Yang
dimaksud dengan pemeliharaan Al- Qur’an di sini ialah, pemeliharaan dalam
bentuk pengumpulan dan penulisan Al- Qur’an. Sebab, sebagaimana diketahui,
bahwa sejak permulaan turunnya, Rasulullah saw. dan para sahabat sudah mulai
membukukan dalam rangka pemeliharaan terhadap Al- Qur’an.
Pada
dasarnya, ada dua jalur yang ditempuh oleh Rasulullah saw. dan para sahabat
dalam upaya pemeliharaan Al- Qur’an pada masa itu, yaitu, pemeliharaan Al-
Qur’an di dada melalui hafalan dan pemeliharaan Al- Qur’an di atas material
melalui tulisan
a. Pemeliharaan Al- Qur’an Melalui Hafalan
Rasulullah
saw. ialah hafizh (penghafal) Al- Qur’an pertama sekaligus contoh
terbaik bagi para sahabat khususnya ketika itu dan bagi kaum muslimin umumnya
sampai hari kiamat. Rasulullah saw. adalah juga yang paling gemar menghafal dan
sekaligus paling gemar membaca Al- Qur’an. Beliau selalu menghidupkan hafalan
dan ajaran- ajarannya melalui ibadah salat disertai dengan perenungan dan penghayatan
terhadap maknannya. Oleh karena ketaatannya beribadah di setiap malam itulah,
sehingga kedua tumit kaki Rasulullahf yang mulia itu menjadi retak- retak. Atas
dasar itulah, maka tidak mengherankan apabila ia digelari sebagai Sayyid al-
Huffazh dan Awwal al- Jumma’, sehingga beliau menjadi muara dan
tempat kembalinya para sahabat dan kaum muslimin secara keseluruhan dalam
mengkaji dan mempelajari Al- Qur’an.
Pada
masa Rasulullah, para sahabat r.a berlomba- lomba membaca, menghafal dan
mempelajari Al- Qur’an, selanjutnya mereka menyampaikan dan mengajarkan apa
yang diterimanya dari beliau kepada istri dan anak- anak mereka di rumah
masing- masing. Karena kesungguhannya itu, para sahabat sangat banyak yang
menghafal Al- Qur’an, sebab Rasulullah saw. sendiri selalu menekankan kepada
mereka agar menghafal Al- Qur’an. Seiring dengan semakin banyaknya para sahabat
yang menghafal dan memahami Al- Qur’an, Rasulullah saw. mengutus sebagian dari
mereka ke berbagai daerah, untuk membacakan dan mengerjakan Al- Qur’an kepada
penduduk yang berada di berbagai daerah. Di antaranya Mash’ab bin ‘Umair dan
Ibnu Ummi Maktum sebelum berhijrah ke Madinah untuk mengajarkan Al- Qur’an
kepada penduduk daerah tersebut. Hal serupa juga dilakukan oleh Rasulullah
setelah berhijrah ke Madinah, dengan mengutus Mu’adz bin Jabal ke Makkah dengan
maksud dan tujuan yang sama. Sehubungan dengan itu, ‘Ubadah bin Shamit (salah
seorang sahabat Rasulullah saw.) ketika itu berkata: “Apabila ada seseorang
yang berhijrah (dari Makkah ke Madinah) Rasulullah saw. memerintahkan salah
seorang dari kami untuk mengajarkan Al- Qur’an kepada mereka, sehingga selalu
kedengaran hiruk pikuk suara membaca Al- Qur’an di masjid Rasul. Karenanya
beliau memerintahkan agar para sahabat mengcilkan suaranya supaya tidak
kedengaran gaduh.
Dari
sini dapat diketahui, betapa banyak para sahabat menghafal Al- Qur’an. Keadaan
seperti itu, sekaligus menggambarkan kegandrungan kepada Al- Qur’an yang benar-
benar meliputi hati masing- masing mereka.
Di
antara para sahabat yang menghafal Al- Qur’an pada masa hidupnya Rasulullah
saw. dari golongan Muhajirin ialah; Khlifah yang empat (Abu Bakar al- Shiddiq,
Umar bin Khathab, ‘Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib). Thalhah, Sa’ad,
Abdullah bin Mas’ud, Khudzaifah, Salim Maula Abi Khudzaifah, Abu Hurairah,
Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Amr bin al- ‘Ash, anaknya yakni
Abdullah, Mu’awiyah, ‘Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Al- Sa’ib. A’isyah,
Hafshah, Ummu Salamah dan lain- lain. Sedangkan di antara yang hafal Al- Qur’an
dari golongan Anshor pada masa Rasulullah saw. ialah: Ubay bin Ka’ab, Mu’adz
bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’, Majma’ bin Haritsah, Anas bin Malik,
Abu Zaed. Dan lain- lain.
Menurut
satu riwayat, sebagian dari sahabat ada yang merampungkan hafalan Al- Qur’an
setelah wafatnya Rasulullah saw. Namu demikian, bagaimana pun juga, yang jelas
para sahabat yang menghafal Al- Qur’an sangat banyak, sehingga jumlah huffazh
Al- Qur’an yang terbunuh sebagai syahid pada pertempuran Bi’ri
Ma’unah di zaman Rasulullah dan pertempuran di Yamamah ketika melawan Musailamah
al- Kadzdzabdi zaman kekhalifahan Abu Bakar saja tidak kurang dari seratus
empat puluh orang, menurut keterangan al- Qurthubiy, jumlah huffazh (penghafal
Al- Qur’an) yang syahid pada peperangan Yamamah (di zaman Abu Bakar al-
Shiddiq) kurang lebih tujuh puluh orang, sedang jumlah huffazh yang
syahid di zaman Nabi saw. dalam peperangan Bi’ri Ma’unah adalah tidak kurang
dari tujuh puluh orang.
Adapun
faktor- faktor yang tampaknya dapat dijadikan sebagai acuan dan sekaligus
sebagai pendorong kaum muslimin untuk menghafal Al- Qur’an antara lain adalah:
a.
Al-
Qur’an al- Karim berisi aturan hidup (dustur al- hayat) yang harus
dijalankan. Tuntutan itu membuat kaum muslimin tergugah kesadarannya untuk
memahami petunjuk mengenai halal haram, perintah larangan dan lain- lain, yang
harus dipatuhinya sehingga dengannya dapat tercapai ketentraman dan kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat. Tuntutan untuk mengamalkan isi Al- Qur’an secara
menyeluruh guna mencapai kebahagiaan dimaksud itulah tampaknya yang mendorong
mereka untuk menghafalnya, berikut memahami isi kandungannya secara menyeluruh.
b.
Al-
Qur’an adalah merupakan tanda keagungan Allah yang memilki keindahan balaghah
dan sekaligus mengandung i’jaz, yang menyebabkan orang- orang Arab
bertekuk lutut, karena susunan bahasanya melampaui tingkat kemampuan yang
dimiliki mereka. Hal ini membuat orang- orang Arab yang fasih (fushaha’ al-
‘Arab) menjadi bingung menghadapinya.
c.
Para
huffzh mempunyai kedudukan terhormat di kalangan kaum muslimin Al-
Qur’an umumnya serta di hadapan Allah dan Rasul- Nya khususnya. Kondisi yang
demikian, merangsang mereka untuk berlomba menghafal Al- Qur’an. Kedudukan
penghafal Al- Qur’an yang sedemikian tinggi disabdakan oleh Rasulullah saw.
sbagai berikut:
إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما ويضع به آخربن
“Sesungguhnya
Allah mengangkat derajat kaum/ kelompok dengan kitab ini (Al- Qur’an) dan
merendahkan/ menghinakan yang dengannya”.
b. Pemeliharaan Al- Qur’an melalui tulisan
Selain pemeliharaan Al- Qur’an dilakukan melalui hafalan,
Rasulullah saw. dan para sahabat pada masa itu, juga melakukan pemeliharaan
terhadap Al- Qur’an melalui tulisan dengan memanfaatkan benda- benda material
yang memungkinkan untuk digunakan.
