Oleh; Syukri Rifai, S.Pd.I
- A. PENDAHULUAN
Fenomena agama adalah fenomena
universal manusia. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi
dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam
masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan
menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat,
maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai
salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan
sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu
faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan
realitas sosial yang lebih lengkap.
Dalam buku Seven Theories of
Religion, Daniel L. Pals[1] menyatakan bahwa pada awalnya
orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara
ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama tidak bisa disinkronkan. Kasus seperti
ini juga terjadi di Indonesia pada awal tahun 70-an, di mana penelitian agama
masih dianggap sesuatu yang tabu. Kebanyakan orang berkata: mengapa agama yang
sudah begitu mapan mau diteliti lagi, agama adalah wahyu Allah yang tidak bisa
diutak-atik.
Namun seiring dengan perkembangan
zaman, akhirnya sebagian besar orang dapat memahami bahwa agama bisa diteliti
tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Kini, penelitian terhadap
agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang “berlomba-lomba”melakukannya
dengan berbagai pendekatan.
Agama merupakan suatu sistem yang
terdiri atas kompleksitas unit yang saling terkait antara satu dengan lainnya.
Sehingga hal itu berpengaruh terhadap bagaimana cara orang memandang dan
meneliti, termasuk dalam memilah-milah metodologinya.
Meskipun demikian, salah satu cara
pemilahan terhadap jenis-jenis metodologi studi agama dapat dilakukan dengan
menguraikan unsur apa saja yang terdapat dalam agama. Kalangan akademik
memetakan unsur-unsur dalam agama dengan istilah 4 C: Canon,
Cault, Community, dan Culture. Canon adalah unsur agama yang berwujud
kumpulan ajaran atau doktrin yang menjadi pegangan oleh setiap pemeluk
agama dalam sebuah kitab suci, misalnya al-Qur’an, Injil, Zabur, Torah dll. Cault
merupakan unsur agama yang berupa imam, nabi,pemimpin atau tokoh
yang menjadi panutan bagi suatu komunitas agama. Community merujuk pada
kumpulan, masyarakat atau organisasi yang menjadi wadah bagi para penganut
agama tertentu. Culture yang terjemahannya adalah budaya merujuk pada
sisi ekspresi keberagamaan seseorang atau suatu masyarakat.[2]
Dari 4C di atas, dapat
dilakukan pemetaan metodologi studi agama. Ketika seseorang melakukan
penelitian agama yang mengambil canon sebagai obyeknya, maka berarti dia
berusaha mencari makna di balik statemen-statemen dalam kitab suci atau mungkin
melakukan interpretasi bahkan kritik. Ini artinya orang tersebut telah
melakukan penelitian (studi) normatif atau filosofis terhadap
agama. Bisa juga disebut sebagai kajian teks jika kitab suci tersebut
diposisikan sebagai kumpulan statemen yang bebas.
Sedangkan jika seseorang melakukan
penelitian terhadap sisi cault dari agama, berusaha mencari tahu
bagaimana perilaku para pemimpin dan pengaruhnya, bagaimana perlakuan umat
terhadap pemimpin agama dan seterusnya. Studi yang demikian dapat dikelompokkan
ke dalam kajian antropologi agama.
Lain hanya jika yang dijadikan obyek
penelitian adalah community dari agama. Maka penelitian tersebut dapat
dikategorikan ke dalam kajian sosiologi agama karena meneliti komunitas,
masyarakat dan organisasi-organisasi keagamaan. Jika penelitian dilakukan
terhadap unsur culture (budaya) agama, maka penelitian tersebut disebut
sebagai kajian budaya agama.[3]
- B. MAKNA PENELITIAN
ANTROPOLOGI AGAMA
Pernyataan bahwa agama adalah suatu
fenomena kultural di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama
tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik
keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan
kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya.[4] Pertemuan antara doktrin agama
dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam
Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan
tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari
keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan
realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas
yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas
budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan
dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga
memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam
wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia.
Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan
manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi
Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi
manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang
direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan
interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan
budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat
menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu
masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan
Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh
budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama
yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan
penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama
sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang
mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi
mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami
perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan
komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya
antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi
sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa
pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena
konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan
simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Antropologi adalah salah satu disiplin
ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada
manusia. Kajian antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada zaman
kolonialisme di era penjajahan yang dilakukan bangsa Barat terhadap
bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin serta suku Indian. Selain
menjajah, mereka juga menyebarkan agama Nasrani. Setiap daerah jajahan,
ditugaskan pegawai kolonial dan missionaris, selain melaksanakan tugasnya,
mereka juga membuat laporan mengenai bahasa, ras, adat istiadat,
upacara-upacara, sistem kekerabatan dan lainnya yang dimanfaatkan untuk
kepentingan jajahan.
