Aqidah Wahabi dan Yahudi (Studi Perbandingan)

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada sayyidina Muhammad al Amin dan para keluarga serta para sahabatnya yang baik nan shalih.
Sebagian orang telah ditimpa musibah berupa penyimpangan aqidah, menyesatkan dan bukan bagian dari ajaran Islam. Aqidah tersebut disebarkan atas nama agama sebagai kedok untuk mengelabuhi aqidah umat.
Akidah tajsim dan tasybih telah menggelincirkan Salafi Wahabi hingga pada suatu keyakinan bahwa Allah seperti sosok seorang pemuda , berambut ikal , bergelombangdan mengenakan baju berwarna merah. Klaim ini dikatakan oleh Ibnu Abu Ya’la dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah. Abu Ya’la mendasarkan pernyataan itu kepada hadits berikut :

عن عكرمة اَن الرسول صلى الله عليه وسلّم قال: راَيت ربي عزّ وجلّ شَابا امرد جعد قطط عليه حلة حمراء

“Dari Ikrimah: bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku telah melihat Tuhanku SWT berupa seorang pemuda berambut ikal bergelombang mengenakan pakaian merah.” (Ibnu Abu Ya’la: Thabaqat al-Hanabilah, jilid 2, halaman 39)

Sungguh keji pengaruh riwayat palsu di atas. Riwayat-riwayat palsu produk pikiran Yahudi itu kini berhasil membodohi akal pikiran para pengikut Salafi Wahabi, sehingga mereka menerima keyakinan seperti itu. Tidak diragukan lagi, hadits semacam ini adalah kisah-kisah Israiliyat yang bersumber dari orang-orang Bani Israil.
  
Salafi Wahabi memperjelas hadits di atas dengan hadits lain yang bercerita tentang Allah duduk di atas kursi emas, beralaskan permadani yang juga terbuat dari emas, dalam sebuah taman hijau. Singgasana (Arsy) Allah dipikul oleh empat malaikat dalam rupa yang berbeda-beda, yaitu seorang lelakisingabanteng dan burung elang. Keyakinan aneh semacam ini dipaparkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Kitab at-Tauhid wa Itsbat Shifat ar-Rab.
  
Siapakah Ibnu Khuzaimah? Dia adalah salah seorang ulama ahli hadits yang banyak dipakai oleh Salafi Wahabi untuk dijadikan referensi. Namun setelah semakin matang dalam pengembaraan intelektualnya, Ibnu Khuzaimah menyesali diri telah menulis kitab tersebut, seperti dikisahkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dalam kitab al-Asma wa ash-Shifathal. 267

Walaupun begitu, Ibnu Taimiyah tetap mengatakan bahwa Ibnu Khuzaimah adalah ”Imamnya Para Imam” karena menurutnya telah banyak meriwayatkan hadits-hadits ’shahih’ tetang hakikah Dzat Tuhan (padahal yang sebenarnya hadits-hadits itu kenal dengan nuansa tasybih dan hikayat Israiliyat). Oleh karena itu, ketika mengomentari sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah berkata :

”Hadits ini telah diriwayatkah oleh ’Imamnya Para Imam’ yaitu Ibnu Khuzaimah dalam Kitab at-Tauhid yang telah ia syaratkan untuk tidak berhujjah di dalamnya melainkan dengan hadits-hadits yang dinukil oleh perawi adil dari perawi adil lainnya, sehingga bersambung kepada Nabi SAW”  (Ibnu Taimiyah: Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, Jilid 3, hal. 192)
  
Maka tak heran jika Ibnu Taimiyah pun berkeyakinan sama buruknya, seperti dalam Majmu’ Fatawa j. 4, h. 374,  Ibn Taimiyah berkata “Para ulama yang diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya”.
  
Awalnya Ibnu Khuzaimah sangat meyakini bahwa seluruh hadits yang ia muat di dalam kitabnya adalah shahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebab menurut pengakuannya ia telah meriwayatkanya dengan sanad bersambung melalui para periwayat yang adil dan terpercaya. Demikian sebagaimana ia tegaskan di awal kitab tersebut dan juga tertulis di cover depan kitab at-Tauhid tersebut.
  
Kitab at-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah, tahkik Muhammad Khalil Harras, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Lebanon 1403 H./1983, halaman 198.
  
