A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya Ilmu Usul Fiqh adalah ilmu yang berdasarkan pada ijtihad para mujtahid dengan sumber utamanya al-Qu’an dan hadis yang pada akhirnya menghasilkan beberapa konklusi hukum (istinbat al-ahkam).
Perbedaan istinbat al-ahkam terjadi akibat beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut, secara internal adalah perbedaan metode ulama Usul dalam memahami makna nas, al-Qur’an dan hadis, melalui lafaz (turuq dilalah al-alfaz).
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bahasa yang nantinya dikaji dan ditinjau relasi antara lafaz dan makna sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan pendekatan lainnya dengan pendekatan syara’.
Makalah Metode Interpretasi Teks Hukum 2
Ada dua metode (manhaj) yang berkembang tentang lafaz tersebut - juga dikenal sebagai dua aliran besar dalam usul fiqh - yaitu, Metode Hanafiyah dan Metode Mutakallimin yang masing-masing memiliki rumusan tersendiri.
Penunjukkan lafadz menurut Ulama Hanafiah terbagi menjadi empat macam: dilalah ‘ibarah, dilalah isyarah, dilalah nas, dan dilalah iqtida. Apabila dua yang pertama berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (‘ibarah) maupun yang tersirat (isyarah) dari makna secara langsung, maka dua yang terakhir berusaha menemukan tujuan syar’i yang tidak tertulis dalam teks baik melalui perluasan makna teks (dilalah nas) maupun penyisipan (iqtida).
Adapun penunjukkan lafaz menurut Ulama mutakallimin dibagi menjadi dua: mantuq dan mafhum. Yakni berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (mantuq) maupun yang tersirat (mafhum). Metode kedua inilah yang menjadi kajian utama dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep mantuq dan mafhum menurut perspektif Jumhur?
2. Bangaimana analisis perbandingan dilalah al-alfaz konsep jumhur dengan konsep Hanafiyah sebelumnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mantuq
Secara bahasa, kata mantuq berasal dari kata نطق bermakna الملفوظ به / المتَكلَم به (hal yang disampaikan atau dilafalkan).[1] Secara terminologi terdapat beberapa istilah yang dimunculkan oleh ulama. Di antaranya, menurut al-Syaukani (w. 1255 H.), mantuq merupakan lafaz yang diketahui dari objek penuturan (fi mahl an-nutq), artinya, hukum yang disebutkan lafaz dan keadaan yang sebenarnya (hal min ahwalih).[2] Demikian pula, Sa’id al-Khin, mendefinisikan:
ما دل عليه اللفظ في محل النطق
Maksudnya: “Penunjukkan lafadz menurut apa yang diucapkan”.[3]
Definisi ini mengandung arti bahwa memahami suatu hukum dari apa yang langsung tersurat dalam lafaz itu, baik penyebutannya langsung atau tidak.
Dalam hazanah ilmu ushul fiqh, mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:[4]
1. Nas; yaitu suatu perkataan (lafaz) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di takwilkan atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah swt.;
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا.
Tersemahnya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S al-Baqarah: 175)
Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafaz yang jelas pengertianya pemahamamannya tanpa membutuhkan takwil (asumsi).
2. Zahir, yatiu suatu perkataan (lafaz) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain. Derajatnya di bawah makna aslinya atau majaz. Seperti firman Allah swt. ;
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء.
Terjemahnya : "Atau menyentuh perempuan". (Q.S. An-Nisa': 43)
Lafaz "al-lams" dalam ayat tersebut mempunyai dua pengertian. Secara zahir (haqiqi) lafaz "al-lams" mempunyai arti "menyentuh" dengan tangan. Jadi hukum menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhlu merupakan proses dari zahir sebuah dalil. Namun, dalam sisi yang lain lafaz "al-lams" apa bila dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya, berdasarkan ayat tersebut yang membatalkan wudhu bukan menyentuh perempuan akan tetapi men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz.[5]
Seperti contoh lain dikatakan; "Saya melihat harimau". Secara zahir (haqiqi), kata harimau mempunyai arti "hewan buas yang suka memangsa". Namun kata harimau juga mempunyai arti majaz yaitu "seorang pemberani".[6]
Selanjutnya Mutakallimin (bukan Hanafiyah) sependapat bahwa mantuq terdiri dari mantuq sarih dan gair sarih. Mantuq sarih adalah lafaz dari segi kesesuaian (mutabaqah) dan cakupan (tadammum).[7] Misalnya: Firman Allah swt. tentang riba. Mantuq sarih tersebut adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Adapun mantuq gair sarih adalah yang mengandung kemestian (iltizam), bukan kesesuaian dan cakupan.[8] Seperti Firman Allah tentang nisbah anak. Mantuq gair sarih ayat tersebut adalah bahwa anak dinisabkan kepada ayah dan ibunya dan nafkah anak adalah tanggung jawab ayahnya, bukan ibu.
