Al-sunah merupakan sumber
syari’at Islam yang kedua setelah Al-Qur'an. Kaum muslimin mencapai kata
sepakat tentang hal ini, kecuali sebagian kecil para pengingkar
al-sunnah, dengan beberapa argumen lemah mereka. Namun demikian, terdapat
beberapa simpul perbedaan pandangan mengenai kadar penggunaan dan standar
penerimaannya sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an, yang tidak
jarang menimbulkan kontroversi hebat dengan lahirnya kesimpulan hukum yang
berbeda-beda dari sudut pandangan fiqh.
Secara historis, barangkali
perbedaan pandangan semacam ini dapat dimaklumi. Mengingat pada periode-periode
awal, ada kecenderungkan minimalisasi periwayatan al-sunnah, khususnya sunnah qauliyyah.
Selain memberikan penekanan pada eksistensi Al-Qur'an sebagai sumber pegangan
utama, faktor lain yang mendasarinya adalah kekhawatiran tersebarnya pendustaan
terhadap ucapan beliau, Rasulullah saw., hal mana juga menjadi perhatian
tersendiri dari beliau, hingga terlontar peringatan keras dari para pembuat
kedustaaan terhadap Rasul[1].
Faktor geografis juga ikut
menentukan perkembangan al-sunnah sebagai salah satu otoritas dalil syari'at.
Dapat dibuktikan, bahwa perkembangan al-sunnah di Madinah, memiliki fenomena
tersendiri. Produk-produk al-sunnah yang lahir dari kota Nabi dan tempat
mayoritas shahabat tinggal ini relatif aman dari pemalsuan, karena
umumnya telah diketahui mayoritas mereka, tidak sedikit yang mendengar atau
menyaksikannya langsung dari Nabi. Fenomena yang berkembang di Madinah ini
nampak berbeda dengan fenomena yang berkembang di kota-kota lain. Di Irak
misalnya, pada periode-periode pasca kenabian, kota yang mulai ramai dihuni
para shahabat ini marak dengan adanya pemalsuan al-sunnah. Hal ini karena
jauhnya kawasan tersebut dari Madinah sebagai pusat pengembangan dan informasi
keagamaan saat itu. Selain itu, juga karena pengaruh proses asimilasi
kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang baru saja memeluk Islam dengan
keterbatasan taraf keimanan di satu sisi, serta faktor disintegrasi umat secara
politis di sisi lain[2]. Dari sini
barangkali dapat ditarik benang merah, mengapa Imam Malik yang berdomisili di
Madinah tidak seselektif Al-Syafi'i yang berdomisili di Irak dalam menetapkan
standar-standar kesahihan hadits (baca: al-sunnah).
Fenomena historis lainnya yang
mempengaruhi perkembangan al-sunnah adalah cara-cara penyebarannya. Sejarah
mencatat bahwa saat Nabi Muhammad masih hidup, pemeliharaan terhadap al-sunnah
tidak sebagaimana yang dilakukan terhadap Al-Qur'an. Dulu, terutama di
masa-masa Rasul masih hidup, usaha kodifikasi (pembukuan) terhadap al-sunnah
belum pernah dimunculkan, begitu pula pada masa-masa shahabat sepeninggal
beliau. Alasan utama ketiadaan usaha pembukuan al-sunnah ini bertitik tolak
dari larangan Rasulullah. Hal ini untuk mengantisipasi bercampurnya materi
al-sunnah dengan Al-Qur'an yang telah dirintis usaha pembukuannya sejak Rasul
masih hidup. Beberapa bukti yang menunjukkan larangan penulisan al-sunnah ini,
di antaranya adalah sebuah hadits mutawâtir, Rasulullah bersabda[3]:
لاَ
تَكْتُبُوْا عَنِّيْ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيُمْحِهِ
وَحَدِّثُوْا عَنِّيْ وَلاَ حَرَجَ (رواه مسلم)
Artinya: Janganlah kalian menulis sesuatu dariku. Barangsiapa yang telah
menulisnya, maka hendaklah ia buang. Ceritakanlah saja apa-apa dariku, tidak
ada dosa di dalamnya. (HR. Muslim)
Sikap serupa juga pernah
ditampakkan oleh Umar bin al-Khaththab saat detik-detik terakhir menjelang
Rasullah wafat. Dihikayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan yang lain,
bahwa ketika sakit Rasulullah semakin parah, beliau pernah berkata: "Berikanlah
aku sebuah lembaran, akan aku tuliskan untuk kalian pesan, supaya kalian tidak
tersesat setelahnya." Umar berkata pada para shahabat, "Sesungguhnya
Nabi saw. dilanda oleh sakitnya, sementara di sisi kita sudah ada Kitab Allah
yang mencukupi kita”.[4]
Namun demikian, larangan
tersebut tidak dapat dipahami secara mutlak, karena bisa jadi larangan ini
hanya beliau tujukan pada para penulis wahyu. Karena bila mereka turut menulis
ucapan-ucapan beliau, bisa jadi akan terjadi pencampuradukan antara wahyu
berupa Al-Qur'an dan sunnah nabawiyyah.
