Taswuf falsafi

Ahsani Taqwim

Jangan lupa! kita dijadikan sebagai makhluk yang dimuliakan Allah swt dimuka bumi ini dgn akal & tubuh yng sempurna. Gunakanlah dan sebarkan pemikiran jernihmu lewat blog-blog, Dan blog ini adalah media dan sarana berkreasi ilmiah kalian. RB Hadhramaut Yaman.
Senin, 23 Juni 2008
Antara Wahdatulwujud dan Tasawuf Falsafi
ANTARA 'WAHDATUL WUJUD' DAN 'TASAWUF FALSAFI'



Manunggaling Kawulo Gusti adalah ungkapan yang sempat membuat geger di zaman Wali Songo, Syekh Siti Jenar divonis mati oleh para Wali gara-gara ungkapannya itu, mereka menilai bahwa Siti Jenar telah keluar dari Islam karena mempunyai keyakinan yang dikenal dengan istilah Wahdatul Wujud. Kejadian seperti ini pernah terjadi pada al-Hallaj yang dipancung gara-gara ucapannya ”Ana al-Haq”. Syahrawardi , penggagas filsafat aliran isyraq juga tidak lepas dari vonis mati gara-gara pemikirannya yang dinilai telah mengarah pada konsep Wahdatul Wujud.

Wahdatul Wujud adalah sebuah ajaran yang meyakini penyatuan wujudnya Tuhan dengan wujud makhluk, aliran ini berkeyakinan bahwa wujud Allah dan makhluknya satu, istilah lain dari kesatuan wujud adalah hulul hanya saja kerangkanya agak berbeda namun pada subtansinya sama. Ajaran ini dinisbatkan pada beberapa sufi terkenal seperti Muhyyidin Ibn Arabi, Umar Ibn al-Farid, al-Hallaj dan Abu Yazid al-Busthami, bahkan Imam al-Ghazali dan al-Junaid tidak lepas dari tuduhan bahwa keduanya juga mendukung dan mengiyakan ajaran ini.

Beberapa waktu yang lalu penulis sempat berdialog dengan seorang pemuda asal Indonesia yang mengujungi Tarim dalam rangka menyelesaikan tesisnya, penulis sempat tercengang ketika pemuda intelek ini berkata ”saya Tasawuf Amali atau Tasawuf Sunni namun saya ingin belajar banyak tentang Tasawuf Falsafi, yaitu ajaran pemikiran tasawuf yang membenarkan ajaran Wahdatul Wujud, Imam Ghazali sendiri dalam kitab Misykat al-Anwar juga mensuport ajaran ini, bahkan tidak sedikit dari tokoh Thariqah Alawiyah yang mengikuti ajaran ini”.

Ini bukan satu-satunya pemuda yang mempunyai jalan fikiran seperti itu, di Indonesia tidak sedikit para pemuda yang menelan mentah-mentah ajaran ini tanpa mengkajinya secara detail. Embel-embel intelektual, filsafat dan pemikiran lebih berpengaruh pada sebagian pelajar atau mahasiswa dibandingkan hasil kajiannya sendiri. Disinilah penulis akan mencoba mengkaji hakekat konsep Wahdatul Wujud dengan arti kesatuan wujud dan hubungannya dengan filsafat.

Tasawuf Falsafi ???

Wahdatul Wujud menurut sebagian orang adalah subtansi dari ajaran Tasawuf Falsafi, padahal istilah Wahdatul Wujud dan istilah filsafat adalah dua istilah yang kontradiksi, tidak seorangpun dari para Filusuf baik itu yang sufi ataupun yang bukan, yang mengatakan adanya Wahdatul Wujud, para filusuf modern dan filusuf klasikpun tidak ada yang membenarkan ajaran ini. Karena para filusuf adalah orang yang sangat getol dalam menjauhkan Dzat Tuhan dari hal-hal yang bersifat materi dan yang mendekati materi, dan oleh sebab itulah Imam Ghazali menganggap Aristoteles kafir, Aristoteles berlebihan dalam menjauhkan Tuhan dari materi. Dia berpendapat bahwa Tuhan itu hanya mengetahui sesuatu secara global (Kulliyat), Tuhan tidak mengetahi sesuatu secara terperinci (Juz’iyat), karena juziyat itu selalu berubah dan apabila Tuhan mengetahuinya maka pengetahuan Tuhan itu juga berubah. Aristoteles juga berkata bahwa Allah itu sama sekali tidak berhubungan dengan alam dan bahkan tidak mendekatinya karena Allah itu Mutlak (Absolut) dan alam terbatas, sedangkan suatu yang absolut tidak mungkin disatukan .

