Kata “MANAQIB” berarti “Riwayat Hidup”. Penggunaan kata MANAQIB tersebut, biasanya dikaitkan dengan sejarah kehidupan seseorang yang dikenal sebagai tokoh besar pada suatu masyarakat, seperti tentang perjuangannya, silsilahnya, akhlaknya, dan lain-lain.
Sebenarnya, sejak jaman dulu (sebelum, semasa hidup, sesudah wafat) Nabi Muhammad SAW, manakiban (pembacaan manaqib) sudah ada dan diuraikan di dalam Al-Qur’an; seperti manaqib Maryam, manaqib Dzulqarnain, manaqib Ash-Habul Kahfi, dan lainnya.
Firman Allah SWT di dalam Surah Al-Mu’min, ayat 78:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.”
Firman Allah SWT di dalam Surah An-Nisaa’, ayat 164:
“Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (***
(***Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. Dalam pada itu Nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu mi’raj.
Ayat-ayat di atas apabila diteliti, maka didapat pengertian bahwa kita dianjurkan Allah SWT untuk melakukan penelitian sejarah, baik yang berasal dari Al-Qur’an, Al-Hadits, maupun sumber lain yang dapat dipercaya. Dan selanjutnya dianjurkan untuk diceritakan kepada umat (secara lisan maupun tulisan)
MANAQIBAN
Manaqiban adalah suatu bentuk kegiatan upacara pembacaan riwayat hidup seorang tokoh ulama (sufi) yang sangat kharismatik dan memiliki banyak karomah, seperti Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, Syaikh Samman, Syaikh Hasan Syadzili, dan lain sebagainya. Dengan maksud, antara lain:
[1] Untuk mencintai dan menghormati dzurriyyah Nabi Muhammad SAW. Seperti firman Allah SWT di dalam Surah Asy-Syura, ayat 23. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” Pengertian ayat tersebut, bahwa seseorang yang mencintai atau menghormati sesama keluarga sangat dipuji Allah SWT; apalagi mencintai dan menghormati keluarga nabi Muhammad SAW.
[2] Untuk mencintai para shalihin, auliya’, dan lainnya. Seperti anjuran Nabi Muhammad SAW, seperti diurai di dalam hadits “Siapa saja yang memusuhi wali-KU, maka aku umumkan perang kepadanya” (HR. Bukhory dari Abi Hurairah)
[3] Untuk meneladani perilaku kesufiannya.
Pembacaan manaqib Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, biasanya akan terbagi ke dalam beberapa episode (kisah), dan sebelum membaca ke episode berikutnya, biasanya akan diselingi dengan kalimat:
“Allahumman-syurnafahaatir-ridhwaana ‘alaiH. Wa amiddanaa bil-asrooril-latii auda’taHa ladaiiH”
Artinya: “Wahai Allah, bentangkanlah bau harum keridhoan-MU kepada Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, dan anugrahkan kepada kami berkat rahasia kewalian yang Engkau titipkan kepadanya.”
Setelah selesai pembacaan berbagai riwayat, diakhiri dengan pembacaan do’a, yang diamini oleh ma’mum (jika terdapat ma’mum).
SYAIKH ‘ABDUL QODIR JILANI
Syaikh ‘Abdul Qodir Jailani adalah seorang tokoh sufi yang lahir di dusun JILAN, Tabaritan, pada 1 Ramadhan 470H/1077 Masehi. Dan wafat pada tahun 560H/1166. dan dimakamkan di Baghdad (Irak). Catata: ada juga yang menamakan desa JILAN sebagai KAILANI/JAILANI.
Syaikh ‘Abdul Qodir Jailani adalah seorang wali qutub, juga adalah syaikhuts tsaqolain (kyainya jin dan manusia), wali yang luhur dan mulia dan ahli ma’rifat kepada Allah.
Abu Muhammad ‘Abdul Qodir Al-Jilani/Al-Kailani/Al-Jailani (Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani) adalah putera dari Abu Shaleh Bin Musa Bin Jankai Dawsat Bin ‘Abdullah Bin Yahya Az-Zahid Bin Muhammad Bin Dawud Bin Musa Bin ‘Abdullah Bin Musa Al-Juni Bin ‘Abdullah Al-Mahdli Bin Hasan Al-Mutsanna Bin Hasan As-Sibthi Bin ‘Ali Bin Abi Thalib. Dan putera dari Fatimah Az-Zahro’ puteri dari Rasulullah, Muhammad SAW.
Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, RA. Belajar ilmu Fiqh kepada Syaikh Abu Wafa ‘Ali Bin Aqil dan kepada Syaikh Abu Khoththob Al-Kalwadzani Mahfudh Bin Ahmad Al-Jalil, dan kepada Syaikh Abul Husain Muhammad Bin Al-Qdli Abi Ya’la, juga kepada Syaikh Abu Zakariya Yahya Bin Ali Al-Tibrizi. Kemudian beliau belajar thoriqoh kepada Syaikh Abu Khoiri Hammad Bin Muslim Ad-Dabbas, serta kepada Syaikh Al-Qodli Abu Sa’id Al-Mubarok.
Dari riwayat hidup (pengalaman) Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, RA yang tertuang di didalam kitab manaqib beliau, antara lain adalah:
[1] Beliau berjumpa dengan dan menjadi murid Nabi Khidir, AS. Dan Nabi Khidir, AS mensyaratkan tidak boleh sekali-kali menyimpang dari Nabi Khidir, AS. Dan apabila menyimpang, maka pertemuan akan berakhir di antara keduanya. Kemudian Nabi Khidir, AS berkata kepada Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, RA, duduklah di tempat ini. Maka Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, RA duduk di tempat yang di syaratkan Nabi Khidir, AS sampai tiga (3) tahun lamanya. Setiap tahun sekali, Nabi Khidir datang ke situ, dan berpesan: “Jangan sekali-kali meninggalkan tempatmu (ini), sampai aku datang kembali kepadamu” ***)
***)pada waktu Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, RA duduk di tempat yang disyaratkan Nabi Khidir, AS. Beliau mengalami berbagai macam godaan dari syaithan, tetapi dengan ijin Allah, beliau tetap tidak beranjak dari tempat itu (kecuali hanya ketika bersuci dan shalat).
[2] Beliau selalu bersuci (mandi wajib) dari hadats besar, walaupun dalam semalam bermimpi (sampai mengeluarkan air mani) sampai 40x.
[3] Beliau selalu bersunggu-sungguh menjaga wudlu, bahkan yang demikian tersebut menjadi kebiasaan hingga beliau wafat.
[4] Beliau, apabila selesai shalat Isya’, beliau masuk kamar pribadi, dan tidak akan keluar sebelum terbit fajar untuk dzikir.
[5] Masih banyak lagi.
Sumber bacaan: Kitab Manaqib Syaikh ‘Abdul Qodir Jilani, RA ( JawaaHirul Ma’aanii dan Babul Ma’aani)