Seperti halnya Yeti di Himalaya dan Loch Ness di Inggris Raya, Indonesia juga memiliki mitos hingga kini masih misteri. “Sejauh ini, menurut keterangan para saksi mata yang mengaku pernah melihat kurcaci Kerinci adalah sebagai manusia yang berjalan tegap dengan tinggi sekitar 85 – 130 cm. Meski kecil, kurcaci itu berbulu lebat disekujur tubuhnya. Sangat lihai berburu binatang dan memiliki peralatan berburu berupa tombak,” ujar Ahmad, seorang jagawana di Taman Nasional Kerinci.
Kurcaci, orang pendek atau masyarakat setempat biasa menyebut Uhang Pandak adalah misteri sejarah alam terbesar di Asia. Para ahli binatang telah mendaftarkan laporan tentang kera misterius di wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat, Propinsi Jambi, lebih dari 150 tahun. Sampai hari ini, binatang yang di Kerinci dikenal sebagai “Uhang Pandak”, tetapi juga karena variasi yang membingungkan dari nama dialek setempat, sampai sekarang masih belum teridentifikasi oleh para ilmuwan.
Adapun cerita mengenai uhang pandak pertama kali ditemukan dalam catatan penjelajah Marco Polo pada 1292, saat ia berpetualang ke Asia dan sempat singgah di Sumatra. Namun sejak itu pula, banyqk orang Eropa yang meragukannya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menuduh Marco Polo hanya mengarang tentang makhluk yang disebutnya sebagai orang pendek tersebut.
Namun, catatan perjalanan Marco Polo yang dianggap hanya isapan jempol itu mendadak seperti mendapat ‘pengakuan’ dari orang-orang Belanda yang ketika itu tengah berkunjung ke Kerinci. Tepatnya pada awal 1900-an, banyak para pengelana Eropa secara berganti menyatakan pernah bertemu dengan manusia kerdil tersebut. Namun laporan yang paling menyajikan banyak bukti ilmiah adalah milik Mr. Van Heerwarden. Orang Belanda ini melakukan penjelajahan di Kerinci pada 1923. Dengan latar belakang Van Heerwarden sebagai seorang zoologiest, laporan tentang pertemuannya dengan urang pandak kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat membuat banyak orang yang skeptik menjadi berpikir ulang.
Dalam catatan perjalanan itu, Van Heerwarden mengisahkan: “Suatu hari aku bertemu dengan beberapa makhluk yang aku yakini sebagai manusia. Warna kulitnya lebih gelap dari kebanyakan orang Melayu. Beda lainnya adalah tubuhnya yang penuh dengan bulu. Namun tinggi tubuh mereka hanya sekitar tinggi anak-anak kecil yqng baru berusia 4-5 tahun. Meski bertubuh dan setinggi anak-anak, wajah mereka sudah sangat tua dengan rambut panjang sebahu.”
Sebagai ahli hewan, Heerwarden lebih lanjut membanding manusi kerdil tersebut dengan beberapa primata yang mungkin memiliki kesamaan. Namun ia berhenti pada kesimpulan; “Yang jelas mereka bukan jenis siamang atau primata lainnya. Mereka berdiri tegak dan layaknya manusia. Kemampuannya menghindar juga sangat hebat. Artinya mereka sadar dan tahu jika ada bahaya.”
Bukti kuat bahwa kurcaci Kerinci bukan siamang atau hewan primata, adalah tulisan Heerwarden pada halaman berikutnya dari laporan perjalanannya. Heerwarden menuliskan, mereka ini memperlengkapi diri dengan senjata tombak bermata batu untuk berburu binatang. Mereka juga terkoordinasi dengan bagus saat mengepung dan melumpuhkan hewan buruan mereka.
Uniknya, meski beberapa kali dilaporkan sejak ratusan tahun yang lalu, namun sampai sekarang tidak ada orang atau lembaga yang secara meyakinkan memiliki bukti otentik dari urang pandak ini. “Kalau penelitian dan syuting film dokumenter sudah banyak dilakukan. Dan kebanyakan dari peneliti itu adalah orang barat. Tapi sampai sekarang belum pernah ada irang berhasil menangkap mereka,” jelas Ahmad yang biasa mendampingi para peneliti di Taman Nasional Kerinci.
Ekspedisi pencarian Uhang Pandak sudah beberapa kali dilakukan di kawasan Kerinci, salah satunya adalah ekspedisi yang didanai oleh National Geographic Society. National Geographic sangat tertarik mengenai legenda Orang Pendek di Kerinci, Jambi, beberapa peneliti telah mereka kirimkan kesana untuk melakukan penelitian mengenai makhluk tersebut.
Walau sampai sekarang keberadaannya masih misteri bagi banyak orang tapi tidak bagi Suku Anak Dalam yang mendiami kawasan yang sama. Legenda mengenai Uhang Pandak sudah secara turun temurun dikisahkan dalam kebudayaan masyarakat Suku Anak Dalam. Bisa dibilang Suku Anak Dalam sudah terlalu lama berbagi tempat dengan para Orang Pendek di kawasan tersebut. Walaupun demikian jalinan sosial diantara mereka tidak pernah ada.
Sejak dahulu bahkan Suku Anak Dalam tidak pernah menjalin kontak langsung dengan makhluk-makhluk ini, mereka memang sering terlihat, namun tak pernah sekalipun warga dari Suku Anak Dalam dapat mendekatinya. Ada suatu kisah mengenai keputusasaan para Suku Anak Dalam yang me coba mencari tahu identitas dari. Akhluk-makhluk ini, mereka hendak menangkapnya namun selalu gagal. Pencarian lokasi dimana mereka membangun komunitas mereka di kawasan Taman Nasional juga pernah dilakukan , namun juga tidak pernah ditemukan.
Dua orang peneliti dari Inggris, Debby Martyr dan Jeremy Holden sudah lama mengabdikan dirinya untuk terus. Enerus melakukan ekspedisi terhadap eksistensi Orang Pendek yang dibiayai oleh Organisasi Flora dan Fauna Internasional. Namun, sejak pertama kali mereka datang ke Taman Nasional Kerinci sejak 1990, sejauh ini belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan