Post modernisme

Memasuki alam Post Modernisme
Posted on 10 Agustus 2010 by moehzaki| Tinggalkan komentar

Gerakan pencerahan (humanisme) barat menjadikan manusia sebagai pusat, dan menegaskan tentang rasionalitasnya serta kemampuannya melampaui dirinya dan lingkungannya tanpa mengetahui hal-hal yang non-rasial. Peradaban ini dimulai dengan pengumuman Matinya Tuhan” atas nama manusia sebagai pusat dan berakhir dengan pencabutan otoritas manusia sebagai decenter.

Pengantar

Kaum modernis menganggap bahwa teknologi akan menjadi sumber kebahagiaan manusia dan menjanjikan dunia yang lebih baik. Namun, hal itu tidak berlangsung lama,sampai akhirnya ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan dan berakhir dengan kehancuran manusia itu sendiri.

Lahirnya modernisme yang kemudian berakhir dengan lahirnya post modernisme. . Banyak diantara pemikir barat menganggap bahwa buku sebagai sejarah lahirnya post modernisme. Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat.

Mengenal apa itu Postmodernisme ?

Postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia (Filsuf Perancis Jean Francois lyotard).

Postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas itu sendiri. Postmodernisme adalah aliran pemikiran dan paradigma baru yang merupakan antitesis dari modernisme yang dinilai gagal dan tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Masih banyak definisi-definisi lain ttg postmodernisme . Namun substansinya bermuara sama bahwa postmodernisme mengkritik modernisme yang tidak memberikan implikasi kesejahteraan.

Sejarah postmodernisme

1. Modernisme

Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kejumudan dan kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.

Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis.

Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.

Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi televisi, koran, iklan, film, internet berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.

Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi.

Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap modernisme.

2. Lahirnya postmodernisme

Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.

Tokoh-tokoh postmodernisme selain Jean Francois lyotard adalah : Jacques Derrida, Ricard Rorty, Michel Foucoult.

Ciri terpenting dari postmodernisme adalah relativisme dan mengakui pluralitas dan keanekaragaman lokal.

Dalam perspektif filosofis, istilah postmodernisme baru digunakan pada tahun 1979, bukan didorong oleh postmodern di eropa yang dilatar belakangi dunia arsitektur, melainkan di rangsang oleh diskusi sosiologis masyarakat postindustri di Amerika Utara. Dalam laporan lyotard ke Dewan Universitas Quebec tentang perubahan-perubahan di bidang ilmu pengetahuan pada masyarakat industri maju di eropa karena kemajuan teknologi informasi baru (Lihat : Jurnal Filsafat 1990 hal 09-10).

Dampak Postmodernisme

Pada masa ini modernisme telah hancur, paradigma ini mulai dihancurkan oleh posmodernisme yang “mengaku” mengevaluasi paradigma modernisme. Pstmodernisme menggariskan gerakan kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme, dan persamaan gender.

Dampak dari paham, aliran, dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodenisme terhadap paham ilmu pengetahuan sangatlah besar. Nilai-nilai yang berhubungan dengan metafisika dilepaskan dan hanya mengakui realitas empiris Lebih jauh lagi pandangan postmodernisme yang menganggap metrafisika secara peyoratif sebagai ilmu yang membahas tentang kesalahan manusia yang fundamental. Ini adalah preposisi logis dari paham nihilisme. Serangan doktrinnihilisme terhadap metafisika ini menunjukkan dengan jelas serangan terhadap agama sebagai asas bagi moralitas.

Postmodenisme pada dasarnya mengalami absurditas secara definisi dan konseptual. Tetapi postmodernisme secara umum dapat diartikan sebagai sensibilitas budaya tanpa nilai absolut. Bambang Sugiharto dalam bukunya yang berjudul “Postmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat” mengatakan bahwa, “postmodernisme” memang merupakan istilah yang kontroversial sekaligus ambigu. Postmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka satwa…. suatu istilah yang “memayungi” segala segala pemikiran yang satu sama lain seringkali tak persis berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya, bahwa dalam postmodernisme gagasan-gagasan seperti “filsafat”, “rasionalitas”, dan “epistimologi” dipertanyakan kembali secara radikal.” Yang mengakibatkan kekaburan makna istilah “postmodern” itu kiranya terutama adalah akhiran “isme” dan awalan “post”-nya. Sehubungan dengan akhiran “isme” itu, postmodernisme biasanya dibedakan dari postmodernitas.