عن عبد الله عمر بن الخطاب بعث الى عبد الله بن العبّاس يساله: هل راى محمّد صلى الله عليه وسلم ربّه؟ فارسل اِليه عبد الله بن العبّاس: ان نعم. فردّ عليه عبدالله بن عمر رسوله: ان كيف راه؟ قال: فارسل انّه راه في روضة خضراء دونه فِراش من ذهب على كرسي من ذهب يحمله اربعة من الملاىكة، ملك في صورة رجل، و ملك في صورة ثور وملك في صورة نسر، وملك في صورة اسد

 ..... Abdullah ibnu Umar ibnu al-Khaththab mengutus seseorang untuk menemui Ibnu Abbas menanyainya, ”Apakah Muhammad SAW melihat Tuhannya?” Maka Abdullah ibnu Abbas mengutus seseorang kepadanya untuk menjawab, ”Ya, benar. Ia melihatnya.” Abdullah ibnu Umar meminta pesuruhnya kembali kepada Ibnu Abbas untuk menanyakannya, ”Bagaimana ia melihat-Nya?”.  Ibnu Abbas menjawab melalui utusannya itu, ’Da melihat-Nya berada di sebuah taman hijau, dibawah-Nya terdapat hamparan permadani emas yang dipikul oleh empat malaikat; malaikat berupa seorang laki-laki, malaikat berupa banteng, malaikat berupa burung elang, dan malaikat berupa singa.”

(Ibnu Khuzaimah: Kitab at-Tauhid, tahkik Muhammad Khalil Harras, Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, Lebanon 1403 H./1983 M, hal. 198)
Pembaca yang budiman, Ketika kami menggabungkan hadits Abu Ya’la yang telah lalu dan hadits Ibnu Khuzaimah ini (dimana keduanya telah menjadi dogma Salafi Wahabi), kami sungguh sangat terperanjat!. Kami menjumpai adanya kesamaan antara dogma Salafi Wahabi itu dengan dogma Nashrani, dalam hal ini gambar Tuhan milik mereka. Sebuah gambar yang mengilustrasikan tentang hakikat Tuhan mereka, Yesus Kristus.
Lukisan itu sama persis dengan apa yang digambarkan oleh Salafi Wahabi, yaitu: seorangpemuda , berambut ikal bergelombang mengenakan pakaian merah, sedang duduk di atas kursi emas di taman hijau dibawah-Nya hamparan permadani emas yang dipikul oleh empat malaikat berupa seorang laki-lakibanteng (sapi hutan)burung elang, dansinga.

Oleh karenanya, sudah selayaknya kita meragukan dogma tajsim dan tasybih kaum Salafi Wahabi, sebag tajsim dan tasybih itu sangat diwanti-wanti dan dilarang dalam Islam. Terkadang, kaum Salafi Wahabi masih saja mengelak dan memutar kata dari tuduhan tajsim ini. Namun, jika yang demikian bukan tajsim, lalu yang bagaimana lagi yang dinamakan tajsim? Berhati-hatilah wahai umat Islam dari mengikuti faham mereka ini agar kita tidak terperosok dalam kemusyrikan dan kekafiran.
  
Namun sayangnya, semakin mereka dikritik, maka akan semakin keras menentang (mungkin karena memang seperti itulah watak asli mereka). Mereka merasa paling benar. Nyata-nyata mereka yang keliru, tetapi malah mereka yang bersikap lebih keras kepada umat Islam yang coba meluruskan, lalu menudingkan tuduhan kafir. Dalam buku mereka, Halaqat Mamnu’ah karangan Hisyam al-Aqqad dinyatakan:

من فسّر اِستوى باستولى فهو كافر

”Barang siapa yang menafsirkan kata istawa dengan istawla (menguasai), maka dia kafir.”

Dari pemaparan ringkas di atas, Anda dapat mengerti bagaimana kualitas akal pikiran sebagian ulama Mujassimah yang menjadi rujukan Salafi Wahabi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu al-Jauzi mensifati mereka sebagai para ahli hadits dungu. Adakah kedunguan yang melebihi kedunguan kaum yang sesekali meyakini bahwa Allah SWT duduk di sebuah kursi yang dipikul oleh empat malaikat dalam rupa berbeda-beda, sesekali meyakini bahwa Allah SWT bersemayam di atas Arasy-Nya yang ditegakkan di atas punggung delapan ekor banteng yang mengapung di atas air di sebuah rumah di atas langit ketujuh, dan sesekali meyakini bahwa Allah SWT duduk berselonjor sambil meletakkan salah satu kaki-Nyadi atas kaki-Nya yang lain? Itu semua adalah hadits-hadits palsu buatan Bani Israil yang dikenal riwayat-riwayat Israiliyat. Masihkah Salafi Wahabi tidak menyadarinya, melainkan malah menganggap dirinya yang paling benar?. La haula wa la quwwata ill billah. Semoga Allah mengilhamkan kepada kita kemurnian akidah dan kesucian keyakinan tentang sifat-sifat-Nya yang Maha Suci serta kematangan logika.
Ketahuilah bahwa aqidah umat Islam baik yang salaf maupun khalaf meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala pencipta alam semesta ini. Allah tidak membutuhkan selainNya maha kaya dari segala sesuatu. Setiap kita membutuhkan kepada Allah, dalam sekecil apapun pasti kita membutuhkan pertolonganNya. Allah ta’ala tidak membutuhkan seorangpun dari makhlukNya. Allah tidak mengambil manfaat dari ketaatan hambaNya dan juga tidak takut bahaya atas kemaksiatan mereka. Tuhan kita tidak membutuhkan tempat untuk ditempati, Dia bukan jisim dan bukan jauhar (benda). Setiap gerakan, diam, pergi, datang, berada pada tempat, berkumpul dan berpisah, dekat dan jauh dari segi jarak, melekat dan berpisah, berbentuk, jasad, gambar, bertempat, ukuran, sisi-sisi, batas akhir dan arah seluruhnya tidak boleh disifatkan pada Allah ta’ala, karena keseluruhannya mengharuskan ukuran, batas akhir dan bentuk sedangkan sesuatu yang memiliki ukuran atau bentuk pasti makhluk. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ (القمر: 49)
Maknanya: “Dan segala sesuatu diciptakan Allah dengan ada ukurannya”.

