TEORI EMANASI

« Ilmu Hudhuri dan Kesatuan Mistikal [11]
Makna Kesatuan Wujud (Al-Wahdatul Wujud) »
Sistem Emanasi dan Mistisisme [12]

Posted by teosophy pada Maret 12, 2011

Oleh: Mahdi Hairi Yazdi

Teori Emanasi[1]

Karena sebagaimana telah kami tunjukkan bahwa teori “kehadiran dengan penyerapan”[2] kami didasarkan sepenuhnya pada analisis emanasi, maka kami harus membahas hubungan “menurun” antara Prinsip Pertama (baca: Tuhan) dan tindak emanatifnya (manifestasi-manifestasi-Nya di alam ) di satu pihak, dan hubungan “menaik” di antara emanasi itu sendiri (yakni derajat-derajat manifestasi-Nya yang ada di alam) dengan Prinsip Tertinggi (baca: Tuhan) di lain pihak.

Dalam tradisi filsafat Islam, teori emanasi mengenai hubungan “iluminatif menurun” (yakni dari Prinsip Pertama hingga ke alam terendah materi) diawali oleh Ibnu Sina dalam penjelasannya mengenai doktrin Aristoteles tentang kausa efisien Pertama (Sebab Hakiki atau Tuhan).[3]

Dalam salah satu karyanya yang masyhur, al-Isyarat wa al-Tanbihat,[4] Ibnu Sina secara matematis merumuskan doktrinnya tentang “emanasi” dengan cara berikut, “Emanasi (suatu bentuk penciptaan di alam nonmateri) adalah perwujudan dan pemanifestasian sebuah eksistensi dari yang lain, dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantaraan materi, instrumen, ataupun waktu. Tetapi, sesuatu yang didahului oleh non-eksistensi dalam waktu tidak akan membutuhkan perantara. Tindak emanasi, karenanya, mempunyai derajat yang lebih tinggi dari tindak penciptaan (penciptaan dalam hubungannya dengan alam materi) dan kontingensi.”[5]

Seperti bisa kita lihat dengan jelas, ini adalah definisi leksikal emanasi yang dengannya perhatian kita ditarik kepada kenyataan bahwa emanasi memiliki keutamaan atas gagasan penciptaan dan kontingensi sepanjang tidak diperantarai, atau bahkan didahului, oleh waktu, ataupun materi. Untuk menjelaskan bahasanya, Ibnu Sina selanjutnya memberi garis besar bukti metafisik doktrinnya tentang emanasi:

“Gagasan bahwa suatu kausa yang membuat A menjadi wajib-ada berbeda dengan gagasan bahwa kausa itu membuat B juga menjadi wajib-ada. Jika eksistensi keduanya (yakni A dan B) pasti disebabkan oleh satu hal, maka yang satu ini (sebagai sebab) harus (dari perspektif yang berbeda) dipandang memiliki bentuk-bentuk (kausasi) yang berbeda dan realitas-realitas yang berbeda pula …

Dengan demikian, segala sesuatu yang mewajibkan dua hal atau terwujud darinya dua maujud secara sekaligus, sedemikian rupa sehingga tak satupun dari keduanya melalui dan dengan intervensi yang lain, maka hakikat wujudnya adalah berangkap atau tidak tunggal (yakni hakikat wujudnya itu terbentuk dari suatu rangkapan dan merupakan gabungan dari dua atau lebih bagian).”[6]

“Dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa mesti ada suatu substansi intelektual yang darinya muncul suatu substansi intelektual yang lain dan suatu benda langit. (Sekarang) jelas bahwa (dalam hal ini) kedua benda itu berasal dari satu (substansi), karena memiliki dua sisi (kausasi) yang berbeda.

Tetapi, mengenai Prinsip Pertama (baca: Tuhan), kemajemukan nilai kausal dan variasi kausasi ini adalah mustahil. Hal ini karena Prinsip Pertama adalah mutlak satu dan tunggal (tidak berangkap atau basith) dalam setiap pengertian (yang dapat dipahami). Sebab, Dia terlalu mulia untuk berada dalam mode yang berbeda-beda dan kebenaran yang beraneka ragam, sebagaimana yang dimaklumi sebelumnya.

Tetapi, (kemajemukan) ini tidak mustahil jika merujuk pada hal-hal dan maujud-maujud yang selain dari Prinsip Pertama. Dengan demikian, dari yang Satu (baca: Tuhan) tidaklah mungkin teremanasi dan terwujud lebih dari satu realitas dan maujud…

(Mengenai wujud-wujud emanatif ini atau makhluk), tidak ada himpunan dua mode realitas yang berbeda yang tidak berkaitan dengan salah satu wujud ini: (yakni) masing-masingnya merupakan wujud yang mungkin (mumkin al-wujud) jika jika dipandang dalam hakikat dirinya sendiri, dan sebagai “wujud wajib” (wajib al-wujud nisbi)[7] jika dipandang dalam hubungannya dengan Prinsip Pertama (Wajib al-Wujud Mutlak). Juga, masing-masing mereka mengetahui dirinya sendiri (dengan ilmu hudhuri), dan juga mengetahui prinsipnya. Dengan demikian, dengan mengetahui prinsip eksistensinya, dan dengan cara dimana ia terkait dengannya, setiap wujud emanatif ini memunculkan satu wujud, dan dengan mengetahui dirinya sendiri sebagaimana adanya, ia memunculkan yang lain.”[8]

“Seluruh pokok masalah yang diperbincangkan adalah bahwa Prinsip Pertama, sebagai Wujud Wajib (Wajib al-Wujud) yang tunggal secara absolut, hanya melahirkan satu wujud (yakni akal pertama) yang sepenuhnya bergantung pada sumber-Nya. Dengan cara yang sama, eksistensi yang kedua (akal pertama dalam filsafat Peripatetik), sepanjang dituntut oleh ketunggalan atau ke-basith-an wujudnya, melahirkan eksistensi ketiga (akal kedua) yang juga sepenuhnya bergantung pada prinsip yang terdekat dengannya yang sebelumnya bergantung pada Prinsip Pertama.

Karena keseluruhan cahaya emanasi melimpah dari Prinsip Pertama eksistensi, dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa setiap wujud emanatif dicirikan oleh keadaannya sebagai efek imanen, atau aksi emanatif prinsipnya sendiri. Karena itu, bila digambarkan sebagai efek imanen, atau aksi emanatif dari sumber mereka, semua wujud emanatif memiliki, menurut doktrin ini, dua persamaan: Mereka bersifat mungkin (mumkin al wujud) dalam dirinya sendiri dalam pengertian bahwa mereka secara mutlak bukanlah apa-apa tanpa hubungan iluminatif dengan sumber mereka; dan mereka semua adalah “wujud wajib” jika dipandang dalam kerangka hubungan mereka dengan Prinsip Pertama tersebut, yang merupakan Wujud Wajib (baca: Tuhan) dalam esensi dan tindakannya. Prinsip Pertama adalah unik dalam hal bahwa ia adalah Wujud Wajib dalam dirinya sendiri (wajib al-wujud bi dzatihi), tetapi wujud-wujud emanatif ini semuanya bersifat mungkin dalam dirinya sendiri dan pada saat yang sama wujudnya bersifat wajib berkat Tuhan (wajib bi ghayrihi).”[9]

Titik sentral yang menjadi isu dalam doktrin yang agak aneh ini adalah bahwa hierarki emanasi menyiratkan kontinuitas dan ketergantungan total mode emanasi yang lebih rendah pada prinsip yang terdekat dengannya, yang pada gilirannya sepenuhnya bergantung pada prinsip terdekatnya sendiri. Sebagaimana halnya emanasi yang pertama (akal pertama) sepenuhnya bergantung pada Prinsip Pertama, maka mode emanasi yang kedua (akal kedua) juga sepenuhnya bergantung pada prinsip terdekatnya, dan dengan eksistensi-eksistensi yang lainnya pun bergantung pada prinsip terdekatnya, dan segala maujud pun bergantung pada akhirnya dengan Prinsip Pertama. Jika C menyiratkan B, dan B menyiratkan A, maka secara logis adalah benar bahwa C menyiratkan A. Ini adalah silogisme hipotesis atau aturan transitivitas. Kita lihat bahwa dalam sistem emanasi ini adalah mungkin bahwa seluruh alam, dengan semua kejamakan khasnya, telah beremanasi dari dan tereduksi kepada Tuhan sebagai Prinsip Pertama eksistensi. Ini mungkin terjadi tanpa perantaraan materi, ruang, waktu, atau unsur pengganggu dan pemutus apapun dalam sistem emanasi tunggal. Untuk memberikan bukti yang lebih tekstual tentang sistem hirarki ini, kami akan merujuk lagi kepada wacana lain dari doktrin Ibnu Sina:

“Prinsip Pertama memancarkan atau mewujudkan suatu substansi akal pertama. Substansi ini dalam kenyataannya adalah (wujud emanatif) yang terpancarkan. Melalui perantaraan substansi emanatif ini, Prinsip Pertama (sekali lagi) memancarkan substansi akal kedua bersama sebuah benda langit. Dengan (cara hirarki) ini terlahirlah substansi akal lain dari substansi kedua ini dan muncullah benda langit yang lain.

Hal ini terus berlangsung hingga substansi akal kesepuluh (akal yang terakhir) yang tidak lagi melahirkan suatu benda langit.”[10]

Filosof yang terkenal sangat matematis Nashir Al-Din Thusi (w. 672/1274), menyumbangkan komentarnya kepada doktrin hierarki ini dengan cara berikut:

“Dengan asumsi bahwa Prinsip Pertama A, dan bahwa dari A lahir hanya satu benda B, maka B akan ditempatkan dalam peringkat sebagai kejadian pertama dalam jajaran efek A.

Selanjutnya bisa diterima bahwa C lahir dari A dalam kaitannya dengan B, dan dari B sendiri (yang bergantung pada A) lahir yang lainnya D…

Dengan cara inilah berbagai benda, bahkan yang termasuk dalam peringkat yang sama, bisa muncul dari wujud tunggal atau basith (yakni Prinsip Pertama atau Wajib al-Wujud).[11]

Untuk lebih jelasnya, di sini kami merujuk kepada makalah St. Thomas Aquinas mengenai masalah ini. Beliau menggarisbesarkan doktrin emanasi Ibnu Sina dalam kalimat-kalimat berikut, “Oleh karena itu, pemikir-pemikir lain, dengan mempertimbangkan masalah ini dan juga masalah-masalah serupa, menegaskan bahwa wujud segala sesuatu sesungguhnya berasal dari prinsip pertama dan tertinggi yang kita sebut Tuhan, tetapi tidak secara langsung melainkan dengan aturan tertentu. Karena Prinsip Pertama segala sesuatu adalah mutlak satu dan basith (tak berangkap), mereka berpendapat bahwa hanya sesuatu yang tunggal yang bisa muncul dari-Nya. Dan meskipun efek ini lebih sederhana dan lebih tunggal daripada hal-hal yang lebih rendah lainnya, ia tak memiliki ketunggalan Prinsip Pertama sepanjang “keberadaan” itu bukan miliknya sendiri tetapi sebuah substansi yang memiliki “keberadaan”. Substansi ini mereka namakan akal pertama, yang darinya mereka katakan mungkin lahir pluralitas wujud-wujud. Karena jika dengan akal pertama dapat diperoleh pemahaman (dengan hudhuri) tentang Prinsip Pertamanya yang sederhana, maka mereka mengatakan bahwa akal kedua lahir darinya. Kemudian, sesuai dengan pemahamannya tentang diri sendiri (juga dengan hudhuri) dengan merujuk pada substansinya sebagai akal, ia menghasilkan jiwa langit pertama: tetapi sesuai dengan pemahamannya tentang diri sendiri dengan merujuk pada aspek potensial wujudnya, maka ia melahirkan jasad pertama. Dan dengan demikian, sesuai dengan urutan menurun tertentu hingga ke jasad yang paling rendah, mereka menentukan urutan segala sesuatu dari Prinsip Pertama. Inilah pendapat Ibnu Sina yang tampaknya dipraanggapkan dalam Kitab tentang Sebab-sebab.”[12]