Yang pertama menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (worldview), epistimologi dan ideologi-ideologi modern. Yang kedua menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentsi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembal inspirasi-inspirasi tradisi. Sedangkan menurut Donny Gahral Adian, postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantahkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier.
Tetapi tidak dapat dipungkiri jika postmodernisme sebagai babak baru dari berakhirnya era modern telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satunya adalah aspek agama, di mana selanjutnya pengaruh postmodernisme terhadap agama menghasilkan Pluralisme Agama.

Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana nilai-nilai seperti relativisme, universalisme menjadi landasan dalam memahami pluralisme agama. Nilai-nilai yang dibawa oleh postmodenisme membawa pada satu pemahaman bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak – segala sesuatunya bersifat relatif. Dari teori sastra dekonstruksi, filsafat postmodern menerapkannya pada realitas. Pemaknaan sebuah realitas sah-sah saja dinilai berbeda oleh masing-masing orang. Tidak ada standard tertentu untuk memaknai atau memahami suatu hal tertentu. Makna tidak lagi bernilai objektif, dalam pengertian diterima secara universal. Pemaknaan menjadi subjektif, dan pemaknaan subjektif menjadi kebenaran bagi pribadi yang bersangkutan. Karena itu, postmodern tidak mengakui adanya satu kebenaran.

Dekonstruksi Mohammed Arkoun
Istilah Dekonstruksi (deconstruction) sendiri pada mulanya dipakai sebagai terjemahan dari term yang dipakai oleh Heidegger dalam salah satu bukunya Being and Time, karya ilmiah yang ditulis tahun 1927-an, yaitu destruksi (destruction). Destruction, dalam bahasa Indonesianya adalah destruksi, mempunyai pengertian sebagai usaha perusakan terhadap terbatasnya waktu dalam konsep metafisika kehadiran, khususnya konsep metafisika waktu yang telah dibangun oleh Aristoteles, Descartes, dan Kant. Menurutnya konsep metafisika kehadiran mrupakan struktur yang berkaitan sangat erat (the tightening of a structure) dalam seuah pemikiran, yang oleh Heidegger dinamakan Gestell. Teori dekonstruksi berkaitan erat dengan teknik membaca dan memahami teks. Sebuah teknik yang mencoba mengungkapkan makna yang tersembunyi di balik makna literal teks sesungguhnya. Ide dekonstruksi yang diadopsi Arkoun dari pemikiran filsafat Barat postmodern dimaksudkan untuk memisahkan secara dikotomik hubungan antara dimensi historisitas yang aturannya selalu berubah-ubah, dengan normativitas al-Qur’an atau keagamaan Islam, yang sesuai dengan waktu dan tempat (salih likulli zaman wa makan).

Ide ini dimaksudkan juga untuk melelehkan kalu tidak menghancurkan pemikiran keagamaan yang olehnya dianggap telah disakralkan oleh umat Islam (taqqdis al-afkar al-dini). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Mohammed Arkoun sendiri yang terjemahannya kurang lebih berikut ini;
“Kita memerlukan strategi intelektual baru untuk mendekati makna Wahyu dalam Tradisi Muslim, dan dalam tradisi-tradisi lainnya yang kaya dan yang telah berkembang dan mengalami stratifikasi budaya dan praktek ideologis selama berabad-abad. Dalam membangun strategi baru ini, kita harus menguji sumber-sumber tradisi secara teliti agar dapat menghapuskan, terutamanya konsep sentral Ortodoksi…..Sebab setiap ortodoksi pasti merupakan suatu visi ideologis yang terlampau diorientasikan kepada kepentingan subyektif kelompok asalnya. Tetapi kelompok yang dianggap mempunyai “kesadaran kolektif” memang tidak pernah menyadari pemanfaatan sejarah mereka yang bias dan subyektif, kelompok tersebut melihat “ortodoksi”nya sebagai ekspresinya yang sesungguhnya dari identitas mereka. Pada saat yang sama, kelompok-kelompok yang saling berkompetisi tu membangun “ortodoksi” mereka masing-masing yang oleh kelompok dominan atau definisi resmi dari “agama yang benar”, dinilai sebagai bid’ah. Dari perspektif sosiologis, kita tidak bisa menerima kriteria teologis atau politis yang dipakai oleh kelompok yang berkuasa untuk menghapuskan manifestasi-manifestasi lain dari identitas suatu khas bangsa.”
Lebih jauh lagi Arkoun melihat bahwa apa yang terjadi pada format ortodoksi yang kaku dan telah membawa dampak terhadap pola pikir dalam bidang pendidikan, sosial, hukum, etika dan falsafah. Yang pada akhirnya untuk menahan laju pengaruh ortodoksi diperlukannya usaha pembongkaran (dekonstruksi). Upaya melakukan dekonstruksi terhadap teks adalah dalam tujuan meniadakan sikap eksklusifisme agama. Melalui dekonstruksi yang dilakukan Arkoun, literal-literal teks yang oleh ortodoksi dianggap sakral dan menciptakan eksklusifisme akan mengarah kepada paradigma kesatuan agama-agama.

Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi, progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi. Dalam perilaku budaya yang meluas pada wilayah hegemonik, modernisasi dianggap telah gagal melakukan suatu semaian perdamaian dan keadilan politik di muka bumi ini.
Bagaimana modernisasi dicap sebagai fase sejarah manusia yang memasuki gelombang liberasi kemanusiaan dari irasonalitas, dan kemudian disebut sebagai memunculkan track-record yang buruk. Dikatakan, dalam bentangan abad ke-20, record modernisasi menghasilkan perang dunia (world wars), berkecambahnya Naziisme di Eropa, tegaknya kamp-kamp konsentrasi yang terjadi baik di Timur maupun Barat, genocide, depresi dunia akibat perang dan absurditas politik, tragedi Hiroshima, perang Vietnam, Kamboja, revolusi yang terjadi di belahan Persia, dan terjadinya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin (Pauline Marie Rosenau, Postmodernism and The Social Science, 1992).
Modernisasi seperti yang didefinisikan sosiolog macam Francis Fukuyama (2002) atau agamawan seperti Gilles Kepel (1999) bahkan mulai menggeliat dalam bentuk “budaya pop” semenjak awal dekade 70an. Masing-masing kesimpulan keduanya pun tidak jauh pada kisaran yang mengenaskan dalam menggambarkannya ini. Fukuyama menyebut modernisasi sebagai budaya yang menghasilkan bencana besar (the great disruption) di mana realitas sosial sudah tidak terbendung lagi dengan hiruk-pikuk yang memilukan. Sementara Gilles Kepel menyebutnya sebagai yang menghasilkan disparitas dan obskurantisme yang akhirnya dapat memunculkan sentimen bangkitnya moral agama-agama monoteis di alam post-modern.
Lalu pertanyaannya, apakah postmodernisme dapat menggantikan modernisasi dengan segala kekurangan-kekurangannya itu? Benarkah postmodernisme merupakan perangkat kritis untuk menggempur modernisasi? Dan apa saja perwujudan yang telah dihasilkannya, semenjak kemunculan gerakan yang disinyalir telah mempengaruhi budaya global ini?
Postmodernisme secara epistemologis sarat dengan makna dan mencakupi ide-ide dan nuansa-nuansa yang begitu luas cakupannya. Kompleksitas dan keniscayaan gerakan intelektual menyuguhkan wacana ini sebagai jargon baru dalam peta gelombang pemikiran. Namun orang bisa sepakat dalam tataran epistemologis itu, tetapi apakah hal itu juga berlaku ketika berada dalam tataran praksis.
Sebab ada indikasi yang kuat, ketika postmodernisme sebagai “ideologi budaya” berkolaborasi dengan realitas, yang terselubung ke dalam kemenangan kapitalisme dan liberalisme akhirnya menjadi satu tali-temali dalam mendehumanisasi kebudayaan umat manusia. Bagaimana kemudian budayanya itu merasuk ke dalam berbagai dimensi, baik dalam tataran budaya umum, maupun budaya politik yang mampu mengekang kebebasan, hendak dijadikan parameter mencari kehidupan yang lebih baik lagi.
Tragedi-tragedi mengenaskan yang dimulai pada awal abad ke-21 begitu mencuat ke permukaan, dan tanpa disadari hal itu begitu di luar pemahaman banyak orang. Aksi-aksi terorisme pasca-11 September, perang Irak jilid 2, absurditas budaya dan kericuhan politik berskala transnasional, tangisan kemanusiaan, dan sebagainya seperti menemukan tempatnya yang baru pasca-modernisasi.
Sentralitas peradaban global yang memunculkan kedigdayaan superioritas tersendiri itu kemudian menghasilkan ego yang tidak karuan. Mendeklarasikan diri bahwa peradabannyalah di masa kini yang telah mengakhiri sejarah kemanusiaan (the end of history and the last men). Persoalan ini menimbulkan watak baru lagi dalam budaya postmodernisme, akhirnya peradaban lain yang berada disekelilingnya dianggap tidak berperan dalam urusan mondial.
Konstruksi itu, kini tengah mencengangkan dalam pola kehidupan kita di masa kini. Satu per satu fenomena ini bermunculan akibat egosentrisme yang berlebihan; dipicu dari tragedi 11 September yang mengenaskan dalam sejarah peradaban Amerika, kemudian berbuntut “pertarungan akbar” antara Timur-Islam dan Barat. Prediksi ini persis yang diutarakan ‘futurolog’ kenamaan Samuel Huntington dalam analisis terkenal clash of civilization yang salah satunya adalah prediksi konflik antara Islam dan Barat.
Selanjutnya, klaim-klaim postmodernisme yang berkolaborasi dengan relasi hegemonik mengkampanyekan isu-isu humanisasi, egalitarianisme, demokrasi, toleransi, dan sebagainya, tetapi hasilnya malah membuktikan diri secara berbalik arah dengan kondisi budaya umat manusia. Persoalan ini menimbulkan hilangnya arah kontinuitas lembaran sejarah baru yang dikehendaki untuk membentuk suatu komunitas egaliter dan humanis itu sendiri.
Adanya fenomena patologi sosial yang mewarnai kehidupan, akhirnya mendorong lahirnya anarkisme yang semula akibat runtuhnya pilar-pilar keadilan sosial. Dari sisi ini, selanjutnya lahirlah manusia yang menderita penyakit schizophrenia kultural, yaitu masyarakat manusia yang berwajah garang yang hampir dapat dipastikan akan dijumpai di mana pun, di daratan global ini.

