A. Pendahuluan
Pernahkah kita dihadapkan pada pertanyaan: “Apakah setelah mandi
besar mesti wudlu lagi ketika hendak shalat?”, atau pertanyaan: “Berapa kalikah
kewajiban mandi besar, bagi wanita yang telah melahirkan dan selesai menjalani
masa nifas?”, untuk menjawabnya, minimal kita perlu membuka-buka referensi
kitab yang sudah barang tentu akan menyita banyak waktu, belum lagi kalau
ternyata kita tidak menemukan sedikit pun keterangan di dalamnya. Inilah salah
satu bukti faktual sulitnya mencari jawaban bagi persoalan-persoalan fiqh,
ketika seseorang tidak memiliki perbendaharaan kaidah-kaidah atau dlawâbith fiqh. Dan sebaliknya, bagi
yang sudah mumpuni dalam memahami kaidah-kaidah tersebut, dengan mudahnya ia
bisa menjawab persoalan-persoalan fiqh secara cermat.
Di samping itu, jika kita hanya mempelajari satuan hukum fiqh
dalam kitab-kitab klasik konvensional tanpa disertai rumusan-rumusan kaidahnya,
maka yang akan kita peroleh adalah keruwetan yang tak berujung pangkal. Sebab
dinamika kehidupan manusia terus berkembang seiring pergantian waktu dan
peralihan generasi, sementara rumusan-rumusan hukum tersebut dibuat oleh para
ulama yang hidup ratusan abad yang lalu, yang mana konstruksi sosial dan
masyarakatnya jauh berbeda dengan masa kini. Sebagai contoh ketika menelaah
konsep kafa’ah dalam perkawinan, sepintah kita akan dipusingkan dengan kapan
dan dalam kondisi seperti apa, kafa’ah itu dapat menjadi mawâni’ luzumiyah atau
bahkan membatalkan keabsahan perkawinan tersebut, sementara di era modernitas
sekarang ini, di mana sekat-sekat sosial sudah hampir luruh, penerapan konsep
kafa’ah tersebut serasa malah kontra produktif dengan image Islam sebagai agama
egaliter.
Demikian pula menurut Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani,[1] jika kita hanya belajar
hukum-hukum yang sudah “jadi” dalam kitab-kitab fiqh konvensional, maka berapa
waktu yang kita butuhkan? Berapa lama kita bisa bertahan? Berapa kitab yang
harus kita hafal? Seberapa cerdas memori otak mampu mengolahnya? Walaupun kita
telah mengeluarkan biaya bermiliar-miliar dan menghabiskan waktu bertahun-tahun
lamanya, tapi kita masih bertahan dengan metode pembelajaran hukum secara
parsial partikular tanpa disertai prinsip-prinsip dasarnya, maka yang dapat
kita kuasai hanya materi hukum yang kebetulan kita pelajari, sementara di luar
itu tidak ada yang kita pahami.
Bahkan menurut Musthafa al-Zarqâ, “Seandainya kaidah fiqh
tidak ada, maka hukum-hukum fiqh (juru’) akan tetap menjadi ceceran-ceceran
hukum yang secara lahir (zhahir) saling bertentangan”.[2] Dus, antara satu hukum
dengan hukum lainnya seringkali tampak ruwet dan kontradiktif, bak benang kusut
yang teramat sulit untuk diurai.
Ya, Musthafa al-Zarqâ tidak bisa disangkal, sebab bila kita
terus-menerus berkutat mempelajari hukum-hukum fiqh secara parsial
(sepotong-sepotong), maka akan kita rasakan adanya kontradiksi antara satu
hukum dengan hukum lainnya. Kita sering dibuat bingung saat mempelajari
persoalan-persoalan hukum yang karakternya sama tapi ketentuan hukumnya
berbeda. Tak heran bila al-Qarrafi dalam mukadimah bukunya al-Furûq menulis:
وَمَنْ جَعَلَ يُخْرِجُ الْفُرُوعَ بِالْمُنَاسَبَاتِ الْجُزْئِيَّةِ
دُونَ الْقَوَاعِدِ الْكُلِّيَّةِ تَنَاقَضَتْ عَلَيْهِ الْفُرُوعُ وَاخْتَلَفَتْ
وَتَزَلْزَلَتْ خَوَاطِرُهُ فِيهَا وَاضْطَرَبَتْ، وَضَاقَتْ نَفْسُهُ لِذَلِكَ
وَقَنَطَتْ
“Barang siapa yang menganalisa furû’ fiqh dengan telaah
parsial-partikular (juz’iyyah) tanpa menggunakan kaidah-kaidah universalnya,
maka ia akan menemukan banyak perbedaan dan kontradiksi. Hatinya akan gundah
gulana memikirkannya sampai ia menjadi putus asa. Dia harus menghafal beragam
persoalan yang tak ada ujung pangkalnya, dan umurnya habis sebelum ia sempat
memperoleh apa yang diharapkan, tidak akan pernah puas terhadap apa yang
diinginkan, bahkan bisa jadi putus asa”.[3]
Ketika menurut al-Qarrafi, Syari`ah yang agung ini terdiri dari Ushûl dan Furû’, serta Ushûl itu sendiri terdiri dari Qawâ’id Ushûliyah dan Qawâ’id Fiqhiyah,[4]berarti salah
satu solusi untuk mengurai “benang kusut” itu adalah dengan mengetahui
substansi dan esensi hukum-hukum syariat. Jadi, selain kita harus mempelajari
hukum-hukum yang instant (furû’ al-fiqh), kita juga dituntut untuk
menguasai pangkal atau substansi hukumnya. Cara satu-satunya untuk mencapai hal
itu tidak lain adalah dengan mempelajari kaidah-kaidah pokok, baik kaidah ushûliyah maupun fiqhiyah. Dengan mengetahui dua jenis
kaidah ini, maka kontradiksi hukum yang biasa menghantui perasaan kita tidak
akan kita dapati lagi. Sebab pada dua ranah metodologis itu,[5] nilai-nilai esensial
syariat terurai dengan sangat lugas, logis, tuntas, dan rasional, sehingga
sesuatu yang dulunya kita sangka sebagai pertentangan akan menjadi sirna
tatkala kita menelisik konsepsi dua kaidah tersebut.
Persoalannya, untuk menguasai kaidah-kaidah ushûliyah secara paripurna
sebagaimana para mujtahid masa lalu adalah sebuah harapan yang sulit digapai.
Selain ketatnya syarat menjadi mujtahid, seperti keharusan mengetahui seluruh
isi al-Quran dan asbâb al-nuzûl-nya, atau menghafal ratusan ribu
hadits beserta asbâb al-wurûd-nya, juga penguasaan kaidah-kaidah ushûl oleh masyarakat non-Arab
sering dihadapkan pada masalah kendala bahasa. Ketidakmahiran berbahasa Arab
bagi orang non-Arab akan menyulitkan dia dalam menyelami kandungan alQuran dan
Hadits. Padahal problematika yang dihadapi masyarakat terus berkembang,
sementara dalam al-Quran dan Hadits -yang notabene berbahasa Arab- jawabannya
pun belum tentu pernah disinggung secara langsung (sharîh).
Kendala seperti di atas, tidak akan kita temui bila kita mempelajari
kaidah-kaidah fiqhiyah (bukan Ushûliyah). Sebab dalam kaidah fiqhiyah tidak terdapat persyaratan seketat syarat-syarat dalam kaidah ushûliyah, di samping penguasaan
bahasa Arab tidak menjadi patokan utama. Yang menjadi titik pijak dalam kaidahfiqhiyah adalah upaya pemahaman atas
prinsip-prinsip dasar syariat dan rumusan-rumusan hukum secara general. Selama
upaya pemahaman itu terus kita perjuangkan, maka selama itu pula kita
berkesempatan untuk menguasai kaidah-kaidah fiqhiyah hasil kreasi ijtihad para salaf al-shâlih tersebut.
1. Posisi Kaidah Fiqhiyah
Sebagaimana di singgung di atas, al-Qarrafi dalam mukadimah kitab al-Furûq memilah syariat yang dibawa
Nabi Muhammad saw. dalam dua bagian, yakni ushûliyah (hukum dasar) dan furû’iyah (hukum cabang). Hukum-hukum yang bersifat ushûliyah adalah sejenis
prinsip-prinsip dasar atau kaidah-kaidah pokok atas bangunan hukum syariat. Sementara
hukum-hukum yang bersifat furû’iyah merupakan “buah” yang dihasilkan dari penerapan prinsif-prinsif
dasar tersebut, dan jumlahnya terus berkembang seiring pegeseran waktu dan
peralihan generasi dengan beragam problematika yang dihadapi.
Hukum-hukum ushûliyah sendiri masih terpilah lagi dalam dua bagian; yakni kaidah ushûliyah (ushûl al-fiqh) dan
kaidah fiqhiyyah (kaidah fiqh). Bagian pertama (ushûl al-fiqh) adalah
disiplin ilmu model deduktif yang menekankan kajiannya pada unsur-unsur
kebahasaan (linguistik-semantik) atas dalil-dalil nash (al-Quran/Hadits), seperti
kajian tentang kata perintah (amar), larangan (nahy), kalimat umum (‘âm), khusus (khâsh), di samping juga memuat kajian seputar metode penggalian hukum (istinbath al-ahkâm), seperti metode analogi
hukum (qiyas), ijmâ’, syarat-syarat mujtahid, dan
lain sebagainya. Studi ushûl al-fiqh inilah yang kemudian melahirkan produk-produk hukum yang dinamakan
dengan “fiqh” .
Bagian kedua (kaidah fiqh) adalah kajian induktif yang menekankan
pada pembahasan kerangka-kerangka hukum yang bersifat umum, yang dirumuskan
berdasarkan adanya dalil atau kesamaan ‘illai dan karakteristik
persoalan. Dengan kata lain, kaidah fiqh merupakan sebuah rumusan umum dari
beragam persoalan furû’iyah yang tak terhitung
jumlahnya dan memiliki keserupaan ‘illah (ratio legis), yang mana keserupaan ‘illat itu bersesuaian dengan
dalil nash dan prinsip-prinsip dasar syariat. Hukum-hukum hasil generalisasi
itu kemudian dirumuskan dalam sebuah prinsip dasar yang berfungsi untuk
menelaah kembali persoalan-persoalan lain yang memiliki kesamaan ‘illah, Contohnya, Nabi saw. pernah
bersabda:
ما اجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال
“Tidaklah perkara halal dan haram berkumpul kecuali yang haram
akan mengalahkan yang halal. “
Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa, apabila unsur haram dan
halal berkumpul dalam satu persoalan, maka aspek haramnya pasti lebih dominan.