Perhatian serius terhadap antropologi
dimulai pada abad 19. Pada abad ini, antropologi sudah digunakan sebagai
pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal usul manusia. Penelitian
antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga
binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti
masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive).
Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi.[5]
Antropolog pada masa itu beranggapan
bahwa seluruh masyarakat manusia tertata dalam keteraturan seolah sebagai
eskalator historis raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap bahwa mereka
sudah menempati posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada
pada posisi tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada
posisi bawah. Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin
tentang evolusi biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para
fundamentalis populis di USA.
Salah satu konsep kunci terpenting
dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik
sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik
yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para
antropolog harus melihat agama dan praktik pertanian, kekeluargaan, politik,
magic, dan pengobatan secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak bisa dilihat
sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial
lainnya.
Melalui pendekatan antropologi sosok
agama yang berada pada dataran empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan
latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi
berupaya melihat antara hubungan agama dengan berbagai pranata sosial yang
terjadi di masyarakat. Penelitian hubungan antara agama dan ekonomi melahirkan
beberapa teori yang cukup menggugah minat para peneliti agama. Dalam berbagai
penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif
antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Menurut kesimpulan
penelitian antropologi, golongan masyarakat kurang mampu dan golongan miskin
lain pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat
mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang
sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan pihaknya.
Dengan menggunakan pendekatan dan
perspektif antropologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin
dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah
terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang
mendukung keberadaannya. Dengan demikian, prilaku keberagamaan seseorang pada
dasarnya juga tidak terlepas dari interaksi simbolik yang dilakukan oleh
individu.[6] Inilah makna dari penelitian
antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan.
- C. MODEL PENELITIAN
ANTROPOLOGI AGAMA
Penelitian di bidang antropologi agama
antara lain dilakukan oleh seorang antropolog bernama Clifford Geertz pada
tahun 1950-an. Hasil penelitiannya itu telah dituliskan dalam buku berjudul The
Religion Of Java. Model penelitian yang dilakukan Geertz adalah penelitian
lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data
yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan, survey, dan penelitian Grounded
Research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan
masyarakat yang ditelitinya.
Dari segi waktu yang digunakan untuk
penelitian tersebut selama tiga tahap. Tahap pertama, antara
September 1951 sampai 1952, persiapan yang intensif dalam bahasa Indonesia
(yakni melayu) dilakukan di Universitas Havard, mula-mula di bawah Professor
Isadora Dyen dan kemudian di bawah Tuan Rufus Hendon, yang kemudian hari
menjadi direktur proyek, dengan bantuan orang-orang Indonesia. Waktu antara
bulan juli sampai Oktober 1952 dipergunakan di Negeri Belanda, mewawancarai
sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang Indonesia di Universitas leiden dan di
Tropical Institut di Amsterdam.
Tahap kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953 dipergunakan terutama di
Yogyakarta, tempat ia mempelajari bahasa Jawa dan memperoleh sejumlah
pengetahuan umum mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Selama masa ini,
satu setengah bulan lamanya dihabiskan juga untuk mewawancarai
pemimpin-pemimpin agama dan politik di ibu kota Negara, Jakarta, sambil
mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi birokrasi pemerintah pada
umumnya dan Departemen Agama pada khususnya.
Tahap ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, merupakan masa penelitian lapangan
yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Ia dan istrinya sepanjang masa
itu tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung kota, rumah itu
sebenarnya tidak terletak di desa Mojokuto, tetapi di desa sebelahnya, yang
hanya bersifat kota di bagian tenggaranya.
Selanjutnya, dari segi informan yang
digunakan sebagai sampel dalam penelitiannya itu, Geertz mengatakan bahwa ia
melakukan banyak kegiatan sistematis dan lama dengan informan-informan tertentu
mengenai suatu topik, baik dirumah mereka sendiri maupun di kantor.[7]
Sedangkan pendekatan analisisnya
menggunakan kerangka teori yang terdapat dalam ilmu antropologi. Dengan
pendekatan ini, fenomena keagamaan yang terjadi di daerah Jawa dapat di
jelaskan dengan baik
Pandangan trikotomi Geertz tentang
pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap
cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan
Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial
politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz
mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada
realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok
abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat
yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi
yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang
berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu
kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai
yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar
memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil
membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas.
Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan
masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang
terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah
melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh
penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat
penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Dengan memperhatikan uraian tersebut
di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa model penelitian antropologi agama
yang dilakukan Geertz dapat di jadikan model atau bahan perbandingan bagi para
peneliti selanjutnya. Hal ini, karena secara metodologi dan konseptual
penelitian yang dilakukan Geertz tergolong penelitian yang lengkap dan memenuhi
prosedur penelitian lapangan yang baik.
- Obyek Kajian dalam Pendekatan Antropologi
Secara umum obyek kajian antropologi
dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk
manusia sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya dengan tiga
cabangnya: arkeologi, linguistik dan etnografi. Meski
antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang
manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan
para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh
antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[8]
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan
agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan
ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya
suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan
kepercayaan kepada yang sakral,[9] wilayah antropologi hanya
terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar,[10] ada lima fenomena agama yang
dapat dikaji, yaitu:
- Scripture atau naskah atau sumber ajaran
dan simbol agama.
- Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni
sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
- Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa,
perkawinan dan waris.
- Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan
semacamnya.
- Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul
dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja
Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji
dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur
budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
- 2. Kajian Antropologi dalam
Islam
Posisi penting manusia dalam Islam
juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama
Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami
manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam
kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para
antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan
membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau
mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari
yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan
teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang
terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Dengan demikian memahami Islam yang
telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami
manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan
yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari
keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh
karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat
untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan
atau dalam bahasa lainnya Islam yang menjadi gambaran sesungguhnya dari
keberagamaan manusia.
Kemudian sebagai akibat dari
pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi
kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of
meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah
aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Oleh
karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi
tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan
kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Sebagai fenomena universal yang
kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak
kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena
agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata
realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi
sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama
adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis
agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama
dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap
mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial
juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam
masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa
keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu
kecenderungan transendensi dan sekularisasi.[11]
Jika agama diperuntukkan untuk
kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga
merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah
(wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa
sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami
realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial
budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari
realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang
manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas
manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan
konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk
menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa,
Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep sabar,
Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk
pada pesan Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu
termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep
agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia
sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan
yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka
mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari
Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang
tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross
culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan
bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little
tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great
tradition.
- D. PENUTUP
Sekarang ini ada kecenderungan untuk
melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan
lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi
penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang
ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia
menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian
pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh
dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa
realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah
letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang
mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris
agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.
- E. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, dkk., Metodologi
Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Agus, Bustanuddin, Agama dalam
Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2006.
Connolly, Peter (ed.), Aneka
Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Dimyati,A., Metodologi Studi Agama:
Apa Dan Bagaimana?, STAI Mathaliul Falah (STAIMAFA) Pati Jawa Tengah,
Kamis: 15 April 2009
Ma’ruf, Jamhari, Pendekatan
Antropologi dalam Penelitian Agama, lihat di website http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp
Moleong, Lexy J., Metodologi
Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Cet. Ke-18
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi
Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
Pals, Daniel L. (ed), Seven
Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.
Suprayogo, Imam, & Tobroni, Metodologi
Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, Cet. II
[1] Daniel L. Pals (ed), Seven
Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 1
[2] A. Dimyati,Metodologi Studi
Agama: Apa Dan Bagaimana?, makalah disampaikan dalam kuliah perdana
Diskusi Rutin UKM Pengembangan Intelektual Mahasiswa STAI Mathaliul Falah
(STAIMAFA) Pati Jawa Tengah, Kamis: 15 April 2009, Jam 13.00 WIB
[3] A. Dimyati, Metodologi
Studi Agama: Apa dan…
[4] Imam Suprayogo & Tobroni, Metodologi
Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, Cet. II, hlm. 62
[5] David N. Gellner dalam Peter
Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS,
2002), hlm. 15
[6] Lebih lanjut tentang
penelitian ‘interaksi simbolik’ ini, lihat Lexy J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Cet. Ke-18, hlm.
10-13
[7] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, h. 36-37
[8] Abd. Shomad dalam M. Amin
Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner,
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 62.
[9] Bustanuddin Agus, Agama
dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Raja
Grapindo Persada, 2006), hlm. 18.
[10] M. Atho Mudzhar, Pendekatan
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
hlm. 15
[11] Jamhari Ma’ruf, Pendekatan
Antropologi dalam Penelitian Agama, lihat di website http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp,
diunduh, 28 Februari 2011
Sumber
http://syukririfai.wordpress.com/2012/12/16/antropologidalamstudiislam/