Menurut riwayat, alat- alat yang digunakan sebagai sarana untuk
memelihara Al- Qur’an, guna mengabadikan kemurnian al- Qur’an, antara lain
melalui:
a.
‘Usub, yaitu; pelepah kurma yang sudah dipisahkan dari batang-
batang daunnya. Penulisannya dilakukan pada bagian- bagiannya yang datar atau
rata. Selain itu juga dilakukan di al- karanif (kulit pohon kurma).
b.
al-
Likhaf, yaitu;
lempengan- lempengan batu halus yang memungkinkan untuk dipindah- pindahkan.
c.
al-
Riqa’, yaitu; daun-
daun atau kulit- kulit pohon teretentu.
d.
al-
Aktaf, yaitu; tulang-
tulang unta atau domba yang dapat ditulisi setelah dikeringkan.
e.
al-
Aqtab, yaitu; papan
yang bisa diletakkan di atas punggung unta yang digunakan untuk menahan barang-
barang bawaan.
f.
Qitha’
al- Adim, yaitu; potongan- potongan kulit unta dan atau kulit kambing.
Informasi mengenai jenis- jenis atau
alat- alat tulis di atas, memberikan gambaran kepada kita, betapa sederhananya
alat- alat tulis yang digunakan para sahabat dalam rangka memenuhi perintah
Rasulullah untuk mencatat wahyu ketika Rasulullah saw. masih hidup.
Untuk tugas penulihan ayat- ayat Al-
Qur’an, Rasulullah saw. mengangkat beberapa orang juru tulis yang amat terpercaya,
teliti dab sangat hati- hati dalam urusan itu. Yang paling tersohor di antara
mereka ialah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay
bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan lain- lain. Kecuali
sahabat- sahabat besar itu, terdapat juga mereka yang menulis wahyu Al- Qur’an
sesuai dengan yang mereka dengar dan mereka hafal dari Rasulullah saw. sebagai
dokumen pribadi, seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ali, mushaf
A’isyah dan lain- lain.
Para penulis itu, hanya bertugas
menulis wahyu Al- Qur’an dan meletakkan urutan- urutannya berdasarkan petunjuk
dari Rasulullah saw. (tauqifi) sesuai perintah Allah melalui malaikat
Jibril. Semua ayat- ayat Al- Qur’an yang telah ditulis di hadapan Nabi pada
benda- benda yang bermacam- macam itu disimpan di rumah beliau dalam keadaan
yang masih berpencar- pencar ayatnya, belum dihimpun dalam satu mushaf. Oleh
karena itu, Al- Qur’an yang ada sekarang benar- benar terpelihara kemurnian dan
keasliannya. Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam hubungan kemurnian
dan terpeliharanya Al- Qur’an secara aman ialah bahwa “teks” yang sekarang ini
ditulis menurut tuntutanan dan petunjuk Rasulullah saw. dan dilakukan di
hadapan beliau sendiri. Di samping itu, sebagaimana dikemukakan di atas, Al-
Qur’an juga dihafal oleh sebagian besar sahabat Rasul selama Al- Qur’an
diturunkan. Praktek seperti dikemukakan di atas, mengacu kepada salah satu
riwayat yang diterima dari Zaid bin Tsabit, ia mengatakan: “Kami menulis dan
mengumpulkan Al- Qur’an dibenda- benda material seperti daun- daun atau kulit-
kulit pohon tertentu (al- Raqa’) berdasarkan perintah dan petunjuk dari
Rasulullah saw. sesuai dengan perintah dan petunjuk dari Allah SWT.” Atas dasar
itulah, para ulama’ sepakat, bahwa susunan tertib surat dan ayat- ayat Al-
Qur’an seperti yang kita lihat sekarang adalah berdasarkan petunjuk Rasulullah
saw. (tauqifi) dan sesuai dengan wahyu Allah. Sebab, Jibril sendiri
datang kepada Nabi saw. menyampaikan satu ayat atau beberapa ayat dengan mengatakan
kepada Beliau:”Hai Muhammad, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu agar
meletakkan ayat ini...pada surah ini...”. Begitu pula yang dilakukan oleh Nabi
saw. kepada para sahabat penulis wahyu (Kuttab al- Wahyi) dengan
mengatakan:”Letakkanlah (tulislah) ayat ini....Di tempat ini..”.
Keterangan di atas bukan saja
menjelaskan bukan saja menjelaskan mengenai perbuatan Rasulullah saw. pada
waktu- waktu tertentu, melainkan juga menginformasikan kepada kita tentang apa
saja yang selalu dilakukan oleh beliau setiap ada ayat- ayat Al- Qur’an yang
diturunkan kepadanya. Dengan demikian jelaslah, bahwa setiap kali wahyu
diturunkan segera wahyu itu ditulis atas perintah yang disertai petunjuk Rasul,
dan penulisan itu dilakukan di hadapan beliau. Dengan teknis yang demikian,
para penulis wahyu tidak mencampur adukkan ayat- ayat dari suatu surah dengan
ayat- ayat dan surah lainnya. Oleh karena itu, jalur yang ditempuh oleh
Rasulullah saw. dan para sahabat melalui jalur hafalan dan jalur tulisan, untuk
memelihara kemurnian Al- Qur’an, sangatlah tepat, sebab dapat mendukung dan
sekaligus menjamin terpeliharanya Al- Qur’an dengan lengkap dan murni, selaras
dengan janji Allah dalam firman- Nya:
إنا نحن نزلنا الذكر و إناله لحافظون
(الحجر : 9)
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
Al- Qur’an dan
sesungguhnya Kamilah yang akan benar- benar memelihara- nya. Q.S. (5):9
Ayat di atas memberikan jaminan
tentang kesucian dan kemurnian Al- Qur’an untuk selama- lamanya. Untuk
mengantisipasi kemungkinan agar tidak terjadi pencampuradukan ayat- ayat Al-
Qur’an dengan kata- kata lainnya, Rasulullah saw. sendiri tidak memperkenankan para
sahabat menulis apa pun selain Al- Qur’an. Hal ini dapat disimak dari hadits
riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
....لا تكتبوا
عنى غير القرآن ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه
Janganlah kalian menulis sesuatu
dari aku selain Al- Qur’an. Barang yang telah menulis dari aku selain Al-
Qur’an, maka hendaklah dihapusnya....
Dalam hubungan ini, dapat
dikemukakan beberapa faktor pendukung terpeliharanya kemurnian Al- Qur’an
secara aman sejak zaman Rasulullah saw. hingga sekarang adalah;
a)
Setiap
ayat Al- Qur’an diturunkan, selalu dan segera ditulis oleh Kuttab al- Wahyi (penulis
wahyu), atas petunjuk dari Rasulullah saw. dan penulisnya langsung dilakukan di
hadapan beliau. Begitu pula, ketika Al- Qur’an dikumpulkan dari benda- benda
sederhana, dilakukan dengan cara pengumpulan yang sangat mantap dan
menyakinkan.
b)
Kegiatan
tulis menulis sebelum Al- Qur’an diturunkan telah ada di kalangan bangsa Arab,
terutama di Makkah dan Madinah. Kenyataan ini merupakan kondisi yang sangat
mendukung bagi pelaksanaan penulisan wahyu Al- Qur’an dengan baik dan aman.
c)
Al-
Qur’an dihafalkan oleh Rasulullah saw. dan sebagian besar dari para sahabat
beliau. Penghafalan Al- Qur’an di kalangan para sahabat demikian antusias dan
seriusnya, disebabkan kecintaannya yang mendalam kepada Rasulullah dan wahyu
yang diturunkan kepadanya.
d)
Al-
Qur’an adalah merupakan bacaan rutin sebagian besar kaum muslimin di muka bumi
ini, mengingat besarnya pahala yang diperoleh bagi pembacanya, selain
membacanya juga termasuk ibadah.