Mantuq gair sarih dapat diklasifikasikan menjadi tiga pembagian:[9]
a. Dilalah Iqtida’; yang mengabstraksikan bahwa maksud pembicara tergantung pada makna di luar/sisipan lafaz (mudmar).
Misalnya; Terjemahnya: “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan maka sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Q.S al-Baqarah: 184)
“تقديره (asumsinya): أو على سفر فأفطر ، فعليه صوم عدة من أيام أخر
Maksudnya: “Siapa yang sakit atau dalam perjalan (kemudian dia berbuka dan tidak ingin melanjutkan puasanya) maka (wajiblah baginya berpuasa) berpuasa seperti beberapa hari yang ia tinggalkan.”
b. Dilalah al-Ima’; yang beriringan dengan ketetapan, dan jika tidak beriringan karena suatu illat, niscaya akan jauh pada makna yang dikandungnya. misalnya Firman Allah swt. tentang hukuman bagi pencuri. Melalui pendekatan al-ima’ dapat diketahui bahwa perintah potong tangan terkait dengan sifat pencurian, jika sifat tersebut bukan sifat sebagai ilat hukum yang terkait dengan perintah potong tangan, maka niscaya tidak akan ada kebersamaan makna.
c. Dilalah Isyarah; yang bukan merupakan maksud pembicaraan. Misalnya Firman Allah swt. tentang masa kehamilan. Isyarah yang muncul berdasarkan kedua ayat tersebut adalah bahwa masa kehamilan minimal adalah 6 bulan. Makna tersebut bukan makna yang segera diperoleh dari makna lafaz secara tekstual.
Mafhum
Kata Mafhum secara bahasa berasal dari kata فهم dengan arti gambaran terbaik dalam istinbat. Sedangkan secara istilah:[10]
ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله .
Maksudnya: “lafaz yang bukan merupakan objek penuturan; bahwa ketetapan tersebut merupakan ketetapan terhadap makna yang tidak disebutkan.”
Jumhur Mutakallimin sepakat bahwa, mafhum dapat dibedakan pada dua pembagian:[11]
1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang dipahami dari lafaz.[12] Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".
Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:
a. Fahwal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahami itu lebih utama (lebih tinggi tingkatannya) daripada yang terucap. Seperti "memukul" orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya "membentak" orang tua. Bahkan "memukul" dapat dikatakan lebih tinggi pengharamannya karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik.[13]
b. Lahnal Khitab
Yaitu apabila hukum yang dipahami itu sama derajatnya daripada dengan yang terucapkan. Seperti contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan zalim, sebagaimana firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Terjemahnya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa: 10)
Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan zalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari teori mafhum, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.[14]
2. Mafhum Mukhalafah
a. Pengertian Mafhum Mukhalafah yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan).[15] Atau lafaz pada ungkapan yang tidak disebutkan, memiliki konsekuensi yang berbeda dari lafaz yang mantuq, Seperti firman Allah swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Terjemahnya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Q.S. Al-Jum'ah: 9)
Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat Jum’at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil pemahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. pemahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah.[16]
b. Syarat-syarat legalitas mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk sahnya mafhum mukhalafah diperlukan empat syarat:
1) Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق
Terjemahnya: “Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”. (Q.S. Isra’ ayat 31).
Ayat tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena "takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu;
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ.
Terjemahnya: “Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”
Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.
Contoh mafhum mukhalafah yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:
فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ.
