Krisis manusia modern

Krisis Manusia Modern:

Tinjauan Falsafah Terhadap Scientisme Dan Relativisme Kultural*
Abdul Hadi W. M.

Krisis yang dihadapi manusia modern telah sering dibicarakan dan merupakan wacana yang menarik perhatian di Indonesia selama dua dasawarsa terakhir ini. Khususnya yang berkaitan dengan kehampaan spiritual dan alienasi, yang akhir-akhir ini semakin dirasakan sebagai dampak yang tidak terelakkan dari modernisasi. Namun dalam hubungannya dengan sejarah pemikiran falsafah, topik ini jarang sekali dibahas secara mendalam. Karangan ini ditulis untuk membahas hubungan antara krisis yang dialami manusia modern dan munculnya berbagai aliran falsafah yang kemudian sangat dominan dan berpengaruh, khususnya scientisme dan relativisme kultural.

Ahli-ahli sejarah di Timur maupun di Barat, sejak Confucius hingga Toynbee, dari Ibn Khaldun sampai Collingwood, yakin bahwa seseorang tidak akan dapat memahami masa kini dan akan gagal melihat masa depan, tanpa mampu merenungi masa lalu. Pemikiran-pemikiran yang berpengaruh pada masa kini adalah bagian dari mata rantai panjang pemikiran sebelumnya. Demikian pula halnya dengan scientisme dan relativisme kultural, yang telah lebih dua abad merasuki pemikiran manusia modern.

Berbagai sistem falsafah, ideologi modern yang diterapkan dalam kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan; serta berbagai pandangan hidup masyarakat modern dewasa ini, terkait dengan sejarah panjang scientisme. Akan halnya dengan nihilisme dan relativisme kultural yang dewasa ini juga berkembang subur, dan merupakan landasan pemikiran posmodern, memiliki akar dalam sejarah scientisme serta utopia-utopia yang tumbuh daripadanya.

Scientisme merupakan sistem pemikiran falsafah yang bertolak dari penemuan-penemuan ilmiah abad ke-16 dan 17 M, khususnya penemuan-penemuan Copernicus, Kepler, Galileo dan Newton. Munculnya pemikiran falsafah yang bercorak rasional, yang berakar umbi dalam pemikiran Ibnu Rusyd, Descartes dan Bacon pada abad itu juga membantu hasil-hasil penemuan ilmiah di bidang astronomi dan mekanika ditransformasikan menjadi sistem pemikiran yang mampu merubah pandangan hidup, gambaran dunia (weltanschauung) dan cita-cita masyarakat, termasuk gambaran manusia tentang dirinya dan tempatnya di dunia. Diperkenalkannya teknik baru, seperti angka Arab, jam kota, tehnik pembuatan kertas dan mesin cetak temuan Guthenberg, pada abad ke-13 sampai abad ke-17 M, juga tidak kecil peranannya dalam memajukan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya ia juga menolong suburnya scientisme (Matson 1966:30).

Angan-angan para agamawan dan ruhaniwan, serta imaginasi para seniman dan sastrawan, tentang masyarakat yang ideal, juga tidak kecil peranannya dalam memperluas cakrawala, dan mempercepat perkembangan scientisme. Salah satunya ialah imaginasi Thomas More dalam bukunya Utopia (1515-6), sebuah karya setengah fiksi setengah falsafah yang diilhami oleh pemikiran Plato, St. Augustinus dan Thomas Aquinas. Kata utopia diambil dari bahasa Yunani, gabungan dari kata uo dan topos, yang artinya sebuah tempat yang ideal dan sempurna tatanan kehidupannya tetapi entah di mana (Gulzar Haider 1985).

Melalui bukunya itu Thomas More sebenarnya ingin mengeritik Inggris yang dianggapnya sebagai negeri yang masyarakatnya sedang sakit, karena tidak memiliki toleransi dan semangat kebersamaan dalam membangun masyarakat yang adil dan sejah tera. Menurut Thomas More negeri yang ideal dan sempurna ialah yang penduduknya toleran satu dengan yang lain, memiliki semangat gotong royong, memberi kesempatan luas bagi setiap individu untuk meraih kesejahteraan, tidak terlalu mengutamakan kekuasaan dan status sosial, menggunakan akal dan inteligensia sehingga mampu mengendalikan emosi dan perilaku irasionalnya.

Pengaruh buku Thomas More bagi tumbuhnya scientisme mula-mula ketara dalam pemikiran Francis Bacon, filosof abad ke-17 M yang hidup sezaman dengan Rene Descatrtes, bapak rasionalisme modern. Bacon meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Pemikirannya yang revolusioner terlihat dalam bukunya New Atlantis (1623). Menurutnya, dalam buku itu, tujuan terakhir dari regenerasi umat manusia dan kesempurnaan hidupnya terutama bukannya tergantung pada pembaharuan hukum-hukum properti, melainkan pada kemajuan science dan pengaturan kehidupan manusia dengan semangat ilmiah. Hanya metode ilmiah yang dapat mengangkat martabat manusia dan memberinya kehidupan yang sempurna (Ibid).

Pada abad ke-18 M buku Bacon menjadi bacaan luas kalangan cendekiawan Perancis. Sosialisme Utopis yang diasaskan oleh Saint Simon pada akhir abad ke-18, dan ikut mengilhami Revolusi Perancis, dibangun berdasarkan pemikiran Bacon. Pendekar-pendekar lain yang dipengaruhi pemikiran Bacon pada abad ke-18 dan ikut membidani Revolusi Perancis ialah Rosseau, Louis Blanc dan ekonom terkemuka Robert Owen (Stephen II 1960:311). Melalui revolusi inilah Perancis tumbuh menjadi negara paling awal dalam menerapkan sistem demokrasi liberal, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain di Eropa dan Amerika Serikat. Tetapi ironinya negara-negara ini tidak dapat membendung hawa nafsunya untuk menjadi negara kolonialis dan imperialis. Negara-negara kapitalis ini memerintah negeri-negeri jajahannya dengan cara-cara yang sangat bertentangan dengan hakekat demokrasi. Sumber dari ambivalensi ini dapat dicari pada kenyataan dijalankannya bersama-sama sistem demokrasi liberal di bidang politik dan sistem kapitalisme di bidang ekonomi dan perdagangan. Memang keduanya tumbuh dari asas yang sama, yaitu scientisme dan liberalisme, namun secara kodrati sebenarnya saling bertentangan.