Dari sini para ulama kemudian merumuskan keharaman daging hewan sembelihan
yang telah bercampur dengan daging bangkai, sebab di sini sudah terdapat
percampuran(ijtima’) antara unsur halal dan unsur haram. Daging sembelihan yang pada
mulanya adalah halal, akan menjadi haram gara-gara bercampur dengan daging
bangkai yang notabene haram. Kesimpulan ini merupakan hasil ijtihad ulama saat
menggali substansi hadits Nabi Saw., tersebut.
Hal yang sama berlaku pada anak binatang yang dilahirkan dari
proses pembauran antara induk (jantan/betina) yang dagingnya halal dimakan,
dengan induk lain yang dagingnya haram dimakan. Anak hasil pembauran itu
dihukumi haram karena salah satu induknya adalah “binatang haram”. Sebab ia
tercipta dari hasil percampuran antara sperma/ovum yang haram dengan yang
halal. Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang memiliki kemiripan
karakter dengan dua contoh di atas, yang mana semua itu menghasilkan satu
kesimpulan hukum, yaitu haram.
Dari beragam persoalan itulah para fuqaha kemudian merumuskan
sebuah kaidah:
إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
“Bila perkara halal dan haram berkumpul, maka yang dimenangkan
adalah yang haram.”
Kaidah ini merupakan rumusan general dari beragam persoalan
tersebut di atas dan menjadi prinsip dasar penggalian hukum pada
persoalan-persoalan serupa lainnya. Setiap kali terjadi percampuran antara
unsur halal dan haram, maka hukumnya menjadi haram, sesuai substansi kaidah
tersebut. Rumusan-rumusan hukum seperti inilah yang dinamakan dengan istilah
“Kaidah Fiqh” atau al-Qawâ’id al-Fiqhiyah”.
2. Definisi Kaidah
Dalam etimologi Arab, kaidah dimaknai sebagai dasar, asas,
pondasi, atau fundamen segala sesuatu. Bila dalam bahasa Arab terdapat kalimat” qawâ’id al-bayt”,[6] maka yang dimaksud adalah
pondasi. Hal ini tercermin dalam firman Allah Swt.:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail…”
Term “al-qawâ’id” (jamak dari qâ’idah) yang berarti “dasar” atau “fundamen” dalam ayat ini, akhirnya
dijadikan pijakan oleh para ahli bahasa untuk mendefenisikan arti “kaidah”
secara etimologis (lughawiy).
Sedangkan bila ditinjau dari kacamata terminologis (ishthilâhiy), maka istilah “kaidah”
mempunyai makna yang berbeda sesuai istilah masing-masing bidang studi. Ulama
Ushul Fiqh mengartikan kaidah sebagai ketentuan dasar yang bersifat tetap dan kulliyah, Contohnya adalah kaidah:
الأمر إذا جرد عن القرائن افاد الوجوب
” Bila kata perintah (amar) berdiri sendiri (mutlak), maka ia
menunjukkan arti wajib”
Ketentuan di atas berlaku hanya pada kata perintah (amar) yang berdiri sendiri dan
tidak beserta adanya indikator-indikator lain (qarînah) yang dapat mengalihkan
maknanya menjadi tidak wajib. Selama qarînah itu tidak ada, maka selama
itu pula kata perintah mempunyai makna wajib.[7] Inilah yang dimaksud oleh Ushûliyyinsebagai ketentuan yang bersifat kulliyah.[8]
Sementara di kalangan Fuqaha masih terjadi perbedaan pandangan
dalam mendefinisikan arti kaidah. Sebagai contoh, Tajuddin al-Subuki (w. 771
H.), memaknai kaidah sebagai sebuah rumusan hukum yang bersifat menyeluruh (kulliyah) dan merangkum pelbagai
permasalahan furû’iyah yang tak terhitung jumlahnya, serta berfungsi untuk mengetahui
ketentuan hukum pada persoalan serupa. Sementara itu Dr. Musthafa al-Zarqâ,[9] mengartikan kaidah sebagai
kerangka hukum mayoritas (aktsâriyah atau aghlâbiyah, dan bukan kulliyah) yang merangkum banyak permasalahan serta berfungsi untuk
mengetahui hukum-hukumnya.[10]
Bila dilihat dengan seksama, sebenarnya tidak ada perbedaan prinsifil
antara dua pendapat di atas. Titik perbedaannya hanya berkisar pada obyek
cakupan kaidah; apakah bersifat kulliyah (universal komprehensif) atau aktsariyah/aghlâbiyah (mayoritas-representatif)?
Fuqaha yang mengklaim bahwa cakupan kaidah bersifataktsariyah menyatakan, walaupun satu
kaidah memuat banyak persoalan furû’iyah, namun pasti terdapat pengecualian (mustatsnayât). Karena itu, kaidah tidak
dapat dikatakan sebagai perangkat hukum yang bersifat menyeluruh, karena dalam
realitasnya masih terdapat permasalahan yang tidak dicakupnya. Sedangkan pihak
yang menganggap bahwa kaidah adalah prinsip hukum yang bersifat kulliyah berpendapat, walaupun
terdapat pengecualian bukan berarti kaidah itu sendiri yang tidak mampu
merangkulnya, melainkan karena persoalan yang dikecualikan itu termasuk Furû’ dari kaidah yang lain.
Dalam analisa Dr. Muhammad Shidqi al-Burnu’, timbulnya
pengecualian-pengecualian tersebut ditemukan oleh fuqaha setelah mereka
melakukan proses istiqrâ’(riset/penelitian) pada
beragam persoalan yang menjadi cabang kaidah tertentu. Dalam beragam persoalan
yang secara implisit memiliki karakter serupa itu, para fuqaha menemukan
sebagian persoalan furû’iyah yang apabila dimasukkan sebagai cabang kaidah tersebut maka akan
bertentangan dengan tradisi yang berkembang (atsar), batasan-batasan umum (qayyid), sebab-sebab hukum (‘illat), dan prinsip-prinsip dasar
lainnya. Hal ini mengharuskan mereka untuk tidak memberlakukannya sebagai
cabang kaidah tertentu. Solusinya, fuqaha kemudian menjadikannya sebagai
pengecualian (mustatsnayât) dan memalingkan dari
rukun-rukun analogi (qiyas).[11] Akan tetapi,
pengecualian-pengecualian tersebut dalam pandangan fuqaha tidak menjadikan
kaidah menjadi keluar dari sifat kulliyahnya. Meskipun terdapat
pengecualian, bukan berarti kaidah-kaidah itu tidak memiliki cakupan ‘âm yang menyeluruh, hal ini
pun diakui pula oleh al-Zarqâ’.[12]
Dari semua uraian di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
kaidah fiqh adalah sejenis rumusan-rumusan hukum yang bersifat umum dan dibentuk
berdasarkan adanya kesamaan ‘illat’dan karakteristik persoalan. Atau dengan
kata lain, kaidah fiqh merupakan rumusan general dari beragam persoalan hukum
yang banyak jumlahnya dan memiliki keserupaan ‘illat dan karakter hukum, serta
berfungsi menjadi rujukan dalam menelaah persoalan-persoalan lain yang
mempunyai ‘illatserupa. Karena sifatnya
yang umum dan general, maka kaidah-kaidah itu kemudian dikenal sebagai rumusan
hukum yang bersifat kulliyah (universal), walaupun terkadang ada sebagian permasalahan yang
menjadi pengecualiannya.
3. Historisitas Kaidah
Fiqhiyah
Berbicara sejarah lahirnya kaidah fiqhiyah, paling tidak terdapat dua kurun yang
meliputinya, yaitu kurun pertama: kemunculan dan pembentukan, kurun kedua:
perkembangan dan pembukuan.
Untuk kurun kemunculan dan pembentukan ini, diidentifikasi semenjak pensyariatan hukum Islam, yaitu
ketika Rasulullah Saw. menyampaikan risalah yang diterimanya dari Tuhan. Dari
sekian sabda beliau yang nota benenya adalah dari Tuhan, terdapat banyak kalimat
yang mengandung kaidah-kaidah umum, yang darinya dapat lahir bercabang-cabang
hukum turunan. Seperti contoh hadis yang memuat kalimat (الخراج بالضمان),[13] (لا ضرار ولا ضرار),[14] atau juga (البينة على المداعي
واليمين على من أنكر).[15]
Demikian pula, lontaran-lontaran “kebijakan” dari beberapa Sahabat
sepeninggal Rasulullah Saw., contohnya apa yang diucapkan oleh `Umar bin
al-Khaththab: (مَقَاطِعُ الحُقُوقِ عِنْدَ الشُّرُوطِ),[16] terkait putusnya hak
seseorang ketika sudah dibatasi oleh syarat dari pihak lain.
Kemudian pada masa berkembangnya ilmu fiqh, ditenggarai terdapat
kaidah-kaidah fiqh yang tercecer dalam kitab-kitab fiqh, terselip di antara
penjelasan runut tentang masalah furû`. Seperti dalam kitab al-Kharrâj, karya Abu Yusuf al-Hanafiy
(w. 182 H), beliau menulis beberapa kaidah fiqh, terutama kaidah-kaidah yang
berkaitan dengan masalah siyasah atau politik-pemerintahan. Contohnya ketika muncul polemik tentang
batas maksimal takzir, Abu Yusuf menulis kaidah yang berbunyi:[17]
أَن التَّعْزِير إِلَى الإِمَامِ عَلَى قَدْرِ عِظَمِ الجرم وصغره
“Bahwasanya takzir tergantung sang Imam, berdasarkan besar dan
kecilnya tindakan pelanggaran”
Dan sebagaimana dikutip oleh Taqiyyudin al Hishniy (w. 869 H),[18] dalam kitab al-Umm dan juga Ikhtilâf al-Hadîts, misalnya, ketika
menyinggung tentang klaim adanya ijmak, Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menguncinya
dengan suatu kaidah:[19]
وَلَا يُنْسَبُ إلَى سَاكِتٍ قَوْلُ
“Tidak boleh menisbatkan sebuah pendapat kepada orang yang diam”.
Atau ketika berbicara masalah batasan-batasan rukhshah, beliau
mengeluarkan kaidah:[20]
يَجُوزُ فِي الضَّرُورَةِ مَا لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِهَا
“Apa yang diperbolehkan dalam kondisi darurat, tidak
diperbolehkan dalam kondisi normal“
Pencantuman prinsip pokok ini oleh al-Syafi’i hanya dijadikan
sebagai- sisipan di antara kandungan kitab al-Umm lainnya.