Sebelum melangkah lebih lanjut kepada pendapat St. Thomas tentang gagasan emanasi, kita harus mencatat bahwa kata “potensial” (potentia) yang digunakan oleh St. Thomas tidaklah konsisten dengan kata “mungkin” (bil quwwah yang merupakan lawan dari bil fi’il) sebagaimana yang digunakan oleh Ibnu Sina. Barangkali St. Thomas ingin menawarkan kepada kita terminologinya sendiri mengenai masalah ini, tetapi kita harus berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan antara dua penggunaan istilah tersebut. Pencampuradukkan macam ini bisa membawa kepada pengkaburan pembedaan yang dengan jelas dibuat oleh Ibnu Sina, dalam kitab Isyarat bab Logika, antara “potensialitas materi” dan “kemungkinan mode” (modal possibility).[13] Kemungkinan penerapan dari yang disebut pertama terbatas dalam wilayah benda material (yakni wujud-wujud spasiotemporal), sementara yang kedua mencakup segala sesuatu yang bukan Wujud yang Wajib, mulai dari akibat pertama (akal pertama) hingga bagian terakhir dari dunia yang mungkin (selain benda material). Karenanya, efek pertama tidak pernah memiliki potensialitas di dalamnya. Bahkan seandainya St.Thomas benar-benar mempunyai penggunaan terminologis khusus untuk kata potensial, kita tak dapat menggunakannya di sini sepanjang membicarakan teori Ibnu Sina.

Sekarang marilah kita kembali ke pokok-pokok utama pembicaraan yang diajukan oleh St. Thomas mengenai teori ini, untuk menemukan apakah pokok-pokok itu bisa mencegah kita mengandalkan doktrin Ibnu Sina.

“Tetapi, segera tampak dengan jelas bahwa posisi ini terbuka bagi kritik. Karena kebaikan alam semesta adalah lebih kuat daripada kebaikan alam partikular yang manapun. Karena watak yang baik dan yang akhir adalah sama, maka jika seseorang menarik kesempurnaan akibat dari maksud pelaku, berarti ia merusak watak kebaikan dalam efek-efek partikular alam atau seni …”[14]

St. Thomas bertanya apakah emanasi, menurut ajaran Ibnu Sina adalah “tanpa sengaja”. Sekalipun begitu, St. Thomas tidaklah benar-benar jelas dalam apa yang dimaksudkannya dengan “kesengajaan”. Boleh jadi ditafsirkan sebagai kehendak dan kesadaran. Dengan demikian, keberatannya adalah bahwa prinsip emanasi tidak konsisten dengan emanasi itu sendiri, yang diniatkan dan dikehendaki oleh suatu pelaku yang sadar akan tindakannya. Kalau begitu, “keharusan” mode di pihak pelaku adalah faktor bagi implikasi yang didakwakan bahwa “setiap tindakan wajib yang berasal dari wujud aksi intensional hanya dalam hal bahwa tindak emanasi adalah operasi yang wajib dan nonrasional dari pelaku, yang bukan berasal dari kehendak dan pengetahuannya. Aksi intensional adalah (a) tindakan yang bukan merupakan operasi yang wajib, dan (b) lahir dari kehendak dan pikiran si pelaku. Dipahami secara demikian, emanasi dapat dipertanyakan karena pada prinsipnya keharusan tidak kompatibel secara logis atau metafisik dengan pengetahuan dan kehendak. Lebih jauh, jika si pelaku aksi-aksi yang bebas dan sengaja itu adalah Wujud yang Wajib dalam esensinya, bagaimana mungkin pelaku yang sama bertindak sebagai wujud kontingen (mumkin al-wujud) menurut pengetahuan dan kehendaknya?

Sekali lagi tampak bahwa ada ketidakserasian anlogis antara doktrin bahwa Tuhan adalah Wujud Yang Wajib dalam esensi dengan doktrin bahwa tindakan Tuhan bersifat sengaja (ikhtiari) menurut kehendak dan pengetahuan-Nya. Dengan perkataan lain, Wujud yang Wajib dan Mutlak menyiratkan emanasi-Nya yang wajib dan pada saat yang sama kehendak serta pengetahuan Tuhan menyiratkan kontingensi atau kemungkinan, baik dalam emanasi maupun sifat-sifat Tuhan. Seandainya inilah keberatan St.Thomas terhadap doktrin emanasi, haruslah dikatakan bahwa ini adalah persoalan serius yang sama yang disadari oleh Ibnu Sina dan banyak filosof lain ketika mereka membicarakan masalah “Wujud yang Wajib”.

Dapatkah Tuhan menjadi Wujud yang Wajib dalam esensi-Nya, tetapi menjadi wujud yang kontingen dan mungkin dalam kehendak dan pengetahuan-Nya tentang alam semesta dan dalam penciptaan-Nya dan, karena itu, dalam semua Sifat-Nya? Ini adalah pertanyaan yang ditanyakan oleh Ibnu Sina dan hampir semua muridnya segera setelah mereka mengetengahkan doktrin emanasi. Pendapat umum yang mereka ambil dalam menghadapi pertanyaan ini adalah bahwa sebagai wujud yang mutlak tunggal dan sederhana, wujud yang wajib dalam esensinya adalah wujud yang wajib dalam setiap aspekdan sifat wujudnya (wajib al-wujud bi al-dzat huwa wajib al-wujud min jami’ al-jihat)[15]. Jika demikian halnya, maka emanasi Tuhan mestilah dengan sendirinya lahir dari Tuhan dan dengan sendirinya diketahui dan dikehendaki oleh Tuhan. Ini karena Tuhan sebagai pelaku emanasi adalah Wujud yang Wajib dalam esensi-Nya dan dengan demikian Dia adalah Wujud yang Wajib dalam pengetahuan, kehendak, dan perbuatan-Nya. Sekiranya Prinsip Pertama segala sesuatu adalah mutlak satu dan sederhana dalam esensinya, maka setiap cacat dalam kesempurnaan dan munculnya privasi dalam esensi-Nya pasti akan mengubah keadaan kesederhanaan dan kemustian mode-Nya menjadi kompleksitas dan kontingensi. Kesimpulannya, karena Tuhan adalah Wujud yang Wajib, maka Dia memiliki pengetahuan yang pasti tentang Diri-Nya dan tentang alam semesta dan Dia juga memiliki kehendak yang pasti, emanasi yang pasti, dan sebagainya.

Sekalipun begitu, makna “pengetahuan pasti” Tuhan tentang alam semesta dan “kehendak pasti”-Nya mengandung pengetahuan menjadi pokok pembicaraan kita di sini. Tetapi, bagian pertanyaan yang lain, yang bukan pokok masalah yang kita perbincangkan, tapi termasuk dalam masalah kehendak bebas (free will) dan determinisme, akan kita bahas di tempat yang semestinya.[16] Harus ditegaskan bahwa sepanjang menyangkut pengetahuan Tuhan dan emanasi-Nya, yang pasti, kita sepakat dengan filsafat pencerahan bahwa ini adalah sejenis pengetahuan dengan kehadiran dan tak mungkin yang lain. Seandainya ia adalah suatu bentuk pengetahuan representasional, baik transenden ilahi ataupun bukan, niscaya keberatan St. Thomas akan benar-benar dapat diterima.[17] Tuhan mengetahui emanasi-Nya seperti kita mengetahui penginderaan, imajinasi, fantasi dan jasad kita. Tuhan mengatur dan mendominasi seluruh alam semesta seperti kita dalam kaitannya dengan tubuh pribadi dan kemampuan kesadaran pribadi kita. Sebaliknya, seperti halnya kita sendiri tidak mempunyai pengetahuan representasional fenomenal tentang tubuh dan kemampuankesadaran kita sendiri selain dengan cara introspeksi, maka Tuhan juga tidak memiliki pengetahuan yang sengaja –dalam pengertian representasional- tentang emasani-Nya yang adalah eksistensi alam semesta. Dan Diaterlalu luhur untuk memiliki pengetahuan introspektif tentang Diri-Nya. Konsekuensinya, pengetahuan Tuhan tentang alam semesta pastilah melalui kehadiran.

Pertanyaan bagaimana Tuhan mengetahui alam semesta sebagai emanasi-Nya sendiri adalah isu yang terlalu besar untuk dibicarakan di sini. Persoalan ini merupakan isu problematik baik dalam bahasa filsafat biasa maupun dalam filsafat pencerahan. Akan tetapi, suatu tinjauan ringkas mengenai masalah ini akan menjelaskan isu yang sedang kita bahas.

Nashir Al-Din Thusi, penafsir Ibnu Sina yang paling masyhur, memberikan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana segala sesuatu dengan perbedaan yang jelas dan urutan tertentu lahir dari-Nya, sebagai prinsip emanasi sederhana Yang Tunggal dan mutlak dengan akal. Thusi mula-mula menyuguhkan penjelasannya mengenai bagaimana Tuhan mengetahui efek pertama. Selanjutnya dia menjawab pertanyaan berikut: Bagaimana Dia mengetahui alam semesta dengan semua perbedaan dan tata tertibnya? Berikut ini adalah garis besar penjelasan Thusi yang termasyhur:

Kita telah memahami bahwa Prinsip Pertama mengetahui Diri-Nya sendiri tanpa dideferensiasi melalui perantaraan representasi antara realitas-Nya (dzatihi) dan kesadaran akan realitas-Nya dalam eksistensi, kecuali dalam evaluasi intelektual atas mereka yang merenungi realitas-Nya (yang berbedadari kesadaran akan realitas-Nya).

Kita juga telah memutuskan bahwa pengetahuan-Nya tentangDiri-Nya adalah kausa efisien bagi pengetahuan-Nya tentang efek pertama. Nah, jika Anda hendak melakukan penilaian Anda dengan benar bahwa kedua sebab yang terlihat itu, yakni realitas-Nya sendiri dan kesadaran-Nya sendiri akan hal itu, dalam eksistensi adalah satu dan sama dan sesungguhnya tak bisa berbeda, maka Anda telah membuat diri Anda terikat untuk melakukan penilaian selanjutnya, atas dasar yang sama, bahwa kedua efek itu, yakni realitas efek pertama dan bentuk pengetahuan-Nya mengenai realitas tersebut, adalah satu dan sama dan sesungguhnya tak pernah bisa berbeda. Akan tetapi, tidak ada perbedaan apapun bisa dibuat dengan sebenarnya untuk membedakan realitasnya dari pengetahuan tentang realitas tersebut dengan melekatkan yang disebut belakangan kepada eksistensi yang disebut terdahulu.

Hasilnya adalah bahwa eksistensi efek pertama tak lain hanyalah tingak mengetahuinya Prinsip Pertama itu, tanpa keharusan bagi-Nya untuk mendekatinya dengan meletakkan representasi (shurah) dalam Diri-Nya.

Karena substansi-substansi terpahami yang terpisah ini, termasuk efek pertama, menyadari segala sesuatu yang buksan efek mereka sendiri melalui representasi-representasi di dalam diri sendiri, dan di lain pihak mereka semua juga menyadari Prinsip Pertama, dan karena adalah pasti bahwa setiap eksistensi di dunia hanyalah efek dari Diri-Nya semata, maka dengan sendirinya semua bentuk eksistensi, baik yang partikular maupun yang universal, direpresentasikan dalam substansi-substansi ini.