Adalah juga ironis karena sistem pemikiran yang meyakini adanya hukum alam yang ajeg dan tetap yang mengatur pergerakan dan kehidupan di alam semesta, termasuk kehidupan manusia, kelak melahirkan masyarakat yang begitu menyukai perubahan serta menumbuhkan aliran-aliran pemikiran yang saling bersaing dan berbenturan. Relativisme kultural yang tumbuh subur pada akhir abad ke-19 M berawal dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan aliran pemikiran masing-masing karena masing-masing menganggap bahwa alirannya sajalah yang paling benar (Edel 1955:23) Berbagai konflik sosial dan politik yang menyebabkan terjadinya banyak malapetaka kemanusiaan pada abad ke20, khususnya Perang Dunia I dan II, kemudian Perang Dingin antara blok timur dan blok barat, berawal dari sengketa pemikiran dan ideologi, dan didorong pula oleh faktor-faktor yang inheren dalam tabiat manusia seperti keinginan menguasai sumber-sumber alam, sarana produksi dan komunikasi, serta pasar. Penemuan-penemuan besar ilmiah dan tehnologi yang canggih memberi peluang lebih besar lagi, karena dengan metode dan sarana yang canggih upaya manusia untuk memuaskan keinginannya dan memenuhi ambisi Faustiannya akan dapat dicapai lebih cepat dan mudah.

Kenyataan ini memberi peluang munculnya kritik dan keraguan terhadap scientisme dan rasionalisme. Pada zaman Renaisan dan Pencerahan abad ke-16 – 18 M, para ilmuwan, filosof dan cendekiawan Eropah yakin bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi akan mendatangkan kebahagiaan dan perdamaian yang langgeng bagi umat manusia. Peperangan yang menelan banyak korban, sengketa politik dan ideologi, dapat dikurangi, sebab dengan pengetahuan dan nalarnya manusia akan bertambah arif dan bijak, serta toleran terhadap perbedaan-perbedaan pandangan dan agama. Tetapi kenyataan yang muncul adalah sebaliknya. Metode-metode ilmiah yang canggih dan diterapkan dalam ilmu pengetahuan alam dan sosial, dan digunakan untuk menangani masalah sosial, politik dan kemanusiaan; ternyata tidak mampu menangani situasi kemasyarakatan yang kompleks seperti sengketa politik, etnis, ideologis dan keagamaan. Sebaliknya di Eropah sendiri sejak akhir abad ke-18 sampai akhir abad ke-19 peperangan dan konflik sosial sangat banyak bermunculan.

Kondisi inilah yang mendorong sejumlah pemikir dan cendekiawan meragukan klaim-klaim scientisme dan rasionalisme, bahkan mengeritiknya sebagai biang keladi krisis kemanusiaan yang dialami manusia modern. Pertama-tama, karena dalam proyeksi scientisme manusia ditempatkan sebagai obyek yang kesadaran dan cakrawala hidupnya dibatasi pada persoalan perut dan penguasaan ketrammpilan tehnis, dengan sedikit pengetahuan untuk menopang dirinya agar dapat mengaktualisasikan hidupnya. Khususnya sebagai homo faber, mahluq yang gemar kerja dan tehnologi, animal rationale, khewan yang gemar berpikir dan homo eroticus, makhluk yang menyukai hal-hal yang erotis dan sensual.

Kedua, dengan cara demikian scientisme dan berbagai cabang pemikiran yang muncul kemudian seperti materialisme, darwinisme dan lain-lain bertanggungjawab menciptakan gambaran yang sempit dan reduksionis mengenai manusia, hakekat keberadaan dan peranannya di muka bumi. Manusia dianggap hanya bagian dari kerajaan benda-benda dan khewan, dan seperti benda-benda dan hewan,gerak dan kegiatan hidupnya diatur oleh sebuah hukum alam yang bersifat mekanistis. Kesadaran manusia tidak mendapat tempat.

Ketiga, scientisme dan cabang-cabang falsafah yang berkembang daripadanya tidak memberi peluang bagi aktivitas spiritual, keyakinan pada alam transendental dan metafisika. Semua bentuk kegiatan berkenaan dengan agama dan spiritualitas dipandang irasional, sedang bentuk-bentuk kepercayaan yang lahir darinya disebut takhyul dan merintangi kemajuan. Penyakit-penyakit seperti alienasi (keterasingan), kehampaan spiritual, kecanduan obat bius, dorongan bunuh diri dan berbagai bentuk frustrasi sosial yang lain adalah harga yang harus dibayar mahal bagi tercapainya cita-cita manusia modern yang bertitik tolak dari pandangan scientisme, rasionalisme, utilitarianisme, materialisme, hedonisme, pragmatisme, evolusionisme, sosiologisme dan lain-lain.

Dilatarbelakangi kehampaan spiritual yang memilukan itulah pada akhir abad ke-19 Nietzsche menghujat manusia modern dalam bukunya yang terkenal Also Spracht Zarathustra. “Tuhan telah mati!” kata Nietzsche, yaitu mati dalam jiwa manusia modern. Ungkapan yang dahsyat dan provokatif ini bukannya tanpa alasan yang kuat. Dengan matinya Tuhan, maka sandaran kebenaran dan patokan nilai-nilai menjadi hancur berantakan. Nilai tertinggi tidak ada lagi. Begitu halnya dengan kebenaran mutlak. Yang ada hanyalah reltivisme mutlak. Dengan demikian relativisme kultural mulai menemukan bentuknya yang sempurna.



II

Sebelum menguraikan lebih jauh implikasi scientisme terhadap kehidupan manusia modern, serta berkembangnya relativisme kultural dan nihilisme – dua aliran yang muncul sebagai reaksi paling keras terhadap scientisme karena dianggap sebagai ideologi berpihak pada status quo,bukan pada perubahan; baiklah kami kutip potongan sajak “Nature morte” karangan seorang penyair Rusia Joseph Brodsky yang meraih Hadiah Nobel pada tahun 1987, sebagai berikut:

Orang dan benda pun berdesak-desakan

Mata bisa pedih dan luka

Oleh orang maupun benda.

Lebih baik tinggal saja dalam kelam.



(Sapardi Djoko Damono 2001:161)

Tidak ada pintu lain yang dapat dimasuki oleh manusia modern selain kegelapan, kesunyian, keterasingan dan pesimisme. Dunia yang kita huni adalah “Tanah mati, tanah kaktus,” tutur T. S. Eliot dalam sajak ‘Orang-orang Kosong’ “Di sini patung-patung batu/ Ditegakkan, di sini mereka menerima/ Permohonan tangan si mati/ Di bawah kerdip bintang yang redup… Mata tidak ada di sini/ Tidak ada mata di sini/ Di lembah bintang sekarat ini/ Di lembah hampa ini/ Rahang patah dari kerajaan-kerajaan kami yang hilang…Dari kerajaan senjakala maut/ Satu-satunya harapan orang kosong”(Ibid:43) T. S. Eliot mendahului Fucoult tiga puluh tahun lebih dalam menyatakan bahwa ‘manusia telah mati’. Sajak ‘Orang-orang Kosong’ ditulis pada tahun 1930an dan dimasukkan dalam antologi The Waste Land (Tanah Gersang) yang mengantarkan sang penulis memperoleh Hadiah Nobel pada tahun 1948.