Kemudian dalam kurun kedua, yaitu saat perkembangan dan pembukuan,
pada masa ini merupakan awal Kaidah Fiqhiyah menjadi sebuah disiplin ilmu yang
independen, terjadi pada kisaran abad ke-4 Hijriyah. Dalam rekaman Ibn Khaldun,
pada masa ini masyarakat muslim sudah terpetakan ke dalam madzhab-madzhab fiqh,
pintu ijtihad dan qiyas seolah telah tersumbat, sehingga solusi pemecahan
masalah hukum untuk kasus-kasus baru yang tidak ada keterangannya, praktis
hanya menggunakan saluran al-ilhâq melalui kaidah-kaidah fiqhiyah madzhabnya. Oleh karenanya dalam
kurun ini, mulai bermunculan kitab-kitab kaidah yang khusus berkutat sesuai
madzhab fiqh yang dianutnya.
Pionir pengumpul kaidah-kaidah fiqhiyah madzhabiyah, adalah Imam
Abu Thâhir al-Dabbâs, seorang fâqih Hanafiyah yang mengumpulkan 17 Kaidah
Kuliyah. Selanjutnya diadopsi oleh ulama Syafi`iyah ke dalam 5 kaidah, yaitu
oleh Abû Sa`d al-Harawiy. Selanjutnya dalam kurun ini lahirlah banyak
kitab-kitab kaidah fiqhiyah. Di antaranya yang paling terkenal adalah:
- Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Ibnu al-Wakîl al-Syâfi`iy (w. 716 H)
- Kitâb al-Qawâ’id, al-Muqarri al-Mâlikiy (w. 758 H)
- Al-Majmû’ al-Muhadzdzab fiy Dlabth Qawâ`id al-Madzhab, al-`Alâ’iy al-Syâfi`iy (w. 761 H)
- Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Tajjuddîn al-Subkiy al-Syâfi`iy (w. 771 H)
- Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Jamâluddîn al-Isnâwiy al-Syâfi`iy (w. 772 H)
- Al-Mantsûr fiy al-Qawâ`id, Badruddîl al-Zarkasyiy al-Syâfi`iy (w. 794 H)
- Al-Qawâ`id fiy al-Fiqh, Ibn Rajab al-Hanbaliy (w. 795 H)
4. Fungsi dan Manfaat Kaidah
Fiqhiyah
Selain berguna untuk menghindari pemahaman yang kontradiktif,
seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, kaidah fiqh juga mengandung
manfaat lain yang tak terhitung jumlahnya. Al-Suyuthi, misalnya, menyatakan
bahwa dengan menguasai ilmu kaidah fiqh, maka kita akan mengetahui hakikat
fiqh, dasar-dasar hukumnya, landasan pemikirannya, dan rahasia-rahasia
terdalamnya. Selain itu, kita akan mudah mengingat dan menghafal sebuah kaidah,
kemudian meng-ilhâq-kan,[21] men-takhrîj,[22] serta mengetahui
hukum-hukum beragam persoalan aktual dari kaidah itu, dimana hukum-hukum
tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab fiqh konvensional.rs
Dengan ungkapan sedikit berbeda, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadâniy
menyatakan bahwasanya buah yang akan kita petik dari mempelajari kaidah fiqh
adalah diperolehnya kemudahan mengetahui hukum-hukum kontemporer yang tidak
mempunyai nash sharîh (dalil pasti) dalam al-Quran maupun Hadits. Di samping itu, dengan
menguasai banyak kaidah fiqh maka kita akan mampu me-manage beragam persoalan furû’iyah yang terus berkembang dan
tak terhitung jumlahnya hanya dalam waktu singkat dan dengan cara yang mudah,
yakni melalui sebuah ungkapan yang ringkas tapi padat (baca; kaidah).
B. Pembahasan Qawâ`id
al-Fiqhiyah
(إِتْلَافُ الْمُتَسَبِّبِ كَإِتْلَافِ الْمُبَاشِرِ فِي أَصْلِ
الضَّمَانِ)
a. Makna Kaidah
“Pelaku kerusakan tidak langsung, sama tanggung jawabnya dengan
pelaku langsung”
b. Penjelasan Kaidah
Ini merupakan kaidah utama yang berkaitan dengan masalah pokok
tanggung jawab dalam hukum Islam. Yang mana siapa pun pihak yang memiliki andil
terhadap rusaknya suatu benda, baik langsung maupun tidak, maka ia wajib
bertanggung jawab terhadap kerugian yang diterima oleh sang pemilik benda.
Dengan catatan, jika ia bukan pelaku langsung, maka tanggung jawab baru dapat
dibebankan, jika terbukti bahwasanya ia melakukan keteledoran yang berujung
pada rusak/hilangnya benda dimaksud.
Sebagai contoh, pengelola parkir/penitipan, jika saja di tempat
parkirnya terdapat kendaraan yang rusak/hilang, seandainya terbukti ada unsur
kelalaian dalam pekerjaannya mengelola parkir/penitipan, maka ia dapat dituntut
untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diterima oleh pemilik kendaraan.
Sementara itu, al-Qarrafi, ketika mengurai tiga unsur yang menjadi
kunci adanya tanggung jawab atas kerugian, yaitu: Kesengajaan (al-`udwân),
keterlibatan (al-tasabbub), dan kelalaian (laysat bi mu’tamanah).[23] Yang menarik dalam
penjelasan detail terhadap unsur keterlibatan, beliau menyatakan, ketika
seseorang mengeluarkan kata-kata (umumnya instruktif), kemudian ditindak
lanjuti oleh orang lain dalam bentuk eksekusi yang menimbulkan kerugian bagi
korban, maka pemberi instruksi tersebut dapat dituntut pertanggungjawaban atas
kerugian tersebut.
(أَنَّ الإِجَازَةَ إِذَا لَحِقَتِ الْعَقْدَ الْمَوْقُوْفَ كَانَ
لِحَالَةِ الإِجَازَةِ حُكْمُ الإِنْشَاءِ)
a. Makna
“Persetujuan yang diberikan atas transaksi yang ditangguhkan, maka
pada saat persetujuan tersebut keluar, sama dengan melakukan transaksi itu
sendiri”.
b. Penjelasan
Dalam situasi normal, izin atau persetujuan itu hanyalah sebatas
kabar (khabar), namun ia berpotensi untuk memunculkan muatan hukum (insyâ’)
secara khusus. Berdasarkan kaidah tersebut, ketika terdapat akad/transaksi yang
keabsahannya masih ditangguhkan karena terkait belum adanya izin, atau dalam
kata lain belumluzûm, maka begitu muncul izin, pada saat itu pula izin
tersebut berfungsi sebagai penentu keabsahan. Contohnya, ketika seseorang
ditunjuk menjadi wakil untuk menjual barang dengan harga 1 juta, tapi kemudian
karena sesuatu hal tidak laku dengan harga tersebut, dan hanya laku dengan
harga 900.000 ribu, kemudian jika si wakil menjualnya dengan harga tersebut,
tetapi belum mendapat persetujuan pemilik barang, maka keabsahan transaksinya
ditunggukan sampai mendapat persetujuan. Dan ketika persetujuan itu ada, maka
dengan adanya persetujuan tersebut, transaksi pun menjadi sah dan luzum tanpa
memerlukan akad lagi.
(الإِجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِمِثْلِهِ)
a. Makna
“Ijtihad tidak bisa dianulir oleh ijtihad yang sejenisnya”
b. Penjelasan
Secara legal historis, kaidah ini berlandaskan kasus yang terjadi
pada masa Khalifah Umar ra., beliau terkenal sebagai orang yang banyak
menelorkan produk hukum yang ‘tidak sesuai’ dengan keputusan yang pernah
diambil pendahulunya, Abu Bakar al-Shiddiq ra. Akan tetapi, Umar ra. bersikap
sangat bijak dengan tidak menganulir hukum yang telah ditetapkan Abu Bakar.
Bahkan, Umar juga pernah merubah keputusan hukum yang telah diambilnya sendiri
pada tahun pertama dengan keputusan baru pada tahun berikutnya. Saat dimintai
kejelasan tentang sikapnya ini, Umar mengatakan:[24]
ذَلِكَ عَلَى مَا
قَضَيْنَا وَهَذَا عَلَى مَا قَضَيْنَا
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah atas
keputusanku. Sementara ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang
aku putuskan”.
Dari statemen ini, secara tidak langsung Umar ra. telah memberikan
ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah diambil oleh
pendahulunya, Abu Bakar ra., tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang
pernah diambilnya lalu diubahnya sendiri. Berangkat dari perspektif inilah,
para ulama kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa ijtihad Umar ra. tidak
dapat mengubah hasil ijtihad Abu Bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetuslah
sebuah konsensus (ijmâ’)shahabat, bahwa al-Ijtihâd lâ yunqadlu bi al-Ijtihâd, sebagaimana dilansir oleh
al-Suyuthi.[25]
Disamping landasan Ijmâ’ yang telah dikemukakan di atas, alasan tiadanya penganuliran hasil
adalah karena ijtihad kedua belum tentu lebih kuat dibandingkan ijtihad
pertama, disamping karena keduanya sama-sama diperoleh dari proses ijtihad yang
sulit dan berbelit-belit. Hal yang membedakan keduanya cuma konteks waktu yang
tidak bersamaan ketika diputuskan. Selain itu, jika sering terjadi penganuliran
produk hukum, maka yang akan timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi
masyarakat, sebagaimana telah dijelaskan di muka. Hal ini juga akan berdampak
pada goyahnya tatanan lembaga peradilan yang menangani masalah-masalah yuridis.[26]
Meski ijtihad merupakan elemen penting dalam konstruksi hukum
Islam, namun harus pula diakui bahwa ijtihad merupakan faktor utama pemicu
perbedaan pendapat dan kontradiksi hukum (khilafiyah) antar ulama. Pertentangan
yang selama ini berlangsung di kalangan yuris Islam (fuqaha) misalnya, adalah
akibat perbedaan metodologi ijtihad yang mereka gunakan. Tapi justru dari situ
lah khazanah keilmuan Islam terlihat begitu kaya dan anggun di tengah polemikintelektual
yang variatif dan semarak. Dan hal itu tidak perlu disesalkan, sebab perbedaan
metodologi yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat telah mendapat legitimasi
syariat.
Persoalannya, ketika ijtihad telah mendapat legitimasi, akankah
produk hukum yang dicapai melalui proses ijtihad dapat dianulir oleh ijtihad
lain? Jika menilik konsep kaidah ini, maka produk hukum yang dihasilkan ijtihad
dinilai memiliki kekuatan hukum yang bersifat konstan. Sekali hukum itu
terbangun atas landasan ijtihad, maka ia telah diakui eksistensinya sehingga
tidak dapat digusur oleh hasil ijtihad baru.