Ada beberapa argumen pembenar
atas asumsi di atas. Di antaranya adalah hadits yang teriwayatkan dalam Musnad
Ahmad, dari Abdullah bin Umar. Diceritakan bahwa ia pernah menulis setiap
yang ia dengar dari Rasulullah untuk dihafalkan. Kemudian orang Quraisy
mencegahnya. Tatkala hal ini ia adukan pada Rasulullah, beliau bersabda:
اكْتُبْ ,
فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّيْ إِلاَّ حَقٌّ .(رواه أحمد)
Artinya: Tulislah (apa yang engkau dengar dariku), demi Dzat yang jiwaku
berada dalam kekuasaanNya, tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran. (HR. Ahmad)
Dari hadits ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa membukukan al-sunnah
tidak dilarang oleh Rasulullah[5].
Kemudian untuk masa-masa
setelahnya yaitu, sekitar awal-awal tahun 200 H. usaha pembukuan al-sunnah
mulai digalakkan dengan menyendirikan pembukuan hadits dari lainnya, dengan
cara pembukuan hadits secara musnad (yakni dengan menyebutkan semua periwayat hadits
dan mengklasifikasikan berdasarkan periwayatnya), yang diriwayatkan oleh setiap
shahabat dalam sembarang bab pembahasan, belum teratur dalam sistematika
pembahasan pada masing-masing bab. Kendati metode pembukuan hadits ini
menunjukkan kemajuan dengan disendirikannya penulisan hadits dari selainnya,
namun upaya pembukuan ini belum membedakan antara hadits shahih dan
hadits dla’îf.
Baru pada sekitar abad ke 3 H.
pembukuan al-sunnah mulai diatur secara sistematis, di mana hadits shahih dibedakan
dengan hadits dla’îf. Begitu pula, mulai diadakan penelitian terhadap
kepribadian para periwayat, mulai integritas moral ('adâlah) sampai
kekuatan hafalan (dlabth)nya. Di antara mereka yang turut dalam
mensukseskan usaha pengkodifikasian al-sunnah ini adalah Imam al-Bukhari (w.
256 H) dengan sebuah karyanya Al-Jâmi’ al-Shahîh. Imam Muslim (w. 261 H)
dengan karyanya Shahîh Muslim. Ibnu Mâjah (w. 273 H) dengan karyanya Sunan
Ibnu Mâjah. Abu Dawud (w. 175 H) dengan karyanya Sunan Abî Dawud.
Al-Turmudzi (w. 279 H) dengan karyanya Jâmi’ al-Turmudzi. Al-Nasâ’i (w.
303 H) dengan karyanya Sunan al-Nasâ’i. Dari kalangan Syi’ah ada
Muhammad bin Ya’qub al-Kailani (w. 328 H) dengan karya monumentalnya, Al-Kâfi,
Al-Thûsy (w. 411 H) dengan dua karyanya, Al-Istibshâr dan Tahdzîb al-Ahkâm,
serta Ibn Bâbawaih (w. 381 H.).[6]
Pengertian
al-sunnah
Al-sunnah, secara
harfiah merupakan kosa kata kuno yang telah dikenal dalam bahasa Arab, bermakna
jalan yang menjadi kebiasaan, baik atau buruk. Pengertian semacam ini dapat
dilihat dalam hadits Rasul berikut:
مَنْ سَنَّ
سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
مِنْ غَيْر ِأَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه الدارمي)
Artinya: Barang siapa yang berbuat baik, maka ia mendapatkan pahalanya
dan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun, dan barangsiapa yang melakukaan perbuatan buruk, maka ia
mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi
dosa mereka sedikitpun. (HR. Al-Dârami)
Dalam terminologi syari'at,
al-sunnah memiliki beberapa pengertian. Oleh ulama'-ulama' Islam, kosakata ini
direduksi dari pengertiannya sebagaimana dalam Al-Qur'an dan bahasa Arab, dan
dipergunakan dalam pengertian yang lebih khusus. Yakni jalan yang menjadi
kebiasaan dalam melaksanakan ajaran agama, atau dengan kata lain suatu gambaran
amal perbuatan yang sesuai dengan teladan Nabi dan para shahabatnya, atau
dengan tuntunan Al-Qur'an, sebagaimana petunjuk dan maksud yang terkandung di
dalamnya[7]. Dengan
pengertian inilah, secara terminologis kosakata al-sunnah dipergunakan pada
permulaan Islam, sebagaimana hadits Nabi :
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ (رواه أحمد وأبو
داود والترمذي وابن ماجه وابن حبان والحاكم)
Artinya: Ikutilah sunnahku dan
sunnah khulafa’ al-Rasyidin (para pengganti Rasul yang mendapatkan petunjuk)
sepeninggalku. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Ibn Hibbân
dan Al-Hâkim)
Antonim (lawan kata) dari
al-sunnah dalam pengertian di atas adalah bid’ah yang diartikan sebagai
perilaku "baru" yang tidak sesuai perintah Nabi[8]. Dalam sebuah
hadits disebutkan :
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
Artinya: "Barangsiapa yang
mengada-ada dalam urusan kita, (yakni agama Islam), dengan sesuatu yang bukan
merupakan bagian darinya, maka ia tertolak". (HR. Muslim).