Setiap sesuatu yang terbersit dalam benak berupa panjang, lebar, kedalaman, warna, dan bentuk maka niscaya pencipta alam semesta berbeda dengan itu semua. Allah ta’ala mustahil mempunyai sifat yang sama dengan sifat benda, ukuran, dan tempat karena Dzat yang tidak ada serupaannya tidak boleh dikatakan bagaimana Dia, Dzat yang tidak memiliki bilangan tidak dikatakan berapa Dia, Dzat yang tidak ada permulaan baginya tidak dikatakan tentangnya dari apa Dia, dan Dzat yang ada tanpa tempat tidak dikatakan di mana Dia. Sesungguhnya Dzat yang menciptakan tempat tidak dikatakan di mana, dan Dzat yang menciptakan sifat makhluk tidak dikatakan bagaimana.
Allah ta’ala maha suci dari sifat membutuhkan, lemah, dan sifat yang menunjukkan ketidak sempurnaan. Maha suci dari anggota badan dan alat, anggota badan yang kecil (lisan, mata, telinga dll), diam, bergerak, tidak layak bagi Allah ukuran dan batasan, Allah tidak diliputi oleh bumi-bumi ataupun langit-langit, tidak boleh baginya warna dan persentuhan dan tidak berlaku baginya zaman dan waktu. Allah tidak berlaku bagiNya berkurang dan bertambah, tidak diliputi oleh arah yang enam sebagaimana yang dimiliki keseluruhan makhluk. Allah ada tanpa batasan, disifati tanpa sifat makhluk, tidak tergambarkan oleh benak, Dzat yang tidak dapat dipikirkan oleh akal, dan tidak menyerupai manusia. Dia ada tanpa ada yang menyerupaiNya satupun dari makhlukNya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala pencipta alam semesta seluruhnya, alam atas dan bawah, bumi dan langit, maha kuasa terhadap sesuatu yang dikehendaki Nya, melakukan sesuatu berdasarkan apa yang Ia kehendaki, ada sebelum adanya makhluk tidak ada bagiNya sebelum dan tidak setelah, tidak berada di atas juga tidak di bawah, tidak di kanan juga tidak di kiri, tidak di depan dan tidak di belakang, bukan keseluruhan juga bukan sebagian, tidak berukuran panjang dan tidak lebar. Allah ada tanpa tempat, Dialah yang menciptakan alam dan mengatur zaman, tidak berada pada satu tempat dan tidak terikat oleh zaman Allah tidak mempunyai batasan sehingga dapat dibatasi, bukan sesuatu yang bisa diraba sehingga bisa disentuh, Dia tidak bisa dipegang, disentuh dan diraba.
Setiap sifat pada jisim dan benda mustahil bagi Allah ta’ala. Dan setiap sifat yang termaktub dalam al Qur’an atau sunnah sebagai sifat Allah ta’ala maka kita meyakininya sebagaimana adanya dengan makna yang layak bagi Allah ta’ala tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa serupaan.
Tidak diperbolehkan memahami ayat dan hadits mutasyabihat secara dhahirnya, barang siapa yang melakukan itu maka ia telah mendustakan al Qur’an dan keluar dari ijma’ umat Islam.
Syaikh al Islam al Hafidz al Baihaqi –semoga Allah merahmatinya- mengatakan tentang hal itu: “Secara umum wajib diketahui bahwa istiwa’ Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah istiwa’ lurus dari bengkok, tidak bersemayam pada suatu tempat, dan tidak menempel pada sesuatu dari makhlukNya akan tetapi Allah istawa ‘ala al Arsy sebagaimana Dia kabarkan tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa tempat. Maji’Nya bukan datang dari satu tempat ke tempat lain dan bukan bergerak. Nuzulnya bukan dengan berpindah, Dzatnya bukanlah jisim, wajhNya bukanlah bentuk/gambar, yadNya bukanlah anggota badan dan bahwa ‘ain Nya bukanlah kelopak mata. Sifat-sifat ini tauqifi, maka kita mengimaninya dan menafikan penyerupaannya dengan sifat makhluk. Allah ta’ala telah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ (الشورى: 11) 
Maknanya: “Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dari satu segi maupun semua segi”.