Prinsip Pertama mengetahui substansi-substansi yang bisa dicerap ini sebagaimana adanya: artinya, dengan representasi-representasi apapun yang telah mereka simpan dalam diri mereka. Tetapi, dia mengetahui tidak melalui representasi dalam Diri-Nya melainkan dengan kehadiran realitas substansi-substansi itu sendiri dan realitas bentuk-bentuk. Dengan cara ini Dia mengetahui dunia eksistensi sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang tampak kepada Diri-Nya.[18]

Beginilah filsafat emansi Ibnu Sina dipahami oleh muridnya yang termasyhur dan disepakati oleh hampir semua penafsir dan para filosof terkait lainnya. Kita telah melihat dalam analisis yang hebat ini bahwa hubungan Tuhan dengan emanasi-Nya (yakni eksistensi alam semesta) tidaklah, dan tak bisa, dengan pengetahuan disengaja, melainkan hanya melalui pengetahuan melalui kehadiran yang dinisbatkan kepada Tuhan, yaitu kehadiran dengan identitas yang dicontohkan dalam pengetahuan Tuhan tentang realitas-Nya sendiri, dan kehadiran dengan emanasi, semisal pengetahuan tentang Tuhan dalam hubungan dengan emanasi-Nya. Keduanya adalah pengetahuan dengan kehadiran, sebab dalam kedua kasus tersebut tidak ada representasi ataupun citra mental yang menempatkan dirinya di antara realitas hal yang diketahui dan rasa mengetahui.

Mengenai filsafat pencerahan, sebuah jawaban ringkas terhadap persoalan bagaimana segala sesuatu lahir dari Tuhan melibatkan pertama-tama penjernihan ambiguitas dalam kata “pengetahuan”, yang hanya mungkin berarti pengetahuan dengan representasi. Kita perlu mengganti “pengetahuan” dengan “kesadaran” agar bisa diterapkan pada ilmu hudhuri, jika teori pengetahuan dengan kehadiran hendak dipertahankan. Kedua, sebagai filosof pencerahan, kita harus sepakat dengan pemikiran bahwa Prinsip Pertama harus sadar akan semua kejamakan ini, di samping efek pertama yang telah terlebih dahulu disediakan-Nya. Sekalipun demikian, kenyataannya adalah bahwa karena seluruh jajaran kejamakan di alam semesta ini, ditinjau dari sudut pandang “kontinuitas” dan “ketergantungan”, adalah emanasi tunggal yang diperluas[19] dari Prinsip Pertama, yang seluruhnya diketahui oleh Tuhan dalam pengetahuan-kehadiran-Nya. Dengan demikian pengetahuan Tuhan tidaklah melalui representasi ataupun kontemplasi, yang merupakan pengetahuan dengan korespondensi dan tak punya arti apa-apa sebagai pengetahuandengan kehadiran.

Pada titik ini saya ingin mengakui kekurangpahaman saya tentang kritik Thomistik terhadap teori emanasi Ibnu Sina yang menegaskan: “Kita tidak boleh mnyatakan bahwa dari Prinsip Pertama –mengingat bahwa Dia tunggal dalam esensi-Nya- hanya lahir satu efek, dan bahwa dari eujud yang lainlah, sesuai mode komposisi dan kemampuannya, lahir kejamakan, dan seterusnya.”[20] Melihat nilai permukaan penafsiran ini, tampaknya ia secara eksplisit membuatpertanyaan bahwa pendapat Ibnu Sina adalah: karena sumber pertama adalah kausa efisien yang independen bagi efek pertama, begitu pula efek pertama juga mesti dihitungsebagai kausa efisien yang independen terhadap jajaran pertama kemajemukan, dan seterusnya. Dalam kenyataannya, sebagaimana dinyatakan oleh penafsiran Thomistik terhadap pendirian Ibnu Sina, ada hierarki efek-efek lain. Dari sini, efek pertama itu sendiri melahirkan, menurut mode komposisinya, suatu kemajemukan yang tidak bisa dilahirkan oleh Prinsip Pertama. Karena itu, Prinsip Pertama tak memainkan peran apa-apa atas seluruh kemajemukan alam semesta.

Nah, jika inilah yang benar-benar ingin dikatakan oleh Ibnu Sina, atau siapapun yang mengetengahkan doktrin seperti ini, maka ini bagaikan senjata makan tuan yang mengingkari seluruh pokok pendapat teori emanasi yang dicoba untuk ditegakkan oleh doktrin tersebut. Karena arti emanasi sama sekali tidak menerima kausasi independen. Jika kemajemukan alam semesta lahir dari suatu wujud selain Dia sendiri, maka wujud inilah kausa efisien bagi eksistensi kemajemukan, bukan Prinsip Pertama. Dengan sendirinya wujud independen dalam kausasi seperti itu tak lagi merupakan emanasi. Sepanjang pengetahuansaya, emanasi dalam ajaran Ibnu Sina mesti dicirikan oleh keadaannya yang mutlak bergantung pada sumbernya baik dalam wujud maupun dalam tindakannya. Karena ia adalah tindak imanen dari sumbernya, maka ia tidak bisa bertindak sendiri. Menjadi tindak imanen bagi suatu pelaku berarti mutlak hadir didalam, dan identik dengan, realitas agen itu sendiri. Juga merupakan aturan bahwa suatu tindak imanen dalam esensinya adalah imanen dalam semua ciri intrinsiknya, yang di antaranya adalah kausasi yang mesti dibahas di sini.[21]

Hubungan antara emanasi dan pelaku emanasi, dan sebalilknya, telah dijelajahi secara filosofis oleh Shadr Al-Din Syirazi (w. 1050/1640) ketika dia memaparkan bagaimana emanasi pada umumnya harus dipahami:

Semua eksistensi yang mengambil “kemungkinan” sebagai modalitas logis mereka, dan semua realitas yang terkait, dan tergolong kepada Yang Lain, mesti dipandang sebagai nilai-nilai yang berbeda (i’tibarat) dan sifat-sifat yang berbeda dari eksistensi Wujud Wajib. Mereka adalah sinar-sinar dan bayangan-bayangan dari Cahaya Swa-Substantif. Bayangan-bayangan ini,ditinjau dari sudut pandang individuasinya (huwiyyah), sama sekali tidak independen. Bahkan mustahil untuk membayangkan mereka sebagai entitas-entitas independen dan tak tergantung. Hal ini karena ‘sub-ordinasi’ dan keadaan ‘dimiliki oleh’ Yang Lain, maupun kebutuhan dan ketergantungan pada Yang Lain, adalah seluruh bentuk realitas mereka. Akan tetapi tidaklah benar untuk menganggap bahwa ada sesuatu dalam esensi mereka yang bertanggung jawab atas keadaan terkait dengan dan dimiliki oleh Yang Lain, dan dengan demikian bergantung pada Yang Lain; sama sekali tidak. Alih-alih, satu-satunya kebenaran yang bisa dibayangkan tentang realitas mereka adalah dengan menggambarkan mereka sebagai ‘ketergantungan’ murni terhadap Yang Lain, bahkan bukan sesuatu yang bergantung pada Yang Lain. Dipahami secara demikian, mereka tak memiliki realitas dalam diri mereka sendiri yang bisa dibayangkan oleh kemampuan intelektual kita selain semata-mata sebagai pendudukan dan sub-ordinasi dari satu Realitas. Dari ini, jelas bahwa tidak ada sesuatupun di dunia realitas selain Realitas Tunggal. Tiada sesuatu selain ini kecuali sebagai manifestasi, pameran, perspektif, secara spesifik, berkas sinar, bayangankecemerlangan, dan penampakan dari kehebatan yang tak terbatas dari Realitas Tunggal ini.[22]

Atas dasar teori emanasi inilah kami berusaha mendasarkan analisis mistisisme kami.Versi emanasi ini, sebagaimana nyatanya, menyiratkan beberapa tesisi fundamental, yang di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Masalah ontologi Realitas Tunggal dalam hubungannya dengan ontologi emanasi-Nya.
2. Hubungan Prinsip Pertama dengan dunia sebagai emanasi uniter-Nya.
3. Hubungan dunia sebagai sebuah emanasi dengan Prinsip Tertingginya.

Dengan meninggalkan persoalan ontologi,[23] yang mengatur hampir seluruh lapangan metafisika dan terletak jauh di luar batas kerangka pokok masalah kami, kami boleh memusatkan perhatian pada masalah kedua dan ketiga dari tiga serangkai ini, dan meletakkan tekanan khusus pada masalah terakhir, yang merupakan isu pokok dalam analisis kami tentang mistisisme. Kami akan membahas masalah ini dalam bahasan berikut.



Emanasi Hanya Bisa Diungkapkan oleh Frase Berpreposisi

Mulai dengan masalah kaitan Prinsip Pertama dengan kemajemukan alam, apa yang diberikan oleh perspektif emanasi Shadr Al-Din kepada kita hanya bisa diungkapkan oleh frase berpreposisi seperti “lahir dari …”, “bergantung pada …”, “diterangi oleh …”, dan sebagainya. Semua kata yang digunakannya dalam definisi emanasi hanya berarti, seperti yang kita lihat, tindakan murni dan imanen oleh pelaku sebagai manifestaasi kebenaran substantif. Jadi bolehlah dikatakan bahwa realitas emanasi analog dengan arti kata-kata sambung dan preposisi-preposisi, karena ia tidak punya arti yang jelas yang bisa didefinisikan dalam dirinya sendiri terpisah dari prinsip substantifnya.Jadi ia tidak bisa didefinisikan sebagai kata kerja ataupunkata benda, alih-alih, ia hanya bisa dipahami dari sudut pemahaman Prinsip ini, sebagaimana halnya sebuah preposisi hanya bisa dipahami dengan tepat dan bermakna jika kita bisa mengaitkannya dengan kata benda dan kata kerja yang tepat. Akan tetapi, kebenaran esensial emanasi sepenuhnya terletak dalam kebenaran sumber substantifnya, dan seluruh realitas tak lebih dari suatu ekspresi berpreposisi seperti “oleh orang lain”. Dalam kenyataannya, karena status tindak emanasi pada esensinya bersifat preposisional, satu-satunya realitas mandiri yang benar-benar ada dalam sendirinya, dan bisa berfungsi sebagai kata benda substantif yang kepadanya semua entitas preposisional dikaitkan, adalah satu realitas di seluruh alam eksistensi. Ini adalah Yang Tunggal yang dirinya sendiri bukan merupakan tindakan dari prinsip lain, dan karenanya sama sekali tidak bergantung pada apapun. Ini adalah Prinsip wujud emanatif yang unik, dan juga merupakan Sebab Pertama dan Sebab dari segala sebab yang dikatakan oleh Aristoteles.[24]



Garis-garis Emanasi Vertikal dan Horisontal[25]

Dalam teori emanasi tidak ada kemungkinan kehampaan eksistensial, yakni interupsi ketiadaan antara Sebab Pertama dan hal-hal ultima yang beremanasi dari Yang Pertama. Karena merupakan manifestasi dan iluminasi, suatu emanasi, baik yang ada pada peringkat efek pertama ataupun yang terakhir, seluruhnya dipegang dan bergantung pada prinsip terdekatnya. Prinsip terdekat ini, jika bukan Yang Pertama, pada gilirannya niscaya akan bergantung, bersama semua eksistensi bergantung padanya, pada prinsip terdekatnya sendiri dan seterusnya, sampai mereka semua tereduksi pada dan lebur dalam Prinsip Pertama eksistensi. Karena itu, tak perdulisejauh mana kemajemukan sebab dan akibat terjadi menurut komposisi dan tertib alam semesta, dapat dipastikan bahwa seluruh kemajemukan itu dirancang sebagai manifestasi tunggal dari Wujud Swa-Substantif. Dan sebagai bayangan wajah-Nya, ia senantiasa bergantung sepenuhnya pada cahaya-dari-segala-cahaya-Nya.

