A.
Pendahuluan
Sejarah “Islam” telah berkembang dan mengalami
pasang surut sejak kelahirannya yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Saat mana
masyarakat islam di timur mengalami masa keemasan yang dalam sejarahnya dapat
kita ketahui dengan lahirnya ilmu-ilmu empiris di tangan para ilmuwan Muslim.
Jika disetujui bahwa masyarakat yang berperadaban dapat terindikasi dari
masyarakatnya yang menghargai ilmu dan cukup antusias terhadap ilmu dan kajian-kajian ilmiah maka saat masa keemasan Islam itu, Islam telah memperolehnya. Tidak
cukup hanya dalam masalah ilmu-ilmu empiris, tapi dalam bidang sastra,
filsafat, matematika, serta ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir, fiqih, ushul
fiqih, hadis, ilmu hadis dan lain-lain.
Islam dilihat dari sisi sejarahnya inilah yang
akan coba dijelaskan dalam makalah ini. Dan buku yang akan
dijadikan sebagai rujukan penelitian adalah buku yang berjudul “Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis” karya Faisal Ismail.
B.
Islam Perspektif Sejarah
Sejarah adalah bagian dari ilmu-ilmu kemanusiaan yang
mengkaji perjalanan hidup manusia.[1]Islam
perspektif sejarah yang akan dibahas dalam makalah ini menyoroti Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan terkhusus Islam Andalusia.
Sejarah telah mencatat antara pertengahan abad
8 hingga permulaan abad 13 Masehi, umat islam pernah mencapai puncak kebesaran
dan kejayaan. Pada masa-masa itu –baik Daulah Islam di Timur (Daulah Abbasiyah)
yang berpusat di Baghdad, maupun Daulah Islam di Barat (Daulah Umayyah) yang
berpusat di Cordoba keduanya memperlihatkan berbagai kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.[2]
Andalusia sebelum Daulah Umayyah dari
Vandalusia ke Andalusia
Semenanjung Iberia adalah nama tua untuk
wilayah Spanyol dan Portugal. Oleh karena sejak awal abad 5 Masehi (tahun 406
M) dikuasai oleh bangsa Vandals, maka wilayah tersebut dinamakan Vandalusia.
Dalam erkembangan selanjutnya wilayah ini dikuasai oleh Bangsa Visigoth. Namun
sejak tahun 711 M, semenanjung Iberia dan wilayah selatan Prancis jatuh ke
dalam kekuasaan Islam, diperintah oleh kekuasaan Arab dan Barber.[3]
Semenanjung
Iberia di Eropa, yang meliputi wilayah Spanyol dan wilayah Portugal sekarang
ini, menjorok ke selatan ujungnya hanya dipisahkan oleh sebuah selat sempit
dengan ujung benua Afrika. Bangsa Grit tua menyebut selat sempit itu dengan
tiang-tiang Hercules dan di seberang selat sempit itu terletak di benua Eropa.
Selat sempit itu sepanjang kenyataan memisahkan lautan tengah dengan lautan
atlantik.[4]
Pada waktu daulah Umayyah (661-750 M) yang
berpusat di Damaskus jatuh pada tahun 132 H (750 M) dan digantikan oleh Daulah
Abbasiyah (berkedudukan di Baghdad) maka Amir wilayah Andalusia menyatakan
tunduk kepada kekuasaan pusat di Baghdad. Namun dalam wilayah Andalusia sendiri
sering terjadi pertarungan kekuasaan untuk memperebutkan jabatan Amir
Andalusia. Perebutan kekuasaan itu berlangsung selama enam tahun menjelang
tahun 138 H (756 M). Akibatnya, pejabat Amir itu seringkali berganti-ganti dan
–“lucunya”- penguasa di Baghdad mengakui dan meresmikan saja setiap kali ada
pengangkatan Amir baru.