Allah juga berfirman:
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ (الإخلاص: 4)
Maknanya: “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Allah juga berfirman:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (مريم: 65)
Maknanya: Tidak ada serupa bagi-Nya (Allah).[1]

Qadhi ‘Iyadh al Maliki menyebutkan bahwasanya tidak ada perbedaan pendapat di antara umat Islam seluruhnya baik ahli fikihnya, ahli haditsnya, ahli kalamnya, yang berilmu dan atau yang hanya muqallid bahwa makna-makna dhahir ayat yang menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta’ala:
ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ (الملك: 16)
dan semacamnya, bukan diartikan secara dhahirnya, akan tetapi harus ditakwil sebagaimana ijma’ para ulama.[2]

Ibn Al Jauzi al Hanbali:
وَإِنَّمَا تُضْرَبُ الأَمْثَالُ لِمَنْ لَهُ أَمْثَالٌ كَيْفَ يُقَالُ لَهُ كَيْفَ وَالْكَيْفُ فِي حَقِّهِ مُحَالٌ أَنَّى تَتَخَيَّلُهُ الأَوْهَامُ وَكَيْفَ تَحُدُّهُ العُقُولُ
“Yang diserupakan adalah sesuatu yang memiliki serupaan, ditanya bagaimana bagi yang mempunyai kaif (sifat makhluk) dan itu mustahil bagi Allah, bagaimana mungkin dapat dibayangkan dan dipikirkan”.

Beliau juga mengatakan:
مَا عَرَفَهُ مَنْ كَيَّفَهُ وَلاَ وَحَّدَهُ مَنْ مَثَّلَهُ وَلاَ عَبَدَهُ مَنْ شَبَّهَهُ الْمُشَبِّهُ أَعْشَى وَالْمُعَطِّلُ أَعْمَى
“Tidaklah mengenal Allah orang yang mensifatiNya dengan sifat makhluk, tidaklah metauhidkanNya orang yang menyerupakan-Nya, tidaklah menyembahNya orang yang mensekutukanNya, orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya bagaikan orang yang tidak melihat di malam hari dan orang yang mengingkariNya bagaikan orang buta”.[3]

Dalam kitab al Fatawa al Hindiyah disebutkan:
يَكْفُرُ بِإِثْبَاتِ الْمَكَانِ للهِ تَعَالَى 
“Orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta’ala maka ia telah kafir.”[4]

Dalam kitab al Minhaj al Qawim Syarh Syihab al Din Ahmad Ibn Hajar al Haitami ‘ala al Muqaddimah al Hadramiyah disebutkan:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْقَرَافِيَّ وَغَيْرَهُ حَكَوْا عَنِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَ أَحْمَدَ وَأَبِي حَنِيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمُ الْقَوْلَ بِكُفْرِ الْقَائِلِيْنَ بِالْجِهَةِ وَالتَّجْسِيْمِ وَهُمْ حَقِيْقُوْنَ بِذلِكَ
“Dan ketahuilah bahwa al Qarafi[5] dan lainnya meriwayatkan dari as Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -semoga Allah meridhai mereka- pendapat atas kekufuran orang-orang yang mengatakan Allah berarah dan berjisim dan mereka benar dalam hal itu”.”[6]

Senada dengan pernyataan di atas, perkataan imam Ja’far as Shadiq –semoga Allah meridhainya-:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللهَ فِي شَىْءٍ أَوْ عَلَى شَىْءٍ أَوْ مِنْ شَىءٍ فَقَدْ أَشْرَكَ إِذْ لَوْكَانَ فِي شَىْءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْكَانَ عَلَى شَىْءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا
“Barang siapa yang menyangka bahwa Allah dalam sesuatu atau di atas sesuatu atau dari sesuatu maka dia telah syirik karena apabila berada di dalam sesuatu maka Ia terbatas dan apabila di atas sesuatu berarti Ia terangkat dan apabila dari sesuatu maka Ia makhluk”.[7]