Bukan hanya Joseph Brodsky dan T. S. Eliot yang mengakui bahwa krisis yang dialami manusia modern berakar dalam watak kebudayaan modern sendiri yang mencampakkan spiritulitas dan tidak memberi tempat pada metafisika serta etika yang didasarkan atas spiritualitas. Kebudayaan modern pula yang membiarkan relativisme kultural berkembang menjadi sumber konflik sosial, ideologis dan intelektual yang tidak habis-habisnya. Pemikiran posmodernis, yang memperoleh pengikut lumayan di kalangan intelektual Eropah, Amerika dan Asia, adalah contoh terbaik pemikiran yang mengiyakan sepenuhnya relativisme kultural, khususnya relativisme nilai-nilai, dan pembenaran terhadap keutamaan realitas semu dan degradasi moral, sebagaimana tersirat pada asumsi gerakan ini yang menganggap bahwa kenyataan adalah fiksi dan fiksi adalah kenyataan.

Menanggapi berbagai sengketa ideologis dan budaya yang membuat krisis manusia modern semakin bertambah, dalam esainya “The Facing Inferno” (1972) Ionesco menulis: “Krisis yang diderita manusia modern itu sebenarnya berakar sangat dalam, tidak sebagaimana diduga kebanyakan orang”. Ia tidak berakar semata-mata dalam kemiskinan dan kemunduran ekonomi. Tetapi juga di tempat lain, nun jauh di lubuk kalbu manusia. Di negara-negara miskin seperti India memang banyak orang mati kelaparan disebabkan tidak mendapatkan makan dan tempat tinggal yang semestinya. Tetapi di negara-negara makmur seperti Skandinavia, jumlah orang yang bunuh diri meningkat berlipat-lipat ganda di atas limpanan makanan dan sarana kehidupan yang canggih”.

“Kita ini,” kata Ionesco, “Baik yang mengaku Marxis maupun sosialis, pengikut fanatik Freud dan Nietzsche, sesungguhnya dihadapkan pada masalah yang sama, yaitu bagaimana seharusnya kita hidup di dunia ini. Dari apa kita mesti membebaskan diri agar dapat hidup lebih baik dan bermartabat? Adakah kita harus membebaskan diri dari naluri rendah dan hawa nafsu? Ataukah dari segala bentuk larangan – undang-undang, kekuasaan politik atau agama? Adakah kita mesti membebaskan diri dari revolusi atau counter-revolusi?” Sang dramawan menjawab, bukan itu jawabnya.

“Yang kita perlukan sebenarnya ialah bagaimana menumbuhkan keseimbangan antara nafsu hidup, rasa tidak pernah puas dan kemampuan mengendalikan diri. Dari hari ke hari kita melihat manusia dengan hawa nafsunya, berusaha saling menginjak, sedangkan negara-negara besar berlomba-lomba mendorong dunia melangkah ke dalam kancah kekerasan, sehingga keputusasaan semakin meluas. Lantas timbul pikiran agar ideologi-ideologi sekular dilenyapkan saja. Menolong si miskin, menyebarkan keadilan, memerangi kelaparan, menumbuhkan kebebasan politik dan agama, serta memuaskan dahaga ruhani kita, ternyata bukan itu tujuan manusia dewasa ini. Tujuan manusia sederhana, menguasai dunia dan meningkatkan pertumpahan darah.”

Ionesco tidak sendirian. Bersama dia masih banyak cendekiawan Barat mencetuskan suara yang senada. Misalnya Paul Tillich, Berdayev, Ortgea Y. Gasset, Karl Jaspers, Erns Cassirer, Roger Garaudy, Rene Guenon, Titus Burkchard, Martin Lings, Gadamer, Huston Smith dan lain-lain. Namun malangnya, kata Ionesco, tidak banyak orang yang sadar bahwa keputusasaan dan pesimisme yang berkembang di tengah masyarakat modern dewasa ini sebenarnya bersumber dalam pandangan manusia modern sendiri yang picik, hanya tertuju pada persoalan kebendaan. Manusia lupa bahwa apabila ia mau berkhtiar dan menghidupkan kembali penglihatan ruhaninya, pasti ia akan memperoleh pencerahan.

III

Kini tibalah waktunya memaparkan sejarah dan perkembangan scientisme, dan relativisme kultural yang menyertainya di kemudian hari sebagai akibat banyaknya penemuan ilmiah yang menyebabkan timbulnya beraneka perspektif dalam cara memandang kebenaran dan nilai-nilai. Seandainya penemuan-penemuan itu dianggap sebagai hasil penelitian ilmiah semata-mata, menggunakan metode tertentu yang tidak mungkin mencapai tingkat kebenaran yang menyeluruh, hal itu tidak menjadi persoalan. Namun penemuan-penemuan ilmiah ini kelak dikembangkan menjadi aliran pemikiran falsafah, bahkan pandangannya yang parsial dan reduksionis tentang manusia dijadikan basis ideologi politik dan sistem ekonomi.

Sejarah scientisme modern bermula dengan munculnya Revolusi Copernican pada zaman Renaisan abad ke-16 M dan menemukan bentuknya yang muktamad pada abad ke-17 di bawah pengaruh rasionalisme Cartesian dan, terutama sekali, berkat lahirnya kosmologi Newtonian. Penemuan-penemuan Copernicus, Kepler dan Galileo di bidang astronomi, menggunakan jasa geometri dan matematika, berhasil mengubah pandangan kaum intelektual tentang pusat perputaran alam semesta. Sebelumnya mereka mengikuti pandangan resmi gereja bahwa bumi merupakan pusat peredaran alam semesta. Planet-planet di angkasa raya, bulan dan matahari, semuanya beredar mengelilingi bumi. Copernicus membuktikan melalui penelitian ilmiahnya bahwa sesungguhnya bukan bumi, tetapi matahari yang menjadi pusat perputaran alam semesta (Prosch 1971:9-47)

Dampak penemuan ini ternyata besar dalam mengalihkan kepercayaan orang terhadap agama dan menumbuhkan pandangan dunia (worldview) baru yang serba ilmiah dan rasional. Terlebih-lebih dengan munculnya penemuan ilmiah Newton di bidang fisika, yaitu tentang gerakan dan gravitasi yang merupakan sumber perputaran segala sesuatu di alam semesta ini. Penemuan inilah yang melahirkan teori baru di bidang fisika dan daripadanya Newton menyusun sebuah kosmologi atau falsafah kealaman yang ternyata besar pengaruhnya terhadap perkembangan falsafah dan cabang-cabang ilmu lain di luar fisika seperti biologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, etika dan ilmu politik.