Al- Qur’an, pada masa Rasulullah saw. di samping secara keseluruhan
terpelihara dalam hafalan, juga terpelihara dalam tulisan, baik yang dilakukan
oleh kepercayaan beliau sendiri maupun yang dilakukan oleh sahabat- sahabat
lainnya secara perorangan, sebagai pegangan dan dokumen pribadi mereka yang
tidak terhitung jumlahnya. Tulisan- tulisan wahyu Al- Qur’an yang terdapat pada
benda- benda sederhana itu sebagaimana telah dikemukakan di atas yang ditulis
oleh kepercayaan beliau tersebut disimpan di rumah Rasulullah saw. sendiri.
D.
Pemeliharaan Al- Qur’an di Masa Abu Bakar al-
Shiddiq dan ‘Utsman bin ‘Affan
1.
Pemeliharaan
Al- Qur’an di masa Khalifah Abu Bakar al- Shiddiq
Setelah Rasulullah saw. wafat pada awal tahun ke sebelas hijriyah,
para sahabat secara aklamasi memilih Abu Bakar al- Shiddiq untuk memegang
tampuk pemerintahan, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Seusai dipilih ia
berkhutbah dan mengatakan:
أيها الناس قد وليت عليكم ولست
بخيرمنكم فإن احسنت فأعينونى وان صدفت فقومونى، الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف
فيكم قوى عندى حتى آخذ له حقه والقوى فيكم ضعيف عندى حتى آخذ الحق منه إن شاالله.
Wahai sekalian manusia, kalian telah memilihku sebagai pemimpin,
tetapi bukan berarti aku lebih bagi dari kalian. Bila aku berada dalam
kebenaran, maka dukunglah aku, sebaliknya bila aku dalam posisi salah maka
luruskanlah aku. Karena kebenaran itu adalah amanah adan kebohongan itu berarti
khianat. Dan orang yang dianggap lemah dari kalian aku anggap kuat bila hak-
haknya diabaikan, sedang orang yang dianggap kuat dihadapan kalian, aku pandang
lemah jika hak- hak orang lain dilanggarnya, Insya Allah.
Pada awal- awal masa kekhalifahannya, Abu Bakar al- Shiddiq
dihadapkan dengan berbagai persoalan, di antaranya adalah banyaknya orang Islam
yang belum kuat imannya, terutama di Nejed dan Yaman, sehingga banyak di antara
mereka yang murtad. Selain itu, khalifah juga menghadapi gerakan
pembangkangan membayar zakat, sekaligus orang- orang yang menyatakan dirinya
sebagai Nabi (nabi palsu) yang dipelopori oleh Musailamah al- Kadzdzab.
Terhadap pembangkang- pembangkang it, khalifah Abu Bakar sangat tanggap dan
bertindak tegas. Hal ini dapat disimak dan dilihat dalam penegasan dan tindakan
berikutnya, ia mengatakan:
والله لو متعونى عناقا كانوا يؤدونها
لرسول الله صلى الله عليه وسلم لقاتلتهم على منعها
Demi Allah, sekiranya mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak
domba sebagai zakat, seperti yang mereka serahkan kepada Rasulullah saw. pasti
akan aku perangi mereka.
Dengan pendiriannya itulah, akhirnya khalifah mempersiapkan pasukan
perang berjumlah kurang lebih empat ribu personel berkuda, di bawah komando
Khalid bin Walid untuk menyerang dan menggempur para pembangkang dalam rangka
menyadarkan mereka. Kemudian terjadilah pertempuran sengit di Yamamah, yang
terkenal dalam sejarah dengan nama pertempuran atau perang Yamamah. Tragedi
Yamamah tersebut berlangsung pada tahun ke- 12 hijriyah dan cukup banyak
memakan korban di pihak kaum muslimin, termasuk sejumlah 70 orang sahabat yang
hafal Al- Qur’an gugur sebagai syuhada’. Angka tersebut menambah jumlah
penghafal Al- Qur’an yang syahid yang pernah terjadi pada masa
Rasulullah saw. ketika terjadi pertempuran di Bi’ri Ma’unah dekat Madinah, yang
juga memakan korban kurang lebih berjumlah 70 orang. Sehingga jumlah sahabat
penghafal Al- Qur’an yang syahid pada kedua pertempuran tersebut adalah
kurang lebih 140 orang. Kendati demikian, pertempuran akhirnya dimenangkan oleh
kaum muslimin, dan Musailamah al- Kadzdzab akhirnya dapat dibunuh. Pembunuh
nabi palsu tersebut ialah seorang prajurit muslim yang bernama Wahsyi, yang
mana sebelum memeluk agama Islam ketika terjadi perang Uhud, dialah yang
membunuh Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah saw. sendiri. Setelah
berhasil menewaskan Musailamah al- Kadzdzab tersebut, ia mengatakan:
قتلت خير الناس وقتلت شر الناس
Aku telah membunuh manusia yang paling baik (Hamzah) dan akupun
telah membunuh orang yang paling jahat (Musailamah al- Kadzdzab).
Menurut sejarah, peristiwa Yamamah inilah yang menjadu
latarbelakang timbulnya kecemasan Umar bin al- Khaththab, kemudian mendorong
dan mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar agar secepatnya mengusahakan
penghimpunan ayat- ayat Al- Qur’an menjadi satu mushaf, karena
dikhawatirkan akan lenyapnya sebagian ayat Al- Qur’an disebabkan oleh gugurnya
sebagian dari para penghafalnya. Pada mulanya khalifah Abu Bakar merasa ragu-
ragu menerima usul Umar tersebut, tetapi setelah melalui diskusi yang mendalam
dan pertimbangan yang cermat serta memperhatikan segi- segi maslahatnya,
akhirnya khalifah menerima usul dan saran itu. Kemudian khalifah Abu Bakar
ketika itu memanggil dan memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit agar segera
menghimpun ayat- ayat Al- Qur’an yang masih berserakan yang ditulisnya pada
masa Rasulullah itu menjadi satu mushaf.
Untuk lebih jelasnya, dialog dan diskusi yang terjadi antara
khalifah Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab dan Zaid bin Tsabit mengenai hal
tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Dialog
antara Umar dengan Abu Bakar
Umar: “Dalam pertempuran Yamamah, para sahabat yang telah menghafal
Al- Qur’an banyak yang gugur. Karena itu, saya khawatir, nanti akan gugur lagi
yang lain dalam pertempuran- pertempuran berikutnya, sehingga habislah para hafizh
Al- Qur’an ini. Oleh sebab itu, sebelum para penghafal Al- Qur’an ini lebih
banyak lagi yang berguguran, perlu kiranya Al- Qur’an yang masih berserakan itu
untuk segera dihimpun menjadi satu”.