Sebagai contoh kecil, orang yang hendak mendirikan shalat Zhuhur
tapi tidak tahu arah kiblat, kemudian ia berupaya (ijtihad) untuk mengetahui
arah kiblat, selanjutnya dari upaya tersebut ia memiliki persepsi kuat (zhan) pada salah satu arah mata
angin sebagai arah kiblat yang benar. Dari hasil ini, dalam melakukan shalat
tentunya dia harus menghadap ke arah yang sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Namun tatkala memasuki waktu shalat Ashar, ternyata zhannya berubah. Arah yang semula diasumsikan sebagai arah kiblat kini
mulai diragukan. Dalam kondisi demikian ia dituntut melakukan ijtihad lagi.
Nah, jika hasil ijtihad kedua ini betul-betul berubah, maka ia harus shalat
Ashar sesuai dengan hasil ijtihad yang kedua. Ia tidak boleh shalat menghadap
ke arah yang dihasilkan oleh ijtihad pertama. Akan tetapi perlu dicatat, meski
terjadi “perubahan arah kiblat”, bukan berarti shalat zhuhur yang telah
dilaksanakannya menjadi batal atau tidak sah. Akan tetapi, shalat zhuhurnya
tetap sah, karena telah berlandaskan hasil ijtihad yang pertama. Namun untuk
shalat Ashar ia harus menghadap ke arah kiblat yang dihasilkan dari ijtihad
yang kedua.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, walaupun hasil ijtihad pertama
secara de facto sudah tidak diberlakukan lagi (karena sudah ada hasil ijtihad yang
kedua), namun secara de jure tetap diakui keabsahannya. Inilah yang dimaksud dengan” al-Ijtihâd lâ yunqadl bi al-ijtihâd”.
Dari uraian di muka mungkin akan timbul kejanggalan; kenapa
ijtihad kedua tidak dapat ‘merubah’ hasil ijtihad pertama, padahal dari kedua
proses tersebut hasilnya jelas berbeda. Menurut fuqaha, alasan yang paling
utama adalah karena pembatalan ijtihad akan memantik ketidakpastian hukurn.’
Jika setiap ijtihad bisa dihapus maka akan terjadi tasalsul; yakni mata rantai hukum
yang tak berujung pangkal. Hal ini tentunya akan mengakibatkan kesulitan baik
bagi para pegiat hukum maupun bagi masyarakat umum untuk mendapatkan hukum
yang pasti. Berdasarkan premis ini pula, para ulama sepakat bahwa hukum ijtihadi hasil upaya seorang hâkimtidak dapat diubah dengan hasil ijtihad lain, walaupun pada
hakikatnya hukum yang benar hanyalah satu.
(الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لَا يَجْتَمِعَانِ)
a. Makna
“Upah dan tanggung jawab tidak dapat berkumpul”
b. Penjelasan
Kaidah ini merupakan salah satu di antara sekian banyak kaidah
madzhabiah, yang mana kaidah ini hanya berlaku dalam madzhab Hanafiyah saja.[27] Dan tepatnya termasuk ke
dalam kategori dlâbith, karena hanya berlaku
dalam bab al-Dlamân (tanggung jawab) saja. Pesan pokoknya adalah tidak ada upah dalam
masalah yang harus ada pertanggungjawabannya, demikian pula sebaliknya.
Contoh kasus, jika seseorang menyewa (dalam kasus lain
meminjam tanpa sewa) kendaraan, kemudian dalam pemakaian normal, kendaraan
tersebut mengalami kerusakkan, maka si penyewa tidak perlu mengganti rugi
kerusakan tersebut. Namun sebaliknya, jika seseorang memakai kendaraan orang
lain tanpa izin (ghashab), maka ketika terdapat kerusakan pada kendaraan
tersebut, si pemakai wajib mengganti kerugian si pemilik kendaraan.[28]
(الإحتياط في الخروج من الحرمة إلى الإباحة أشد منه في العكس)
a. Makna
“Lebih berhati-hati dalam masalah keluar dari wilayah haram ke
wilayah mubah, dibandingkan dengan sebaliknya”
b. Penjelasan
Dalam rahasia pensyariatan hukum Islam (asrâr al-tasyrî`),
seluruhnya bermuara pada orientasi kemaslahatan bagi umat manusia, baik untuk
kehidupannya di dunia, maupun kelak di akhirat.
Ketika syariat memberi label haram terhadap sesuatu, maka
sejatinya di sana terdapat hal yang membahayakan atau dapat menimbulkan
kerusakkan (mafsadah) bagi manusia, dan demikian sebaliknya. Oleh karena
itu, para ahli ushul membuat sebuah kaidah yang memuat pesan untuk senantiasa
lebih berhati-hati jangan sampai terjebak ke dalam wilayah yang diharamkan.
Sebagai tindak lanjut dari kaidah tersebut, maka tata aturan dalam
rangka keluar dari wilayah haram (yang dipenuhi berbagai larangan) ke wilayah
mubah (yang terbebas dari berbagai larangan) adalah lebih diperketat, supaya
resiko tergelincir ke dalam larangan menjadi lebih kecil. Dan sebaliknya, tata
aturan untuk keluar dari wilayah haram ke wilayah mubah justeru diperlonggar.
Di antara contohnya adalah shighat tazwîj yang menjadi salah satu rukun nikah, benar-benar dibatasi,
sehingga tidak semua kata bisa dijadikan shighat tazwîj, sedangkan untuk cerai, shighat thalâq justeru lebih luwes dengan
diperbolehkannya menggunakan kalimat yang tidak jelas (kinayah), bahkan dalam
fiqh Malikiyah, kalimat apa pun, dapat dijadikan shighat thalâq, termasuk tahlîl dan tasbîh, meskipun dengan ditambah
syarat harus disertai niat cerai.[29]
(أَحْكَامُ الْأُصُوْلِ مُرَاعَاةٌ فِيْ أَبْدَالِهَا, فَرْضًا
كَانَتْ أَوْ نَفْلًا)
a. Makna
“Hukum asal sesuatu terpelihara dalam penggantinya, apakah itu
fardlu maupun sunat”.
b. Penjelasan
Hukum asal dari sebuah ibadah adalah tetap sama meskipun ibadah
tersebut statusnya hanya sebagai pengganti. Salah satu contohnya seperti
dijelaskan oleh al-Khathâbiy sebagai pencetus kaidah tersebut, adalah ketika
udlhiyah seseorang yang dilakukan sebelum waktunya, dihukumi tidak sah,
kemudian diganti (qadlâ’), maka hukum udlhiyahnya tetap sama, yaitu
sunnah, tidak menjadi wajib.[30] Demikian pula, puasa
Ramadlan yang ditinggalkan, karena hukum asalnya adalah wajib, maka ketika ia
akan diganti di lain waktu, hukumnya tetap wajib sebagaimana hukum asalnya. Dan
tidak boleh dibatalkan tanpa ada halangan, sebagaimana hukum puasa asalnya yang
tidak boleh dibatalkan secara sembarangan.
(الأحكام إنما هي للمعاني)
a. Makna
“Bahwasanya hukum itu menjangkau makna kalimat”
b. Penjelasan
Kaidah ini termasuk kaidah fiqh madzhab, karena ia hanya berlaku
untuk madzhab tertentu saja dan tidak berlaku di madzhab lainnya. Yang
menggunakan kaidah fiqh ini adalah ulama Malikiyah, sebagaimana berkali-kali
diulas oleh Ibn Rusyd (w. 520 H). Maksud dari akidah ini menjelaskan bahwasanya
hukum yang dikehendaki itu terletak pada makna hakikat dari sebuah nash, bukan
hanya redaksi luarnya saja, dan bukan pula makna majazi.
Sebagai contoh, dalam hukum batalnya wudlu karena persentuhan
laki-laki dengan perempuan dewasa lain mahram, al-Qur’an (al-Nisâ’, 43)
menggunakan redaksilams. Secara makna, yang dimaksud dengan lams al-nisâ’ adalah al-iltidzâdz bihinna (mendapatkan kenikmatan
dengannya), oleh karena itu dalam madzhab Mâlikiy, dengan persentuhan saja
meskipun tanpa jimak, apa bila didapatkan indikator taladzdzudz, maka sudah membatalkan wudlu.[31]
(الأحكام لا تجب إلا بيقين لا شك فيه)
a. Makna
“Hukum suatu ibadah tidak diwajibkan kecuali dengan keyakinan
tanpa keraguan”
b. Penjelasan
Jika menilik penjelasan dari shâhib al-kalâm kaidah ini, yaitu Ibn `Abd al-Barr
dalam kitabnya al-Tamhîd, beliau menyatakan bahwa
tidak boleh puasa Ramadlan di hari yang masih diragukan apakah ia termasuk
bulan Ramadlan atau bukan.[32] Ini dikarenakan, kewajiban
puasa Ramadlan belum muncul, hingga diperoleh keyakinan kapan mulainya bulan
Ramadlan.
(الأحكام المترتبة على العوائد تتبع العوائد وتتغير عند تغيرها)
a. Makna
“Hukum yang menjadi implikasi dari suatu kebiasaan, akan mengikuti
kebiasaan tersebut, dan akan ikut berubah ketika terjadi perubahan kebiasaan”
b. Penjelasan
Kaidah ini disinggung oleh al-Qarrafiy ketika membahas tentang
sumpah dengan menggunakan al-Qur’an. Ketika bersumpah dengan selain Allah
adalah dilarang, maka ketika seseorang bersumpah dengan al-Qur’an, selain
hukumnya haram, juga pada saat ia melanggar sumpah tersebut, ia tidak bisa
dibebani oleh kifarat sumpah. Namun jika di daerah tertentu terdapat kebiasaan
kebiasaan bahwasanya yang dimaksud kalimat al-Qur’an itu adalah kalamullâh yang
qadim, maka sumpah dengan al-Qur’an itu menjadi boleh dan dapat berimplikasi
terhadap kifarat.[33]
(الأخذ بالوثيقة والعمل بالإحتياط في باب العبادات أولى)
a. Makna
“Memilih berdasarkan keyakinan dan mengaplikasikannya dengan
hati-hati dalam masalah ibadah adalah lebih utama”
b. Penjelasan
Kaidah ini dikemukakan oleh al-Khathâbiy ketika memberikan
penjelasan terhadap hadis yang isinya menyuruh membasuh terlebih dahulu kedua
tangan sebelum dicelupkan ke dalam bejana berair sedikit, ketika hendak wudlu
selepas tidur malam.[34]
Ilat diharuskan membasuh terlebih dahulu karena dimungkinkan
tangan tersebut telah bersentuhan dengan najis (biasanya bekas istinja) pada
saat sedang terlelap tidur, karena jika benar, maka ketika tangan dicelupkan ke
dalam bejana yang airnya sedikit, maka air tersebut bukannya dapat menyucikan,
malah sebaliknya berubah menjadi mutanajis.