Ketika Kepler dan Galileo wafat, proyeksi ilmiahnya belum sempurna betul. Dia masih menyisakan persoalan yang belum terjawab. Persoalan itu berkenaan dengan hukum yang menyebabkan planet-planet di angkasa raya ini bisa bergerak dan berputar mengedari orbitnya, matahari. Jawaban terhadap soal itu ternyata tidak perlu menunggu terlalu lama. Pada tahun 1687 Isaac Newton menerbitkan buku hasil penelitian ilmiahnya di bidang mekanika berjudul Mathematical Principles of Natural Philosophy. Dalam bukunya itu dia menemukan bahwa asas pergerakan benda-benda di alam semesta ialah gravitasi. Sejauh mengenai teori fisika Newton tidak begitu perlu diuraikan panjang lebar di sini. Yang penting ialah bagaimana melalui kosmologinya Newton berhasil mengarahkan perhatian kita kepada alam melebihi sebelumnya. Dengan cara demikian ia juga berhasil membelokkan perhatian manusia ke luar dari dirinya dan lebih banyak memperhatikan apa yang terjadi di luar dirinya (Prosch 1971:66-7).

Dalam kosmologinya Newton memandang alam sebagai tatanan yang sempurna, memiliki hukum-hukum dan ukuran tertentu yang tidak bisa diubah. Alam digambarkan sebagai Mesin Raksasa, sedangkan apa yang terjadi di bumi dan langit, diyakini olehnya memiliki sebab-sebab dalam alam dan dapat diketahui secara pasti. Sebagaimana dinyatakan Oppenheimer (1954:13-14), karena dalam kosmologi Newton alam dipandang sebagai mesin raksasa yang memiliki ketentuan yang pasti, maka alam bukan hanya merupakan penyebab kejadian dan pergerakan benda-benda, termasuk manusia. Alam juga ternyata bersifat obyektif, dalam arti tidak bisa dipengaruhi oleh tindakan manusia.

Newton, dan para ilmuwan sesudahnya, berhasil membebaskan manusia dari kepercayaan terhadap kekuatan magis alam gaib, sekaligus memenjara manusia dalam belenggu keyakinan terhadap kekuatan magis science. Dalam keyakinan baru ini perhitungan yang tepat dan canggih secara matematis, dipercaya dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia, sekaligus bisa membuat manusia memiliki pengetahuan tentang hakekat terakhir kehidupan. Bagaimana mungkin hal ini tidak menimbulkan rasa takjub dan kagum, sedangkan selama berabad-abad sebelumnya sejak Plato sampai Ibnu Rusyd , para filosof tidak dapat menemukannya.

Dalam alam pikiran Newton tidak ada ruang bagi aktivitas kerohanian. Tuhan, kesadaran, hati nurani, cinta kasih, emosi dan intuisi – semua dicampakkan ke luar, sebab segala sesuatu hanya tunduk pada hukum gerakan dan gravitasi. Alam hanya terdiri dari kekuatan material yang buta. Perbuatan manusia yang lahir dari kesadaran dan pikirannya dengan sendirinya diredusir menjadi materi yang bergerak disebabkan kekuatan buta (Matson 1966:1-6).

Adalah suatu keberuntungan bagi para pengikut dan pengagum Newton, karena sebelumnya di Perancis lahir seorang filosof visioner yang menekankan pada pentingnya pemikiran rasional berdasarkan pertimbangan matematika. Filosof tersebut ialah Rene Descartes. Walaupun ia seorang idealis, namun pengiyaannya terhadap pentingnya matematika sebagai landasan metode ilmiah, diklaim sebagai pembenaran terhadap lahirnya scientisme. Konon pada suatu malam, dalam tahun 1619, dia mendapatkan mimpi yang membuatnya yakin bahwa Ruh Kebenaran telah membuka mata hatinya sehingga dia dapat menyaksikan perbendaharaan tersembunyi di gudang ilmu pengetahuan yang tidak terkira nilai dan jumlahnya. Sang Ruh Kebenaran konon membisikkan ilham dan menyingkapkan kepadanya ‘dasar-dasar pengetahuan yang menakjubkan’ (mirabilis scientia fundamenta) (Maritain 1944:61)

Mimpinya itu kemudian ditulis dalam bukunya yang masyhur Discourse de la methode, dalam sub bab yang berjudul “Proyek sebuah ilmu pengetahuan universal, yang di dalamnya kodrat kita akan naik mencapai martabat kesempurnaan tertinggi”. Sejak memperoleh mimpinya itu dia memandang ruang dan keluasan sebagai hakekat paling dasar dari keberadaan; dan juga memandang gerakan sebagai titik semua pekembangan maju. Dia pun meyakini bahwa matematika merupakan inti dari bahasa wahyu.

Descartes, sebagaimana telah dikemukakan, sebenarnya seorang idealis yang meyakini bahwa segala sesuatu itu datang dari ide, bukan dari materi. Ia bahkan membela metafisika sebagai asas utama pemikiran falsafah dan menolak pandangan kaum materialis. Rasionalismenya dikembangkan semata-mata untuk memperkuat sistem falsafahnya dengan dasar-dasar rasional. Ini terlihat dalam inti ajaran falsafahnya: (1) Dasar pergerakan sesuatu itu bersifat matematis; (2) Manusia memiliki ide bawaan, yaitu bahwa pikiran manusia itu muncul selalu disertai ide dan tidak memerlukan bantuan pengalaman empiris yang berasal dari pencerapan indera atas dunia luar; (3) Yang benar itu ialah sesuatu yang secara rasional sempurna, yaitu ide-ide yang bagi penangkapan akal bersifat gamblang dan jelas (Prosch 1971: 37-41).

Dogma scientisme modern berakar dalam pandangan Descartes. Walaupun dia seorang idealis, namun melalui abstraksi matematisnya ia dengan terpaksa harus meredusir pikiran manusia sebagai sesuatu yang dapat digerakkan secara mekanis. Dia pun memandang alam sebagai sejenis mesin. Tujuan dan makna spiritual kehidupan di dalamnya dicampakkan ke luar. Walaupun sejak awal mendapat kritikan keras dari beberapa filosof, misalnya Thomas Hobbes dan Voltaire, pengaruh rasionalisme Descartes tidak dapat dibendung. Scientisme yang tumbuh darinya, dan diperkuat dengan kosmologi Newtonian, menjelma menjadi arus utama pemikiran falsafah dan ilmu pengetahuan di Eropah.

Pada akhir abad ke-17 M di negeri Belanda muncul pula Spinoza, seorang filosof rasionalis murni yang mendasarkan pemikiran etika dan politiknya pada geometri. Spinoza menggagaskan sebuah faham baru falsafah yang dikenal dengan sebutan ‘determinisme ilmiah’. Menurut Spinoza alam semesta ini merupakan sebuah mesin raksasa yang ketentuan-ketentuannya tidak bisa dirubah lagi. Bukan hanya jiwa manusia, tetapi Tuhan, yang tunduk terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Alam merupakan sebuah sistem tanpa tujuan, sebuah rangkaian akibat-akibat yang tidak memiliki sebab akhir. Spinoza menempatkan manusia dan kehidupannya dalam genggaman mesin raksasa yang disebut alam. Kemauan bebas hanya ilusi pikiran manusia, sebuah fiksi (Matson 1966:8-10).