Amir terakhir yang memegang kekuasaan di
Andalusia menjelang tahun 138 H (756 M) adalah Yusuf ibnu Abdirrahman al Fihri
dari suku Mudhari, berkedudukan di Toledo.[5]
Abdurrahman I: “Abdurrahman Addakhil”
Pada awalnya, amir yang memegang kekuasaan terakhir di Andalusia menjelang
tahun 138 H (756 M) adalah seorang wali Yusuf ibnu Abdirrahman Al-Fihri dari
suku Mudhari yang ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan masa jabatan
biasanya 3 tahun. Namun pada
tahun 740-an M, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya kekuasaan
Khalifah. Dan pada tahun 746 M, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara
tersebut, menjadi seorang penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di
Damaskus. Namun pada tahun 756 M, Abdurrahman melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan
menjadi penguasa Kordoba sehingga ia dijuluki “Abdurrahman Addakhil” dengan
gelar Amir Kordoba (Abdurrahman I). Dapat dikatakan bahwa Abdurrahman I
merupakan “founding father” Daulah Umayyah di Andalusia dan sekaligus
sebagai peletak dasar kebangkitan kebudayaan Islam di Andalusia.[6]
Setelah menggulingkan Daulah Umayyah yang telah berkuasa selama 90 tahun,
orang-orang Abbasiyah mengeluarkan perintah pada tahun 750 M untuk mengikis
habis orang-orang yang ada kaitannya dengan Dinasti Umayyah. Mata-mata pun disebar ke seluruh pelosok negeri unuk mencari jejak
mereka. Hanya segelintir orang yang selamat dari tebasan pedang tentara
Abbasiyah. Di antaranya seorang pemuda berusia 19 tahun, yaitu Abdurrahman bin
Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik.
Ia lari dari
Irak, mengarungi gurun Syria menuju Palestina. Kemudian menyeberangi gurun
Sinai ke Mesir, lalu melewati beberapa wilayah Afrika menuju Andalusia
(Spanyol) yang telah ditaklukkan oleh nenek moyangnya dari Dinasti Umayyah.
Abdurrahman
memasuki Andalusia hanya diikuti oleh 400 budak yang setia pada Bani Umayyah.
Ada yang mengatakan, ketika dia mendarat pada 755 M, pasukan tentara Syam
menghadiahkan seorang budak perempuan yang sangat cantik. Ketika melihat dan
memerhatikan kecantikannya, dia berkata, “Sesungguhnya hati dan mata ini telah
sepakat. Jika aku meninggalkan perempuan ini, maka berarti aku telah
menzaliminya. Namu jika aku sibuk dengan perempuan ini, maka aku menzalimi
kepentinganku. Karena itu, aku tidak memerlukannya.” Kemudian dia mengembalikan
perempuan itu kepada mereka.
Tatkala barisan tentaranya dirasakan sudah banyak pengikutnya, Abdurrahman mulai merangkak menyerang Cordoba. Dia berhasil menaklukkan kota itu dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaan. Namun tak lama setelah itu Andalusia dilanda pergolakan terus-terus yang dipelopori oleh orang Yamaniyun (Arab Selatan) dan bangsa Barbar.
Tatkala barisan tentaranya dirasakan sudah banyak pengikutnya, Abdurrahman mulai merangkak menyerang Cordoba. Dia berhasil menaklukkan kota itu dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaan. Namun tak lama setelah itu Andalusia dilanda pergolakan terus-terus yang dipelopori oleh orang Yamaniyun (Arab Selatan) dan bangsa Barbar.
Pada saat yang
sama, Khalifah Al-Manshur mengirimkan bala tentaranya yang terdiri dari para
budak belian yang setia kepada Daulah Abbasiyah untuk mengembalikan Andalusia
ke tangan mereka. Lagi-lagi, Abdurrahman mampu memadamkan berbagai pergolakan
tersebut, serta memukul mundur tentara Al-Manshur.
Tatkala Harun
Ar-Rasyid memegang kendali pemerintahan di Baghdad, Charlemagne (Raja Prancis),
dengan leluasa memerangi musuhnya di Andalusia, karena Harun Ar-Rasyid sedang
memerangi Byzantium, musuh Charlemagne. Raja Prancis itu menyeberangi gunung
Brawns untuk menyerang Abdurrahman. Namun karena ada berita kekacauan yang
melanda imperiumnya, dia terpaksa kembali lagi dan urung menyerang Andalusia.