Inilah aqidah yang benar, ijma’ ulama dalam hal ini juga dikutip oleh imam al Haramain Abul Ma’ali Abdul Malik[8] dalam kitabnya al Irsyad, dia mengatakan:
مَذْهَبُ أَهْلِ الْحَقِّ قَاطِبَةً أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَتَعَالَى عَنِ التَّحَيُّزِ وَالتَّخَصُّصِ بِالْجِهَاتِ
“Madzhab Ahlussunnah seluruhnya bahwa Allah subahanahu wa ta’ala maha suci dari tempat dan dari berada pada arah”.[9]

Al Imam al Kabir Abdul Qahir ibn Thahir at Tamimi al Baghdadi mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ
“Dan mereka (Ahlussunnah) telah berijma’ bahwasanya Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak berlaku bagiNya zaman”.[10]

Al Hafidz Abul Hasan al Asy’ari, imam Ahlussunnah Wal Jama’ah - semoga Allah meridhainya- mengatakan dalam kitabnya an Nawadir:
مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ اللهَ جِسْمٌ فَهُوَ غَيْرُ عَارِفٍ بِرَبِّهِ وَإِنَّهُ كَافِرٌ بِهِ
“Barang siapa yang meyakini bahwa Allah itu jisim maka dia tidak mengenal Tuhannya dan dia kafir kepadaNya”.[11]

Al Imam al Mutawalli as Syafi’i dalam kitabnya al Ghunyah mengatakan:
أََوْ أَثْبَتَ مَا هُوَ مَنْفِيٌّ عَنْهُ بِالإِجْمَاعِ كَالأَلْوَانِ أَوْ أَثْبَتَ لَهُ الاِتِّصَالَ وَالاِنْفِصَالَ كَانَ كَافِرًا
“Atau menetapkan sifat yang dinafikan dari Allah secara ijma’ seperti warna atau menetapkan ittishal (menempel) dan infishal (berpisah) pada Allah maka dia kafir”.[12]

Gurunya para guru sufi dan ulamanya ahli hakikat dan tarekat Sayyid Ahmad ar Rifa’i al Kabir –semoga Allah merahmatinya- mengatakan:
غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإِيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ مَكَانٍ
“Batas akhir ma’rifat kepada Allah adalah meyakini tanpa ragu akan adanya Allah ta’ala tanpa disifati dengan sifat makhluk dan ada tanpa tempat”.[13]

Syekh Abdul Ghaniy an Nabulsiy[14] mengatakan:
مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ اللهَ مَلأَ السَّمٰوَاتِ وَالأَرْضَ أَوْ أَنَّهُ جِسْمٌ قَاعِدٌ فَوْقَ الْعَرْشِ فَهُوَ كَافِرٌ وَإِنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ
“Barang siapa yang meyakini bahwa Allah memenuhi langit dan bumi atau bahwa Dia adalah jisim yang duduk di atas Arsy maka dia kafir meskipun ia menganggap dirinya muslim”.[15]

Para ulama Salaf dan khalaf telah bersepakat bahwa barang siapa yang meyakini bahwa Allah berada pada arah maka dia kafir sebagaimana dijelaskan oleh al Iraqi. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Abul Hasan al Asy’ari dan al Baqillani sebagaimana disebutkan oleh Mulla Ali al Qari.[16] Inilah aqidah ulama Islam baik salaf maupun khalaf dan ini adalah aqidah seluruh umat Islam di negara Hijaz, Indonesia, Malaysia, India, Banglades, Pakistan, Turki, Maroko, negara-negara Syam, Mesir, Yaman, Irak, Sudan, Afrika, Daghistan, Cechya, Bukhara, Jurjan, Samarqand dan lainnya. Umat Islam berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa arah dan tanpa disifati dengan sifat makhluk. Sedangkan Wahabiyah, mereka meyakini tasybih, tajsim pada Allah ta’ala seperti yang akan pembaca lihat sendiri kata-kata keji yang mereka gunakan atau yang akan pembaca ketahui setelah membaca keseluruhan pembahasan ini persamaan aqidah dan pemikiran antara Yahudi dan Wahabiyah. Bahkan dengan kata-kata yang sama ketika menisbatkan duduk, suara dan mulut kepada Allah, semoga Allah melindungi kita.
Salah seorang pengikut mereka yang bernama Abdurrahman ibn Said Dimasyqiyah berkebangsaan Lebanon dalam sebagian kitabnya yang dicetak dengan dana dari pemuka Wahabiyah terang-terangan mengatakan bahwasanya tidak boleh dikatakan bahwa Allah tidak berubah dan menuduh orang yang mengatakan itu sebagai ahli bid’ah. Semoga Alah melindungi kita dari pemahaman picik mereka. Setiap orang yang berakal mengetahui bahwa berubah adalah bukti baharu. Bahkan para ulama mengatakan bahwa berubah adalah tanda paling nyata bahwa sesuatu itu makhluk. Karenanya umat Islam mengatakan: “Maha suci Allah yang merubah dan Dia tidak berubah”.
Setelah penjelasan aqidah munjiah aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah tentang Allah, tiba gilirannya untuk mulai menyebutkan dan menuturkan aqidah Wahabiyah dan aqidah Yahudi disertai perbandingan di antara keduanya berdasarkan literatur mereka, agar pembaca mengetahui persamaan aqidah Wahabiyah dengan aqidah Yahudi.
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk membantah aqidah sesat wahhaby, yang mana mereka hanya mengambil makna dhahir dari ayat dan hadits mutasyabihat sehingga mereka mensifatkan Allah dgn sifat makhluq.