Di Belanda pemikiran Spinoza tidak hanya berpengaruh terhadap kaum terpelajar dan cendikiawan, tetapi juga terhadap para pedagang, politisi, pekerja dan mereka yang berpikir serba pragmatis dan matematis. Lewis Mumford (1944:176) mencatat bahwa bersamaan dengan luasnya pengaruh pemikiran Cartesian dan Spinoza, pada akhir abad ke-17, pengaruh perkembangan tehnologi juga semakin besar terhadap kehidupan politik, sistem ekonomi dan pandangan hidup manusia.

Penggunaan sistem angka Arab yang mulai diperkenalkan pada abad ke-13 dan 17 M, dengan cepatnya mempengaruhi perkembangan ekonomi Begitu pula dengan pemakaian jam kota berukuran besar seperti di Greenwich. Angka dan ukuran, serta perhitungan waktu yang tepat, lantas begitu diutamakan oleh para pedagang. Dengan demikian manusia lantas mementingkan obyektivitas dan impersonalitas. Kehidupan politik juga terpengaruh. Kapitalisme kemudian muncul memperkenalkan norma-norma baru kehidupan ekonomi berdasarkan pengetahuan modern. Diilhami oleh kemajuan ilmu hisab dan fisika, cara baru digunakan untuk mengendalikan perkembangan ekonomi. Kalkulus lantas diterapkan untuk menggerakkan kekuatan-kekuatan ekonomi yang bersifat impersonal.



IV

Demikianlah pada akhir ke-18 para ilmuwan dan filosof mulai berusaha menjadikan scientisme sebagai landasan ilmu-ilmu lain seperti sejarah, ekonomi, biologi, geologi dan musik; dan pada abad ke-19 ilmu-ilmu sosial, psikologi, linguistik, etnografi dan lain-lain. Lembaga-lembaga pendidikan pula mulai menekankan pentingnya pelajaran matematika dan ilmu alam, melebihi ilmu lain, terkecuali bahasa. Calon-calon filosof, seniman, politikus dan lain-lain dipaksa mempelajari fisika, matematika dan ilmu kedokteran sampai perguruan tinggi. Voltaire, seorang filosof dan sastrawan, harus menulis thesis masternya tentang kosmologi Newtonian; Rosseau, seorang ahli politik, dipaksa melakukan kajian tentang dalil-dalil kimia; Diderot, seorang budayawan dan pengarang, diharuskan menulis karangan ilmiah panjang tentang elemen-elemen dalam fisiologi. Dan Montesque diwajibkan melakukan penelitian fisika, padahal ia adalah mahasiwa jurusan ilmu sosial (Matson 1966:12)

Melalui program pendidikan seperti itulah kemudian falsafah cenderung tumbuh menjadi falsafah pengetahuan alam; biologi menjadi cabang mekanika; psikologi menjadi ilmu faal yang membicarakan manusia sebagai mesin yang kerjanya memproduksi tingkah laku. Dengan nada sarkastik, dalam bukunya Elements de philosophie, seorang ahli sejarah falsafah Perancis d’Alembert menulis:

“Ilmu pengetahuan alam dari hari ke hari berhasil menimbun kekayaan yang tidak terkira… dari bumi hingga Saturnus, dari sejarah angkasa raya hingga kerajaan serangga, ilmu ini dijadikan begitu revolusioner…

Demikianlah, dari prinsip-prinsip ilmu pengetahuan sekular hingga asas-asas ajaran agama yang berasal dari wahyu ilahi, dari metafisika hingga perkara selera, dari musik hingga moral, dari wejangan kusut ahli-ahli teologi scholastik hingga masalah komersial, dari hukum alam sampai hukum arbitrasi bangsa-bangsa – semua dibicarakan, dianalisa berdasarkan skema ilmu pengetahuan alam.” (Cassirer:1955:46-7).

Gambaran yang disajikan scientisme tentang manusia juga semakin melorot. Manusia ditarik jauh ke pingggiran sumbu eksistensi. Perannya beralih dari subyek menjadi obyek; dari pemain utama di pentas kehidupan dan sejarah, menjadi penonton yang pasif. Pikiran manusia pun dipecah belah menjadi partikel-partikel yang bergerak secara mekanis, begitu pula perilakunya. Manusia, menurut Holbach seorang di antara pemikir terkemuka yang berpandangan materialis, adalah hasil dari pekerjaan alam. Ia maujud dalam alam, tunduk pada hukum-hukumnya dan tidak dapat membebaskan diri daripadanya.

Di lapangan ilmu sosial, pengaruh scientismemula-mula tampak dalam pemikiran Saint Simon di Perancis pada awal abad ke-19. Dia menyusun kerangka sistematis kajian ilmu kemanusiaan (humaniora) berdasar metode fisika Newtonian. Dua postulat penting yang dia ajukan ialah: (1) Ilmu pengetahuan itu netral sebab didasarkan atas obyektivitas; (2) Ilmu sosial yang mantap didasarkan atas reduksionisme analitik. Saint Simon menguraikan aktivitas manusia di bidang politik dan ekonomi berdasarkan teori geometri. Melalui cara demikian kesadaran manusia dan fakta kerohanian dari hidupnya dilenyapkan (Matson 1966:13).

Pengaruh scientisme di lapangan ilmu sosial mulai mencapai bentuknya yang muktamad dalam positivisme August Comte pada abad ke-19. Filosof yang dipandang sebagai bapak sosiologi modern ini menetapkan bahwa penelitian tentang aktivitas jiwa dan spiritualitas manusia merupakan pekerjaan sia-sia. Ia memandang psikologi instropektif sebagai tidak lebih dari bentuk baru teologi yang usang. Pikiran individu dan manusia sebagai subyek tidak penting, sebab yang maujud hanyalah masyarakat. Masyarakatlah yang merupakan roh kehidupan moral, sedangkan perilaku individu hanya fenomenanya. Comte sendiri yakin bahwa di masa depan hanya kemajuan masyarakatlah yang paling utama.

Dalam pandangannya, kemajuan yang dicapai masyarakat industrial, bukan disebabkan oleh berperannya individu-individu, melainkan karena bergeraknya hukum-hukum mekanis yang mengendalikan semua kejadian di dunia ini. Kebebasan tidak lain adalah ketundukan masyarakat kepada hukum alam. Dalam kaitannya dengan pandangan Comte itu, Martineau (1993:61) menulis, bahwa, di dalam sosiologi Comtian, individu dianggap memperoleh tingkat nalar yang tinggi dengan cara tunduk kepada proses rasional masyarakat. Konsepsi kaum demokrat liberal tentang kebebasan individu sejalan dengan pemikiran Comte. Comte menekankan pentingnya otoritas dan tertib sosial, atau tepatnya menetapkan pentingnya efisiensi dan rasionalisasi dalam membuat rekayasa sosial Pengikut positivisme Comte bercita-cita dapat membantu manusia melakukan emansipasi dan memperoleh pencerahan. Tetapi hasilnya adalah sebaliknya. Gagasan mereka tentang ‘Tirani Kemajuan” membuat kemajuan benar-benar menjadi tirani yang tidak terkalahkan (Salomon 1955:101).

