunitas yang disebut hippies berkumpul dalam skala besar untuk ukuran waktu itu -sekitar 20.000 orang- dalam semacam ritual untuk merayakan kebebasan. Pe nyelenggaranya, surat kabar un derground San Francisco, The Oracle, menghadirkan band-band yang beberapa di antaranya telah sangat dikenal di kalangan hippies saat itu, seperti Grateful Dead, Jefferson Airplane, Country Joe and the Fish, tak ketinggalan Big Brother and the Holding Com pany berikut penyanyinya yang menjadi "ratu" persekutuan itu, Janis Joplin.

Itulah masa yang sering di sebut sebagai membawa terobos an penting dalam kebudayaan (Amerika), yang oleh sejarawan Theodore Roszak dirumuskan dengan semacam bingkai ideo logis bernama counter culture ali as budaya tanding. Hanya saja, lagi-lagi dalam bingkai gagasan untuk melawan kemapanan, yang terjadi pada waktu itu pun juga bukan hal yang baru-baru amat. Sikap oposan terhadap anus besar masyarakat alias mainstream so ciety sudah tercatat sejak Ro mantisisme abad ke-18 dan terus berkembang biak di sepanjang abad ke-19, yang ekspresi kese niannya -yang secara komersial juga teramat sukses- adalah ope ra La Boheme karya Puccini. Itu semacam perayaan terhadap gaya hidup alternatif, yakni gaya hidup bohemian di Paris.

Dari waktu ke waktu, ilusi me ngenai komunitas baru, masya rakat baru, membius sebagian orang. Pada zaman Romantisis me, yang pada tahun 1940/1950-an diikuti sebagian seniman Indonesia, gerakan per lawanan itu paling-paling her akhir dengan TBC di antara pe lakunya yang hidup tak terurus. Pada zaman hippies tahun 1960/1970-an yang pengaruh mu siknya terlihat pada kelom pok-kelompok underground masa kini, berakhir dengan mati over dosis atau pertobatan dari ma riyuana.

Tulisan ini ingin menggarn barkan betapa ilusifnya yang di sebut counter culture, dengan me lihat kebuntuan yang dihadapi para eksponennya pada tahun 1960/1970-an -yang betapa pun tampaknya banyak memberi inspirasi pada eksponen undergro und masa kini. Sebagian data di rangkai dari berbagai laporan dari majalah Rolling Stone edisi Ame rika, yang punya kecenderungan sangat dekat dengan gerakan co unter culture masa itu. Majalah ini sendiri, sebelum pindah ke New York, bermarkas di San Francisco. Dalam banyak laporannya terlihat kedekatan majalah ini dengan para pelaku gerakan antikemapanan di San Francisco pada masa itu. Bahkan, mereka tampaknya ngefans terhadap Grateful Dead.

Dikotomi
Gerakan pada tahun 1960-an itu seperti membelah masyarakat Amerika, dalam sebuah dikotomi yang luar biasa, kalau mengingat, bahkan di masa itu rambut pan jang bagi lelaki pun masih di haramkan. Cowok berambut pan jang bisa terusir dari sekolah, bahkan dikriminalkan oleh polisi (dalam masa ini, Bob Weir yang masih usia belasan tahun kabur dari sekolah dan orangtua untuk bergabung menjadi gitaris Gra teful Dead).

Pada masa itu, kalangan orang tua serta negara masih terpaku pada nilai-nilai pasca Perang Du nia II yang harus tertanam pada para remaja. Kalangan tua me rasa paling tahu, kegemahripahan Amerika adalah teladan bagi se luruh dunia, yang sebaiknya mengikutinya. Kepercayaan itu diperkuat lagi dengan perasaan tidak aman, dari meruyaknya ide ologi komunisme di belahan du nia yang lain. Dengan merasa benar, mereka mengirim anak-anak muda untuk terjun da lam perang Vietnam.

Di pihak lain, sebagian anak muda melihat sebuah idealisasi baru, yang kemudian tersimpul dalam ideologi counter culture ta di. Idealisasi masyarakat seperti ada di benak para hippies itu kurang lebih masyarakat yang da mai, toleran, bebas dari tekanan politik, bahkan tekanan kebuda yaan. Pada titik itulah mereka melihat bahwa kebudayaan se cara keseluruhan adalah sema ta-mata sistem represi (system of repression). Konsekuensi berikut, kalau persoalannya itu timbul da ri masyarakat -maksudnya ku rang lebih, yang mengirup kebahagiaan itu adalah masyarakat berikut dengan segala sistem nya- maka satu-satunya cara un tuk mengemansipasi diri adalah dengan menolak masyarakat, me nolak kebudayaan (jelas kan, co unter culture bukan subkultur seperti sering diomongkan orang, tetapi total antikebudayaan) .

Lalu, bagaimana praksis sebu ah gerakan untuk menolak ke budayaan (yang dianggap sebagai represi sistemik terhadap manu sia)? Jawabnya barangkali dengan meminjam teori Freud membebaskan level bawah sadar manusia, yang disebut Freud se bagai "id". Dalam pemikiran Freudian, naluri-naluri bawah sa dar itu termasuk dorongan-do rongan seks. Free love, free sex, make love not war, adalah be­berapa slogan gerakan tersebut.

Makanya, lalu bisa dipahami mengapa gerakan itu lalu dekat dengan penggunaan obat bius ka la itu, yang bernama LSD. LSD, dengan biang peraciknya berna ma Owsley Stanley (pada masa berikutnya menjadi sound engi neer Grateful Dead) adalah ra muan yang dipercaya bisa meng ubah cara pandang terhadap kehidupan secara berbeda, dengan halusinasi baru berikut perspektif ekstaktik (dalam bentuknya yang lebih mutakhir, nantinya zat itu sampai pada obat-obatan yang dikenal orang sebagai ekstasi).

Asal tahu saja, pada perkem bangannya, selain yang telanjur "dead" gara-gara LSD atau pula turunannya yang lebih dahsyat, STP (singkatan serenity, tranqui lity, peace), banyak yang kapok dengan obat-obatan semacam itu. Bahkan, Grateful Dead sendiri, seperti pernah diungkapkan oleh motor grup itu, Jerry Garcia, maupun Bob Weir, "hippies cilik" ketika pertama terlibat dengan gerakan counter culture.

Kontradiksi
Begitulah, di dalam dirinya co unter culture seperti menyimpan suatu kontradiksi. Ia ingin mem bongkar kebudayaan, yang diya kini mengandung represi siste mik, tetapi komunitas baru yang mereka bangun tidakkah juga menelurkan suatu sistem, yang mengatur relasi mereka dalam suatu komunitas? Lebih ironis lagi, simbol-simbol perlawanan mereka juga kemudian menga lami proses komodifikasi alias pendagangan, seperti kalau pada masa itu, alas kaki Birkenstock dan mobil VW Combi. Belum aksesori-aksesori mereka lain nya.

Dari waktu ke waktu, feno mena paling menonjol adalah proses komodifikasi. Terlebih, di zaman di mana lifestyle atau gaya hidup menjadi dagangan paling laku seperti sekarang. Bagi ek sponen 1960/1970-an sendiri, tinggallah masa itu barangkali di kenang sebagai pengalaman konyol, atau kenangan manis, le wat lagu San Francisco, terkenang pacar yang cantik kala itu, yang rambutnya panjang, dengan ce lana cutbrai, serta bunga di ke pala....[]

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post