Abu Bakar: “Bagaimana aku harus memperbuat sesuatu yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. ?” sambil balik bertanya. Demi Allah, kat
Umar, “Ini adalah perbuatan yang sangat baik dan terpuji”.
Berulangkali Umar berusaha menyakinkan Abu Bakar mengenai kebaikan
dan kemaslahatan mengumpulkan Al- Qur’an, dengan mengemukakan alasan- alasan
yang logis dan rasional, sehingga akhirnya Allah membukakan pintu hidayah bagi
Abu Bakar, dan menerima ide Umar dengan baik. Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid
bin Tsabit.
b.
Dialog
antara Abu Bakar dengan Zaid bin Tsabit
Abu Bakar: “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas yang amat
terpercaya, dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu disuruh oleh
Rasulullah saw. Oleh karena itu, maka kumpulkanlah Al- Qur’an yang masih
berserakan itu ke dalam satu mushaf”.
Zaid bin Tsabit: “Demi Allah, ini adalah pekerjaan dan tugas yang
sangat berat bagi saya. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah
bukit, maka hal itu tidak akan seberat apa yang engkau perintahkan”.
Selanjutnya ia mengatakan: “Mengapa tuan- tuan hendak melakukan sesuatu yang
tidak pernah diperbuat oleh Rasulullah saw. sendiri?”
Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, ini adalah perbuatan yang sangat
baik”, seraya mengemukakan alasan- alasan, sebagai mana yang disampikan oleh
Umar bin Khaththab, ketika ia menyampaikan gagasannya terhadap diri Abu Bakar.
Akhirnya terbukalah hati Zaid bin Tsabit untuk menerima apa yang diperintahkan
oleh Abu Bakar, selaku khalifah dan sekaligus sahabatnya. Kemudian Zaid mulai
bekerja dengan mengumpulkan dan menelusuri ayat- ayat Al- Qur’an yang terdapat
pada benda- benda sederhana yang masih berserakan dan dari para sahabat yang
hafal Al- Qur’an.
Dalam menjalankan tugasnya yang teramat berat tetapi mulia ini,
Zaid bin Tsabit bertindak sangat hati- hati, sungguh pun sebenarnya ia sendiri
hafal Al- Qur’an dan sebagai juru tulis wahyu yang paling berperan dan utama
pada masa Rasulullah. Dalam menunaikan tugas sucinya itu, Zaid bin Tsabit tetap
berpegang pada dua hal, yaitu:
1)
Ayat-
ayat Al- Qur’an yang benar-benar ditulis oleh para sahabat, bersama- sama
dengannya dihadapan Rasulullah saw. yang tersimpan di rumah beliau.
2)
Ayat-
ayat Al- Qur’an yang dihafal oleh para sahabat penghafal Al- Qur’an yang masih
hidup pada masa itu.
Selaku ketua dewan dalam menunaikan tugas yang teramat mulia itu,
Zaid bin Tsabit dibantu oleh beberapa anggota dewan yang kesemuanya menghafal
Al- Qur’an. Selain Zaid bin Tsabit, mereka itu ialah, Ubay bin Ka’ab, Ali bin
Abi Thalib, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Umar bin Khaththab.
Dalam usaha merampungkan kerja besar itu, kelompok penulis wahyu
tersebut secara berkala mengadakan pertemuan- pertemuan, terutama bila
menghadapi kendala dalam penulisannya. Keseriusan dan kesungguhan Zaid bin
Tsabit dalam menjalankan tugas tersebut terlihat jelas, ketika ia mengetahui
ada satu ayat yang luput ditulis, yang belum ditemukan kepastian bunyinya,
sehingga ia terus dilacaknya, sampai akhirnya menurut pengakuan Zaid ia
mengatakan: “Saya menemukan akhir surat al- Taubah pada Abu Khuzaemah al-
Ansory yang tidak aku dapatkan pada orang lain”. Akhir surat itu adalah:
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه
ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رئوف رحيم فإن تولوا فقل حسبي الله لا إله إلا هو
عليه توكلت وهو رب العرش العظيم (التوبة :128-129)
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keselamatan dan
keimanan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang- orang
mu’min. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah, cukuplah Allah
bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada- Nya aku berserah diri, dan
Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang Agung.
Yang dimaksud dengan pernyataan Zaid dalam bentuk pengakuan
mengenai ditemukannya akhir surat al- Taubah hanya dari Abu Khuzemah
sebagaimana dikemukakan di atas adalah; “Bahwa ia tidak menemukan akhir surat
al- Taubah itu dalam bentuk tertulis kecuali pada Abu Khuzaemah”. Pernyataan
dengan kalimat yang demikian itu cukup dapat diterima, karena banyak di antara
sahabat Nabi yang hafal ayat itu, bahkan Zaid sendiri menghafalnya. Dengan
pernyataan itu, Zaid hanya hendak memperlihatkan sikapnya yang amat hati- hati,
dan sekaligus menunjukkan, bahwa Al- Qur’an yang dihafal para sahabat di dalam
dada mereka diperkuat kebenarannya oleh naskah- naskah tertulis.
Abu Bakar, dalam pengarahannya kepada Zaid bin Tsabit dan Umar bin
Khaththab pernah mengatakan:
اقعدوا على باب المسجد فمن جاءكما
بشاهدين على شيئ من كتاب الله فاكتبوه
Duduklah kalian berdua di pintu masjid (Nabawi). Setiap orang yang
datang kepada kalian membawa dua saksi mengenai sesuatu dari kitab Allah maka
hendaklah kalian tulis.
Menurut Ibnu Hajar, pernyataan Abu Bakar mengenai dua saksi
dimaksud adalah mengandung pengertian hafalan dan tulisan.
Sedang Jumhur Ulama’ berpendapatm bahwa yang dimaksud dengan dua
orang saksi dalam pernyataan Abu Bakar itu adalah bahwa kesaksian tertulis
tersebut harus dibawa oleh dua orang yang adil (orang jujur dan shalih). Di
samping itu, juga harus ada dua orang saksi lainnya yang adil dari kalangan
penghafal Al- Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, masing- masing jenis
kesaksian itu tidak cukup kalau hanya diberikan oleh satu orang. Pendapat ini
dilandasi oleh pernyataan Umar yang mengatakan: “Siapa saja yang pernah
menerima sesuatu mengenai Al- Qur’an dari Rasulullah saw. hendaknya ia
membawanya”. Dan Umar sendiri tidak mau menerima satu ayat pun dari seseorang
tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya oleh dua orang saksi.
Oleh karena itu, ucapan Zaid bin Tsabit yang telah dikemukakan di
atas sama sekali tidak memastikan bahwa akhir surat itu hanya diketahui oleh
satu orang (Abu Khuzaemah) saja, sebab Zaid bin Tsabit sendiri juga sudah
mendengar dan menghafalnya. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa
penulusurannya terhadap ayat- ayat Al- Qur’an di kalangan para sahabat Nabi
terkemuka semata- mata untuk mencocokkan catatan yang sudah ada, bukan untuk
memperoleh pengetahuan tentang ayat itu.
Tugas pengumpulan Al- Qur’an yang dilakukan oleh “Dewan Zaid”
tersebut dapat dirampungkan dengan sangat baik dalam waktu kurang lebih satu
tahun, yakni seusai terjadinya perang Yamamah sampai dengan sebelum wafatnya
Abu Bakar. Dengan demikian, tercatat dalam sejarah, bahwa Abu Bakar adalah
orang yang pertama- tama melakukan penghimpunan ayat- ayat Al- Qur’an dalam
satu mushaf. Sedangkan Umar ra. adalah sebagai orang yang pertama kali
mencetuskan ide untuk menghimpun Al- Qur’an, serta Zaid bin Tsabit terkenal
sebagai orang yang pertama kali melaksanakan penulisan dan penghimpunan Al-
Qur’an dalam satu mushaf. Atas dasar itulah dengan tidak mengenyampingkan
yang lain, Abu Bakar sebagai decision maker adalah menduduki posisi
tersendiri dalam karya besar dan agung itu. Sehingga tidak berlebihan bila Imam
Ali mengatakan:
أعظم الناس فى المصاحف أجرا أبوبكر
إن أبابكر كان أول من جمع كتاب الله
Orang yang paling besar pahalanya di dalam masalah mushaf ialah Abu
Bakar. Dialah orang yang pertama sebagai pengambil keputusan untuk mengumpulkan
Kitab Allah.
Menurut riwayat, setelah Al- Qur’an selesai ditulis pada kertas
oleh “Dewan Zaid”, Abu Bakar berkata kepada sahabat, carikanlah nama baginya.
Sehingga pada saat itu secara spontan ada yang mengusulkan agar diberi nama “al-
Sifr”. Nama itu kurang disetujui oleh Abu Bakar, karena istilah itu adalah
nama yang biasa digunakan oleh orang- orang Yahudi. Kemudian ada di antara
mereka yang mengusulkan agar diberi nama “al- Mushhaf”, karena orang-
orang Habsiyah menamakan hal yang serupa dengan istilah mashhaf. Terhadap
usuk yang terakhir ini Abu Bakar setuju, akhirnya mereka sepakat menamainya
dengan istilah “Mashhaf al- Qur’an”.
Mushhaf Al-
Qur’an hasil kerja “Dewan Zaid” itu, kemudian disimpan oleh Abu Bakar. Setelah
ia meninggal, dan Umar terpilih sebagai khalifah, kemudian mushhaf tersebut
disimpan dan dirawat oleh Umar ra. demi keamanannya. Selanjutnya, setelah
khalifah yang kedua wafat, mushhaf Al- Qur’an itu disimpan di rumah
Hafshah, istri Rasulullah saw. yang juga putri Umar sendiri. Keadaan seperti
itu dapat saja menimbulkan pertanyaan: Mengapa mushhaf tersebut tidak
diserahkan kepada khalifah berikutnya (‘Utsman bin ‘Affan)? Menurut Dr. Zarzur,
khalifah Umar mempunyai pertimbangan lain. Konon, menjelang wafatnya, khalifah
Umar memberikan kesempatan kepada enam orang sahabatnya untuk bermusyawarah
dalam rangka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah.
Bila Umar memberikan mushhaf itu kepada salah seorang di antara enam
sahabat yang dianggapnya potensial itu, ia khawatir sikap semacam itu
diiterpretasikan sebagai dukungannya kepada sahabat yang memegang mushhaf. Jadi
dengan cara yang demikian, sebenarnya khalifah Umar bertujuan untuk memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada enam orang sahabat itu untuk memilih satu di antara
mereka yang dianggap lebih layak menjadi khalifah. Karenanya, diserahkannya mushhaf tersebut kepada Hafshah dengan pertimbangan antara lain:
1.
Hafshah
adalah seorang istri Rasulullah dan sebagai puteri khalifah.
2.
Hafshah
dikenal sebagai orang yang cerdas pandai membaca dan menulis, di samping
menghafal Al- Qur’an.
Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, mushhaf Al- Qur’an yang
ditulis “Dewan Zaid” itu tidak diperbanyak. Alasannya adalah, karena memang
motif penghimpunan Al- Qur’an pada saat itu bukan untuk kepentingan orang-
orang yang hendak menghafalnya, tetapi hanya untuk menjaga keutuhan serta
keasliannya saja.
2.
Pemeliharaan
Al- Qur’an di Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
‘Utsman bin ‘Affan mulai memangku jabatan khalifah pada tahun 24 H.
(7 Nopember tahun 644 M.). Pada masa kekhalifahannya, ekspansi wilayah
kekuasaan Islam semakin luas, dan berkembang ke berbagai benua. Sejalan dengan
itu, umat Islam pun ikut menyebar ke berbagai pelosok negeri yang berada di
bawah kekuasaan Islam. Khalifah ‘Utsman sebagaimana pendahulunya, Umar bin
Khaththab, juga terus mengembangkan sayap Islam, sehingga interaksi dan
pergaulan antara masyarakat Arab dengan yang non Arab sudah barang tentu pasti
akan terjadi. Pada periode ini timbul kecenderungan baru untuk mempelajari Al-
Qur’an, termasuk mempelajari cara pengucapan dan membacanya. Padahal keadaan
mereka telah sedemikian jauh perbedaannya dibandingkan dengan situasi dan
kondisi pada saat turunnya wahyu Al- Qur’an di masa Rasulullah saw. penduduk-
penduduk daerah Islam pada waktu itu masing- masing menggunakan cara bacaan
sesuai dengan yang diterima dari masing- masing guru mereka, yang dianggapnya
paling baik dan benar. Karenanya, tidaklah mengherankan bila terjadi apa yang
disebut “deferensial bacaan Al- Qur’an” saat itu. Misalnya, penduduk
Syam membaca Al- Qur’an sesuai dengan bacaan Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah
menggunakan bacaan Abdullah bin Mas’ud, dan penduduk daerah lainnya menggunakan
cara bacaan Abu Musa al- Asy’ariy. Sehingga tampak dengan jelas perbedaan
bacaan mereka dalam membaca Al- Qur’an, baik dari segi cara membunyikan huruf-
huruf maupun segi- segi qira’at dan makhrajnya. Karenanya mereka
saling menyalahkan dan menganggap bahwa bacaan yang diterimanya dari gurung
masing- masing adalah yang paling benar. Dengan demikian, kejadian semacam itu
lambat laun akan membuka peluang terjadinya pertentangan dan pertengkaran dalam
cara membaca Al- Qur’an.
Bahkan menurut suatu riwayat, pada masa khalifah ‘Utsman, seorang
guru mengajarkan qira’at tokoh tertentu, dan seorang guru lagi
mengajarkan qira’at tokoh lainnya. Akhirnya antara murid guru yang satu
dengan murid guru yang lain bertemu, kemudian saling menyalahkan bacaan yang
dapat membawa kepada perpecahan. Persoalan itu akhirnya terangkat sampai kepada
para guru mereka, yang pada gilirannya saling menyalahkan dan saling
mengkafirkan. Peristiwa itupun sampai pada khalifah Usman. Melihat kenyataan
itu, khalifah mengatakan kepada mereka: “Kalian selalu berselisih dan
bertengkar mengenai cara membaca Al- Qur’an yang semestinya, padahal aku masih
berada di tengah- tengah kalian,. Bagaimana dengan penduduk daerah- daerah yang
jauh lagi dari aku tentu akan bertengkar dan berselisih lebih hebat lagi, serta
lebih banyak menyimpang dalam membaca Al- Qur’an..”.