Sosiologi yang dibangun oleh Vilfredo Pareto, seorang ilmuwan Italia yang dipandang dekat dengan Fascisme, tidak lebih baik. Dalam bukunya The Mind and Society, yang menganalisis bentuk dan substansi lembaga hukum, agama, politik dan kemasyarakatan, dia sampai pada kesimpulan bahwa lembaga-lembaga inilah yang berperan sebagai pencetak kesadaran masyarakat dan penggerak perputaran kelas. Dalam kenyataan teorinya tentang sirkulasi kelas itu, yang mendahului munculnya pertarungan kelas, didasarkan pada mekanika klasik Newtonian.

Di dalam ilmu ekonomi pengaruh scientisme tampak dalam gagasan Adam Smith, dan David Ricardo, kemudian Robert Malthus, Karl Menger dan lain-lain. Adam Smith misalnya melihat fenomena ekonomi sebagai bagian dari politik, yakni pengawasan dan pengendalian tingkah laku dan aktivitas manusia. Penerapan prinsip mekanika Newtonian tampak dalam teorinya tentang mekanisme pasar, yang kemudian dijadikan asas ekonomi modern dan sistem kapitalisme (Matson 1966:19).

Namun yang tidak kalah hebatnya ialah penerapan scientisme di lapangan biologi, khususnya dalam pemikiran Darwin, tokoh yang dikenal dengan teori evolusinya serta prinsipnya tentang “survival of the fittest” — yang paling kuat akan menang dalam evolusi kehidupan. Darwin menganggap manusia sebagai bagian dari dunia hewan. Segala perbuatan dan kecakapannya, setinggi apa pun tingkat kerohanian yang dicapainya, pada akhirnya dapat dikembalikan pada proses alam yang dicerminkan oleh evolusi. Seni, agama dan falsafah – betapa pun tingkat kearifan yang dicapainya – dapat dicari asal muasalnya dalam jiwa manusia yang tidak jauh berbeda dari jiwa hewan. Perasaan, kodrat tubuh dan hayatnya, yang dijelmakan dalam kehidupan kolektif manusia juga demikian (Irvine 1956: 145).

Di lapangan psikologi pengaruh scientisme tampak pada berbagai teori tingkah laku dan memuncak dalam teori Pavlov pada awal abad ke-20. Behaviourisme menjadikan psikologi sebagai cabang dari biologi. Jejak aliran ini bisa dilacak melalui buku Judson Herrick Brain of Rats and Man dan The Thinking Machine. Manusia dipandang sebagai mesin yang berpikir. Walaupun pemuka teori psikologi modern tahu bahwa hubungan otak dengan kesadaran merupakan sebuah fakta yang tidak diragukan, akan tetapi karena yang dijadikan dasar penelitian ialah bagian paling rendah dari otak, yaitu cortex, maka mudah sekali membandingkan otak manusia dengan khewan. Berdasarkan inilah psikolog seperti Arnold Bennet memandang otak sebagai pelayan jasmani bagi kekuatan sentral ego (Muller 1964:136).

Beberapa teori psikologi modern bahkan tidak jarang diilhami atau dipengaruhi oleh hasil eksperimen fisika. Misalnya teori Burnidge tentang kesalingtergantungan antara proses neural dan psikis (neural mewakili materi dan psyche mewakili jiwa), yang dipengaruhi eksperimen Northrop dan Burr terhadap medan elektro dinamik dari organisme. Freud yang mencoba memupus skema lama kaum behaviouris dengan menggotong teori bawah sadar yang menggerakkan kehidupan manusia, ternyata juga ikut menyebar luaskan ketidakpercayaan manusia modern kepada peranan kesadaran, walaupun dia tahu bahwa dalam kesadaranlah sebenarnya tersembunyi motif perbuatan manusia. Nietzsche mungkin benar ketika mengatakan bahwa kerja besar psikologi tidak lain adalah mengekspose rasa tidak berdosa dari ketidakjujuran intelektual yang sifatnya universal (Muller 1964:144).

Ahli-ahli psikologi sesudah Freud seperti Alfred Adler, Karen Horney, Abram Kardiner dan Alexander Martin, membawa lebih pemikiran Freud ke tempat yang sejajar dengan perkembangan ilmu lain. Mereka menafsirkan tingkah laku manusia sebagai gerakan psiko-biologis yang daya asasnya bersifat integratif. Mereka pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dari seluruh pola yang terintegrasi itu hanya ‘dorongan seksual’ dan ‘keinginan berkuasa’ yang paling penting dan menonjol (Ibid). Cara demikian bukan saja mereduksi kodrat manusia ke titik terendah, namun terlalu menyederhanakan persoalan yang sebenarnya kompleks. Simplikasi lantas menjadi hal yang lazim dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Mungkin yang bisa menyelamatkan psikologi dan psikoanalisa dari kungkungan scientisme adalah orang-orang seperti Jung. Kesadaran manusia mulai ditempatkan lagi pada kedudukannya yang patut.

Contoh terbaik dari simplifikasi berlebihan terhadap persoalan yang kompleks tampak dalam sosiologi Marxian. Teori Marx tentang materialisme dialektik atau historis materialismenya memang mengagumkan dan mempesona, dan kelihatan sebagai upaya pembebasan. Dia berhasil menyajikan gambaran cemerlang tentang pertarungan kekuatan-kekuatan ekonomi dalam masyarakat berdasarkan analisis kelas; pengaruh pertarungan yang bersifat dialektis tersebut terhadap kegiatan sosial, termasuk kebudayaan. Tetapi para pengeritiknya menganggap dia gagal menganalisis reaksi dari kekuatan non-ekonomi dan interaksi dari keseluruhan kekuatan yang kompleks dalam masyarakat. Marx tidak dapat menjelaskan mengapa, dalam kenyataan sejarah, begitu banyak bentuk-bentuk budaya pada masa tertentu mampu memodifikasi kondisi kehidupan material manusia dan betapa kesadaran pada akhirnya mempengaruhi eksistensi masyarakat.