Filsafat sendiri tidak jauh berbeda dengan ajaran tasawuf, yaitu mencari hakekat kebenaran dan sampai pada puncak ma’rifah, dan hal ini tentu tidakhanya dicapai dengan pemikiran belaka, namun harus dengan Riadhoh dan menjauhi hal-hal yang bersifat materi, meski dalam dunia filsafat ada aliran filsafat Hegel yang dikenal dengan Filsafat Dialektika. kemudian timbul sebuah sekte baru dalam aliran ini yang disebut dengan aliran Dialektika Matrealism yang terkesan merasionalkan materi, namun aliran ini sangat rapuh dalam konsep pemikirannya, DR. Muhammad Said Ramadhan al-Bhuti telah mematahkan pemikiran ini dalam bukunya Naqd al-Jadaliyah. Penulis tidak sedang membicarakan masalah ini, namun penulis hanya ingin menjelaskan bahwa definisi filasafat menurut para pakar filsafat klasik itu sendiri tidak jauh berbeda dengan definisi tasawuf menurut para ’Arifin. Sehingga pembaca bisa faham bahwa konsep Tasawuf Falsafi yang selama ini dikenal sebagai kerangka dari pemikiran Wahdatul Wujud sama sekali jauh dari realitas ilmiah.

Berikut ini adalah definisi menurut filusuf klasik Plato. Menurutnya filsafat adalah berakhlak dengan akhlak Allah SWT., kata-kata ini sama dengan definisi tasawuf menurut kebanyakan Sufi. Selanjutnya Plato berkata ”pemilik jiwa falsafi (fitrah falsafi) adalah orang-orang yang yang haus dengan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakekat wujud yang kekal, wujud yang tidak berubah dengan perputaran waktu dan kondisi, mereka sangat merindukan hakekat wujud yang abadi ini, mereka tidak rela dengan pengganti apapun” Plato juga berkata ”para filusuf terjaga dan tidak dikotori oleh sifat tamak, karena mereka adalah penghuni bumi yang paling menjauhkan diri dari hal-hal yang membawa pada cinta harta” begitulah komentar Plato tentang filsafat dan membawa pada cinta harta” begitulah komentar Plato tentang filsafat dan filusuf, dimana kita juga akan menemukan definisi yang sama tentang tasawuf dalam dunia sufi. Lantas dari mana pemikiran bahwa Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang menganut faham Wahdatul Wujud? Dan kalau memang arti tasawuf dan filsafat tidak jauh berbeda maka istilah Tasawuf Falsafi adalah istilah kabur yang menimbulkan 'Tahsilul Hasil'.

Tidak sedikit dari para pemikir yang berpendapat bahwa banyak dari kalangan kaum sufi yang mempunyai jiwa filusufis seperti pendapat Abul Wafa al-Ghunaimi yang berkata ”tasawuf keagamaan kadangkala beraduk dengan filsafat sebagaimana keadaan sebagian rohaniyin nasrani dan para sufi muslim” selanjutnya dia berkata ”para tokoh filsafat sejak dahulu sangat membutuhkan pada masing-masing dari ilmu pengetahuan dan tasawuf, karena jiwa sufiah itulah yang menjadi sumber ilham paling agung terhadap manusia” kemudian dia menyebutkan beberapa tokoh filsafat seperti Herceltees, Plato dan Barmendis. Dari sini istilah Tasawuf Falsafi perlu dikaji kembali, baik dengan arti Wahdatul Wujud atau dengan arti hikmah dan isyraq.

Wahdatus Syuhud bukan Wahdatul Wujud

Wahdatul Wujud dengan arti Falsafi adalah meyakini adanya Allah dan wujudnya makhluk satu, disitu bila ada pencipta maka suatu yang diciptakan juga ada, dengan arti, wujudnya makhluk adalah bagian dari wujudnya Khaliq (Pencipta), karena apabila yang wujud itu hanya Pencipta saja tanpa adanya yang diciptakan maka wujudnya Pencipta tadi tidak sempurna. Falsafah semacam ini memberi pengertian bahwa wujudnya makhluk itu Qodim (terdahulu), sebab kalau memang wujudnya makhluk itu sama dengan wujudnya Allah maka disaat Dzat-Nya Allah Qodim maka dzatnya makhluk juga qodim. Dan hal ini tidak bisa diterima oleh akal dan tidak dapat dicerna oleh logika ilmiah.

Pemikiran yang logis dalam masalah ini adalah kita mengetahui bahwa wujud yang sesungguhnya hanyalah wujudnya Dzat Allah, kemudian dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, Allah menciptakan dunia dan seisinya ini wujud sesuai batasan dan ukurannya, jadi wujud yang Azali dan Qadim itu hanya wujud-Nya Allah, sedangkan wujudnya makhluk itu hanya sekadar wujud Majazi yang oleh ulama diistilahkan dengan wujud Dzilli (bayangan) atau Tabi’i. Bayangan itu mempunyai wujud tersendiri dari benda aslinya hanya saja kalau benda itu tiada maka bayangan itu tiada, jadi wujudnya bayangan itu adalah buah atau hasil dari benda itu. Contoh lebih jelasnya ibarat seseorang yang memegang anaknya yang masih kecil agar bisa berdiri di telapak kakinya, berdirinya anak tadi tentu bukan berdirinya si bapak akan tetapi kekuatan dia berdiri berasal dari kekauatan bapaknya, begitu pula dahan dan ranting pepohonan dengan batang dan akarnya, jelas wujudnya ranting bukan wujudnya batang akan tetapi wujudnya ranting tadi berasal dari wujudnya batang.