1. Apakah Tuhan wahaby SAKIT dan LUPA?
apakah kalian masih bersikeras menggunakan makna dhahir pada ayat/hadist mutasyabihat ini ?
- “Nasuullaha fanasiahum” (QS Attaubah:67) ,
Artinya : Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka (QS Attaubah:67) ,
- “Innaa nasiinaakum” (QS Assajadah 14) .

Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman :
” Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam: Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul “Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
Artinya : (sungguh kami telah lupa pada kalian ( QS Assajadah 14) .

2. Dalam hadits shahih muhakamat disebutkan bahwa Allah ada tanpa arah ( atas atupun bawah), kenapa kalian mengingkarinya?

Allah ada tanpa arah adalah aqidah shahih yang didukung oleh banyak ayat dan hadist muhkamat. Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash- Shifat, hlm. 506 , mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu “alayhi wa sallam:
“Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat

3. Manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘ Arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud?

Wahhaby punya keyakinan bahwa Tuhan bersemayam di ‘Arsy. Coba kalian pikirkan, manakah yang berjarak lebih dekat ke ‘Arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau sujud? Sudah tentu berdiri lebih dekat ke ‘Arsy. Jadi apabila kalian berpendapat bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy, maka dimanakah hadits yang mengatakan, “Paling dekatnya kedudukan seorang hamba dengan Tuhannya adalah apabila dia dalam keadaan sujud”.

4. Dimanakah Allah sebelum diciptakannya semua makhluq (Tempat, arah, arsy dsb) ?
 
Setelah Allah ciptakan semua makhluq ( langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana Allah? Apakah sifat dzat Allah berubah? Sebelum Allah ciptakan semua makhluq (zaman azali)….. semua makhluq tidak ada (langit,arsy,tempat, ruang,arah,cahaya, atas,bawah….semua mahkluq tdk ada,karena Allah belum menciptakannya…..) pada saat itu dimana Allah? dan setelah Allah menciptakan semua makhluq ( langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana Allah?

Ingat : Sifat Allah tetap tdk berubah. sifat Allah tdk sama dgn makhluq. Maka orang yang mengatakan tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat wajib salbiyah Allah.

Sifat Salbiyah :Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak patut untuk dinisbahkan kepada Allah. Ada 5 sifat yaitu :
- Wahdaniyah/esa ( Allah tidak banyak atau tidak terpecah-pecah – yg maknanya ada tuhan yg dilangit, ada tuhan yang di arsy, ada tuhan yang di sorga, ada tuhan yang di baitullah dsb )
- Qidam/ada sebelum semua makhluq ada ( Allah Ada sebelum tempat dan arah ada, sebelum ada ‘Arsy dan langit beserta segala isinya )
- Baqo /kekal ( Allah kekal sedangkan langit, ‘ Arsy, surga, neraka, malaikat, manusia, iblis akan di gulung/hancurkan saat Kiamat
- Mukhalafatu lil hawaditsi/berbeda dgn makhluq ( Allah beda dgn makhkuq, sedangkan yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/ makhluq )
- Qiyamuhu binafsihi tidak memerlukan apapun ( Allah tidak memerlukan tempat/arsy dsb )

5. Kenapa kalian solat masih menghadap ke kiblat, katanya Allah di atas?

Ingat Langit Hanyalah kiblat Do”a….bukan tempat bersemayam Allah….ingat : Allah ada tanpa tempat dan arah.

6. Manakah arah ATAS yang kalian maksud? Tunjukkan?

Bumi ini Bulat dan tidak ada arah atas bagi benda yang bulat, Arah atasnya orang di Indonesia adalah arah bawahnya Orang yang ada di Negara Amerika, dan sebaliknya.