Karl Mannheim (1950:57) misalnya berpendapat bahwa Marx dan para pengikutnya hanya berhasil meramalkan sebab-sebab dari perkembangan ekonomi seperti perkembangan tehnologi, penguasaan sarana produksi; meningkatnya pemusatan modal, intensifnya persaingan merebut pasar, persekongkolan antara pemerintah dan pemilik industri. Namun dia gagal menganalisis mengapa tehnologi modern dapat digunakan secara efektif untuk kepentingan politik, misalnya sebagai mesin propaganda. Kegagalannya yang lain ialah dalam melihat keseluruhan problem dan masalah kekuasaan politik. Marx misalnya percaya bahwa apabila kaum buruh dan proletar menang dalam pertarungannya dengan kaum kapitalis, akan muncul pemerintahan rakyat dalam arti yang sebenarnya. Namun perkiraan itu ternyata meleset, ketika Revolusi Bolsyewik pada tahun 1918 memperoleh kemenangan di Rusia dan mengakhiri pemerintahan otokratik Tsar. Lenin yang berhasil menjadi penguasa pertama dalam sistem kediktatoran proletar Rusia, ternyata tidak kalah otoriternya dari Tzar.

Dalam kaitan ini penulis buku Ideology and Utopia itu mengatakan bahwa negara memang sering ditakdirkan pergi ke tempat lain dan tidak terelakkan harus diperintah oleh segelintir manusia atau seorang pemimpin. Seharusnya pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang seperti Marx ialah bagaimana dapat dijamin segelintir orang ini mampu menampung aspirasi masyarakat dan tidak menyimpang dari cita-cita masyarakat yang mendukung pemerintahannya?

Dalam kaitan ini sangat relevan penuturan Iqbal dalam sajaknya “Parlemen Setan” (1932):

(setan berkata)… yang tampak di muka bumi ini

Hanya rimbunan daun membungkus nafsu negara dunia

Bukankah otokrasi telah kuberi baju demokrasi?

Apabila manusia mau bercermin dan

Mengamati benar-benar, ia akan mengerti

Tujuan kekuasan dan penguasaan dunia

Berada di tempat lain. Ia tidak semakin kokoh

Atau rapuh disebabkan lenyapnya raja-raja dan sultan

Pun tidak peduli apa ada parlemen

Atau monarki masih bertahta

Mari kita amati di tempat lain:

Tiran sedang lahir di mana-mana!

Apa kau tidak melihat pemerintahan demokrasi di Barat

Yang dari jauh nampak cerah? Jiwa mereka

Sebenarnya lebih kelam dari Jengis Khan

(Djohan Effendy & Abdul Hadi W. M. 1987:72)

Kritik terhadap scientisme dan aliran pemikiran yang tumbuh darinya sebenarnya telah banyak dikemukakan, misalnya oleh Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man dan Erich Fromm dalam Escape from Freedom dan Man Alone. Munculnya teori Max Weber dalam sosiologi pada tahun 1930an tentang hubungan kapitalisme dan ethos Prostetanisme juga demikian. Dengan berpaling idealisme Hegel, Max Weber mengembalikan peranan penting ide dan kesadaran manusia sebagai faktor yang sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat dan sejarahnya. Di bidang fisika beberapa kekeliruan paradigma klasik juga telah diakui, khususnya dengan munculnya teori relatiivitas Einstein dan teori kuantum. Namun hingga akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini, pengaruh scientisme belum juga pudar di lingkungan akademisi dan sarjana kita, kalau bukannya masih kuat.

Buku-buku yang ditulis beberapa sarjana Amerika seperti The End of Ideology (Daniel Bell), The Third Wave (Alivin Toffler), The End of History (Fukuyama), Megtrends (Naisbit) dan lain-lain adalah contoh lain dari rangkaian panjang perjalanan Scientisme dalam sejarah peradaban modern. Pengaruh buku-buku ini juga masih ketara hingga kini dan sering dibaca tanpa sikap yang kritis. Begitu pula dengan pandangan para scientis seperti Jacques Monod, Peter Medawar, Stephen Hawking dan lain-lain, yang dibela mati-matian oleh para pengagumnya.

V

Kini akan kami bahas aliran pemikiran yang disebut relativisme kultural. Tidak dapat dipungkiri aliran ini lahir dari buaian peradaban modern yang didasarkan atas fundasi scientisme, rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusonisme dan hedonisme material. Sebagai aliran pemikiran ia mulai tumbuh pesat pada akhir abad ke-19, dan pada mulanya terutama bertalian dengan masalah etika, agama dan kebudayaan. Pada abad ke-20 dia mendapat dukungan dari ahli-ahli anthropologi dan ilmuwan humaniora seperti Ruth Benedict, Edward Westermarck, Hans Reihenbach dan lain-lain. Pemikiran posmodernisme yang muncul pada awal 1970an, yang terutama didukung oleh para budayawan, kritikus seni dan sastra, seperti Lyotard, Fucoult, Derrida, Paul de Man, Deleuze dan lain-lain, merupakan rangkaian lebih jauh lagi dari sejarah relativisme kultural.

Akar tumbuhnya relativisme kultural terutama ialah keadaan masyarakat di Eropah pada abad ke-19 M, dan kemudian juga berjangkit ke Amerika dan Asia, yaitu pertentangan yang sengit antara berbagai faham politik, eknomi, falsafah, kebudayaan dan kemasyarakatan. Disebabkan begitu banyaknya faham yang berkembang maka timbullah pemikiran dari beberapa ahli falsafah untuk berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada faham yang seluruhnya benar. Keadaan politik di Eropah pada abad ke-19, di mana negara-negara yang ada di situ kebanyakan masih diperintah oleh raja-raja yang menjalankan pemerintahan secara otoriter dan absolut; juga mempengaruhi tumbuhnya faham relativisme kultural. Dalam kenyataan faham ini cukup ampuh untuk digunakan sebagai alat melawan sistem pemerintahan dan ideologi yang didasarkan pada absolutisme.

Sikap pragmatis, dorongan hedonisme material yang berlebihan, juga menyuburkan tumbuhnya relativisme kultural. Daripada menganut kepercayaan dan pandangan hidup yang susah dijalankan, walaupun masuk akal dan mengandung kebenaran; akan lebih baik memilih pandangan hidup yang bersahaja asal saja dapat memuaskan ambisi seperti memperoleh jabatan tinggi dalam pemerintahan dan kedudukan penting dalam masyarakat. Kebenaran di lapangan politik dan falsafah kemudian juga dipandang relatif.

Faktor lain yang tidak kalah menonjolnya dalam menyuburkan relavisme kultural, seperti dikatakan Abraham Edel, ialah toleransi berlebihan terhadap kenakaragam sistem kepercayaan dan budaya yang didasarkan pada sikap masa bodoh yang berlebihan pula. Semua bentuk kepercayaan dan kebudayaan sudah tidak dapat dilihat batas-batas benar dan tidak benarnya. Meskipun ada sistem kepercayaan dan kebudayaan yang memperbolehkan perbuatan tidak manusiawi, dan menyesatkan secara moral, masih saja kaum relativis masa bodoh memandangnya dengan sikap toleran.