Ini menunjukkan bahwa ada suatu garis vertikal yang tak terputus yang menghubungkan seluruh kumpulan besar emanasi dengan Prinsip Pertamanya dalam kesatuan eksistensial yang ketat. Ada pula rantai penghubung horisontal yang padanya segala sesuatu dipandang berbeda satu sama lain dan dicirikan oleh kemajemukan dalam peringkat, esensi, spesies, dan individuasi. Kami menyebut garis vertikal tersebut “tatanan batin” eksistensi, dan garis-garis horisontal tersebut “tatanan lahir” eksistensi. Tatanan batin berkenaan dengan pengalaman mistik dan tatanan lahir berkenaan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam masalah mistisisme, yang bisa dilakukan filsafat hanyalah menjelaskan penafsiran dan konseptualisasi pengalaman-pengalaman mistik. Karena bersifat representasional, penafsiran-penafsiran dan konseptualisasi-konseptualisasi ini akan masuk ke dalam tatanan penghubung horisontal, sementara pengalaman-pengalaman mistik faktual selamanya tetap berada dalam dimensi vertikal emanasi dan termasuk dalam tatanan batin dunia realitas.



Diagram Emanasi

Sebenarnya, apa yang sejauh ini telah disebutkan mengenai Prinsip Pertama dan kaitan iluminatif-Nya dengan eksistensi dunia sebagai emanasi-Nya merupakan kosmologi filsafat pencerahan, yang bisa dilukiskan dengan diagram piramida seperti di bawah ini:

Diagram ini akan disebut sebagai “piramida eksistensi”, karena dalam sistem ini cahaya eksistensi bersinar dari sumber cahaya pada puncak menuju ke dasar piramida, yang melambangkan dunia obyek-obyek material. Sementara semua sinar dan anak panah beremanasi dari ketunggalan Yang Pertama, tanpa interupsi ketiadaan atau kehampaan, semuanya memiliki kaitan eksistensi dan kesatuan yang sangat kuat dengan Prinsip Pertama yang berada di puncak. Akan tetapi, mereka sangat beragam apabila dipandang berada pada dasar atau pada titik manapun di antara dasar piramida dengan titik puncak dimana peringkat horisontal maupun vertikal berkonvergensi dalam sebuah kesatuan tunggal yang mutlak.

Ada dua jenis keragaman yang berbeda yang mesti dicatat di sini. Sinar-sianr atau bayangan-bayangan eksistensi ini bisa dibagi oleh pikiran seorang filosof menjadi berbagai emanasi fragmenter sesuai derajat kedekatan dengan Prinsip Tertinggi. Namun demikian, pembagian semacam ini, karena merupakan sekedar refleksi intelektual tentang gradasi satu hal yang sederhana, tidak mengacaukan kesatuan sederhana emanasi dengan Prinsip Pertamanya. Mereka juga sesungguhnya terpisah dan beragam dalam emanasi maupun individuasi, dan seterusnya; akan tetapi karena pemisahan dan keragaman ini (yang terjadi dalam tatanan horisontal) tidak terjadi dalam tatanan vertikal –yakni tatanan kesatuan- maka keduanya tidak menyebabkan perpecahan dan tak pula mempunyai dampak terhadap sistem batin kelanjutan sinar-sinar dan kesatuannya dengan Yang Tunggal. Dengan perkataan lain, kejamakan tatanan horisontal tidak ada pengaruhnya terhadap kaitan kesatuan vertikal.

Diagram piramida kosmologi pencerahan ini, bersama pembedaan antara sambungan vertikal dan horisontal di dalamnya, harus dipertimbangkan dengan serius, tidak hanya dalam filsafat pencerahan juga dalam setiap analisis filosofis terhadap persoalan mistisisme. Adalah sangat penting untuk memahami “kesatuan batin” dalam kaitannya dengan “keragaman lahir” dari diagram ini manakala orang menemukan pernyataan-pernyataan yang paradoks tentang pengalaman mistik. Keseluruhan sistem ini juga sangat vital dalam menjelaskan prinsip Parmenidian yang terkenal tentang “kesatuan dalam perbedaan”, jika persoalan ini hendak dibahas tanpa kontradiksi. Kontradiksi muncul dari doktrin disjungtif filosofis yang terkenal dari para filosof yang menyatakan “ini atau bukan ini” bersama konjungsinya “ini dan bukan ini”.[26] Untuk semua ini, diagram di atas bisa menjadi jawaban yang jelas.

Akhirnya, diagram di atas diambil sebagai aksioma utama dalam teori “gradasi” realitas eksistensi, yang padanya aliran filsafat Islam tentang keutamaan dalam eksistensi didasarkan. Masalah “univositas” (Univocity)dan variasi gradasi “eksistensi” perlu ditelaah dalam disertasi tersendiri. Sekarang kita berpaling pada penjelasan dan penafsiran diagram di atas.

Dengan mengesampingkan masalah filsafat Islam tentang keutamaan eksistensi, tampaknya perlu untuk agak menekankan pemilihan kata-kata dan penafsiran filosofis diagramemanasi kita, lebih dari lambanggrafisnya. Ada berbagai cara dan pendekatan yang dengannya orang bisa menunjukkan, baik secara logis maupun filosofis, kemungkinan klaim diagram ini untuk mendemonstrasikan keidentikan eksistensi emanasi dengan Prinsip Pertama. Hukum “transitivitas” atau “silogisme hipotesis” adalah salah satu pengekatan yang bisa membantu kita melihat bagaimana diagram tersebut bekerja. Bentuk logis dari hukum ini adalah:

Seperti bisa kita lihat, hukum ini didasarkan pada implikasi material sebagai penghubung logisnya.

Untuk menerapkan hukum ini pada teori emanasi, orang perlu mengganti implikasi material dengan gagasan emanasi tentang “ketergantungan”. Untuk bergantung secara totaol, baik secara sebenarnya maupun dalam bayangan, pada kebenaran yang lain, berarti dinaungi oleh dan tercakup dalam kebenaran wujud yang lain. Secara logis, kaitan eksistensial ini diungkapkan melalui implikasi material, seperti bahwa kebenaran wujud emanatif secara analitis terdiri atas kebenaran sumber yang tak dapat dilepaskannya. Karena itu, “ketergantungan” di sini disepadankan dengan “keadaan tak bisa terlepaskan” (undetachability) dan “keadaan tak bisa terbedakan” (undistinguishability) emanasi dan sumber emanasi, baik dalam pemikiran maupun dalam kenyataannya.[27]

Jika argumen ini telah dijelaskan, derajat atau mode emanasi A yang manapun, pada sebarang titik di bagian bawah diagram, akan membutuhkan, dengan implikasi material, prinsip terdekatnya B. Karena B pada gilirannya adalah emanasi yang bergantung dengan cara yang sama pada prinsipterdekatnya, maka secara logis ia juga mengimplikasikan prinsipnya sendiri; proses yang sama berlanjut hingga jajaran emanasi berakhir pada Prinsip Tertinggi C.

Dengan cara ini, mata rantai tak terputus emanasi ditelusuri kembali dari mode emanasi paling rendah A hingga derajat menengah B dan akhirnya pada emanasi tertinggi C. Ini adalah cabang strategi logis transitivitas. Mode-mode dan derajat-derajat emanasi ini, saling susul menyusul, muncul pada tahap-tahap mereka senciri secara berbeda dalam pengertian kedudukanhierarkis dan jarak kedekatan dan kejauhan mereka dari Prinsip Tertinggi. Sekalipun demikian, mereka semua merupakan satu garis vertikal yang tunggal dan tak terbadi dari dasar hingga titik puncak piramida emanasi. Karena itu, diagram kita bisa dibentuk secara begini:

Satu keberatan mungkin akan diajukan terhadap gagasan bahwa implikasi transitivitas tidak menunjang klaim diagram tersebut. Diagram itu tidak membutuhkan apapun selain keidentikan eksistensial semua gradasi dan mode emanasi. Yang bisa dilakukan oleh aturan transitivitas adalah membantu untuk mengetahui bahwa ada kaitan yang tak terputus antara derajat mode emanasi A yang paling rendah, melalui sebuah mode menengah B yang digunakan, dengan Prinsip Tertinggi C. Akan tetapi, apakah kaitan ini adalah kaitan keidentikan atau bukan, yang menurutnya seluruh sistem gradasi emanasi dan Prinsipnya sebagai satu kesatuan eksistensial, adalah di luar perimeter-perimeter logis silogisme hipotestis tersebut.

Jawaban terhadap keberatan ini adalah bahwa kaitan eksistensial antaea suatu emanasi dengan sumber yang darinya ia dipancarkan, seperti telah kita bahas secara terinci, tak lain adalah “relasi iluminatif”[28], yang bersifat uniter dan termasuk dalam tatanan wujud dan bukannya tatanan konsepsi. Dalam kenyataannya, hubungan uniter inilah yang menjelaskan henis keidentikan eksistensi yang dimiliki oleh emanasi dengan Sumber emanasi. Di dalam konteks hubungan uniter ini, kita berhak menerapkan aturan transitivitas agar bisa melangkah lebih lanjut dari satu kemunculan hubungan ini pada dasar diagram hierarkis kita ke kemunculan pada titik puncaknya. Dengan perkataan lain, operasi implikasi material dalam sistem hubungan-hubungan pencerahandihasilkan secara logis dalam sejenis kesatuan eksistensial yang bergerak maju dari kelas emanasi yang lebih rendah hingga ke Sumber Tertinggi kausasi emanasi iluminatif, tanpa gangguan atau perantaraan yang bersifat tambahan.

Ada pula pendekatan lain terhadap logika diagram tersebut, yakni doktrin filosofis Islam tentang “kesatuan kontinuitas”, yang dengannya kita mampu membuktikan bahwa setiap liner yang kontinu dan tak terputus didominasi oleh suatu kesatuan eksistensial. Kami akan membahas tesis ini secara rinci, manakala kita sampai pada pembahasan tentang gagasan penyerapan dan peniadaan (fana).



Arti Kehadiran Tuhan di Alam Semesta

Mengingat sistem kosmologi yang sedang kita bicarakan, isu yang muncul sekarang adalah bahwa hubungan Prinsip Pertama dengan dunia, sebagai emanasi-Nya, sangat analog dengan hubungan emanatif diri dengan keadaan-keadaan pribadinya. Sepanjang menyangkut ilmu hudhuri, pengetahuan Tuhan tentang alam semesta sebagai tindak emanatif-Nya termasuk dalam jenis pengetahuan yang sama dengan pengetahuan diri mengenai penginderaan dan imajinasinya. Seperti telah kita lihat dalam bab-bab terdahulu, diri mengenal dirinya sendiri melalui kehadiran dalam pengertian swaidentitas, dan juga mengenal keadaan-keadaan pribadinya melalui kehadiran, yang dipahami dalam pengertian pencerahan dan supremasi, yang disebut kehadiran dengan emanasi. Di sini, dalam bab ini, kita sampai pada pembagian ilmu hudhuri yang sama –kehadiran dengan keidentikan dan kehadiran dengan emanasi. Karena kami telah menunjukkan bahwa pengetahuan Tuham tentangdiri-Nya tak mungkin berbeda dengan kehadiran realitas tentang Diri-Nya kepada Diri-Nya, dan tak mungkin melalui representasi Diri-Nya kepada Diri-Nya sendiri. Dan pengetahuan Tuhan tentang alam semesta sebagai emanasi-Nya adalah juga dengan kehadiran eksistensi-Nya di alam semesta, namun dimanifestasikan dalam pengertian [encerahan dan supremasi atas eksistensi emanatif alam semesta. Karena, seperti dikatakan oleh Nashir Al-Din Thusi, Tuhan sendiri adalah sebab bagi alam semesta, danpengetahuan Tuhan tentang diri-Nya, yang adalah sebab dari pengetahuan-Nya tentang alam semesta, adalah mutlak satu dan sama, maka karenanya, eksistensi alam semesta sebagai efek Tuhan, dan pengetahuan Tuhan akan eksistensi tersebut sebagai efek pengetahuan-Nya tentang diri-Nya, juga mutlak satu dan sama. Ini berarti pengetahuan Tuhan tentang alam semesta hanya bisa melalui kehadiran dalam pengertian pencerahan dan emanasi.[29]

Kesimpulan keseluruhannya adalah bahwa pengetahuan Yang Tunggal tentang tindak wujud pencerahan-Nya adalah melalui kehadiran-Nya dalam wujud tersebut dalam pengertian kehadiran melalui emanasi. Kehadiran melalui emanasi pada gilirannya adalah keefektidan dan supremasi satu wujud atas wujud yang lain, dengan cara yang persis sama seperti pada supremasi imanen diri atas imajinasi dan keadaan-keadaan pribadinya.