7. Apakah Tuhan-Mu bergelantungan di langit pertama setiap saat?

Kalian katakan pada sepertiga malam Allah dilangit pertama bukan diatas arsy, padahal waktu bergulir setiap saat. Jika di Indonesia tengah Malam maka di Amerika adalah siang hari.

8. Makna zahir mana yg mereka katakan ” menerima secara zahir” ??

wahabi mengatakan : “Allah punya Tangan tetapi beda dengan tangan Makhluk”
 Mereka katakan mereka menerima secara zahir,lalu mereka katakan lagi bahwa yg zahir itu beda dengan zahirnya makhluk….

kami bertanya :
lalu makna zahir mana yg mereka katakan ” menerima secara zahir” ??
Inilah akidah akal akalan mereka tak ada satu orangpun salaf al shalih yg berakal seperti ini..

9. Dimanakah Tuhan kalian:
 Apakah di langit pertama (lihat hadis nuzul), di langit ( surat al mulk), diatas arsy (lihat surat ar” ad), menempel/menyatu dengan orang beriman (lihat surat albaqarah), dimana- mana/disemua arah, tanpa tempat (hadis zaman azali)?

Jika menggunakan makna dhahir ayat dan hadist maka tidak akan bisa menjawabnya dan terjerumus dalam tasybih (penyerupaan kepada makhluq). Ta”wil disni berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta”wil ayat dan hadis mutasyabihat:
Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa: 

“Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah.
(Sebagian ulama’ salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat mutasyabihah)

Dalam hadits riwayat al-Imâm Ahmad ibn Hanbal dan al-Imâm al-Hakim disebutkan bahwa  Rasulullah bersabda:
لَتُفْتَحَنّ الْقِسْطَنْطِيْنِيّةُ فَلَنِعْمَ الْأمِيْرُ أمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذلِكَ الْجَيْشُ (رَوَاهُ أحْمَد والْحَاكمُ)

Maknanya: “Kota Kostantinopel (Istanbul sekarang) benar-benar akan ditaklukan oleh seorang panglima. Panglima tersebut adalah sebaik-baiknya panglima dan sebaik-baiknya tentara” (HR Ahmad dan al-Hakim).

Hadits ini menjadi sebuah kenyataan setelah sekitar 800 tahun kemudian. Ialah ketika kota Istanbul takluk di tangan sultan Muhammad al-Fatih. Sebelum beliau, telah banyak panglima yang berusaha untuk menaklukan kota tersebut, termasuk ayah dari sultan Muhammad al-Fatih sendiri, yaitu sultan Murad ats-Tsani. Tentu tujuan mereka semua berkeinginan sebagai yang dimaksud oleh Rasulullah dalam pujiannya dalam hadits di atas. Namun ternyata hanya sultan Muhammad al-Fatih yang dapat menaklukan kota Kostantinopel hingga jatuh secara penuh ke dalam kekuasaan orang-orang Islam.

Sejarah telah mencatat bahwa sultan Muhammad al-Fatih adalah seorang Asy’ari tulen. Dalam akidah, beliau sangat kuat memegang teguh Ahlussunnah Wal jama’ah di atas madzhab Asy’ariyyah. Beliau sangat mencintai para ulama dan kaum sufi. Dalam hampir segala keputusan yang beliau tetapkan adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang telah beliau musyawarahkan dengan para ulama dan kaum sufi terkemuka. Bahkan sebelum beliau memutuskan untuk turun menaklukan kota Kostantin beliau bermusyawarah dengan guru-guru spiritualnya tersebut. Musyawarah di sini tidak hanya terbatas untuk membentuk mental dan spirit semata, namun juga pembahasan tentang metode, alat-alat perang, perbekalan dan lain sebagainya.

Kemudian salah satu senjata terpenting yang tertancap kuat dalam keyakinan sultan Muhammad al-Fatih adalah kekuatan tawassul. Karena itu, sebelum turun ke medan perang beliau melakukan tawassul dengan Rasulullah. Artinya beliau meminta kepada Allah agar diluluskan cita-citanya dengan menjadikan Rasulullah sebagai wasilah atau perantara dalam doanya. Dengan demikian hadits di atas, secara tersirat, memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa tawassul adalah sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam.

Pujian Rasulullah terhadap panglima penakluk Kostantin dalam hadits di atas adalah salah satu bukti kuat tentang  kebenaran akidah yang diyakini oleh panglima tersebut. Juga bukti kebenaran akidah dari bala tentara atau orang-orang yang saat itu bersamanya. Mereka itu semua adalah kaum Asy’ariyyah, kaum yang berkeyakinan akan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, bahwa Allah suci dari segala bentuk dan ukuran, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum yang berkeyakinan tentang disyari’atkannya tawassul, baik tawassul dengan para Nabi, maupun tawassul dengan para wali Allah atau orang-orang saleh lainnya. Karenanya, tidak sedikit dari bala tentara Sultan Muhammad al-Fatih saat itu adalah orang-orang yang berasal kalangan sufi dan para pengikut tarekat.