Kekalahan
Prancis membuat Abdurrahman Ad-Dakhil tenang. Tatkala memasuki Andalusia, ia
menemukan bahwa tentaranya telah diatur sesuai dengan cara yang berlaku dalam
kabilah Badui. Dia kemudian membangun angkatan bersenjata yang teratur yang
jumlahnya tidak kurang dari empat puluh ribu personil. Dia sadar bahwa
Andalusia sangat mungkin diserang dari tiga arah di lautan. Oleh sebab itu, dia
kemudian membangun armada perang laut yang tergolong sebagai armada yang
pertama kali di Andalusia. Armada inilah yang pada zaman Abdurrahman III
menjadi armada perang laut terkuat di Barat dan Laut Tengah.
Pada zamannya
pula, Andalusia mencapai pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, dan
perkembangan peradaban yang sangat pesat. Tampaknya dia telah menyiapkan hal
itu dalam masa yang cukup lama. Suatu kemajuan yang belum pernah dicapai oleh
Andalusia sebelumnya. Cordoba bersaing dengan Konstantinopel dan Baghad dari
segi kemegahan, kemewahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan seni. Cordoba
dikenal sebagai Pengantin Andalusia dan Permata Dunia.
Tiga tahun
sebelum meninggal dunia, Abdurrahman merenovasi dan memperluas bangunan Masjid
Cordoba. Atapnya disangga oleh tiang-tiang besar yang berjumlah 1293 tiang. Dia
laksana Ka’bah kaum Muslimin di dunia Islam bagian barat. Hingga kini masjid
itu masih berdiri megah. Ia termasuk tempat yang paling banyak dikunjungi oleh
para wisatawan setelah Istana Al-Hamra, sebagai peninggalan sejarah yang
menarik.
Selain itu, Abdurrahman
juga dikenal sebagai seorang penyair dan orator ulung. Meskipun sejarah
menyebutkan bahwa dia adalah pemuda terusir, namun dengan ketegaran dan kemauan
kerasnya ia berhasil mendirikan Daulah Umayyah II yang mampu bertahan hingga
1031 M. Dia mampu mengatasi serangan dari dua kekuatan besar di Timur dan
Barat, Harun Ar-Rasyid dan Charlemagne.
Setelah
memerintah selama 32 tahun, Abdurrahman Ad-Dakhil meninggal pada 172 H dalam
usia 61 tahun. Dari seorang pelarian politik, ia menjadi penguasa yang disegani
kawan dan lawan.[7]
Abdurrahman III: “dari Emirat ke Khilafat”
Kebangkitan
kebudayaan Islam di Andalusia semakin lebih semarak dan berkembang pada
masa pemerintahan Abdurrahman III (912-961). Ia mulai memerintah pada usia 23
tahun. Pemerintahannya berlangsung selama 50 tahun dan mengantarkan Daulah
Umayyah di Andalusia ke gerbang puncak kebesaran dan kemegahan tiada tara.[8]
Abdurrahman III pada tahun 316 H (929 M) mengumumkan
bentuk kekuasaannya dari bentuk Emirat menjadi bentuk Khilafat. Ada tiga faktor
yang melatarbelakangi tindakan itu, di antaranya:
Pertama, kedudukan para Khalifah Abbasiyah di Baghdad
sejak meninggalnya Khalifah al Mutawakkil (847-1171 M) sudah tidak ada gunanya
karena para pemegang kekuasaan telah berbuat semaunya. Kedua, Daulah Fatimiyah
yang berhasil menumbangkan Daulah Aghlabiyah di Afrika Utara telah membebaskan
diri sepenuhnya dari kekuasaan pusat di Baghdad. Ketiga, Daulah Fatimiyah yang
telah menguasai wilayah Afrika utara, pulau Sicily, Calabria di semenanjung selatan
Itali, Afrika Barat dan Sudan Sahara sudah dapat dihalau oleh Abdurrahman III
pada tahun 316 H (929 M).[9]
Pada masa Abdurrahman III ada suatu kejadian yang
dilukiskan dalam buku Historians’ History
of the World yang menunjukkan bahwa pengobatan di wilayah Andalusia jauh
lebih unggul daripada di wilayah Eropa-Kristen.