Status Mode Emanasi

Menurut pendapat saya ada sebuah argumen yang dirancang untuk memperoleh secara umum modalitas sebuah konsep dalam kaitannya dengannilai kebenarannya dan pertimbangan akan eksistensinya, baik konsep tersebut [30]bersifat empiris, transendental, atau sekedar ilusi. Dengan perkataan lain, asalkan ada sesuatu sebagai subyek dalam bentuk eksistensi proposisi, kita mampu merancang struktur mode proposisi seperti itu dan memutuskan apakah subyek itu bersifat “wajib”, “mungkin”, atau “mustahil”. Sebagai contoh, marilah kita pertimbangkan konsep transendental tentang Tuhan dibandingkan dengan konsep predikatif eksistensi dari sudut oandang argumen ini. Dengan meletakkangagasan Tuhan sebagai subyek, dan makna eksistensi sebagai predikat, kita memperoleh proposisi yang lengkap dalam bentuk:

“Tuhan ada”

Kemudian, dari sudut pandang modalitas, pernyataan ini ditundukkan kepada pertanyaan:

Apakah eksistensi Tuhan bersifat wajib, mungkin, atau mustahil? Manakala dua dari tiga alternatif itu -dalam kasus eksistensi Tuhan, kemungkinan dan kemustahilan- dikesampingkan, maka satu yang tersisa disimpan sebagai nilai kebenaran modalitas proposisi tersebut. Dengan demikian pernyataan tersebut menjadi:

“Tuhan pasti ada”.

Prosedur pengambilan keputusan yang sama bisa dengan mudah dilakukan untuk setiap konsep yang hadir dalam pikiran kita, apakah melalui pengalaman indera kita, akal kita, atau imajinasi kita. Jika demikian halnya, maka secara logis adalah sah untuk mengatakan bahwa segala sesuatu, tak soal apakah ia berada dalam tatanan esensi atau tatananeksistensi, adalah wajib, mungkin, atau mustahil. Ini sama artinya dengan generalisasi bahwa semua bentuk dan derajat eksistensi akan masuk ke dalam pertimbangan yang sama tentang modalitas sebagaimana semaua ragam esensi pada umumnya.

Mesti dicatat bahwa kesahihan argumen ini didasarkan pada pemahaman eksklusif atas alternatif ini, karena telah ditentukan dalam filsafat ini bahwa semua istilah primitif ini (yakni kestian, kemungkinan dan kemustahilan) berkontradiksi secara triadik. Karena kemungkinan adalah penafian kepastian dan kemustahilan adalah lawan kemungkinan. Sesuatu yang mungkin adalah sesuatu yang eksistensinya tidak pasti, sama halnya, eksistensi suatu wujud yang mungkin tidaklah mustahil.[31] Dalam kenyataannya, masing-masing pasangan bisa direduksi dan diterjemahkan menjadi bentuk umum ‘pv-p’, yang berarti hukum pertengahan yang dikecualikan.[32] Dinyatakan secara demikian,maka secara logis adalah mustahil bahwa suatu konsep, apapun konsep itu, akan pernah sepenuhnya berada di luar alternatif eksklusif ini. Adalah mustahil pula sebuah konsep bisa mengambil lebih dari satu alternatif ini. Artinya, setiap konsep harus (“setidaknya” dan “sedikitnya”) dikualifikasi oleh satu dari bentuk-bentuk modalitas primitif ini.

Dalam bahasa logika Islam, jenis pergantian ini disebut “disjungsi sempurna” (al-munfashilatal-haqiqiyyah),[33] yang berarti behwa “setidaknya dan sedikitnya” salah satu dari konjungsi tersebut adalah benar. Disjungsi sempurna mesti dibedakan dari dia disjungsi tak sempurna. Perbedaan ini paling baik dijelaskan dengan menjelajah lebih jauh ke dalam stuktur disjungsi-disjungsi. Pertama, ada disjungsi dimana “setidaknya” salah satu disjungsinya benar, tetapi semuanya juga boleh jadi benar. Ini dinamakan ‘disjungsi inklusif’ (mani’at al-khuluw).[34]Kedua, ada disjungsi lain dimana “sedikitnya” salah satu disjungsi adalah benar, meskipun mungkin tak satupun di antaranya yang benar. Ini dinamakan ‘disjungsi restriktif’ (mani’at al-jam’).[35] Disjungsi sempurna bisa dicontohkan oleh dua atau lebih disjungsi yang eksklusif. Sebuah contoh dari dua disjung eksklusif adalah:

“Setiap angka adalah bilangan ganjil atau genap”

Yang menyiratkan bahwa tak ada angka genao dan sekaligus ganjil, dan juga tidak ada angka yang tak ganjiltapi juga tak genap.

Tabel kebenaran dari ketiga bentuk disjungsi tersebut bisa dilihat dalam diagram ini:

Pola disjungsi sempurna yang sama bisa dicontohkan dalam sebuah rumus tiga-disjungsi seperti ini:

“Segala sesuatu adalah pasti, mungkin, atau mustahil”[36]

Menurut pengertian eksklusif disjungsi sempurna, pernyataan ini dianggap berarti bahwa (“setidaknya dan sedikitnya) satu, dan hanya satu, dari predikat-predikat modal ini yang benar mengenai sesuatu hal.

Bentuk tiga-disjungsi dari disjungsi sempurna busa diterapkan pada sifat entitas emanatif, dimana kita berhak membedakan secara intelektual antara esensi dan tindakan eksistensi dari entitas tersebut. Dengan mengesampingkan masalah esensialitasnya, kita sampai pada titik dimana kita bisa mengarahkan pertanyaan disjungtif kita pada eksitensi murni emanasi yang dilahirkan dari sumber. Akan tetapi, pertanyaan tersebut bukanlah apakah suatu wujud seperti diri adalah pasti, mungkin atau mustahil. Sebaliknya, pertanyaan tersebut hanya terkait dengan eksistensi aktual diri karena ia telah secara spesifik keluar dari sumbernya, tanpa memandang esensialitas-esensialitasnya, yang termasuk dalam tatanan definisi konseptualnya. Pertanyaan tersebut menanyakan apakah bentuk atau derajat eksistensi seperti itu bisa dikualifikasikan oleh kepastian, kemungkinan atau kemustahilan. Dengan perkataan lain, jika sifat eksitensial suatu emanasi dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dari esensi, maka apakah nilai kebenaran bagi modalitasnya?

Tentu eksistensi seperti itu tidak bisa ditempatkan di jajaran Wujud Wajib yang tidak mempunyai kaitan kausal dengan apapun. Makna emanasi itu sendiri menyiratkan bahwa emanasi adalah satu bentuk eksistensi yang diduga telah lahir dari wujud lain yang bertindak sebagai sumber kausasinya, atau sebagai sumber emanasinya.[37] Karena itu, kemungkinan bahwa suatu eksistensi emanatif adalah Wujud Wajib bisa dikesampingkan. Demikian pula, gagasan bahwa ia bisa dihitung sebagai kemustahilan logis juga harus dibuang. Akan tetapi tidak ada alasan untuk membuat suatu bentuk eksistensi yang dicirikan oleh kualitas-kualitas positif seperti itu sebagai mustahil. Dalam kenyataannya, perenungan terhadap semua implikasi yang membenarkan perujukan kepada suatu bentuk eksistensi sebagai emanatif memungkinkan kita untuk memutuskan bahwa hipotesis ini tidaklah kontradiktif. Satu-satunya alternatif yang bisa dipertimbangkan berkenaan dengan eksistensi suatu emanasi adalah kemungkinan. Maksudnya, tidak ada alternatif selain mengambil pandangan bahwa eksistensi seperti itu pasti memiliki modalitas kemungkinan. Lebih spesifik lagi,kita harus memandang emanasi sebagai wujud yang mungkin.

Satu kesulitan besar muncul dari kesimpulan ini: Apakah arti kemungkinan dalam kaitannya dengan persoalan eksistensi emanasi? Bagaimanapun juga, emanasi dianggap sebagai mode intensif eksistensi yang telah datang ke dunia realitas tanpa perantaraan waktu dan materi.[38] Jika begitu, apa kiranya arti kemungkinan jika diterapkan pada persoalan eksistensi emanasi? Adalah layak untuk meneliti apakah penerapan kemungkinan terhadao konsep universal emanasi membuat suatu wujud hipotetis menjadi mungkin. Akan tetapi, apakah benar-benar berarti untuk mengatakan bahwa suatu bentuk khusus eksistensi emanatif yang benar-benar eksis, betapapun rendah derajat emanasinya, adalah eksistensi yang mungkin? Sekali lagi, suatu esensi, jika dilawankan dengan suatu eksistensi, bias betul-betul dikatakan sebagai wujud yang mungkin, karena ia netral secara eksistensial (quidditas tantum). Dengan perkataan lain, ia bias masuk ke dalam cahaya eksistensi berkat kausasi dari sumbernya, dan ia berhenti eksis manakala sumber tersebut menarik diri dari kausasi. Untuk mencirikan suatu esensi sebagai mungkin adalah cara lain untuk merenungi keadaan netralitasnya antara masuk ke dunia realitas dan tidak eksis di dunia tersebut. Karena itu, makna esensi itu sendiri adalah netral secara eksistensial.[39]

Sekalipun demikian, dalam term-term penafsiran Ibnu Sina tentang kemungkinan, bagaimana mungkin emanasi yang merupakan suatu bentuk tunggal eksistensi, dikatakan “netral secara eksistensial?” Dapatkah suatu derajat eksistensi dalam bentuk emanasi menjadi netral secara eksistensial? Jika masalah yang dibicarakan adalah emanasi, yang dianggap sebagai cahaya murni eksistensi yang muncul dari sumber realitas, maka bagaimana bias dipahami jika kita memodifikasinya menjadi frase predikatif “netral secara eksistensial”?

Banyak yang harus dikatakan tentang masalah hubungan esensi-eksistensi, tetapi sebagian besar masalah ini tidak menjadi pokok perhatian kita dalam pembicaraan ini, yaitu kemungkinan eksistensial. Hanya ada satu hal penting yang mungkin agak menjelaskan masalah yang sedang dibahas, yaitu perbedaan antara apa yang secara eksistensial netral dan apa yang tidak. Pada umumnya telah dipahami bahwa suatu esensi bias tunduk kepada disjungsi “ini atau bukan ini”, karenanya, ia secara eksistensial netral dalam pengertian “ketundukan” kepada disjungsi ini. Di lain pihak, eksistensi tidaklah tunduk kepada disjungsi ini dan tidak pula, karena itu, kepada non-eksistensi (yakni “bukan ini”). Berdasarkan ini, esensi dicirikan oleh netralitas eksistensial dan eksistensi oleh keadaan pasti dengan sendirinya.