Catatan Kaki:
[1] Al Baihaqi, al Iqtiqad wa al Hidayah, hal. 72
[2] Disebutkan oleh al Nawawi dalam Syarh Muslim, (Beirut: Dar al Fikr), juz.5, hal.24
[3] Ibn al Jawzi al Hanbali, al Mudhisy, (Dar al Jil), hal.131
[4] Al Fatawa al Hindiyah, (Dar ihya’ al Turats al Arabi), juz.2, hal 259
[5] Al Qarafi, nama lengkapnya adalah Syihabuddin Ahmad ibn Idris ibn Abdirrahman Abul Abbas Syihabuddin as Shanhaji al Qarafi. Dilahirkan di Mesir tahun 684 H, meskipun aslinya beliau berasal dari Shanhajah Maroko. Beliau adalah seorang ahli fikih bermadzhab Maliki dan salah satu imam dalam bidang tafsir, hadits, ilmu logika, ilmu kalam, nahwu dan ushul. Di antara para gurunya adalah al ‘Iz Ibn Abdisssalam, Jamaluddin Ibn al Hajib, Syamsuddin al Idrisiy, dan lainnya. Beliau adalah pemimpin para ulama Malikiyah pada masanya dan termasuk ulama yang paling mulia pada abad ke tujuh di Mesir. Di antara karya tulisnya adalah Tanqiihul Fushul fi ikhtishari al Mahshul (ushul fiqh), Nafaisul Ushul, Anwaru al Buruq fi Anwai al Furuq, al Qawa’id as Sunniyah fi al Asrar al Fiqhiyah, Syarh at Tahdzib, al Ajwibah al Fakhirah ‘ala al As-ilah al Fajirah dan lainnya.
[6] Lihat kitabnya hal. 224
[7] Disebutkan oleh al Qusyairi dalam Risalahnya.
[8] Imam al Haramain, nama lengkapnya adalah Abdul Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad al Juwaini an Naisaburi as Syafi’i al Asy’ari. Terkenal dengan nama Abu al Ma’ali dan gelarnya Dhiyau ad-Din. Dilahirkan pada tanggal 18 Muharram tahun 419 H. bergelar Imam al Haramain karena beliau pernah tinggal di Makkah selama 4 tahun dan di Madinah untuk mengajar dan berfatwa sebelum kemudian pulang ke Naisabur untuk mengajar di Madrasah Nidzamiyah selama 30 tahun. Di antara karya tulisnya adalah al Irsyad fi al Kalam, al Irsyad fi al Ushul, al Asalib fi al Khilafat, Madarik al ‘Uqul, Nihayat al Mathlab fi Dirayati al Madzhab, al Waraqat fi al Ushul, Mughits al Khalqi fikhtiyari al Ahaq dan lainnya. Wafat pada usia 59 tahun tanggal 25 H Rabi’ul Akhir tahun 478 H dan dimakamkan di Naisabur.
[9] Imam al Haramain, al Irsyad, hal. 58
[10] Abd al Qadir al Baghdadi, al Farq bain al Firaq, hal.333
[11] Al Asy’ari, al Nawadir
[12] Disebutkan oleh al Nawawi dalam al Raudhah, (Beirut: tt), Juz. 10, hal. 64
[13] Al Rifa’i, al Burhan al Muayyad
[14] Abdul Ghani an Nabulsi, nama lengkapnya adalah Abdul Ghani ibn Ismail ibn Abdul Ghani ad Dimasyqi al Hanafi. Lahir di Damskus pada 1050 H /1641 M, sempat berpindah-pindah tempat seperti Hijaz, Mesir, Palestina sebelum kemudian menetap di Damaskus. Selain seorang ulama, beliau juga seorang sufi dan penyair yang memiliki banyak karya tulis, di antaranya Idhah al Maqshud min Wahdat al Wujud, Ta’thir al Anam fi Ta’bir al Manam, Mandzumah Asma al Husna, al Fath ar-Rabbani wa al Faidh al Rahmani, Asrar as Syari’ah dan lainnya. Wafat pada tahun 1143 H/ 1730 M di Damaskus.
[15] Al Nabulsi, al Fath al Rabbani, hal.124
[16] Lihat Mulla Ali al Qari, Syarh al Misykat, (Beirut: Dar al Fikr), Juz. 3, hal. 300
Previous Post Next Post