Dalam bukunya Ethical Judgment (1955) Edel merinci beberapa faktor suburnya relativisme kultural pada abad ke-20. Pertama-tama, pandangan bahwa peradaban dan kebudayaan, begitu pula agama, sebenarnya hanya buatan manusia. Dan manusia, menurut Darwin, adalah bagian dari dunia hewan. Kebenaran tidak pernah diperoleh manusia dari Tuhan, karena Tuhan adalah Yang Tidak Dikenal serta nun jauh di sana dan tidak pernah ada hubungannya dengan manusia. Kedua, dalam kehidupan politik, manusia modern mengukur baik dan buruknya tindakan politik hanya berdasarkan ukuran dimilikinya kekuasaan. Cara pandang ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu politik itu sendiri. Sejak Machiavelli sampai Marx dan Lenin, terus hingga masa kini, yang dijadikan perhatian ialah bagaimana merebut dan meraih kekuasaan. Kekuasaan dijadikan tujuan dan dipergunakan sebagai sarana dalam upaya memahami perjuangan manusia di lapangan sosial. Teori ekonomi dan pandangan psikologi modern juga tidak kalah besarnya dalam ikut menyuburkan relativisme kultural, seperti misalnya teori Pavlov, Karen Horney dan Abram Kardiner sebagaimana telah dikemukakan.

Relativisme kultural juga muncul karena manusia tidak lagi mengetahui jalan yang bisa menghubungkan dirinya dengan sumber-sumber kebenaran, sedangkan citra dirinya dan hubungannya dengan sumber-sumber kebenaran telah dikaburkan oleh pandangan yang menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari hewan bahkan benda. Krisis manusia modern, kata Cassirer, berakar dalam krisis pengetahuan manusia modern mengenai dirinya. Falsafah modern sendiri dimulai dengan prinsip bahwa yang paling penting adalah kewujudan manusia itu sendiri. Namun kemajuan ilmu pengetahuan, termasuk sosiologi dan psikologi, membuat banyak orang sukar menerima perlunya manusia menghargai martabat manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi dan kodratnya yang tidak bisa disejajarkan dengan kodrat hewan dan benda-benda.

Untungnya di Barat sendiri dewasa ini kian disadari bahwa ambivalensi peradaban modern dan lingkaran setan krisis yang membelit kehidupan umat manusia sebagian besarnya bersumber dari watak kebudayaan dan peradaban modern itu sendiri. Bukan terutama disebabkan oleh agama, mitologi lama ataupun doktrin metafisika sebagaimana yang diduga semula, walaupun dalam kenyataan kecenderungan legalis formal pelaksanaan ajaran agama dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalamnya, ikut memberikan kontribusi bagi munculnya kesukaran-kesukaran yang dihadapi masyarakat masa kini.

Kami ingin mengutip pengakuan Andre Malraux, seorang sastrawan dan filosof Perancis terkemuka, yang disampaikan kepada Jawaharlal Nehru pada akhir tahun 1950an dan dikemukakan ulang oleh Malraux dalam esainya yang dimuat majalah Encounter (Januari 1969). “Peradaban kami pada abad ke-20 ini,” katanya, “adalah peradaban pertama yang tidak memiliki keselarasan dengan dirinya sendiri. Di dalamnya tidak ada ruang bagi munculnya rasa kebersamaan dan keakraban antara manusia dan alam, manusia dengan Tuhan. Mesin-mesin telah menjelma simbol-simbol besar dan di tengah-tengahnya manusia tidak lagi memiliki arti dan makna. Peradaban scientifik bukan peradaban religius. Dan apabila peradaban tidak religius, maka harus menemukan jalan dan tujuannya tersendiri agar dapat melindungi dirinya menghadapi dirinya sendiri.”

Berangkat dari pembahasan yang telah dibeberkan, dapatlah ditarik kesimpulan betapa pentingnya disiplin-disiplin seperti falsafah, ilmu agama dan humaniora atau ilmu-ilmu kebudayaan, termasuk yang berasal dari khazanah intelektual Timur dan Islam; dikaji dan diajarkan lebih bersungguh-sungguh di lembaga-lembaga pendidikan menengah dan tinggi kita. Melalui kajian yang mendalam terhadap disiplin-disiplin ini bangsa kita dapat membekali dirinya secara lebih baik dalam perjalanannya menuju masa depan yang kian tidak menentu. Sebab untuk dapat menentukan arahnya ke depan yang lebih baik dan cerah, tidak mungkin suatu bangsa dapat melakukannya tanpa terlebih dahulu merubah pandangan dunia (weltanschauung) dan falsafah hidupnya, pola pikir dan orientasi budayanya.

Tanpa falsafah hidup dan pandangan dunia yang otentik, tanpa pola pikir dan orientasi budaya yang jelas, bangsa ini hanya akan tetap menjadi mangsa permainan kekuatan-kekuatan besar yang saling bersaing menentukan arah peradaban global di bidang ekonomi, politik, ideologi dan kebudayaan. Untuk itu pula sistem pendidikan kita, metode pengajaran, serta susunan dan materi kurikulumnya harus diperbaharui dan ditingkatkan mutunya. Yang tidak kalah pentingnya lagi ialah bagaimana mendidik generasi masa depan yang memiliki jati diri dan mengenal kebudayaan bangsanya sendiri, khususnya khazanah intelektualnya.

Daftar Pustaka

-Cassirer, Ernst (1955). The Philosophy of the Enlightenment. Boston: Beacon Press.

-Djohan Effendy & Abdul Hadi W. M. (1987). Iqbal, Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya. Jakarta: Pantja Simpati.

-Edel, A. ((1955). Ethical Judgment. Illinois: Free Press.

-Gulzar Haider (1985). “Utopianisme and Islamic Ideals”. Inquiry, vol. 2 No. 9, September:46-52.

-Ionesco, Eugene (1972).”The Facing Inferno”. Encounter, November 1972:3-10.

-Irvine, William (1956). Apes, Angels and Victorians: A Joint Biography of Darwin and Huxley. London: Readers Union.

-Kauffman, Walter (1968). The Portable of Nietzsche. Middlesex England: Penguin Books.

-Mannheim, Karl (1950). Man and Society in an Age of Reconstruction. New York: Harcourt, Brace.

——————– (1959). Ideology and Utopia: An Iintroduciton tothe Sociology of Knowledge. New York: Harcourt, Brace.

-Maritain, Jacques (1944). The Dream of Descartes. New York: Philosophical Library.

-Mertineau, Harriet (1943). The Positive Philosopy of August Comte. London: University Press.

-Matson, Floyd (1966). The Broken Image: Man, Science and Society. Garden City new York: Double Day & Company Inc.

-Muller, Herbet J. (1964). Science and Criticism: The Humanistic Tradition in Contemporary Thought. New Haven and Londo: Yale University Press.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post