Dalam kasus ini sebenarnya tidak bisa dipastikan kenajisan tangan
tersebut, namun demi kehati-hatian dalam masalah ibadah yang mesti diutamakan,
maka tetap saja diharuskan terlebih dahulu dibasuh sebelum dicelupkan ke dalam
bejana.
(إذا اتحد الحق سقط بإسقاط أحد المستحقين)
a. Makna
“Jika banyak hak menyatu, maka dengan lepas sebagian menjadi lepas
seluruhnya”
b. Penjelasan
Terkadang hak seseorang berada di tangan beberapa pihak. Ketika
orang yang memiliki hak tersebut membiarkan haknya lepas dari pihak-pihak
tertentu, maka seluruh haknya yang berada di pihak lain pun bisa menjadi lepas.
Contohnya seperti hak qisas bagi keluarga korban yang dibunuh oleh
lima orang pelaku, jika saja keluarga korban memaafkan hak qisas dari sebagian
pelaku, maka secara otomatis hak qisas yang ada di pelaku lainnya pun ikut
terlepaskan, sehingga semua pelaku terbebas dari sanksi qisas.[35]
(إذا اتسع الأمر ضاق)
a. Makna
“Ketika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit (ketat)”
b. Penjelasan
Berdasar kaidah ini keadaan lapang akan membuat hukum menjadi
sempit dan terbatas. Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita tidak
diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab kondisi kita saat itu tidak menuntut
dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk
menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainnya,
maka pergerakan tersebut diperbolehkan. Dengan kata lain, shalat yang kita
lakukan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (ittasa’a), sehingga hukumnya menjadi
sempit dan terbatas (dlâqa), yakni tidak boleh melakukan pergerakan yang berlebihan.
(إذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ
مَقْصُودُهُمَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الْآخَرِ غَالِبًا)
a. Makna
“Ketika dua perkara sejenis berkumpul dan maksudnya tidak
berlawanan, maka secara umum salah satunya akan masuk pada yang lain”.
b. Penjelasan
Seringkali, aktifitas-aktifitas yang dilakukan manusia memiliki
persamaan ciri dan karakteristik dari sisi wujud (eksistensi) tujuan serta
hukum yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana mandi yang dikerjakan setelah
terputusnya darah haid dengan mandi setelah berhentinya darah nifas, dimana
keduanya merupakan kewajiban dengan pertalian karakteristik dan praktek yang
serupa antara satu dengan yang lain, serta memiliki maksud yang selaras pula.
Atau contoh lain, seperti mandi sunah Hari Raya yang serupa bentuk dan
maksudnya dengan mandi sunah pada hari Jumat. Dalam hal ini antara satu dengan
yang lain dapat tergabung menjadi satu (tadâkhul). Sehingga ketika akan
melakukan mandi untuk dua maksud di atas, maka yang dilakukan cukup sekali dan
dengan satu niat saja.[36]
Namun hukum penggabungan satu aktifitas dengan yang lain, ternyata
tidak secara mutlak berlaku pada semua masalah. Dan-yang terjadi adalah
pemberlakuan secara mayoritas (akomodatif universal), layaknya kaidah aghlabiyah yang lain.
Diantara pengecualian kaidah ini, sebagaimana contoh seseorang
yang melakukan thawâf ifâdlah yang merupakan salah satu
rukun haji. Seorang yang melakukan ibadah haji tidak diperbolehkan menggabungkan thawâf ifâdlah -menjadi satu- dengan thawâf wadâ’; yaitu thawâf yang wajib dilakukan pada
saat seseorang hendak meninggalkan kota Mekah.
Dalam al-Ma’tsûr,[37] al-Zarkasyi menyatakan
bahwa tadâkhul yang masuk pada permasalahan ibadah wajib, terbagi menjadi dua
bagian: Pertama adalah dua ibadah wajib yang di dalamnya samasama terdapat
tuntutan, namun maksudnya berbeda. Maka tidak terjadi tadâkhul. Kedua, dua ibadah wajib yang diperintahkan, namun memiliki maksud yang
sama. Bagian ini bisa digabungkan menjadi satu pekerjaan (tadâkhul).
Bagian pertama dapat dicontohkan sebagaimana thawâf wadâ’ dan thawâf ifâdlah yang memiliki tujuan
sendiri-sendiri.s thawâf ifâdlah, merupakan salah satu rukun
haji yang dilakukan setelah melakukan berdiam atau wuquf di Arafah. Sedangkan thawâf wadâ’ adalah adalah jenis thawaf
yang wajib dilakukan karena hendak meninggalkan kota Mekah. Dengan demikian thawâf ifâdlah ini tidak dapat dijadikan
sebagai pengganti thawâf wadâ’, Esensi tujuan thawâf ifâdlah yang merupakan salah satu
rukun haji ini, tidak dapat diganti dengan thawâf wadâ’ yang bukan merupakan salah
satu rukun haji. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang telah bermalam di
Mina dan setelah itu hendak meninggalkan kota Mekah tanpa melakukan thawâf wadâ’, thawaf ifiidlah yang telah ia lakukan
setelah melakukanwuquf di ‘Arafah tidak dapat menggantikan thawâf wadâ’ yang juga wajib dilakukan
sebagai tanda perpisahan dengan Masjid al-Hararn.
Untuk bagian yang kedua dapat dicontohkan sebagaimana mandi karena
telah mengeluarkan darah haidl dan mandi karena mengeluarkan cairan sperma.
Keduanya dapat digabungkan dalam satu kali pelaksanaan. mandi. Dua ibadah ini
adalah dua bentuk ibadah yang disyariatkan, namun karena mempunyai maksud yang
sama yaitu sama-sama bertujuan menghilangkan hadats besar, maka dapat terjadi tadâkhul.
Begitu juga orang yang berhadats kecil atau besar dan terkena
najis sebagian organ tubuhnya, hal ini menurut pendapat Imam alNawawi (qawl ashab:) dicukupkan dengan satu kali
basuhan saja. Ia tidak perlu melakukan dua kali basuhan untuk menghilangkan
hadats dan najis yang melekat pada anggota tubuhnya.[38]
Sebagai catatan tambahan, selain tadâkhul dapat terjadi pada dua
kewajiban seperti di atas, tadâkhul juga masuk dalam praktek ibadah-ibadah sunah. Dalam hal ini, tadâkhul terperinci menjadi dua
bagian: pertama, jika ibadah sunah masih termasuk jenis ibadah wajib yang
dilakukan, maka ibadah sunah dapat masuk di dalamnya. Seperti salat sunah tahiyah al-masjid yang dapat ber-tadâkhul dalam salat fardlu. Dalam
arti, dengan hanya melakukan salat fardlu saat kita masuk ke dalam masjid,
salat tahiyah al-masjid yang berhukum sunah sudah
dianggap cukup.[39] Karena salat tahiyah al-masjid termasuk dalam jenisnya
salat.
Dan jika tidak termasuk jenis ibadah yang dilaksanakan, maka tidak
bisa masuk ke dalam ibadah dimaksud. Seperti orang yang masuk Masjidal-Hararn
Mekah dan melakukan salat berjama’ ah yang kebetulan baru dilaksanakan, maka ia
tidak mendapat keutamaan tahiyah al-bayt (baca; thawaf qudum). Karena tahiyah al-bayt bukan termasuk dalam
jenisnya ibadah (shalat) yang ia lakukan.
Sama dengan hal di atas (hukuman yang satu jenis) adalah beberapa kafarah dan beberapa
pertanggungjawaban terhadap barang yang dirusak (gharamat).Sebagai contoh apabila ada seseorang yang berulang kali melakukan
hubungan intim pada siang hari bulan Ramadlan, maka kafarah yang dikenakan padanya cuma
satu kali. Dan menurut keterangan yang diambil dari madzhab Hanbali bahwa,
apabila terdapat banyak hal hal yang menuntut terhadap kafarah, maka kafarah yang diwajibkan hanya satu.
Hal ini agak berlainan dengan pendapat kebanyakan ulama yang mengatakan bahwa
hal yang menuntut kafarah hanyalah hubungan intim yang pertama, dan bukan perbuatan yang
dilakukan pada saat setelahnya.
(إذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَامُ)
a. Makna
“Apabila sesuatu yang halal berkumpul dengan yang haram, maka yang
menang adalah yang haram”
b. Penjelasan
Disebabkan perkara yang haram itu sudah barang tentu menyimpan
kerusakan, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya sebagai langkah
prefentif untuk menghindar dari kerusakan tersebut, ketika barang haram berkumpul
dengan barang halal, langkah yang benar adalah dengan cara menghukumi haram
terhadap semua barang yang telah bersatu tersebut. Dengan kata lain, lebih baik
melepaskan barang yang halal, dari pada mengonsumsi barang haram yang dianggap
halal.
Contoh dari pemberlakuan kaidah ini adalah jika terdapat dua
bejana, bejana pertama berisi daging bangkai dan bejana kedua berisi daging
binatang sembelihan(mudzakka), sementara kita tidak
mengetahui dimana yang berisi daging sembelihan dan dimana yang berisi
bangkai. Dalam kondisi demikian, kita tidak boleh mengambil salah satunya hanya
dengan alasan diantara daging itu terdapat daging yang halal. Sebab saat
terjadi percampuran antara unsur halal (daging sembelihan) dengan unsur haram
(daging bangkai), maka ketentuan hukum yang mendominasi adalah pada unsur yang
haram.
Sekedar untuk diketahui, sebenamya terdapat kebalikan (‘aksantitesa) kaidah ini, yaitu
الحرام لا يحرم الحلال
“Perkara haram tidak dapat mengharamkan perkara halal”.
Bunyi kaidah ini, sebenamya adalah petikan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Daruquthniy dari Ibnu Umar Ra., yang
berarti perkara yang haram tidak akan pemah merubah materi perkara yang halal menjadi
haram. Pada tahap awal mungkin akan ada pra-asumsi adanya kontradiksi antara
bunyi hadits atau kaidah ini dengan redaksi kaidah pertama yang disebutkan
dalam awal pembahasan. Namun, secara substansi dua kaidah yang telah disebutkan
ini tidaklah berlawanan, sebagaimana yang diungkapkan al-Subuki.
