Tasawuf falsafi

Judul : ISLAM SUFISTIK DAN PENGARUHNYA HINGGA KINI DI INDONESIA
Penerbit : Mizan, Bandung
Tahun : 2001

Peran Tasawuf dalam penyebaran Islam di tanah air menarik untuk dicermati. Eksesnya bukan saja terkait dengan persoalan “tata krama” hubungannya dengan Tuhan, tapi juga persoalan sosial-kemasyarakatan, bahkan masalah politik. Proses pembentukannya pun sedikit banyak beradaptasi dengan kehidupan spiritual sekitar awal datangnya Islam, yakni tradisi Hindu dan Budha.



Buku yang tadinya merupakan disertasi penulis di Universitas ‘Ain Syams ini bisa dijadikan pijakan untuk mengungkapkan peran tasawuf dalam penyebaran Islam di Indonesia. Bahkan, Islam pertama yang dikenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam sufi. Dalam perkembangannya, tasawuf terbagi dalam dua golongan, yaitu “tasawuf sunni” dan “tasawuf falsafi”, di mana masing-masing mempunyai tokoh yang menonjol. Syekh Nûr ad-Dîn ar-Ranîrî, Syaikh ‘Abd ash-Shamad Al-Palembângî, dan Syekh Muhammad Hasyim ‘Asy’âri mewakili kelompok tasawuf sunni. Adapun di antara tokoh kelompok tasawuf falsafi, yang menonjol adalah Hamzah al-Fansuri.



Tentang proses pertama masuknya Islam, buku ini memperkenalkan beberapa teori tentang para pelopor dakwah Islam pertama di Indonesia (India, Persia, dan Arab) serta pengaruhnya terhadap dunia tasawuf di tanah air. Berdasarkan fakta sejarah yang akurat, penulis buku ini memaparkan bahwa para pelopor dakwah Islam pertama di Indonesia berasal dari Arab, dari keturunan Imâm Ahmad ibn ‘Isâ al-Muhâjir al-‘Alawî (cucu Imâm Ja’far ash-Shâdiq).



Kesimpulan ini membantah pandangan yang sudah jamak diketahui bahwa penyebar awal Islam di tanah air adalah pedagang gujarat. India hanya sebagai tempat pemberangkatan orang-orang Arab yang kemudian melanjutkan ke kota Timur Jauh. Terbukti, dari nama kota itu “malibar” sebagai alihan dari kata Arab, ma’bar.



Dapat pula disimak cikal bakal dan aspek terjang aliran kepercayaan kebatinan Jawa (kejawen), dengan tokoh utamanya Ronggowarsito – yang lebih dikenal sebagai “Bapak Kebatinan Indonesia”. Begitu juga ketegangan-ketegangan antara budaya lokal dan budaya yang dibawa saat proses Islamisasi pertama terjadi di beberapa wilayah Indonesia.



Tasawuf Sunni banyak sekali mengambil ajaran-ajaran al-Ghazâli yang memang menjadi rujukan yang baku dalam pengajian-pengajian di pesantren. Ajaran al-Gazhali ini tertuang dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulûm ad-Dîn (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama). Kemudian, dilengkapi dengan dua karya lainnya, yakni Minhâj al-‘Ø¢bidîn (Metode Para Ahli Ibadah) dan Bidâyat al-Hidâyah (Permulaan Petunjuk).



Dalam proses selanjutnya, menurut Alwi, pada awal abad 20, pesantren di Jawa telah menggunakan kurikulum salafi karena bersandar pada hal-hal tekstual, yakni al-Quran dan hadits. Kenyataan ini erat kaitannya dengan Imâm ‘Abd Ar-Rahmân As-Suyûthi dalam bukunya Itmam ad-Dirâyah, yang menentukan kurikulum seperti itu. Dan, itu sedikit banyak dipengaruhi oleh Ihya ‘Ulûm ad-Dîn, karya Imam al-Ghazali.



Berkaitan dengan mata rantai sejarah ketasawufan, diuraikan tentang sebuah proses kesejarahan yang amat panjang, ketika Ar-Raniri mengritik Hamzah al-Fansuri dan berdebat dengannya. Meski masih terasa kurang, karena mengesankan Jawa dan Sumatera serta tidak mengikutsertakan analisis historis yang terjadi di wilayah timur Indonesia.



Satu hal yang menarik juga, terjadinya perkembangan peranan yang besar dari kaum ‘Alawi (orang-orang Syiah pengikut Sayyid Husain bin ‘Ali bin ‘Abî Thâlib). Dengan kata lain, jelas sekali bahwa dalam setiap tahap perkembangannya, tasawuf dan Islam dimotori oleh para ‘Alawiyyîn atau anak keturunan Sayyid Ahmad Al-Muhâjir.



Hanya saja, ada persoalan identifikasi antara Tasawuf Falsafi dan Tasawuf Sunni yang menarik untuk dicermati. Kesimpulan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari adalah penganut Tasawuf Sunni dengan melihat dua belas kitab yang dikarangnya, tidak sepenuhnya benar. Meski bisa dikategorikan penganut Tasawuf Sunni, secara pribadi, menurut pengantar buku ini, K.H. Abdurraham Wahid, Asy’ari mengikuti doktrin tahallul (penempatan diri pada makhluk lain). Padahal doktrin tahallul merupakan bagian dari Tasawuf Falsafi. Karenanya, tidaklah tepat untuk menggolongkan semua ulama dari kalangan NU menganut Tasawuf Sunni.



Satu hal penting yang terlupakan dalam buku ini, perkembangan orang-orang Arab di Indonesia yang sangat rumit dan tidak dapat dibatasi pada satu masa saja. Kedatangan orang-orang Cina yang kemudian bermukim di pantai utara Jawa dan menganut madzhab Hanafi yang erat kaitannya dengan Tasawuf Falsafi, menjadi sorotan yang sangat penting berkaitan dengan reaksi orang Jawa yang mengembangkan kebatinan untuk memfilter doktrin sinkretik yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar sebagai simpul masuknya pemikiran al-Hallaj ke negeri ini.



Terlepas dari itu semua, studi yang disuguhkan buku ini mempunyai titik strategis berkaitan dengan pengaruh tasawuf dalam proses perkembangan Islam di tanah air. Kecuali itu, ditunjukkan pula mengenai peran tasawuf dalam pembentukan kehidupan masyarakat Indonesia modern. Beberapa pengaruh tasawuf dalam bidang kehidupan politik (pra dan pasca kemerdekaan), pendidikan, kehidupan sosial, dan dalam bidang akidah telah diuraikan secara lengkap dan memadai.



Ditulis oleh Muhtar Sadili, Staf Pusat Studi Al-Quran (PSQ)

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post