Dengan asumsi bahwa arti kemungkinan adalah keadaan seimbang antara eksistensi dan non-eksistensi, yang merupakan makna disjungsi di atas, dan lebih lanjut, dengan asumsi bahwa arti emanasi diajukan untuk menggantikan “X” dalam argument beriktu: “X adalah bentuk eksistensi, tetapi apakah X secara eksistensial netral?”, maka ini menjadi pertanyaan yang menghancurkan posisinya sendiri seperti halnya pertanyaan “X adalah empat persegi panjang, tetapi apakah X netral dalam hal memiliki empat sisi?”

Dari sini, meskipun modalitas kemungkinan adalah satu-satunya modalitas yang bias dibayangkan untuk eksistensi emanasi, implikasi netralnya tidak berarti sebagai pencirian jenis eksistensi ini. Jadi, pertanyaan yang penting adalah: Apakah modalitas dari eksistensi murni yang disebut emanasi itu?

Argumen ini membawa kita kepada regeneralisasi yang konklusif bahwa modalitas kemungkinan, dalam pengertian primitifnya, tidak lagi bias dirujukkan dengan bagian eksistensial sebarang bentuk wujud yang mungkin, baik wujud emanatif maupun wujud non-emanatif, artinya, baik emanasi itu ada atau tidak. KOnsekuensinya, kita tidak bias bersandar pada argumenmodal ini untuk membuat keputusan mengenai spesies-spesies eksistensi alam semesta pada umumnya. Satu-satunya manfaat yang bias kita peroleh dari argument ini adalah pengetahuan bahwa kita tidak bias meninggalkan sifat eksistensial alam semesta dalam keadaan tanpa keputusan dan ketentuan dari sudut pandang modenya. Jika kita melakukannya, yakni jika kita meninggalkan keadaan eksistensi alam semesta tanpa keputusan, maka hal itu akan merupakan rongrongan terhadap hokum “disjungsi eksklusif” dan, dalam satu hal, pada akhirnya rongrongan terhadap hokum “pertengahan yang dikecualikan”. Pertanyaan asal menyangkut status eksistensial suatu emanasi meluas manakaladitanyakan tentang struktur alam semesta in toto. Artinya. Pertanyaan ini tidak bisalagi dipandang sebagai isu terbatas menyangkut status emanatif diri. Sebaliknya, ia adalah hal yang paling mendasar yang berkaitan dengan masalah utama ontology dunia realitas secara keseluruhan.

Dalam situasi dan kondisi ini kita didorong pada situasi dimana kita harus membedakan antara dua spesies kemungkinan. Yang Pertama adalah kemungkinan yang mencirikan sifat esensial wujud sebagai berbeda dari eksistensinya. Kemungkinan ini, tentu saja, termasuk dalam tatanan esensi dan dianggap berarti bahwa suatu esensi adalah netral secara eksistensial. Yang kedua, adalah kemungkinan yang mengkualifikasi konstitusi eksistensi diri setiap bentuk wujud yang muncul dari yang lain. Arti kemungkinan ini tidaklah netral secara eksistensial karena ia berarti suatu hubungan positifantara eksistensi derajat yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah. Kemungkinan pertama disebut “esensial”, dan yang kedua “eksistensial”, menurut pokok masalah yang sedang dibicarakan.

Pada persimpangan ini dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “kemungkinan eksistensial” yang berbeda dari “kemungkinan esensial” tak lain adalah “ketergantungan satu eksistensi” pada yang lain,[40] karena kemungkinan esensial adalah keadaan seimbang berkenaan dengan eksistensi dan non-eksistensi. Dengan demikian kebenaran logis suatu wujud yang mungkin mesti didefinisikan sebagai wujud yang boleh ada ataupun tidak. Inilah arti netralitas eksistensial esensi yang bias dibayangkan.[41] Kemungkinan eksistensial berarti ketergantungan total kepada yang lain.

Shadr Al-Din Syirazi, pendiri filsafat Islam tentang keutamaan eksistensi serta yang pertama menggagas kemungkinan eksistensial, menjelaskan arti kemungkinan ini:

Kemungkinan esensi murni, yang dari konsep tentangnya semua implikasi eksistensi ditarik, terdiri dari penafian kepastian wujud; bersama penafian kepastian tak wujud, dengan merujuk kepada bias dibayangkannya esensi tersebut dalam dirinya sendiri.

Tetapi, mengenai kemungkinan realitas bahwa eksistensi-eksistensi itu sendiri, ia mesti dianggap berarti bahwa realitas eksistensi-eksistensi ini mutlak berkaitan dengan, dan bergantung pada, realitas lain, sedemikian sehingga mereka hanya bisa dibayangkan dalam batas-batashubungan murni dengan realitas substantive eksistensi yang lain.

Dengan demukian realitas eksistensi-eksistensi yang mungkin hanya bersifat proporsional dan hanya bias dipahami dari sudut pandang radiasi eksistensi yang lain. Tambahan lagi, mereka kosong daei suatu pengertian kemandirian baik dalam konsepsi maupun dalam kebenaran factual.

Tidak demikian halnya jika yang diperbincangkan adalah suatu esensi universal. Meskipun benar bahwa esens-esensi tidak berarti apa-apa sebelum terlibat dalam suatu derajat eksistensi, namun mereka tetap merupakan entitas-entitas yang bias dibayangkan dalam diri mereka sepanjang orang bias menghadirkannya dalam pikirannya …Ini berarti bahwa, di samping realitas eksistensi-eksistensi, kemungkinan untuk untuk membayangkan esensi-esensi tidak harus bergantung pada wujud yang lain sebagai fungsi-fungsi proporsionalwujud itu. Pengertian konseptual kemandirian inilah yang memungkinkan kita untuk mengarahkan pikiran kita kepada esensi-esens idan membuat penilaian berkenaan dengan bagaimana mereka identik dalam diri mereka sendiri dan bagaimana mereka berbeda satu sama lain.[42]

Perkembangan filosofis yang sama terjadi dalam masalah eksistensi Tuhan dan “kepastian eksistensial”-Nya jauh sebelum penemuan kemungkinan eksistensial ini terjadi. Adalah Ibnu Sina yang mengambil inisiatif mengajukan pertanyaan: Apakah arti “kepastian” dalam Tuhan jika Dia tidak memiliki esensi atau jika esensi-Nya mutlak bersatu dengan eksistensi-Nya? Jawabannya terhadap pertanyaan ini sekali lagi merupakan sebuah belokan dari arah kepastianesensial ke kepastian eksistensial, yang disebut olehnya “kepastian mutlak”, dan oleh murid-muridnya disebut “kepastian abadi”, untuk membedakan dengan cermat antara kedua kepastian tersebut. Dalam Logika-nya, Ibnu Sina menulis:

Sedangkan mengenai modalitas “kepastian”, modalitas ini “mutlak”, seperti pernyataan kita (ketika berbicara tentang Tuhan)”Tuhaneksis”, atau “bersyarat”. Syarat ini adalah durasi eksistensi suatu esensi, seperti kita mengatakan: “Manusia pasti adalah makhluk rasional”. Dengan ini kita tidak bermaksud mengatakan bahwa manusia secara abadi dan kekal adalah makhluk yang rasional, sebab jika kita mengatakan begitu, penilaian ini menjadi salah dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa tak ada individual manusia yang abadi. Sebaliknya, dengan pernyataan seperti itu, kita harus memaksudkan bahwa manusia, dengan mempertimbangkan wujudnya dalam eksistensi, dan sepanjang esensinya menjadi obyek yang eksis, adalah makhluk yang rasional.[43]

Pembedaan antara dua jenis kepastian ini dilukiskan dengan jelas oleh penafsir Ibnu Sina yang paling masyhur, Nashir Al-Din Thusi dalam wacana berikut:

Dia (Ibnu Sina) sekarang membicarakan berbagai jenis kepastian. Mula-mula ia membagi kepastian menjadi kepastian mutlak dan kepastian bersyarat.

Dengan kepastian mutlak yangdimaksudkannya adalah jenis penilaian kebenaran yang abadi tak bersyarat tanpa kondisi-kondisi yang ditetapkan ataupun kemungkinan penafian …

Kemudian dia menyebutkan kepastian-kepastian bersyarat ini. Yakni kepastian yang disyaratkan oleh eksistensi esensi subyek yang dinyatakan dalam suatu penilaian (yakni kepastian esensial) dan yang disyaratkan oleh eksistensi kualifikasi-kualifikasi subyek tersebut …[44]



Realitas Suatu Emanasi adalah Preposisional

Argumen di atas sejauh ini telah membawa kita dari disjungsi sempurna kepada titik dimana kita bias mengatakan bahwa satu-satunya modalitas yang bias diterapkan pada kebenaran eksitensial suatu realitas emanatif adalah kemungkinan eksistensial. Sekarang tiba waktunya untuk menjelaskan bahwa suatu emanasi, dengan watak eksistensinya sendiri, adalah realitas yang secara kontinu “terserap”. Bagi suatu emanasi, eksis berarti perwujudan keadaan ditopang oleh yang lain dan dipertahankannya keadaan ketergantungan kepada yang lain. Artinya, ia tidak akan pernah bias dilepaskan dari sumbernya dan berdiri sendiri sebagai entitas yang mandiri, baik dalam pikiran maupun dalam dunia realitas.

Tidak benar untuk mengatakan, atas dasar penafsiran yang salah, bahwa suatu eksistensi emanatif bias muncul dari sumber-sumbernya dan bias terus eksis tenpa ketergantungan eksistensial pada sumber wujudnya. Penafsiran yang salah tentang kemungkinan ini akan berarti bahwa suatu eksistensi yang mungkin adalah mungkin jika, dan hanya jika, ia belummasuk ke dalam eksistensi melalui sumbernya. Akan tetapi, segera setelah eksistensi mungkin yang sama masuk ke dalam dunia realitas, ia akan mengubah status dasarnya dari status kemungkinan esensial dan eksistensial menjadi suatu kepastian esensial dan eksistensial. Artinya, ia tidak lagi menjadi yang mungkin, melainkan, dalam kelanjutan eksistensinya, akan menjadi Wujud yang Wajib.[45]

Gagasan kemungkinan ini sama sekali tidak sahih sebab jika suatu wujud, meskipun untuk saat yang sangat singkat dalam kelanjutan eksistensinya tidak membutuhkan dan tidak bergantung pada sumbernya, maka berarti wujud itu, pada saat yang singkat tersebut, adalah wujud yang mencukupi diri sendiri tanpa memiliki basis untuk mewujud. Apapun bentuk wujud yang mencukupi diri sendiri itu, ia per definisi harus berarti suatu eksistensi wajib yang berlandaskan pada diri sendiri. Jadi, eksistensi ini, meskipun pada saat tersebut tetap ada dalam eksistensi, tak lagi merupakan emanasi dan telah menjadi suatu Wujud Wajib yang eksistensinya tidak bersandar pada wujud lain. Namun emanasi pada definisinya adalah suatu bentuk yang muncul dari dan ditopang oleh wujud yang lain, baik dalam memasuki eksistensi maupun dalam melanjutkan eksistensinya.