Kemajuan Bani Umayyah di
Andalusia diraih pada masa Abdurrahman III. Kemajuan Kordova ditandai dengan pembangunan
yang megah diantaranya:
- Al-Qashr al-Kabir , kotasatelit yang di dalamnya terdapat gedung-gedung istana megah.
- Rushafat, istana yang dikelilingi oleh taman yang di sebelah barat laut Cordova.
- Masjid Jami’ Cordova, dibangun tahun 170 H/786 M yang hingga kini masih tegak.
- Al-Zahra, kota satelit di bukit pegunungan Sierra Monera pada tahun 325 H/936 M. Kota ini dilengkapi dengan masjid tanpa atap (kecuali mihrabnya) dan air mengalir ditengah masjid, danau kecil yang berisi ikan-ikan yang indah, taman hewan (marga satwa), pabrik senjata, dan pabrik perhiasan.[10]
Al Hakam II: Khalifah Cendekiawan, Cinta Damai
AL Hakam II menduduki kursi kekhalifahan pada bulan
Ramadlan 350 H (961 M). Ketika itu ia telah berusia 45 tahun. Keterlibatannya
dalam dunia ilmu pengetahuan tidak mengendorkan perhatiannya dalam masalah
politik. Salah satu kelemahan al Hakam ialah al hakam terlampau percaya kepada
para pembantunya yang kelak sepeninggal al Hakam akan berakibat fatal.[11]
Dalam Buku Historians’
History of the World dijelaskan bahwa Khalifah al Hakam enggan berperang
dan gemar ketenangan, dan tertarik luar biasa terhadap kesusastraan.[12]
Dan keruntuhan Dinasti Umayyah di Andalusia benar-benar
tak dapat terhindarkan lagi. Raja-raja Kristen bersatu melawan Dinasti-dinasti
kecil di pihak Islam yang telah sebelumnya digunakan politik adu domba di antara
mereka. Sebaliknya, raja-raja Kristen bersatu sehingga satu demi satu dinasti
Islam dapat dikalahkan. Cordova jatuh di tahun 1238 M, Sevilla di tahun 1248 M,
dan akhirnya Granada di tahun 1491 M. Orang-orang Islam dihadapkan pada dua
pilihan, masuk Kristen atau keluar dari Spanyol. Di tahun 1609 M boleh
dikatakan tidak ada lagi Islam di Spanyol.[13]
Faktor Penyebab Keruntuhan Andalusia
Orang yang memperhatikan latar belakang runtuhnya
Andalusia dan penyebab tragedi yang membuat hati terenyuh, pilu, dan meratapi
kemegahan citra yang telah dicapainya sebelum runtuh, keyakinannya akan semakin
kuat bahwa yang berperan di balik itu bukanlah kelaliman zaman atau nasib buruk
yang menimpa atau bukan juga musibah yang diturunkan dari langit belaka. Akan
tetapi sebab-sebabnya adalah human error
(kesalahan manusianya sendiri) karena “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
nasih suatu kaum sehingga ia mengubahnya sendiri,” yaitu fitnah intern dan fanatisme golongan yang
mengidap dalam tubuh umat Islam dan didukung dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan kecil Andalusia yang mencapai jumlah 23 kerajaan.[14]
C.
Perspektif Kritis
Islam perspektif sejarah yang baru saja
dipelajari ini dapat sedikit memberi gambaran umum pada kita bahwa sesungguhnya
dulu, pada zaman keemasannya, Islam pernah mencapai Spanyol. Namun sebagaimana
yang telah dikemukakan oleh Ahmad Mahmud Himayah, dalam Buku “Kebangkitan Islam
di Andalusia”, keruntuhan Islam di sana itu tidak lain karena umat Islam
sendiri yang dalam berbagai segi kehidupan mengalami kemunduran.