Terjemahnya: "Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)
Berdasarkan ayat tersebut secara mantuq disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap orang tua. Apa bila difahami dengan mafhum mukhalafah berarti selain berkata-kata kasar seperti memukul diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu "tidak boleh memukul".
2) Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ.
Terjemahnya: "Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri". (QS. An-Nisa':23)
Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.[17]
3) Lafaz yang disebutkan (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.
Artinya: “Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)
Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.
4) Dalil yang disebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam al-Baqarah;187:
Terjemahnya: “Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)
Dalil tersebut tidak boleh dipahami, kalau tidak beritikaf di mesjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.
C. Analisis Perbandingan
Ketika mendeskripsikan uraian sebelumnya, hipotesa yang muncul adalah adanya kesan pemahaman yang hampir sama, antara metode Hanafiyah dan Mutakallimin dalam memahami esensi dan substansi lafaz. Sebagian besar perbedaan terma-terma yang digunakan mengandung esensi yang sama antara Metode Hanafiyah dan Mutakallimin. Perbedaan juga lumrah terjadi dalam tatanan pengembangan rumusan masing-masing metode. Meskipun keduanya beranjak dari konsep dasar yang sama, yaitu penelusuruan terhadap lafaz dalam konteks upaya pemahaman terhadap makna nas.[18]
Dari sudut pandang terma-terma yang digunakan; golongan Hanafiyah menggunakan ‘ibarah al-nas, isyarah al-nas, dilalah al-nas, dan iqtida’ al-nas. Sementara golongan Usul Mutakallimin menggunakan terma seperti mantuq sarih, gair sarih (dilalah iqtida’, dilalah al-ima’ dan dilalah isyarah), mafhum muwafaqah, dan mafhum mukhalafah. Kedua golongan tersebut sepakat dalam menggunakan terma isyarah dan iqtida’. Dari segi maksud dan tujuan, lafaz kedua terma tersebut juga memiliki substansi yang sama. Artinya, isyarah dan iqtida’ yang dimaksud oleh Hanafiyah sama dengan apa yang dimaksud Mutakallimin. Bagi golongan Hanafiyah, isyarah dan iqtida’ merupakan pembagian inti lafaz, sementara bagi Mutakallimin, kedua tersebut merupakan bagian dari mantuq gair sarih.
Berdasarkan pendekatan defenisi, diketahui pula bahwa ada di antara terma-terma berbeda dari kedua golongan tersebut memiliki substansi yang sama, seperti terma ibarah al-nas menurut Hanafiyah dikenal dengan terma mantuq sarih menurut Mutakallimin. Demikian juga halnya dengan terma dilalah al-nas bagi kalangan Hanafiyah dikenal dengan terma mafhum wuwafaqah menurut Mutakallimin. Bedanya, Mutakallimin membagi mafhum mukhalafah kepada fahw al-khitab dan lahn al-khitab, sementara Hanafiyah tidak menjabarkan dilalah al-nas. Dari deskripsi sebelumnya, dapat dipahami bahwa Hanafiyah tidak mengenal mafhum mukhalafah, bahkan menganggapnya sebagai istidlal yang fasid.[19]
Dalam konteks dilalah al-nas atau mafhum muwafaqah, kalangan mutakallimin seperti Syafi’i, Hambali dan al-Razi’ mendudukkannya sebagai kias. Ada pula beberapa ulama Mutakallimin, terutama dari golongan Asy’ariyah dan Mu’tazilah, yang menyatakan bahwa mafhum mukhalafah bukan merupakan kias melainkan makna yang segera dapat diperoleh dari keadaan yang sebenarnya. Kalangan Hanafiyah sepakat untuk tidak menjadikan dilalah al-nas sebagai Kias karena penetapan hukum diperoleh dari pemahaman terhadap makna nas, bukan melalui kias.[20]
Selanjutnya mengenai tingkatan masing-masing lafaz, ulama Hanafiyah sepakat bahwa lafaz yang paling tinggi tingkatannya adalah ‘ibarah nas, kemudian isyarah al-nas, kemudian dilalah al-nas, dan iqtida’ al-nas. Pada dasarnya golongan Mutakallimin sepakat dengan tingkatan tersebut kecuali tentang keberadaan isyarah dan dilalah al-nas.