Menyangkut masalah ini, muncul sebuah pertanyaan metafisika: Mengapa wujud tertentu, katakanlah alam semesta, bersifat mungkin dan wujud yang lain, katakanlan Tuhan, bersifat Wajib? Jawabannya adalah bahwa tabiat wujud yang pertama itu sendiri adalah bergantung pada dan ditopang oleh yang lain, sedangkan tabiat wujud yang kedua adalah mutlak tanpa dasar dan mandiri. Oleh karena itu, perluasan analogishubunganencangan dengan perancang, atau bangunan dengan pembangunannya, kepada hubungan emanatif antarapencipta dan yang diciptakan secara logis adalah salah dan secara pedagogis memperdaya.[46]Pertama-tama, tindak emanasi tak syak lagi adalah tindakan yang bersifat transitif. Lebih lanjut, seperti telah kami katakana sebelumnya, ketika kita berbicara tentang emanasi, kita tidaklah berurusan dengan suatu wujud yang dibentuk oleh hubungan esensi-eksistensi, melainkan dengan entitas sederhana dan tak terbagi-bagiitu sendiri, yang keseluruhan hakikatnya dikenal sebagai menifestasi sumber wujud. Inilah arti keadaan preposisional wujud yang menjadi cirri realitas wmanasi.Sesuatu yang sederhana dan tak memiliki identitas atau realitas yang bias didefinisikan kecuali sebagai kemunculan dari dan manifestasi dari wujud lain hanyalah kebenaran yang mungkin, dan bisa dibayangkan dalam pikiran, jika ia diadakan oleh yang lain. Adalah suatu emanasi yang palsu, dan juga bayangan palsu cahaya, seandainya kita membayangkan yang disebut pertama sebagai realitas distingtif dan yang kedua sebagai cahaya sejati dalam dirinya sendiri.

Pertanyaan bagaimana entitas seperti itu bisa, dari sudut pandang yang lain, dikatakan secara esendial berbeda dan secara horizontal beragam adalah analog dengan pertanyaan tentang bagaimana suatu entitas preposisional bisa dibicarakan dan didefinisikan berbeda bentuk dari kata benda, kata ganti, kata kerja, dan kata sifatnya, dan sebagainya. Jawaban terhadap pertanyaan seperti itu adalah bahwa manakal kita berbicara tentang suatu preposisi, katakanlah kata “dari”, dan menguraikannya dalam pengertian “kata yang digunakan untukmemperkenalkan tempat, titik, orang, dan sebagainya, yang merupakan titik tolak”, kita, tak syak lagi, sedang berbicara tentang preposisi dalam pengertuan yang sangat penting; tetapi pada tahap bahasa yang khusus ini kita tidak menggunakan ungkapan “dari” dalam fungsi preposisionalnya yang asli dalam kalimat semisal “kucing itu meloncat dari tembok”, maka ia secara sangat definitive berfungsi sebagai preposisi yang sebenarnya. Kali ini, meskipun ia secara implicit digunakan dan dimaksudkan setepat dan seakurat mungkin, ia tidak diletakkan sebagai obyek langsung perhatian kita. Sebaliknya, dalam hal ini ia menjadi pengikat seluruh struktur kalimat kita, yang tanpanya makna bahasa kita akan berantakan. Di sini, konseptualisasi mandirinya sama sekali belum dibicarakan. Dengan perkataan lain, sekalipun ia dipakai dengan artinya yang tepat dalam kalimat tersebut, ia tidak dibicarakan dalam kalimat itu. Jika melalui konseptualisasi, ia diletakkan dalam bentuk entitas yang mandiri untuk dibicarakan sebagai subyek pembahasan, maka ia sepenuhnya kehilangan arti preposisionalnya yang semula dan diangkat ke keadaan yang memiliki arti agak seperti kata benda. Akan tetapi, berbicara tentang preposisi berarti menggunakan bahasa introspektif, dan cukup indikatif bagi penggambaran dan prestasi definisinya serta semua esensialitas penilaian gramatikalnya sepanjang menyangkut arti teoritisnya.

Analogi ini, meskipun secara primer bersifat linguistic, secara logis akan tampak cukup menguntungkan sebagai pernyataan masalah linguistik tentang sifat preposisional emanasi, kemiripannya dengan entitas-entitas preposisional dalam bahasa, dan kesulitan serta solusi yang sama-sama dimiliki oleh keduanya.[47]



Penyerapan sebagai Bentuk Turunan Emanasi

Saya harap sampai di sini, hingga tingkat tertentu, telah jelas bahwa deskripsi tentang cara-cara untuk menjelaskan arti emanasi sudah cukup untuk mengajukan bagaimana kebenaran preposisionalnya –oleh yang lain- mesti dipahami. Dengan cara ini kita juga sampai padaposisi untuk memahami bagaimana menggunakan kata “penyerapan” dan “peleburan” yang begitu sering digunakan dalam yang lain tidak tampak aneh, atau dengan kata yang lebih kuat, tak terbayangkan. Penyerapan atau peleburan ke dalam sumber wujud dalam pengertian ketergantungan pada dan ditopang oleh yang lain dengan sendirinya bukan merupakan pemenuhan aksidental yang mesti dicapai oleh seorang mistikus melalui pengalaman-pengalaman mistiknya. Akan tetapi, merupakan seluruh sifat eksistensial dan nilai kebenaran diri sebagai eksistensi emanatif murni yang mesti diserapkan ke dalam yang lain. Eksistensinya sendirilah yang bahkan tak mungkin dipikirkan, kecuali dari sudut pandang pemikiran tentang sumbernya, yang merupakan landasan substantif bagi wujud.

Suatu keberatan mungkin dimunculkan menyangkut alur penalaran ini karena kenyataan bahwa kita selalu bisa berpikir tentang kedirian kita tanpa tergantung pada pemikiran tentang sumber apapun, mengingkari kesahihan analisis tentang kedirian sebagai eksistensi emanatif murni yang terserap di dalam yang lain. Seandainya diri, karena ketergantungan totalnyapada yang lain, bahkan tidak bisa dipahami dan dipikirkan secara mandiri, maka akan mustahil bagi kita untuk memiliki kesan mengenai kedirian kita sendiri. Namun kenyataan bahwa kita betul-betul memiliki gagasan tentangkedirian kita secara sendiri menjadi alasan yang cukup untuk mempercayai bahwa diri tidak sepenuhnya bergantung pada yang lain dalam pengertian eksterm penyerapan ini. Karena itu, diri bukanlah eksistensi emanatif.

Jawaban filsafat pencerahan terhadap keberatan ini adalah bahwa apa yang disebut kesan tentang kedirian ini adalah diri introspektif yang muncul dalam pikiran melelui konseptualisasi dan introspektif kebenaran performatif faktual diri. Diri emanatif adalah siri performatif yang berbicara, merasa,berpikir, berkeinginan, menilai, membuat keputusan dan memiliki penginderaan, imajinasi, serta inteleksi. Di samping itu, diri mengenal semua tindak dan kekuatan sadarnya. Diri performatif adalah diri yang selalu bertindak dan mempersepsi dan tak pernah ditindaki atau dipersepsi, baik oleh dirinya sendiri ataupun oleh yang lain, kecuali melalui konseptualisasi. Setiap orang bisa, melalui ontrospeksi, mengkonseptualisasi realitas faktual kediriannya sendiri maupunkedirian orang lain. Meskipun dengan adanya pemahaman ini, kita tak boleh menyatakan bahwa kesan kita tentang diri adalah realitas diri itu sendiri atau bahkan presentasi yang nyata dan setia tentangnya. Analogi yang baru saja ditarik antara realitas diri sebagai eksistensi emanatif dan rujukan obyektif ungkapan-ungkapan preposisional menjadikan masalah ini agak lebih jelas.

Jika kita membuat sebuah pernyataan pedagogis dengan mengatakan, misalnya frase “oleh yang lain” adalah frase preposisional, maka frase “oleh yang lain” sebagai pokok pembicaraan dari pernyataan khusus ini, tidak digunakan dalam makna yang seharusnya. Ini sama sekali bukanlah contoh pengganti dari sebuah preposisi; dan karenanya, ia tidak bisa menjafi representasi sejati dari realitas obyektif frase “oleh yang lain”. Akan tetapi, ia hanyalah konseptualisasi ontrospektif dari realitas yang kita bicarakan dalam situasi dan kondisi faktual bahasa kita sehari-hari. Tetapi jika saya mengatakan, dalam contoh yang normal, bahwa “saya duduk di dekat jendela”, atau “saya bergantung pada orang lain’, maka saya telah menggunakan preposisi-preposisi ini dengan makna obyektifnya. Ini karena nilai kebenarannya dijelaskan okeh contoh-contoh tertentu dan bukan oleh generalisasi dan konseptualisasi.

Jika suatu emanasi, misalnya diri, hanya bisa dungkapkan dalam term frase preposisional –misalnya “oleh yang lain” atau “pada yang lain”, maka keberadaan obyektifnya, seperti halnya setiap preposisi yang lain, juga tidak akan bisa dimengerti jika tidak diserap dalam arti prinsipnya. Seperti baru saja kita pahami, suatu introspeksi dan representasi frase preposisional adalah distorsi penuh dan, dalam satu hal, falsifikasi kebenaran obyektif dari entitas linguistik semacam itu. Demikian pula, suatu introspeksi diri adalah representasi yang bersifat ilusi dari realitas eksistensialnya, dan tak bisa dipandang sebagai representasi yang sejati. Dalam bahasa pencerahan, kata “bersifat ilusi” seringkali digunakan dengan maksud demikian, yaitu mengkonseptualisasi dan menafsirkan kebenaran uniter dari realitas yang tidak akan pernah bisa direpresentasikan secara benar dan persis.[48]

Dalam bab sebelumnya kita lihat Suhrawardi mengingkari dengan sangat jelas, kemungkinan bahwa diri bisa mengetahui dirinya sendiri, apalagi oleh yang lain, melalui representasi. Dengan demikian kesan independen yang mungkin kita peroleh dari kedirian diri kita sendiri tidak akan pernah mencirikan nilai kebenaran diri selagi ia eksis di dalam yang lain. Realitas ini, seperti telah kita lihat dalam bab-bab sebelumnya, hanya bisa disadari melalui pengetahuan dengan kehadiran.

Olah karena itu, kesimpulan saya adalah bahwa suatu entitas emanatif semisal diri, yang kebenaran tentangnya bisa dikatakan analog dengan nilai kebenaran suatu kata sambung atau preposisi, tidak bisa secara akurat dibayangkan sebagai berbeda dari sumbernya. Sebagaimanaarti sejatinya, nilai eksistensial ketergantungan murni pada yang lain memunculkan gagasan tentang sejenis penyerapan eksistensial. Ini berarti bahwa kebenaran suatu entitas emanatif harus diketahui sebagai sesuatu yang terserap dalam kebenaran substantif entitas yang lain, yaitu sumbernya. Konsekuensinya, pengertian mistik dari penyerapan ini secara langsung berasal dari makna eksistensial kebenaran preposisional emanasi, yaitu “bergantung pada …”, “lahir dari …”, “ditopang oleh …”, dan sebagainya.



Emanasi dan Penyerapan

Sejauh ini kita telah membahas konsep emanasi dan penyerapan sebagai berbeda satu sama lain, meskipun telah ditunjukkan bahwa emanasi adalah konsep primordial yang darinya gagasan penyerapan diturunkan. Sekarang, marilah kita melangkah kepada pertanyaan apakah keduanya benar-benar identik.