Thariq bin Ziyad di awal peperangan di Andalusia hanya
memiliki pasukan kurang lebih 12 ribu orang. Namun ia terus maju, pantang
mundur, menyerbu Raja Quth (Rudzrik) yang datang membawa singgasana megah. Pada
saat itu keimanan tentaranya sama sekali tak terlumuri sifat hubbud-dunya.[15]
Seiring dengan perjalanan waktu dan perputaran
zaman umat islam telah mengalami pergesaran saat ini. Maka terjadilah apa yang
terjadi. Sekitar 50 ribu tentara Kristen Utara memporak porandakan kekuatan
pertahanan Granada yang terhimpun dari para pemuda kuat, para sesepuh, dan
cerdik pandai yang mumpuni dalam berfikir dan sarana yang memadai.[16]
Sesuatu yang menarik minat para sejarawan,
ketika berbagai pertanyaan diajukan terkait keruntuhan Islam di Spanyol. Ada
apa gerangan, apa yang terjadi, bukankan di belahan bumi yang lain masih banyak
ditemukan orang Islam. Sedangkan dalam beberapa petuah Islam dikatakan bahwa
Muslim satu dengan yang lainnya itu ibarat bangunan yang berdiri kokoh.
Tidakkah ketika umat Islam diusir, dan disuruh memilih masuk agama Kristen atau
keluar dari Spanyol, umat Islam yang lainnya pun tahu? Akan tetapi
permasalahannya tidaklah sesederhana itu.
Berbagai buku sejarah, termasuk buku dari
Faisal Ismail, melihat sejarah keruntuhan Islam di Spanyol hanya menyoal
masalah terjadinya keruntuhan itu secara umum. Di situ tidak dijelaskan secara
lebih terinci sebagai umat Islam, bagaimana Tuhan telah menetapkan
sunatullah-Nya ketika bangsa itu mungkin melakukan “kekeliruan” di mata Tuhan. Namun secara
umum buku tersebut dalam bab tentang sejarah Islam Andalusia telah cukup
memberi gambaran secara umum akan kemegahan peradaban Islam di Andalusia suatu hiasan dalam sejarah
dunia yang dapat kita saksikan hingga sekarang.
Para pemerhati tarikh raja-raja yang ada di
muka bumi, dapat mengambil i’tibar bahwa pada awalnya sebuah kerajaan akan
terlihat kuat namun pada generasi selanjutnya ia akan menua dan melemah. Hal
itu terjadi karena generasi kedua tidak sama dengan generasi pertama, begitu
juga generasi berikutnya.[17]
D.
Aktualisasi
Mengkaji sejarah Andalusia menyediakan wacana
Islam masa lampau yang sangat mendalam jika kita mau merenungkannya. Jika
diaktualisasikan ke masa kini, tampak seolah hanya tinggal sejarah, dan hanya
tinggal nama. Meskipun disana masih terdapat peninggalan bersejarah namun hanya
menjadi saksi bisu bahwa islam pernah berjaya di sana. Dilihat dari
perjalanan sejarahnya, Islam saat ini sedang berada pada fase kebangkitan.
Namun di samping itu, Eropa juga terus maju, jadi seolah kebangkitan peradaban Islam belum begitu
tampak.
Apalagi jika di hubungkan dengan peradaban islam di masa silam seperti
peradaban Islam di Andalusia dan di Baghdad. Banyak sekali contoh yang
menunjukkan bahwa betapa hal yang tampanya sepele bisa menjadi perpecahan di
antara sesama umat Islam. Bisa kita lihat di berita televisi, bagaimana konflik
di Timur Tengah yang tidak kungjung reda, negeri-negeri Arab yang kekayaannya
melimpah itu tidak bisa menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Ini baru yang
tapak. Belum lagi kasus Muslim Rohongya di Filipina, Muslim yang menjadi
minoritas di negara-negara barat.