Sedangkan makna kaidah idzâ ijtama’a al-halâl wa
al-harâm ghuliba al-haram adalah pemberlakuan status haram pada perkara yang halal sebagai
langkah antisipatif (ihtiyâth) atau dapat dikatakan makna ghuliba al-harâm ini hanya sekedar
“dominasi” haram terhadap perkara yang halal.[40]
Sebagai bukti, ketika ada keraguan yang dialami seseorang pada
saat hendak menentukan dua .keping matauang, mana yang halal dan mana yang
haram. Dalam kondisi seperti ini, ia diperbolehkan untuk berijtihad untuk
menentukan mana uang yang halal. Seumpama dikatakan perkara yang haram dapat
menjadikan perkara yang halal menjadi haram, tentu tidak ada kesempatan sama
sekali untuk mengambil uang dengan cara berijtihad. Dalam contoh ini terbukti
bahwa yang halal akan tetap dihukumi halal, yang haram tetap seperti semula.
Pengecualian Kaidah:
1) Diperbolehkan berijtihad untuk
menentukan antara bejana yang suci dengan yang najis, walaupun melakukan
tayammurn sebagai upaya menghindari keraguan dianggap lebih baik, karena hal
ini oleh para ulama dianggap tindakan yang lebih hati-hati.
2) Diperbolehkan berijtihad dalam
menentukan baju yang suci tatkala bercampur dengan baju yang najis, dengan
pertimbangan seperti kasus bejana di atas.
3) Dihalalkan bagi kaum lelaki memakai
baju yang ditenun dari bahan-bahan campuran, seperti sutra (haram bagi
laki-laki) dengan kapas (halal), dengan catatan jika kain sutra yang digunakan
relatif lebih sedikit dibanding dengan kain kapasnya.
4) Dihalalkan untuk memakan burung hasil
buruan yang terjatuh karena terkena panah atau alat berburu lainnya. Hukum
halal ini tetap berlaku meskipun burung tersebut mati setelah jatuh ke tanah.
Dalam kasus ini ada dua titik tekan yang berlawanan; pertama, luka akibat
terkena panah adalah sesuatu yang menghalalkan; kedua, jatuhnya burung tersebut
ke tanah merupakan suatu hal yang mengharamkan. Akan tetapi karena jatuhnya
burung ke tanah merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindari, maka hukumnya
dima’fUw (dimaafkan).
5) Diperbolehkan melakukan transaksi
bisnis dengan orang yang mayoritas uangnya adalah uang haram, dengan catatan
bahwa nilai nominal uang halal dan uang haram itu tidak diketahui secara pasti
berapa jumlahnya. Namun, hal ini menurut alGhazali hukumnya tetap haram
sebagai langkah ib#yath (berhati-hati). Pendapat senada juga pernah ditegaskan oleh
‘Izzuddin bin Abd al-Salam dan Adzra’ i.
6) Dimakruhkan menerima pemberian
pemerintah yang telah diketahui bahwa mayoritas uangnya adalah haram, jika
memang penerima belum sampai tahap yakin bahwa apa yang diterimanya diperoleh
dengan cara-cara haram. Jika diyakini uang itu memang benar-benar diperoleh
dengan cara haram, seperti korupsi, pungli (pungutan liar), dan lain
sebagainya, ataupun diambil dari perbuatan maksiat, maka hukum menerimanya
haram.
7) Kambing yang pernah memakan barang
haram (milik orang lain), susu dan dagingnya dihukumi halal, walaupun barang
haram itu telah bercampur dengan daging dan susunya. Dalam kasus seperti ini,
pemilik hewan sebenarnya diwajibkan mengganti rugi segala sesuatu yang telah
dimakan kambingnya. Namun al-Ghazali menyarankan agar kita tidak memakannya.
Sebab menurut sang Hujjah al-Islam ini, tidak memakan daging atau meminum susu.
kambing tersebut merupakan tindakan warâ’,
(إذَا اجْتَمَعَ للمضطر محرمان, كل واحد منهما لا يباح بدون الضرورة
وجب تقديم أخفهما مفسدة وأقلهما ضرارا)
a. Makna
“Jika dihadapan orang yang terpojok berkumpul dua hal yang
diharamkan, kedua-duanya tidak dapat dibolehkan kecuali dalam kondisi darurat,
maka wajib baginya mendahulukan salah satunya yang lebih ringan efek
kerusakannya dan lebih sedikit bahayanya”.
b. Penjelasan
Dalam kondisi normal, sudah barang tentu apa pun yang sifatnya
dilarang mesti ditinggalkan. Namun dalam kondisi tertentu, adakalanya
dihadapkan pada situasi darurat, dengan harus memilih dari dua hal yang
sama-sama dilarang, namun mesti dilakukan salah satunya demi menyelamatkan hal
lain yang jauh lebih penting.
Di antara contohnya adalah ketika orang yang sedang ihram
kelaparan tidak menemukan makanan yang halal, ia dihadapkan pada dua pilihan
antara memakan bangkai atau daging hewan buruan. Dalam situasi ini, menurut
Imam Ahmad adalah lebih baik memakan bangkai, dengan pertimbangan jika memakan
daging buruan, maka terdapat tiga delik, yaitu berburu, menyembelih, dan
memakannya, sedangkan jika memakan bangkai hanya satu delik saja, yaitu
memakannya.
Contoh lain, jika siang hari di bulan Ramadlan, suami yang
beristri dua orang, baru datang dari rantau sudah tidak tahan ingin berhubungan
intim, dihadapkan pada dua pilihan antara berhubungan intim bersama istrinya
yang sedang berpuasa (berarti harus membatalkan puasanya) atau berhubungan
dengan istrinya yang tidak puasa namun sedang haid, maka yang lebih utama
adalah memilih istrinya yang sedang puasa, karena bisa dibatalkan dengan alasan
darurat, dari pada dengan istrinya yang sedang haid.[41]
(إذَا اجْتَمَعَ المباشر والمتسبب يضاف الحكم إلى المباشر)
a. Makna
“Jika berkumpul antara pelaku langsung dengan penyebab tidak
langsung, maka hukuman dikenakan kepada pelaku langsung”.
b. Penjelasan
Jika dalam satu peristiwa hanya terdapat dua latar belakang; sabab dan mubâsyarah maka yang dianggap sebagai
faktor utamanya adalah mubâsyarah. Misalnya seseorang yang dilempar dari tempat yang tinggi, namun
sebelum sampai ke bawah ia ditusuk dengan mengunakan sebilah pedang oleh orang
lain, sehingga ia tewas seketika. Dalam permasalahan ini, terdapat pergumulan sebab dan mubâsyarah. Yang dimaksud dengan sebab dalam konteks ini adalah
pelemparan dari atas tebing, sedangkan mubâsyarah adalah penusukan dengan
pedang.
Sesuai dengan kaidah ini, pelaku penusukan lah yang
bertanggungjawab atas peristiwa pembunuhan yang sejatinya dilakukan oleh dua
orang ini. Karena dialah yang menjadi penyebab langsung kematian itu. Tusukan
yang dilakukannya dinilai telah menutup resiko kematian yang diakibatkan
pelemparan pelaku pertama, walaupun sebenarnya kedua orang ini sama-sama
berperan atas kematian korban.
Mubâsyarah dalam khazanah fiqh dianggap lebih kuat, karena mubâsyarah, seperi yang terlihat dalam
contoh ini, di samping berpredikat sebagai faktor munculnya peristiwa (mu’atstsirah), ia juga menjadi penyebab
utama (muhashshilah) atas timbulnya kematian
korban. Berbeda dengan sabab berupa pelemparan dari tempat tinggi; ia hanya dianggap sebagai
faktor yang tidak begitu kuat dan dominan. Karena secara nalar bisa saja korban
selamat saat sampai di bawah, jika tidak terjadi penusukan.
Begitu juga dalam permasalahan seseorang yang mengambil, makanan
orang lain dengan cara gasab kemudian makanan yang ia ambil disuguhkan kepada pemiliknya dan
langsung dimakan, maka secara otomatis si pemilik sudah dianggap
mengambil haknya sendiri, walaupun si pemilik tidak tahu bahwa yang ia makan
adalah miliknya sendiri. Dan karena telah mengambil haknya, ia tidak dapat
menuntut agar makanannya dikembalikan oleh si penggasab. Hal ini juga sangat beralasan,
karena pemilik adalah subjek utama habisnya makanan. Tindakan (mubasyarah) yang dilakukan pemilik
makanan lebih mendapatkan tekanan sebagai perbuatan yang mengakibatkan makanan itu
habis, daripada tindakan gasab yang menjadi penyebab (sabab) habisnya makanan. Alasan
yang melatarbelakangi kurang lebih sama dengan permasalahan di atas.
Lebih menjelaskan pembagian berkumpulnya mubâsyarah dan sabab dalam pembunuhan, Dr.
Musthafa Dib al-Bugha memilahnya dalam 3 (tiga) kategori:
1) Peristiwa yang di dalamnya lebih
mendahulukan faktor sebab daripada faktor mubâsyarah. Contohnya seperti perbuatan
bohong beberapa saksi yang menyatakan bahwa ada seseorang yang melakukan
pembunuhan. Setelah melalui proses persidangan akhirnya diputus-kan bahwa
tertuduh harus dihukum. Namun setelah proses eksekusi selesai, saksi-saksi
tersebut mengaku bahwa mereka telah berbohong dalam memberikan kesaksian. Dalam
persoalan ini, yang harus menanggung hukum qishas adalah orang-orang yang
menjadi saksi palsu (sabab), bukan pelaku eksekusi pada pihak tertuduh (qadlf/hakim). Hal ini apabila hakim
betul-betul tidak tahu jika para saksi melakukan persaksian yang keliru.
2) Kasus yang didalamnya mubâsyarah lebih dimenangkan untuk
mengalahkan unsur penyebab. Seperti halnya seseorang yang menjatuhkan orang
lain dari tempat yang tinggi, namun sebelum sampai ke dasar lantai ia ditusuk
sebanyak dua kali yang menjadi penyebab kematiannya. Dalam hal ini yang berhak
mendapatqishas adalah orang yang menusuk, sementara orang yang menjatuhkan hanya
layak mendapat hukuman ta’zir; hukuman yang sesuai dengan keputusan seorang imam (pemimpin
negara).
3) Posisi antara mubâsyarah dan sebab yang seimbang.
Seperti halnya seseorang yang memaksa -dengan ancaman tertentupada orang lain
untuk membunuh. Kedua pihak, baik pemaksa dan yang dipaksa, patut mendapat
hukuman qishas. Pihak pemaksa dihukum karena dia pada dasarnya-secara tidak
langsung- juga melakukan hal yang dapat membinasakan dengan cara memaksakan
hal-hal yang dapat menghilangkan nyawa orang lain. Sedangkan pihak yang.
dipaksa adalah pelaku pembunuhan dengan cara zhalim.