Akan terlihat bahwa sementara emanasi dan penyerapan secara linguistik tak simetris, karena yang disebut pertama berartu cahaya eksistensi yang berasal dari Sumber Pertama dan yang kedua berarti cahaya yang baik kepada Sumber tersebut, namun dalam realitasnya keduanya adalah satu dan sama. Artinya, tidak ada kemungkinan membedakan antara keduanya sebagai entitas yang berbeda, yang satu beremanasi dari Sumber, dan yang lain terserap dalam kebenaran Sumber tersebut. Sebagaimana adalah bahwa bintang sore dan bintang pagi adalah satu dan sama, yang berarti bahwa mereka secara numerik satu dan perbedaan tersebut hanyalah dalam cara menggambarkan benda yang sama, begitu pula adalah benar bahwa wujud emanatif dan wujud yang terserap adalah satu dan sama,yang berarti bahwa keduanya sesungguhnya identik, dan keduanya hanya berbeda manakala digambarkan dari sudut yang berbeda. Karenanya, tidaklah mengherankan jika diri, sebagai suatu emanasi dalam segenap kesederhanaannya, bisa dipandang dari dua perspektif yang berbeda: yang satu sebagai cahaya yang menurun dari Sumber, dan yang lain sebagai cahaya yang naik menuju ke Sumbernya. Keidentikan ini, sesungguhnya, bersama perbedaan dan ketidaksimetrisan dalam konsepsi, merupakan alasan yang cukup untuk mengandaikan bahwa masing-masing konsep ini secara logis menyiratkan yang lain dengan cara tertentu sehingga ada dua implikasi yang menghubungkan yang satu dengan yang lain. Jika implikasi tersebut benar pada salah satu sisi, maka ia harus dipandang sebagai ekuivalensi material. Artinya, apapun yang benar tentang emanasi, adalah benar bagi penyerapan. Sebaliknya, apapun yang benar pada penyerapan, juga berlaku bagi emanasi. Salah satu dari hal ini yang merupakan ciri dari suatu emanasi yang diketahui Tuhan adalah pengetahuan dengan kehadiran. Kami telah mengatakan bahwa Tuhan mengetahui emanasi-Nya melalui ilmu hudhuri. Dengan demikian kita sampai pada titik dimana adalah jelas bahwa karena suatu wujud emanatif adalah hadir di dalam Tuhan, maka suatu wujud terserap yang adalah sama dengan wujud emanatif, mestilah juga hadir di dalam Tuhan.

Dari sini kita bisa dengan sah mengajukan analisis kita tentang mistisisme dengan menisbatkan kepada manusia dalam hubungannya dengan Tuhan apa-apa yang harus kita nisbatkan kepada Tuhan dalam hubungan-Nya dengan manusia. Artinya, jika Tuhan mengetahui manusia sebagai emanasi-Nya dengan kehadiran, maka manusia sebagai wujud terserap juga mengetahui Tuhan dengan kehadiran pula. Sekalipun demikian, ada dua pengertian yang berbeda bagi satu realitas emanasi. Kita akan melihat nanti bahwa meskipun hanya ada satu kehadiran emanasi, namun kehadiran yang sama secara konseptual berbeda sesuai dengan dua penggambaran yang berbeda tersebut: yang emanatif dan terserap. Kehadiran adalah emanatif karena ia memancar dari Tuhan, dan kehadiran yang sama adalah penyerapan karena ia mutlak bergantung pada Tuhan.





[1] . Adalah perwujudan segala sesuatu (makhluk) di segala alam (alam akal, mitsal, dan materi) melalui suatu bentuk pancaran cahaya Ilahi, tajalli, feidh, dan manifestasi wujud Tuhan. Hal ini berbeda dengan teori penciptaan (lawan dari sistem emanasi) dalam definisi kaum Teolog. Menurut teori itu, kehadiran ketiga alam itu melalui suatu proses emanatif, bukan penciptaan (khalq). Namun segala realitas yang terwujud di alam materi adalah melalui suatu proses penciptaan, bukan dengan metode emanasi.

[2] . Yakni terserap dan hadirnya cahaya-cahaya Tuhan dalam jiwa manusia. Jiwa manusia dalam hal ini yang menyerap dan menerima cahaya-cahaya Ilahi, bahkan wujud manusia itu sendiri adalah pancaran cahaya Ilahi yang kemudian menyerap cahaya Ilahi yang lain. Tuhan adalah Pelaku yang memancarkan cahaya-Nya ke dalam diri manusia.

[3] . Sebagaimana halnya Ibnu Sina mengembangkan sistem “urutan menurun” eksistensi (dari Tuhan hingga alam materi) dalam doktrin emanasi, Suhrawardi, yang pada prinsipnya setuju dengannya, mencoba mengambil inisiatif dalam menegakkan sistem “derajat-derajat menaik” cahaya dalam filsafat Iluminasinya. Urutan menurun emanasi disebut oleh Ibnu Sina sebagai prinsip “kemungkinan yang lebih mulia dan tinggi” (al-imkan al-asyraf), dan derajat-derajat menaik cahaya disebut oleh Suhrawardi sebagai prinsip “kemungkinan posterior”. Lihat Suhrawardi, Kitab al-Tahwihat, hal. 5054.

[4] . Ibnu Sina, al-Isayarat wa al-Tanbihat, bagian 3, hal. 95.

[5] . Ibid, hal. 97.

[6] . Ibid, hal. 102.

[7] . Yakni wujudnya pasti ada karena dia bersandar dan bergantung secara hakiki dengan Wajib al-Wujud Mutlak.

[8] . Ibid, hal. 102.

[9] . Menurut doktrin ini, suatu wujud emanatif adalah kesatuan sederhana di mana dua modalitas yang berlawanan, yakni kemungkinan dan kemustian, bertemu. Persoalan modalitas akan kita bahas selanjutnya.

[10] . Ibid, hal. 229-30.

[11] . Syaikh Thusi, Syarh Al-Isyarat wa at-Tanbihat, hal. 217-20.

[12] . St. Thomas Aquinas, Treatise on Separate Substance, hal. 93.

[13] . Ibnu Sina, Kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, bagian 2, hal. 149-81.

[14] . St. Thomas Aquinas, Treatiseon Separate Substances, hal. 93.

[15] . Ibnu Sina, Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, bagian 3, hal. 44-76. Juga Kitab Al-Syifa, hal. 37-170.

[16] . Pembahasan yang menyeluruh tentang kehendak pengetahuan Tuhan bisa ditemukan dalam Shadr Al-Din Syirazi, Perjalanan III, J. VI, “Masalah Keberadaan Tuhan”, dan “Sifat-sifat Tuhan”.

[17] . St. Thomas dengan tajam mengkritik doktrin Ibnu SIna berikut ini:

Dan karenasegala sesuatu yang berasal dari-Nya sebagaimana dari sebuah prinsipdengan akal, yang bertindak sesuai dengan bentuk-bentuk terkait, kita tidak boleh menyatakannya sebagai berasal dari prinsip pertama karena Dia sederhana dalam esensinya sehingga yang dilahirkannya hanya satu efek; dan bahwa dari wujud yang lainlah, menurut mode komposisi dan kemampuannya, lahir kejamakan, dan seterusnya. (St. Thomas, Treatise on Separate Substances, hal. 93).

[18] . Thusi, Komentar atas Kitab Al-Isyarat, bagian 3, hal. 283-84.

[19] . Suhrawardi, Kitab Hikmat Al-Isyraq (Teheran/Paris, 1952), hal. 154-58.

[20] . St. Thomas, Treatise on Separate Substances, hal. 93.

[21] . Di samping itu, Ibnu Sina sendiri mengatakan bahwa: Dengan perantaraan substansi emanatif (efek pertama) ini, Prinsip Pertama (sekali lagi) menerangi substansi intelektual lainnya bersama dengan sebuah benda langit. Berarti seluruh sistem emanasi muncul dari Prinsip Pertama dalam tertib hierarki ini.

[22] . Shadr Al-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar, J. 1, hal. 45.

[23] . Masalah ontologi dan makna realitas eksistensi telah dibahas dengan begitu cermat dan sistematis dalam filsafat hingga seluruh wilayah filsafat ini dicirikan oleh kesadaran akan eksistensi.

[24] . Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai gagasan “Sebab Pertama” atau “Sebab dari segala sebab”, silakan rujuk filsafat Ibnu Sina tentang kausasi dalam Kitab Al-Syifa’ dan Al-Isyarat. Tetapi, karena kenyataan bahwa kitab yang disebut belakangan telah ditafsirkan secara otentik oleh dua otoritas terkemuka dalam filsafat, yaitu Al-Thusidan Al-Razi, maka kami lebih suka membuat rujukan-rujukan utama kami kepadanya daripada kepada karya Ibnu Sina yang lain itu.Lihat Kitab Al-Isyarat, bagian 3, hal. 18-55.

[25] . Garis-garis vertical dan horisontalkami peroleh dari prinsip Ibnu Sina tentang “kemungkinan yang lebih mulia” al-imkan al-asyraf) bersama dengan prinsip Suhrawardi tentang “kemungkinan posterior” (al-imkan a-akhashsh). Kitab Hikmat Al-Isyraq, hal 154-57.

[26] .G. S. Kirk dan J. E. Raven, “Parmenides”, dalam The Pre-Socratic Philosophers (Cambridge, 1976), hal. 269-72.

[27] . Undetachability dan undistinguishability adalah ungkapan-ungkapan lain bagi implikasi, sebab sesuatu yang diimplikasikan dalam yang lain berarti tak bisa dilepaskan dan dibedakan dari yang lain itu. Sebaliknya, sesuatu yang tak bisadilepaskan dan dibedakan dari yanglain berarti tersirat dan terkandung di dalam yang lain itu.

[28] . Deskripsi tentang “relasi iluminatif” telah diberikan dalam bab 3 dimana kita berbicara tentang kaitan antara pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi. Penjelasan lebih lanjut mengenai masalah khusus ini bisa diperoleh dalam Sabziwari, Syarh-i Manzhumah, hal. 571.

[29] .Komentar Thusiatas karya Ibnu Sina, Kitab Al-Isyarat, bagian 3, hal. 210-62.

[30] . Shadr Al-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, bagian 1, hal. 210-62.

[31] . Op.cit., hal. 201.

[32] . (a) Kemungkinan adalah penafian kepastian: “X adalah mungkin” = “X tidak pasti ada”. (b) Kemustahilan adalah penafian kemungkinan: “X adalah mustahil” =”X tak mungkin ada”. (c) Kepastian wujud menjadi penafian kemungkinan untuk tak mewujud: “X adalah wujud yang wajib” = “X tak mungkin tidak ada”. (d) Kepastian tak mewujud menjadi penafian kemungkinan wujud. (e) Kepastian wujud di satu pihak menyiratkan penyangkalan kemustahilan wujud, dan di pihak lain mengidentikkan dirinya dengan kemustahilan untuk tak mewujud. (f) Kepastian untuk tak mewujud di satu pihak menyiratkan penyangkalan kemustahilan untuk tak mewujud dan di pihak lain identik dengan kemustahilan wujud.

[33] . Ibnu Sina, Kitab Al-Isyarat, Logika, bagian 1, hal. 295.

[34] . Op. cit., hal. 296.

[35] . Op. cit., hal 296-300.

[36] . Shadr Al-Din Syrazi, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, J. 1, hal. 215-20.

[37] . Suhrawardi, Kitab Al-Talwihat, hal.41

[38] . Op. cit., hal 42-43.

[39] . E. Gilson, Being and SomePhilosophers (Toronto, 1952), hal. 74-107.

[40] . Sabziwari, Syarh-i Manzhumah, hal.410.

[41] . Op. cit., hal. 409-410.

[42] . Shadr Al-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, J. 1, hal. 07.

[43] . Ibnu Sina, Kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, Logika, hal. 310.

[44] . Op. cit., hal. 311.

[45] . Suhrawardi, Kitab Al-Talwihat, hal.42.

[46] . Op. cit., hal. 42-43.

[47] . Shadr Al-Din Syirazi, “Penelitian mengenai Eksistensi Preosisional”, dalam, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, J. I, bagian 1, hal. 326-80.

[48] . Berkeley mengatakan hal yang hampir sama ketika dia berbicara tentang jiwa aktif. Kita boleh dikatakan memiliki suatu perngetahuan atau gagasan tentang pikiran, ruh, wujud-wujud aktif kita; sementara dalam pengertian yang ketat kita tidak memiliki gagasan-gagasan. (Berkeley, Philosophical Writing, ed. D. M. Armstrong (London, 1969), hal. 98.

Entri ini dituliskan pada Maret 12, 2011 pada 11:56 am dan disimpan dalam Epistemologi Filosofis. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Anda bisa tinggalkan tanggapan, atau lacak tautan dari situsmu sendiri.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post