Dari sini, paradigma baru perlu dimunculkan sebagai antiklimaks dari semua persoalan itu. Usaha-usaha untuk menggempur ketidakadilan sosial-budaya secara transnasional yakni apa yang disebut globalisasi perlu dilakukan dengan suatu paradigma baru yang mencerahkan budaya masyarakat global sebagai upaya penolakannya.

Paradigma baru yang tidak berafiliasi pada status quo yang selama ini mengekang kebebasan manusia untuk bergerak secara bebas. Konstruksi paradigma yang hendak mengartikan kembali nilai kemanusiaan yang bersahaja di tengah bergulirnya nuansa kekeruhan yang dihasilkan dari postmodernisme budaya itu.

Mengutip istilah David Lloyd, dalam suasana bayang-bayang pudarnya budaya dan politik yang berada dalam korporasi globalisasi dan internasionalisasi ini harus diciptakan framework baru dalam tataran sosial yang dapat mengentaskannya dari situasi yang mengekang. Stratifikasi sosial yang selama ini hanya berafiliasi pada nilai kapital harus bisa diubah menjadi bentuk kesadaran kelas (class consciousness), bahwa nilai stratifikasi

sosial juga mencakup masalah budaya, dan sebagainya (David Lloyd, The Politics of

Culture in the Shadow of Capital, 1997).
Sehingga dengan demikian, postmodernisme dengan segala bentuknya, selain memunculkan paradigma baru juga sekaligus bagian dari keputusasaan di kala manusia harus hidup di dalam saling ketergantungan. Di dalam dunia yang satu tetapi saling mengintai dan saling mencuri kesempatan dalam kesempitan dan bahkan menghalalkan keculasan untuk menjadi yang lebih unggul.
Kalaulah postmodernisme dapat disebut sebagai idelogi budaya baru, barangkali inilah ideologi yang paling absurd, yang orang bisa sepakat dalam tataran epistemologisnya, tetapi tidak dalam tataran praksisnya. Postmodernisme, mewakili harapan tetapi juga sekaligus keputus-asaan.

Delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme.

Pertama,timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas,memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran. Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari system indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskanmanusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik. Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau. Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga). Keenam, semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi. Ketujuh ,munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada
kelompok budaya tertentu secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992).

beberapa sumber :

http://irgip.multiply.com/journal/item/6

http://zuh86.multiply.com/journal/item/78/Konsep_Ilmu_dalam_Islam

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/29/opi02.html

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post