Adapun yang dimaksud wahdatul wujud menurut para sufi itu adalah istilah lain dari wahdatu shuhud, yaitu tidak memandang sesuatu selain Allah dan itulah puncak dari tawakkal dan tsiqah seseorang pada Allah, dia tidak mengharap kecuali pada Allah dan dia tidak takut kecuali pada Allah, dia menganggap bahwa Allahlah yang wujud sedangkan wujud selain Allah adalah wujud yang fatamorgana. Hal ini sama dengan kata-kata labib yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Adakalanya sebagian sufi mengartikan wahdatul wujud atau wahdatu syuhud dengan arti penyatuan cinta antara muhib dan mahbub, sehingga yang ada dalam benaknya hanya sang kekasih, sang pecinta tidak mengenal apapun selain kekasihnya termasuk dirinya sendiri seperti yang terjadi dalam kisah cinta abadi Laila Majnun, disaat seseorang memanggil nama Qais dia tidak menghiraukannya dan bahkan dia berkata ”aku laila”. Begitupula seorang hamba yang hatinya diliputi oleh rasa cinta pada sang pencipta maka dia lupa pada segala sesuatu termasuk dirinya sendiri, itulah yang dalam istilah tasawuf disebut Fana’. Dan hal ini bukan dalam kekuasaan akal, akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa atau ruh. Inilah yang oleh Imam al-Ghazali disitilahkan dengan ilmu Dzauq.

Bersama al-Ghazali dan al-Hallaj.

Akan tetapi kadang masih ada pertanyaan kenapa al-Hallaj dipancung? Dan Imam Abu Hamid al-Ghazali sendiri sebagai tokoh tasawuf sunni malah terkesan mengamini ajaran wahdaul wujud dengan arti falsafi tadi?

Al-Hallaj sebagaimana kebanyakan para sufi telah menjadi tumpuhan masyarakat, ketulusannya membuat orang-orang banyak yang simpati. Sedangkan sikap politik al-Hallaj waktu itu sebagaimana para sufi lainnya lebih cendrung pada Ahlu Bait. Dan Ahlu Bait sendiri waktu itu sedang berusaha melakukan aksi politik terhadap penguasa dinasti Abbasiah. Hal itulah yang membuat al-Hallaj harus disingkirkan menurut pandangan para penguasa, sebab pengaruh al-Hallaj telah mengancam kekuasaannya. Itulah yang memotivasi dipancungnya al-Hallaj.

Dari kata-kata al-Hallaj sendiri sangat jelas masalah itu, disaat beliau dihadapkan pada hakim dengan tuduhan akidahnya yang wahdatul wujud beliau menjawab ”apakah kalian masih mau mendebatku tentang Allah dan dijubbah ini tidak ada selain Allah?!!!” beliau juga berkata ” sesembahan kalian berada dibawah telapak kakiku”, dengan kata-kata ini al-Hallaj bermaksud untuk mengejek mereka yang menjadi budak serta hamba penguasa.

Sedangkan Imam al-Ghazali yang dituduh beraliran Wahdatul Wujud gara-gara kata-katanya dalam kitab Misykat al-Anwar ” tidak ada wujud hakiki selain Allah dan sesuatu itu berasal dari Allah” ”alam wujud ini tidak ada selain Allah dan atsar-nya (bekasnya), dan dunia ini semuanya dari atsar-nya” itulah kata-kata Imam al-Ghazali yang dianggap bahwa dia telah mengamini ajaran Wahdatul Wujud, padahal dalam kitab itu sendiri beliau dengan jelas menafikan ajaran Wahdatul Wujud secara falsafi, beliau berkata dalam kitab tersebut ”Allah bersama sesuatu itu sama dengan cahaya bersama sesuatu” beliau juga berkata ”Allah itu bersama sesuatu, sebelum sesuatu, diatas segala sesuatu dan madzhar dari segala sesuatu” kata-kata al-Ghazali ini jelas bertentangan dengan logika ajaran Wahdatul Wujud.

Kesimpulan
Ajaran Wahdatul Wujud dengan arti falsafi yang pernah digembar-gemborkan para filusuf klasik kemudian diangkat kembali oleh Saren Carecajored dengan madzhab wujudinya di Barat sama sekali tidak ada hubungannya dengan tasawuf. Dan kata-kata sebagian para tokoh tasawuf yang mereka katakan dalam keadaan mengalami ekstase juga tidak bisa diambil dari dhahir kata-kata mereka. Oleh sebab itulah Dr. Abdul Halim Mahmud berkata, akal tidak bisa menerima disaat seorang insinyur berbicara masalah sastra sebagaiamana seorang sastrawan menghukumi para insinyur, begitu pula sangat tidak logis seseorang yang masih belum mencapai derajat al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Ibnu Farid kemudian memvonis yang bukan-bukan pada mereka. Wallahu a’lam

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post