Apabila situasi bacaan umat Islam terhadap Al- Qur’an itu dibiarkan
berlarut- larut seperti itu, maka jelas akan sangat mengganggu persatuan dan
kesatuan umat Islam. Peluang kearah yang tidak diinginkan itu demikian tampak
jelas ketika pasukan Syam bersama- sama dengan pasukan Irak berjuang membela
Islam di Armenia dan Adzerbaijan. Pada saat itulah Khudzaifah bin al- Yamaniy
melihat kenyataan perbedaan bacaan Al- Qur’an yang terjadi di kalangan kaum
muslimin. Atas dasar itulah, sekembalinya dari medan tempur itu, Kudzaifah
menghadap kepada khalifah ‘Utsman dengan mengutarakan kejadian yang dialaminya
itu, dan mengatakan: “Ya Amir al- Mu’minin, persatukanlah segera umat Islam ini
sebelum mereka berselisih mengenai kitab Allah sebagaimana yang terjadi di
kalangan Yahudi dan Nasraniy”. Dengan mendengar dan memperhatikan laporan yang
disampaikan oleh Kudzaifah tersebut, khalifah ‘Utsman kemudian mengirim sepucuk
surat kepada Hafshah binti Umar, yang berisi permintaan agar Hafshah
mengirimkan mushhaf yang disimpannya kepada khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
untuk direproduksi dan digandakan menjadi beberapa naskah, dengan jaminan,
setelah selesai dipedomani mushhaf tersebut akan dikembalikan lagi
kepadanya. Hafshah kemudian mengirimkan mushhaf yang disimpannya itu
kepada khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Dan pada saat itu pula khalifah
memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al- ‘Ash
dan ‘Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam, agar segera bekerja bekerja bersama-
sama menulis dan menggandakan mushhaf itu beberapa naskah. Dari empat
orang penulis wahyu itu, tiga orang di antaranya berasal dari golongan
Muhajirin (suku Quraisiy) dan seorang lagi, yatu Zaid bin Tsabit berasal dari
golongan Anshor. Oleh karena itu, khalifah ‘Utsman berpesan kepada tiga orang
yang berasal dari golongan Quraisiy itu sebagai berikut:
إذا ختلفتم أنتم وزيد بن ثابت فى شيئ
من القرآن فاكتبوه بلسان قريش فإنما نزل بلسانهم
Apabila terjadi perbedaan antara kalian dengan Zaid bin Tsabit mengenai
sesuatu tentang Al- Qur’an, maka tulislah menurut dialek Quraisiy, karena Al-
Qur’an diturunkan berdasarkan bahasa mereka.”
Kemudian mereka melaksanakan tugas itu, dan berhasil menulis atau
menggandakan mushhaf dari yang aslinya menjadi beberapa naskah. Setelah
itu, mushhaf yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar tersebut
dikembalikan kepada Hafshah binti Umar. Sedangkan beberapa naskah yang sudah
berhasil digandakan itu dikirim ke berbagai kawasan Islam.
Bersamaan dengan itu, khalifah ‘Utsman memerintahkan agar naskah-
naskah atau mushhaf- mushhaf lain yang berada di tangan kaum
muslimin dibakar.
Menurut Dr. Shubhi al- Shalih, bahwa riwayat di atas berisi lima
persoalan penting yaitu:
Pertama : Perbedaan
cara membaca Al- Qur’an di kalangan kaum muslimin adalah faktor pendorong utama
bagi khalifah ‘Utsman untuk menyeragamkan bacaan Al- Qur’an.
Kedua :
Komisi yang bertugas untuk menulis dan menggandakan mushhaf terdiri
dari empat orang yaitu, tiga orang dari golongan muhajirin berkebangsaan
Quraisiy dan satu orang dari golongan Anshor. Keempat orang itu ialah semuanya
sahabat Nabi yang terkemuka dan terpercaya.
Ketiga :
Komisi yang terjadi dari empat orang itu, menggunakan mushhaf khalifah
Abu Bakar yang disimpan oleh Hafshah sebagai patokan standard untuk menulis mushhaf
yang diperintahkan oleh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Keempat : Al-
Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang berdialek Quraisiy, karenanya bila
timbul perbedaan antara ketiga orang Quraisiy dalam kondisi tersebut dengan
Zaid bin Tsabit mengenai sesuatu tentang Al- Qur’an maka harus ditulis menurut
dialek Quraisiy.
Kelima :
Khalifah ‘Utsman mengirim hasil reproduksi dan penggandaan mushhaf yang
dikerjakan oleh komisi empat orang yang dibentuk oleh khalifah tersebut ke
berbagai daerah. Dalam pada itu, khalifah juga memerintahkan kaum muslimin agar
membakar naskah- naskah yang lain, yang ditulis oleh masing- masing orang
dengan caranya sendiri- sendiri bagi keperluan pribadinya, untuk menghindari
perbedaan dan pertengkaran mengenai cara membaca Al- Qur’an dikalangan kaum
muslimin.
Keputusan khalifah ‘Utsman membentuk panitia yang terdiri dari
empat orang sebagaimana nama- namanya telah dikemukakan di atas, adalah sebagai
langkah konkrit untuk mengatasi kenyataan yang terjadi pada saat itu. Kalau
pada masa dua khalifah sebelumnya, mushhaf Abu Bakar hanya disimpan dan
dirawat di rumah khalifah, maka khalifah ‘Utsman memandang perlunya
memasyarakatkan mushhaf itu.
Langkah yang ditempuh khalifah ketiga ini memang sangat tepat dalam
mensosialisasikan mushhaf Abu Bakar tersebut sebagai upaya menyatukan
dan meyeragamkan bacaan Al- Qur’an di kalangan kaum muslimin. Karena itu,
khalifah ‘Utsman tetap menyertakan Zaid bin Tsabit dalam panitia empat yang
dibentuknya pada masa itu. Zaid yang sejak zaman Rasulullah saw. dan Abu Bakar
terlibat langsung dalam penulisan dan penghimpunan Al- Qur’an dapat dipastikan,
di dalam panitia ini, lebih banyak berperan dibandingkan dengan tiga anggota
panitia lainnya. Sehingga kemungkinan terjadinya perbedaan atau kekeliruan baik
dalam bentuk penambahan ataupun hilangnya kalimat tertentu dapat ditekan sampai
pada titik nol. Dengan demikian, keaslian Al- Qur’an tetap terjamin. Kemudian
reproduksi atau penggandaan mushhaf yang dilakukan berdasarkan informasi dan usul
Khudzaifah bin al- Yamany tersebut adalah jelas sebagai jawaban dalam rangka
menyeragamkan qira’at. Dengan begitu, maka kaum muslimin hanya mengenal
satu macam mushhaf dan satu macam bacaan yang diakui. Sebelum panitia
pelaksana penulis wahyu mulai melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka,
khalifah ‘Utsman terlebih dahulu menetapkan beberapa ketentuan yang harus
dipatuhinya. Ketentuan- ketentuan itu adalah:
1.
Tidak
diperbolehkan menulis sesuatu kecuali setelah benar- benar diteliti, bahwa yang
akan ditulisnya itu adalah benar- benar Al- Qur’an.
2.
Tidak
dibenarkan menulis sesuatu kecuali setelah diketahui bahwa yang akan ditulisnya
itu telah ditetapkan kebenarannya sebagai ayat Al- Qur’an.
3.
Tidak
diperbolehkan menulis sesuatu kecuali setelah diketahui secara pasti bahwa ayat
Al- Qur’an yang akan ditulisnya itu tidak mansukh (dihapus).
4.
Tidak
diperbolehkan menulis sesuatu kecuali setelah diketahui bahwa para sahabat
mengetahuinya secara pasti tentang kebenaran ayat Al- Qur’an yang akan
ditulisnya itu.
5.
Apabila
mereka berbeda pendapat mengenai sesuatu tentang Al- Qur’an, maka hendaknya
ditulis berdasarkan dialek orang Quraisiy.
6.