Menurut Syafi’iy, dilalah al-nas lebih didahulukan daripada isyarah al-nas. Alasan yang dipergunakan adalah bahwa dilalah al-nas dapat dipahami secara langsung dari pendekatan bahasa. Dengan demikian, pemahamannya lebih mendekati makna yang dikandung oleh ‘ibarah al-nas. Sedangkan isyarah al-nas lebih cenderung memandang pemahaman yang inplisit. Hanafiyah beralasan bahwa isyarah al-nas diperoleh dari rangkaian ‘ibarah al-nas. Selain itu, isyarah al-nas berada dalam cakupan lafaz yang mantuq, sedangkan ‘ibarah al-nas berada dalam cakupan lafaz yang mafhum.
Salah satu contoh perbedaan penemuan hukum, akibat pertentangan pemahaman antara Syafi’i dan Hanafi dalam konteks isyarah al-nas dan dilalah al-nas, adalah dalam memahami Firman Allah swt. tentang pembunuhan sengaja. Makna inplisit ayat tersebut adalah bahwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja tidak terkena hukuman dunia. Kemudian dihubungkan dengan ayat lain. Makna berdasarkan pendekatan dilalah al-nas menunjukkan bahwa pembunuhan karena bersalah dikenakan kifarat, tentu juga kifarat tersebut diberlakukan pada pembunuhan dengan sengaja.[21]
Konsekuensi logisnya, menurut Hanafiyah; orang yang melakukan pembunuhan dengan cara sengaja tidak dikenakan kifarat. Alasannya, mereka lebih mendahulukan isyarah al-nas dari pada ‘ibarah al-nas. Sementara menurut Syafi’iyah; orang yang melakukan pembunuhan dengan cara sengaja dikenakan sanksi kifarat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafaz di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafaz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.
2. Pada dasarnya kedua metode lafaz dalam penemuan hukum memiliki pandangan dan terma-terma yang hampir sama. Persamaan antara kedua metode tersebut terletak pada konsepsi mereka tentang isyarah dan iqtida’ an-nass. Dari segi maksud dan tujuan, lafaz kedua terma tersebut juga memiliki substansi yang sama. Artinya, isyarah dan iqtida’ yang dimaksud oleh Hanafiyah sama dengan apa yang dimaksud Mutakallimin. Bagi golongan Hanafiyah, isyarah dan iqtida’ merupakan pembagian inti lafaz, sementara bagi Mutakallimin, kedua tersebut merupakan bagian dari mantuq gair sarih.
Diketahui pula bahwa ada di antara terma-terma berbeda dari kedua golongan tersebut memiliki substansi yang sama, seperti terma ibarah al-nas menurut Hanafiyah dikenal dengan terma mantuq sarih menurut Mutakallimin. Demikian juga halnya dengan terma dilalah al-nas bagi kalangan Hanafiyah dikenal dengan terma mafhum muwafaqah menurut Mutakallimin. Dari deskripsi sebelumnya, juga dapat dipahami bahwa Hanafiyah tidak mengenal mafhum mukhalafah, bahkan menganggapnya sebagai istidlal yang fasid.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya Bandung: CV. Diponegoro, 2005.
Husain, Ali. Buhus fi Usul al-Fiqh ligair al-Hanafiyah. Kairo: Universitas Al-Azhar, 2006.
Ibn al-Hajib. Mukhtasar Ibn al-Hajib jil. II. Cet. I; Bulaq: Matba’ah al-Amiriyah, 1316 H.
Ibnu Rusydi, Ahmad. Bidayah al-Mujtahid. Kairo: Maktabah As-Syuruq Ad-Daulah. 2004.
Al-Khin, Mustafa Sa’id. Asar al-Khilaf fi al-Qowa’id al-Ushuliyah fi al-Ikhtilafi al-Fuqaha. cet 7; Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1998.
Mujamma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wasit. Cet. IV; Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2005.
Al-Subkhi, Tajuddin Abdul Wahhab. Matn Jam'il Jawami'. Juz: I. Cet. II; Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003.
Al-Syaukani. Irsyad al-Fuhul. Kairo: Mustafa Halabi,t.th.