Dalam buku The Ornament of The World: How Muslims, Jews and Christians Created a
Culture of Tolerance in Medieval Spain yang dalam edisi Indonesia berjudul “Sepotong
Surga di Andalusia”, di situ dijelaskan betapa ketiga umat yang berbeda agama
itu bisa hidup rukun dalam situasi politik yang terkendali. Jadi beginilah,
peradaban itu hanya akan bersinar tatkala situasi pilitik pun juga mendukung
terhadap kemajuan peradaban tersebut.
Memang unsur-unsur untuk suatu peradaban itu bisa dikatakan maju
itu banyak sekali, namun sering kali seseorang terjebak pada sejarah yang
sempit yang berkesimpulan bahwa dengan berkuasanya umat islam di panggung
politik menandakan perdaban Islam telah maju. Padahal tidak seperti ini.
Bukankah Hulagu Khan dulu juga pernah menaklukkan Baghdad, tetapi Bangsa Mongol
yang dipimpin Hulagu Khan waktu itu tidak membawa kebudayaan yang tinggi.
Sehingga penaklukan bangsa Mongol waktu itu hanya merupakan ambisi kekuasan tanpa
membawa pengaruh apa-apa.
Penulis
teringat dengan apa yang dikatakan Syaikh Yusuf Qordhowi yang kurang lebih
intinya bahwa perluasan wilayah islam yang dilakukan oleh para Mujahidin
hendaklah juga dibarengi atau diteruskan dengan dakwah[18]
yang dilakukan oleh para Mujtahid. Dan tentunya semua aspek yang mendukung
terhadap kemajuan suatu peradaban itu haruslah berpartisipasi di situ.
E.
Kesimpulan
Andalusia, sebuah
negeri yang meninggalkan jejak begitu besar di sepanjang sejarah umat Islam pada awal perkembangan
Islam di dunia Eropa. Tentu hal ini menyita banyak perhatian besar dari berbagai
khalayak umat Islam. Dikatakan demikian, karena penguasaan Islam
terhadap semenanjung Iberia lebih khusus Andalusia, telah menunjukkan bahwa
Islam telah tersebar ke Negara Eropa.
Mulai dari tahapan awal proses masuknya
Islam, di mana wilayah Spanyol diduduki oleh khalifah-khalifah dalam setiap dinasti-dinasti
yang didirikan dalam setiap periodenya. Tentu, hal ini banyak memiliki peranan
yang sangat penting dan besar dalam perkembangan umat Islam. Dimana pada akhirnya
Islam pernah berjaya di Spanyol dan berkuasa selama tujuh setengah abad. Suatu masa
kekuasaan dalam waktu yang sangat lama untuk mengembangkan Islam.
Namun di balik usaha keras umat Islam mempertahankan
kejayaan pada masa sekian abad itu, umat Islam menghadapi kesulitan yang amat berat.
Di mana pada suatu ketika, umat Islam diterpa serangan-serangan penguasa
Kristen yang sampai-sampai umat Islam tidak kuasa menahan serangan-serangan penguasa
Kristen yang semakin kuatitu. Sehingga pada akhirnya Islam menyerahkan kekuasaannya
dan semenjak itu berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol.
Demikianlah Islam di Andalusia, walaupun pada
akhirnya berakhir dengan kekalahan, namun islam muncul sebagai suatu kekuatan budaya
dan sekaligus menghasilkan cabang-cabang kebudayaan dalam segala ragam dan jenisnya.
Banyak sekali kontribusi Islam bagi kebangunan peradaban dan kebudayaan baru
Barat.
[1]Jamal Abdul
Hadi, Sejarah Islam dicemari Zionis dan
Orientalis, (Jakarta: Gema Insani, 1995), 18
[2]Faisal
Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi
Kritis dan Refleksi Historis, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), 141
[4]Samsul Munir Amin,
Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009),160
[10]Jaih Mubarok, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 71
[13]Harun
Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: Universitas Islam, 1985), 82
[14]Himayah, Kebangkitan..., 60
[15]Himayah, Kebangkitan..., 67
[18] Kata “dakwah” di sini
haruslah dimaknai secara luas yang melibatkan semua unsur umat yang mengarah
pada kemajuan peradaban.