Bahwa
ayat- ayat Al- Qur’an yang akan ditulis itu benar- benar dihafal oleh para
sahabat secara mutawatir, dan sebaliknya tidak diperbolehkan menulis
bacaan yang tidak ketahui secara mutawatir.
7.
Ayat
Al- Qur’an yang hanya dibaca dengan satu macam qira’at (bacaan) harus
ditulis dengan rasm yang hanya menunjuk kepada satu macam bacaan.
8.
Ayat
Al- Qur’an yang boleh dibaca dengan beberapa macam qira’at dan
memungkinkan untuk ditulis dengan satu bentuk tulisan maka hendaknya ditulis
dengan satu bentuk rasm (ragam tulisan) yang mencangkup seluruh macam
bacaan (qira’at) yang ada.
9.
Ayat
Al- Qur’an yang dapat dibaca dengan beberapa macam qira’at dan tidak
memungkinkan untuk ditulis dengan satu bentuk tulisan, hendaknya ditulis dengan
ragam tulisan yang sesuai dengan sebagian macam bacaan yang ada dan bacaan yang
lain hendaknya ditulis sesuai dengan ragam tulisan yang memungkinkan untuk
dibaca seperti itu.
Intruksi yang ditetapkan oleh khalifah tersebut tidak ada lain
tujuannya kecuali agar “kuttab” (penulis) wahyu yang berhati- hati dan
secermat mungkin dalam menukil dan menulis serta menggandakan mushhaf yang
ditulis pada masa khalifah Abu Bakar. Bahkan dalam mengantisipasi sesuatu yang
mungkin terjadi, menurut satu riwayat ketika khalifah ‘Utsman hendak bermaksud
melakukan reproduksi mushhaf khalifah Abu Bakar itu, khalifah ketiga itu
terlebih dahulu mengumpulkan dua belas orang tokoh- tokoh Quraisiy dan Anshor.
Meraka dipersilahkan untuk memasuki ruangan sudang yang sudah disiapkan di
rumah Umar, dalam rangka meninjau kembali ayat- ayat Al- Qur’an yang mereka terima
dari Rasulullah saw. Bila terjadi perbincangan mengenai sesuatu ayat, maka
mereka menangguhkan sejenak untuk diselesaikan.
Perbedaan pendapat di dalam komisi yang dibentuk kahlifah ‘Utsman,
yaitu antara Zaid bin Tsabit dengan tiga orang anggota komisi lainnya yang berkebangsaan
Quraisiy itu baik dalam cara penulisan maupun bacaannya selama masa tugas
memang tidak dapat dihindari dan bila hal itu terjadi, mereka selalu menghadap
kepada khalifah untuk meminta petunjuk dan pengarahannya. Perbedaan mereka itu,
misalnya, antara lain dapat dilihat pada penulisan dan bacaan kata التابوت yang
terdapat di dalam surat Thaha ayat 39. Apakah huruf akhir kata tersebut ditulis
dan dibaca dengan menggunakan huruf ta’ atau huruf ha? Menurut
Zaid ditulis dan dibaca التابوه sedangkan menurut tiga orang anggota dari golongan Quraisiy ditulis
dan dibaca التابوت. Perbedaan
pendapat mereka itu tidak kunjung selesai, akhirnya mereka menghadap khalifah,
maka khalifah pun memberikan keputusan dengan mengatakan : “Tulislah dengan dialek
Quraisiy, karena Al- Qur’an ditulis berdasarkan dialek mereka”.
Berdasarkan informasi dari Ibnu Syihab, Zaid bin Tsabit pernah
mengatakan: bahwa ketika kami sedang menulis mushhaf (mushhaf ‘Utsmani) ternyata
ada ayat yang hilang atau tertinggal dari mushhaf yang ditulis terdahulu
(mushhaf Abu Bakar), padahal saya pernah mendengar Rasulullah saw.
membacanya. Maka kami pun mencari dan melacaknya, ternyata ayat tersebut kami
dapatkan pada Khudzaimah bin Tsabit al Anshoriy, lalu kami tulis pada surat di
mana seharusnya ditulis. Ayat dimaksud adalah:
من المؤمنين رجال صدقوا ما عاهدوا
الله عليه فمنهم من قضى نحبه ومنهم من ينتظر وما بدلوا تبديلا (الاحزاب: 23)
Di antara orang- orang mu’min itu ada yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka itu ada yang gugur dan di
antara mereka ada pula yang menunggu- nunggu dan mereka sedikit pun tidak
mengubah janjinya. Q.S.(33):23
Kebijaksanaan
khalifah ‘Utsman dalam upaya “menggandakan” mushhaf Abu Bakar itu
ternyata mendapat sambutan baik dari segenap kaum muslimin, kecuali Abdullah
Ibnu Mas’ud yang sebagaimana diketahui ia mempunyai mushhaf pribadi.
Pada mulanya ia menentang kebijakan khalifah tersebut dan enggan memusnahkan
atau membakar mushhaf pribadinya itu. Akan tetapi Allah SWT berkenan
membimbingnya sehingga sikapnya berubah dan akhirnya ia pun dengan ikhlas
mendukung kebijakan khalifah yang pada hakikatnya sejalan dengan pendapat umat
Islam yang selalu mendambakan kesatuan dan persatuan, sekaligus menghilangkan
semua masalah yang dapat menyebabkan timbulnya pertentangan dan pertikaian,
utamanya yang berkaitan dengan masalah.
Oleh
karena begitu tingginya nilai dari upaya yang dilakukan oleh khalifah ‘Utsman,
sehingga Ali bin Abi Thalib ra. pernah berucap:
لولم يفعل ذلك عثمان لفعلته أنا
Andaikata ‘Utsman tidak melakukan hal itu (mereproduksi mushhaf Abu
Bakar itu) maka tentu akulah yang akan melaksanakannya.
Oleh
karena itulah, khalifah Rasulullah yang empat (Abu Bakar, Umar bin Khattab, ‘Utsman
bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib) sepakat, bahwa membukukan dan atau
menyeragamkan bacaan Al- Qur’an adalah merupakan kemaslahatan agama bagi
kepentingan umat Islam. Kesepakatan mereka itulah, menurut sementara ulama’,
yang dimaksudkan dengan pernyataan Rasulullah saw. yang berbunyi:
عليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدى
Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ al- Rasyidin
yang memberikan petunjuk setelah aku.
Sedang
dikeluarkannya perintah pembakaran mushhaf milik perorangan oleh
khalifah ‘Utsman setelah “menggandakan” mushhaf Abu Bakar itu adalah
setelah melalui proses musyawarah dan mendapat dukungan penuh dari para sahabat
Nabi yang terkemuka. Dalam kaitan ini, Ali bin Abi Thalib juga mengatakan:
لا تقولوا فى عثمان إلا خيرا، فوا الله ما فعل الذى فعل فى
المصلحق إلا عن ملاء منا
Janganlah kalian membicarakan ‘Utsman selain kebaikannya. Demi
Allah, apa yang dilakukannya mengenai masalah mushhaf adalah berdasarkan
pengetahuan kami.
Menurut
Ibnu Hajar al- Asqalaniy, panitia Zaid bin Tsabit mulai mengerjakan tugasnya
pada tahun 25 sampai dengan tahun 30 hijriyah (650- 655 M.). Sedangkan Blachere
memperkirakan bahwa panitia Zaid bin Tsabit baru mulai dibentuk dan dikerjakan
pada tahun 30 hijriyah. Namun menurut Shubhi al- Shalih, bahwa pendapat yang
lebih benar adalah pendapat Ibnu Hajar, karena mempunyai dasar riwayat yang
kuat.