Pengecualian
Seseorang yang menggasab kambing orang lain dan ia
serahkan pada tukang jagal untuk disembelih, sementara si tukang jagal tidak
tahu. bahwa kambing itu adalah hasil gasaban (baca; ada gharar). Dalam hal ini/ ulama
sepakat bahwa yang wajib mengganti adalah orang yang menggasab, bukan si tukang jagal.
Semestinya, kalau kita akan menerapkan kaidah ini tentu yang membayar denda
adalah pelaku penyembelihan (tukang jagal=mubâsyir), bukan orang yang memberikan
kambing.
Contoh lainnya adalah orang sudah layak dan mampu berfatwa?
memberikan fatwa kebolehan merusak barang, dan ternyata apa yang diputuskannya
adalah keliru, padahal barangnya sudah terlanjur dirusak oleh orang yang
menuruti fatwa mufti tersebut. Dalam kondisi semacam ini, pihak yang harus
mengganti rugi kerusakan adalah si mufti, walaupun yang melakukan perusakan
adalah orang yang meminta fatwa. Lain halnya bila yang mengeluarkan fatwa
adalah orang yang belum layak berfatwa, maka si pemberi fatwa tidak
berkewajiban mengganti barang yang telah rusak, karena orang yang meminta fatwa
dianggap sebagai orang ceroboh, karena ia meminta fatwa pada orang yang bukan
ahlinya.[42]
(إذَا بطل الأصل يصار إلى البدل)
a. Makna
“Apabila hukum asal telah batal, maka dialihkan ke hukum
penggantinya”
b. Penjelasan
Jika hukum asal telah batal atau tidak mungkin untuk dipenuhi,
maka tidak berarti menjadi tidak ada hukum sama sekali. Sebagai contohnya
adalah ketika seseorang menggasab barang milik orang lain, namun barang
tersebut hilang di tangan penggasab, maka ia tetap harus mengembalikan
penggantinya. Jika penggantinya itu sama persis, disebut dengan istilah al-qadlâ’ al-kâmil, tapi jika penggantiannya itu dengan harganya, disebut dengan
istilah al-qadlâ’ al-Qâshir.[43]
Tetapi jika barang yang digasab tersebut masih ada di tangan
penggasab, maka penyerahan barang tidak boleh diganti dengan yang lain. Sama
halnya dalam kasus tanah menjadi pengganti air untuk menyucikan hadas, jika air
masih ada dan atau tidak dalam keadaan darurat, maka tanah tersebut tidak bisa
menjadi pengganti air, dengan kata lain wudlu tidak bisa diganti dengan
tayamum.
(إذَا بطل المتضمِّن بطل المتضمَّن)
a. Makna
“Jika telah batal sesuatu yang mengandungnya, maka batal pula apa
yang dikandungnya”
b. Penjelasan
Yang dikandung (mutadlamman) adalah implikasi hukum dari
yang mengandung (mutadlmmin), oleh karenanya, jika yang mengandung tersebut
dihukumi batal atau tidak menimbulkan efek hukum, maka apa yang dikandungnya
pun sama-sama batal atau tidak memiliki efek hukum.
Sebagai contohnya, ketika suami isteri mengulangi akad nikah tanpa
terlebih dahulu cerai (dikenal dengan istilah tajaddud), dalam kondisi seperti ini, akad nikah yang kedua dinilai tidak
sah, oleh karenanya tidak perlu ada mahar, sebab mahar merupakan mutadlamman sebagai implikasi hukum
dari sahnya akad nikah yang menjadi mutadlammin-nya.[44]
(إذَا تعذر إعمال الكلام يهمل)
a. Makna
“Jika sulit memberlakukan suatu instruksi, maka ia tidak dapat
diberlakukan”
b. Penjelasan
Jika sebuah ucapan sama sekali tidak mungkin untuk diartikan
sesuai makna hakiki maupun makna majasnya, maka ucapan itu dianggap sebagai
gurauan, sehingga tidak perlu diperhitungkan keberadaannya.
Contohnya, seorang suami yang berkata kepada sang istri yang tidak
ada hubungan nasab dengan sang suami, “Wanita ini adalah anakku”. Maka, ucapan
ini tidak memberi pengaruh apapun bagi tertalaknya sang istri, walaupun dari
perkataan ‘anakku’ seakan suami tersebut seolah tidak menganggap dia sebagai
istri. Hal ini berlaku baik sang istri lebih tua atau lebih lebih muda umurnya.
Artinya, ucapan itu hanya, dianggap seakan hanya kelakar saja. Hal ini dilatarbelakangi
sulitnya menangkap makna yang dikehendaki. Karena jika kita artikan secara
hakiki, rasanya mustahil sang istri adalah anaknya sendiri. Apalagi realita
menunjukkan bahwa umur sang istri lebih tua. Demikian pula jika sudah sangat
masyhur diketahui publik, bahwa wanita itu tidak senasab dengan sang suami,
meskipun sang istri lebih muda.[45]
(إذَا تقابل عملان أحدهما ذو شرف في نفسه ورفعته وهو واحد والآخر ذو
تعدد في نفسه وكثرة فأيهما يرجّح؟)
a. Makna
“Jika dihadapkan pada dua pekerjaan, yang satu lebih baik
tampilannya namun hanya satu, sementara yang lainnya lebih banyak, maka mana
yang lebih diunggulkan?”
b. Penjelasan
Kaidah ini intinya membandingkan mana yang lebih unggul antara
perbuatan yang sepintas lebih baik secara kualitas dengan perbuatan lain yang
sepertinya kalah baik, namun dengan kuantitas yang lebih banyak. Dalam hal ini,
Imam Ahmad cenderung lebih memilih perbuatan yang kedua, yaitu yang
berorientasi kuantitas.
Seperti contoh, shalat sunat dua rakaat dengan bacaan surat yang
panjang-panjang dibandingkan dengan shalat empat rakaat tapi bacaan suratnya
pendek-pendek, namun waktu pengerjaannya sama. Menurut pendapat yang masyhur
cenderung lebih memilih shalat sunat empat rakaat meskipun bacaannya pendek.[46]
[1]Bernama lengkap Abu al-Faydl ‘Alam al-Din Muhammad Yasin ibn
Muhammad ‘Isa al-Fadani. Ulama keturunan Padang, mufti (pemberi fatwa) madzhab
Syafi’i di Mekah, dan penulis beberapa literatur khazanah keislaman. Lahir pada
tahun 1335 H. di Makkah. Menimba ilmu, mula-mula dari ayahnya sendiri; Syaikh
‘Isa al-Fadani, lalu kepada pamannya, Syaikh Mahmud al-Fadani. Setelah itu
melanjutkan pendidikannya di Madrasah Shawlathiyyah (1346 H.) dan terakhir di
Dar al-Tllurn al-Diniyyah, Makkah (tamat 1353 H.). Selain pendidikan formal,
Syaikh Yasin juga banyak berguru kepada ulama’-ulama’ besar Timur Tengah.
Diantaranya belajar ilmu Hadits pada Syaikh ‘Umar Hamdan, pada Syaikh Muhammad
‘Ali bin Husain al-Maliki, Syaikh ‘Umar Ba Junaid, mufti Syafi’iyyah Makkah,
lalu pada Syaikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani, dan Syaikh Hasan al-Yamani.
Dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh, beliau menimba ilmu diantaranya pada Syaikh
Muhsin bin ‘Ali al-Palimbani al-Makki (ulama keturunan Palembang yang tinggal
di Mekah), Sayyid ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki al-Makki (ayah kandung Sayyid
Muhammad ulama Sunni Kontemporer dari Arab Saudi) dan banyak ulama’ berpengaruh
lainnya. Bahkan disebutkan bahwa jumlah gurunya mencapai kisaran 700 orang,
laki-laki maupun perempuan. Selama bertahun-tahun Syaikh Yasin aktif mengajar
dan memberi kuliah di Masjidil Haram dan di Dar al-Tllurn al-Diniyyah, Makkah,
terutama pada mata kuliah ilmu Hadits. Pada tiap-tiap bulan Rarnadlan selalu
membaca dan mengijazahkan salah satu diantara Kutub al-Sittah (6 kitab utama ilmu
Hadits). Hal itu berlangsung selama ± 15 tahun. Syaikh Yasin juga menulis
banyak kitab hingga mencapai lebih dari 60 buah, diantaranya ‘Al-Durr al-Mandi ud Syar!l
Sunan Abi Dawud’ 20 juz, ‘Fath al-’Alldm Syarh Bulugh al-Mardm’ 4 jilid, ‘Nay! al-Ma ‘mul ‘ala Lubb alUshUl
wa Gbayab al-WushU!, ‘Al-Fawd’iad al-Janiyyah’ dan lain sebagaimnya,
termasuk tulisannya tentang ilmu periwayatan hadits. Syaikh Yasin wafat pada
Jum’at dini hari, 28 Dzu al-Hijjah 1410 H. dan dimakamkan selepas shalat Jumat
di Pemakaman Ma ‘Id, Makkah. Lihat dalam mukadimah al-Fawd’id al-Janiyah, Dar al-Fikr, Beirut,
Libanon, cet. L 1997, h. 25.)
[2]Musthafa Ahmad al-Zarqa’ al-Halbi, al-Madkhal al-Fiqhiy
al-’Am, (Damaskus: Dar al-Qalam: 1998), j. II, h. 967.
[3]Abu al-’Abbas Ahmad bin Idris al-Shanhaji al-Qarrafi, al-Furûq wa Anwâr al-Burûq
fiy Anwâ’ al-Furûq, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998) j. I, h. 6-7.
[5]Kaidah Ushûlliyah berada pada tataran Takhrîj al-Ahkâm (Istinbâth al-Ahkâm),
sedangkan Kaidah Fiqhiyah diletakkan pada tataran Tathbîq al-Ahkâm.
[6] AI-Shihah 1/252, Mu’am Maqâyîs al-Lughât, V/109, Lisan al-Arab, III/361, dikutip oleh
Abdurrahman bin Abdullah al-Sya’lani dalam Dirasah wa Tahqiq Kitab al-Qawa’id
li Taqiy al-Din Abi Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu ‘min al-Hishni, (Riyad: Maktabah al-Rusyd,
1997), j. I. h. 21.
[7]Tetapi bila terdapat qarînah, maka kata perintah atau amr dapat mempunyai implikasi
makna selain wajib, baik berupa sunnah, tahdid, ibahah, dan lain sebagainya. Namun
“kebersamaan” amr dengan qarînah-qarînah ini tidaklah menjadikan kaidah
ini keluar dari dimensi kulliyah-nya, karena garis ketentuan
kaidah di atas hanya berlaku pada amr yang tidak bersamaan dengan qarînah.
[8]Sebagai perbandingan, dalam ilmu logika (manthiq) dikenal istilah kulliy dan kulliyah. Dalam Sullam al-Munawraq, misalnya, diterangkan bahwa
yang dinamakan kulliy adalah sebuah ketentuan yang menunjuk pada kumpulan (al-majmû’) hal-hal yang bersifat
partikular. Sebagai ilustrasi, suatu ketika Nabi saw, pernah mendirikan shalat
zhuhur hanya dengan dua raka’at, kemudian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah,
apakah shalat Anda diringkas (qashr) atau Anda telah lupa?” Lalu
Nabi Saw. menjawab: “Kullun Laysa bi Wâqi’” (Semuanya tidak terjadi).
Jika kata “semua” (kullun) dalam hadits ini dikategorikan sebagai kata yang bermakna kulliy, maka maksudnya adalah tidak
terjadinya gabungan qashr dan lupa secara bersamaan (mungkin qashr saja atau lupa saja). Sedangkan
jika digolongkan sebagai kata yang bersifat kulliyah, maka yang dimaksudkan
adalah bahwa masing-masing dari keduanya tidak terjadi. Namun perbedaan kulliy dankulliyah ini tidak berlaku dalam
pengertian kulli atau kulliyah dalam kaidah fiqh. Sebab, demikian menurut al-Syathibi, penilaian kullliyah dalam kaidah fiqh
dihasilkan dari proses riset atau penelitian (istiqra’iyah), sementara istilah kulliy/kulliyah dalam ilmu logika (manthiq) berasal dari proses
penalaran logis-rasional (‘aqliyah).
[10]Rangkuman berbagai defenisi kaidah versi fuqaha disertai berbagai
penjelasan, argumen, dan analisa masing-masing, dikupas secara tuntas dan
elegan oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Sya’lani. Lihat Dirasah wa Tahqîq Kitâb
al-Qawâ’id, Op. Cit., h. 21-24.
[11]Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu’, al-Wajîz fiy Îdlâh Qawâ’id
al-Fiqh al-Kulliyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1996), h. 16.
[13]Muhammad bin `Isâ al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, (Mesir: Maktabah Mushthafa, 1975), j. III, h. 573. Abu Dawud
Sulayman bin al-Asy`ats, Sunan Abû Dâwud, (Beirut: al-Maktabah
al`Ashriyah, T.Th), III, h. 284. Abu `Abdurrahman al-Nasâ’iy, al-Mujtabâ min al-Sunan, (Halabiy: Maktabah
al-Mathbû`ât al-Islâmiyah, 1986), j. VII, h. 254. Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah…j. II, h. 754.
[14]Malik bin Annas, Muwaththa’, (Beirut: Dâr Ihyâ’
al-Turâts, 1985), j. II, h. 145. Abu `Abdullah Muhammad Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, (Halabiy: Dâr Ihyâ’
al-Kutub al-`Arabiyah, T.Th), j. II, h. 784.
[15]Ahmad bin al-Hasan Abu Bakr al-Bayhaqiy, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-`Alamiyah, 2003), j. VIII, h. 213. Abu al-Hasan `Aliy al-Daruquthniy, Sunan al-Dâruquthniy, (Beirut: Muassasah
al-Risâlah, 2004),j. IV, h. 114.
[16]Muhammad bin Isma`il al-Bukhariy, Shahîh al-Bukhâriy, (T.T: Dâr Thwq al-Najah:
1422), j. VII, h. 20. Ahmad bin al-Hasan Abu Bakr al-Bayhaqiy, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Alamiyah,
2003), j. VII, h. 407.
[17]Abu Yusuf Ya`qub bin Ibrahim, al-Kharrâj, (Kairo: al-Mathba`ah al-Salafiyah wa Maktabatuh, T.Th), 182.
[19]Abu `Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi`iy, al-Umm, (Beirut: Dâr al-Ma`rifah,
1990), j. I. H. 178.
[21]Ilhâq secara sederhana bisa diartikan sebagai upaya penyamaan dan
pemaduan (sintesis) antara satu persoalan dengan persoalan lainnya. Sedangkan
secara terminologis, ilhâq dimaknai sebagai upaya sintesis antara persoalan cabang (al-far`u) yang tidak diterangkan
hukumnya oleh nash, dengan persoalan asal (al-ashl)yang telah mempunyai
kepastian hukum dari nash. Faktor yang mengharuskan sintesa antara keduanya
adalah karena masing-masing memiliki sebab hukum (‘illat/ratio legis) yang sama. Melalui defenisi
ini, ilhâq terkadang disamakan dengan qiyas.
Ilhâq dalam ushul fiqh berbeda pengertiannya dengan ilhâq dalam kaidah fiqh. I1hâq dalam ushul fiqh diartikan
sebagai metode penyamaan hukum cabang (al-far`u) dengan hukum asal (al-ashl) dalam dalam satu titik temu
karena adanya kesamaan sebab hukum (‘illat). Dengan demikian, ilhâq berfungsi untuk
mengidentifikasi masalah cabang yang belum dijelaskan hukumnya oleh nash.
Sementara ilhâq dalam konsep kaidah fiqh tidak hanya diartikan sebagai upaya
sintesis antara satu persoalan juz’iyah dengan persoalan juz’iyah lainnya, melainkan juga antara persoalan juz’iyah dengan kaidah asalnya. Artinya, persoalan juz’iyah yang disamakan itu bisa
disesuaikan hukumnya dengan persoalan juz’iyah yang lain (seperti dalam
ushul fiqh), tapi bisa pula disesuaikan dengan substansi kaidahnya saja. Di
samping itu, teori ilhâq ala Ushuliyyin hanya dapat dilakukan oleh para mujtahid, sementara ilhâq dalam kaidah fiqh bisa
dilakukan oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang belum mencapai derajat
rnujtahid. Periksa dalam Mawsu’ah al-Fiqhiyyah, cet, Wizarah al-Awqaf wa
al-Syu’un bi al-Kuwait. Dan rnukaddirnah Muhammad al-Mu’tashirn Billah dalam Dirâsah wa Tahqîq al-Asybâh
wa al-Nazhâ’ir li al-Suyûthiy, Op. Cit, h. 31.
[22]Takhrîj adalah kebalikan ilhâq. Artinya, takhrîj adalah upaya mengeluarkan satu persoalan furû’iyah dari kaidah asalnya. Dalam
ungkapan lain, takhrîj adalah upaya mengeksplorasi kaidah asal sehingga mampu menelorkan
hukum baru. Bahkan sebagian ulama mengartikan takhrîj sebagai upaya yang
dilakukan seorang mujtahid untuk menelorkan hukum-hukum furû’iyah dari ucapan atau metodologi
imam madzhab. Dari sini dapat disimpulkan bahwa’ takhrîj pasti diawali denganistinbâth atau usaha mencetuskan
hukum dari nash. Karena itulah wewenang takhrîj hanya dimiliki seorang
mujtahid. Orang yang belum mencapai kapasitas mujtahid tidak berwenang
melakukan takhrîj. Untuk lebih lengkapnya, silahkan periksa kembali dalam ibid., h. 31-32.
[23]Abû al-`Abbâs Syihâbuddîn al-Qarrâfiy, Anwâr al-Burûq fiy Anwâ’
al-Furûq, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Alamiyah, 1998), j. II, h. 335-337.
[24]`Abd al-Rahmân Jalâluddîn al-Suyûthiy, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-`Ilmiyah, 1990), h. 101.
[26]Abu al-Faydl Muhammad Yasin ibn ‘Isa al-Fadani, AI-Fawâ’id al-Janiyah, (Beirut: Dar al-Mahajjah
al-Baydlâ’, 2008), h. 293.
[28]Muhammad Bakr Isma`îl, al-Qawâ`id al-Fiqhiyah bayn
al Ishâlah wa al-Tawjîh, (T.T: Dâral-Manâr, T.Th), h. 209. Bandingkan dengan
Ahmad bin Syaikh Muhammad al-Zarqâ, Syarh al-Qawâ`id al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dâr al-Qalam,
1989), h. 431.
[29]Dijelaskan secara detail oleh al-Qarrafiy dalam kitabnya al-Furûq serta al-Dakhîrah, (Beirut: Dâr al-Gharb
al-Islâmiy, 1994), j. IV, h. 398.
[30]Abû Sulaymân Hamad bin Muhammad al-Khathâbiy, Ma`âlim al-Sunan, (Halabiy: al-Mathba`ah
al-`Ilmiyah, 1932), j. 2, h. 229.
[31]Abû al-Walîd Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, al-Muqaddimât
al-Mumahhidât, (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmiy, 1988), j. I, h. 97-99.
[32]Abû `Umar Yûsuf bin `Abdillah bin Muhammad bin `Abdil Barr, al-Tamhîd limâ fiy
al-Muwaththa’ min al-Ma`âniy wa al-Asânîd, (Maghrib: Wizârah `Umûm
al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyah, 1387), j. 2, h. 39.
[35]Abû Bakr bin Abî al-Qâsim al-Ahdal, Syarh al-Farâ’id al-Bahiyah, (Damaskus: Muassasah al-Risâlah Nâsyirûn, 2009), h. 114.
[36]Abu al-Faydl Muhammad Yasin ibn ‘Isa al-Fadani, AI-Fawâ’id al-Janiyah, (Beirut: Dar al-Mahajjah
al-Baydlâ’, 2008), h. 429.
[37]Abu Abdillah Badruddin Muhammad bin Bahadur al-Zarkasyi, al-Mantsûr fi al-Qawâ’id
Fiqh Syâfi’iy, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), j. 1, h.154.
[38]Ini apabila najis yang melekat adalah najis yang tidak berbentuk,
tidak berbau dan tidan berasa (hukmryyah) atau najis biasa (ainryyah) yang bisa hilang dengan satu kali basuhan.
[41]Abû al-Faraj `Abdurrahmân bin Ahmad bin Rajab, al-Qawâ`id fiy al-Fiqh
al-Islâmiy, (Kairo: Maktabah al-Kulliyât al-Azhariy, 1971), h. 265-266.
[44]Zaynuddîn bin Ibrâhîm bin Muhammad bin Nujaym, al-Asybâh wa
al-Nazhâ’ir `alâ Madzhab Abiy Hanîfah al-Numân, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-Ilmiyah, 1999), h. 338-339.