Para
ahli berbeda pendapat mengenai jumlah mushhaf yang “digandakan” serta
dikirim oleh khalifah ‘Utsman ke berbagai daerah Islam. Menurut Abu ‘Amr al-
Dani, sebagaimana dikutip Shubhi al- Shalih, sebagian besar ulama’ ahli sejarah
mengatakan, bahwa mushhaf khalifah ‘Utsman itu terdiri dari empat buah
naskah. Tiga naskah masing- masing dikirim ke Kufah, Bashrah, dan ke Syam,
sedang sisanya yang satu dipegang oleh khalifah sendiri di Madinah yang disebut
dengan Mushhaf al- Imam. Selain itu, ada juga di antara ulama’ yang
mengatakan bahwa naskah yang “digandakan” oleh khalifah itu berjumlah tujuh
buah. Selain dikirim ke tiga daerah tersebut, juga tiga lainnya masing- masing
dikirim ke Mekkah, Yaman dan Bahrain. Menanggapi pernyataan di atas, Shubhi al-
Shalih mengatakan, riwayat yang pertama tampaknya lebih mendekati kebenarannya.
Terlepas
dari perbedaan pendapat tersebut, demikian tandas Shubhi al- Shalih, yang jelas
dan pasti bahwa setiap naskah yang digandakan itu mencangkup seluruh isi Al-
Qur’an; yaitu terdiri dari 114 surat sebagaimana yang kita jumpai sekarang,
ditulis tanpa pungtuasi (tanda baca) baik berupa titik dan tanpa syakal, tanpa
ditulis nama setiap surat, tanpa tanda pemisah, persis sebagaimana yang tertera
di dalam mushhaf Abu Bakar. Sehingga penulisan lafal- lafal dan kalimat-
kalimatnya hanya berupa huruf- huruf lambang yang mungkin dapat dibaca lebih
dari satu cara bacaan. Misalnya firman Allah dalam surah al- Hujjurat ayat 6,
yaitu pada lafal: فتبينوا yang berarti “maka hendaklah kalian teliti”, ditulis tanpa titik dan tanpa
syakal, sehingga dapat pula dibaca: فتثبتوا yang berarti “maka hendaklah kalian periksa kepastiannya”. Begitu
pula firman Allah dalam surah al- Baqarah ayat 37, pada lafal فَتَلقَّى آدم من ربه كلمات ditulis tanpa
titik dan tanpa syakal, sehingga dapat pula dibaca: فَتُلْقَى آدم من ربه كلمات. Ayat tersebut
berarti “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya”. Adanya dua
macam bacaan pada kedua ayat di atas dibenarkan. Karena adanya sebuah hadits
yang tidak diragukan kebenarannya. Hadits itu meriwayatkan: “Bahwa Rasulullah
saw. membaca kedua ayat di atas dengan dua bentuk bacaan”. Dan ada pula hadits
yang mengatakan : “Bahwa pada suatu saat ada seorang sahabat yang membaca kedua
ayat tersebut dengan dua bentuk bacaan di hadapan Rasulullah saw. dan beliau
membenarkannya”. Adanya dalil seperti itu, menurut Shubhi al- Shalih, merupakan
hal yang memperkuat cara penulisan yang satu, tanpa membenarkan cara penulisan
yang lain.
Atas
dasar itulah, menurut para ulama’, ragam tulisan mushhaf ‘Utsmaniy mencangkup tujuh buah bacaan (qira’at
al- sab’ah). Karenanya kaidah penulisannya sangat diperhatikan, yakni
ditulis dengan rasm (ragam tulisan) yang mencangkup semua macam bacaan.
Misalnya, penulisan firman Allah dalam surah Thaha (20): 63 berikut ini:
إن هذا لساحران
Dalam
ragam tulisan ‘Utsmaniy, ayat tersebut ditulis juga tanpa titik dan tanpa
syakal.
Khalifah
‘Utsman sangat menekankan agar kaum muslimin selalu melestarikan hafalan dalam
menerima Al- Qur’an dari para sahabat yang hafal Al- Qur’an, dengan tidak hanya
mengandalkan dari naskah- naskah tertulis semata. Karenanya, setiap pengiriman mushhaf
ke daerah- daerah mesti diiringi setidak- tidaknya oleh sorang sahabat
penghafal Al- Qur’an yang yang bacaannya sesuai dengan mushhaf yang
dikirim.
Kalau
motivasi pengumpulan dan pemeliharaan Al- Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar
adalah untuk menjaga keutuhan dan keasliannya dalam satu himpunan agar dapat
lestari, sebagai petunjuk kehidupan manusia guna mencapai kebahagiaan hidup
dunia dan akhirat, maka pada masa khalifah ‘Utsman pengumpulan dan pemeliharaannya
dimotivasi oleh keharusan memelihara persatuan dan kesatuan umat Islam,
khususnya dalam cara membaca Al- Qur’an, sesuai dengan cara yang telah
diajarkan oleh Rasulullah saw. sekaligus juga untuk menghapus bacaan lainnya
yang tidak ma’tsur. Selain itu, juga agar umat Islam selalu berpegang
kepada mushhaf yang disusun dengan sempurna atas dasar tauqif dari
Rasulullah saw. untuk mengantisipasi penyimpangan- penyimpangan yang tidak
perlu terjadi karena perbedaan dalam cara membaca Al- Qur’an.
Hasil
“penggandaan” yang dilakukan pada masa khalifah ‘Utsman itu, kemudian terkenal
dengan nama “Mushhaf Utsmaniy” yang secara faktual merupakan bukti dari
kesepakatan (ijma’) para sahabat. Penyebar luasan atas mushhaf itu,
dan juga tidak adanya pertengkaran atas otoritas tersebut jelas dapat
ditelusuri hingga saat terjadinya perang Siffin (37 H.), yaitu dua puluh tujuh
tahun setelah Rasulullah saw. wafat, dan lima tahun setelah “penggandaan” mushhaf
‘Utsmaniy disebarluaskan, yang mana pasukan Mu’awiyah menjunjung hasil
“penggandaan” tulisan Al- Qur’an itu di ujung tombak demi menghentikan
pertempuran Siffin tersebut. Walau tidak ada yang menyalahkan pemakaian nash
Al- Qur’an secara partisan seperti itu. Namun jelas bahwa cara yang demikian
adalah merupakan cara yang cukup efektif untuk mengalahkan musuh.
Dari
apa yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami, bahwa gerakan pemeliharaan
Al- Qur’an pada masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan mengandung beberapa faedah dan
tujuan, antara lain.
1.
Mempersatukan
dan menyeragamkan tulisan dan ejaan serta bacaan Al- Qur’an bagi seluruh umat
Islam, berdasarkan cara pembacaan yang diajarkan oleh Rasulullah saw. dengan
jalan mutawatir, sekaligus menghapus cara pembacaan lainnya yang tidak ma’tsur.
2.
Agar
umat Islam berpegang pada mushhaf yang disusun dengan sempurna atas
dasar “tauqifi” dari Rasulullah saw. guna menghindari penyimpangan-
penyimpangan yang tidak perlu terjadi karena perbedaan cara membaca Al- Qur’an.
3.
Mempersatukan
urutan susunan surat- surat dalam Al- Qur’an sesuai dengan petunjuk yang
diberikan oleh Rasulullah yang diterima secara mutawatir. Dari mushhaf
yang dihasilkan pada zaman khalifah ‘Utsman itulah, kaum muslimin di
seluruh penjuru dunia berpatokan menggandakan Al- Qur’an hingga sekarang.[1]