Kemudian setelah melewati
kurun waktu pertama, al-sunnah mengalami perkembangan istilah yang bervariasi,
sejalan dengan perkembangan disiplin ilmu keislaman. Ada beberapa pengertian
al-sunnah dipandang dari berbagai sudut disiplin ilmu tersebut, di antaranya
pengertian dari sudut pandang ilmu fiqh, hadits, dan ushul fiqh.
Menurut ulama' fiqh, sunnah
berarti suatu perbuatan yang dianjurkan tanpa ada keharusan, dengan gambaran
siapa yang mengerjakan maka akan mendapatkan pahala dan bila tidak dikerjakan
tidak mendapatkan dosa. Dengan kata lain, sunnah adalah antonim dari wajib.[9] Sedangkan
menurut ahli hadits, sunnah adalah segala sesuatu yang tercermin dari diri
Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat-sifat
lahir maupun batin dan universalitasnya, serta setiap hal yang dinisbatkan pada
Rasul, baik sebelum atau sesudah diutus, baik yang telah ditetapkan dalam hukum
syara’ maupun belum. Adapun al-sunnah menurut ulama’ ushul fiqh adalah segala
sesuatu yang timbul dari Nabi saw. selain Al-Qur'an yang mencakup perkataan,
perbuatan dan ketetapan atau persetujuan (taqrir) yang dapat digunakan
sebagai landasan hukum syari’at[10]
Letak perbedaan pengertian
sunnah secara terminologi antara ahli ushul dan ahli fiqh adalah bahwa sunnah
menurut ahli ushul merupakan nama dari salah satu dalil atau sumber hukum, sedangkan
sunnah menurut ahli fiqh merupakan salah satu hukum syara' untuk menunjukkan
status hukum suatu perbuatan dengan dalil tersebut. Dari pengertian sunnah yang
bervariasi ini, sunnah menurut ulama ushul fiqh-lah yang menjadi fokus
pembahasan kali ini.
Dari definisi al-sunnah
menurut ulama’ ushul terdapat tiga fokus pembahasan yang penting untuk
diuraikan secara transparan, yaitu sunnah qauliyyah, sunnah fi’liyyah dan
sunnah taqrîriyyah.
-
Sunnah qauliyyah berarti perkataan-perkataan Rasul, seperti perkatan beliau: "Tidak
ada hak wasiat bagi ahli waris" (HR. Dâruquthnî). "Segala amal
perbuatan harus disertai dengan niat" (HR. Bukhari) dan lain
sebagainya.
-
Sunnah fi’liyyah berarti perbuatan-perbuatan Rasul dalam kesehariannya. Seperti halnya
pelaksanaan shalat lima waktu, pelaksanaan ibadah haji, putusan hukum dengan
disertai saksi dari pendakwa dan sumpah dari pihak terdakwa. Karena sangat
luasnya pembahasan tentang sunnah fi’liyyah, pembahasan tentang hal ini
akan disajikan dalam sub pembahasan tersendiri.
-
Sunnah taqrîriyah, berarti sikap diam Nabi Muhammad terhadap sesuatu yang dilakukan oleh para
shahabat – berupa perbuatan maupun perkataan – di hadapan beliau, atau
dilakukan tidak di hadapan beliau, akan tetapi beliau mengetahuinya. Dengan
sikap diam Nabi terhadap apa-apa yang dilakukan oleh shahabat, membuktikan
perbuatan tersebut tidak beliau ingkari, atau membuktikan perbuatan shahabat
tersebut dianggap tidak bertentangan dengan syari’at. Karena sangat tidak mungkin
beliau diam terhadap perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum
syari’at Islam.[11]
Kemudian dalam kaitannya
dengan beberapa pengertian al-sunnah di atas, secara etimologis maupun
terminologis, tersisa sebuah pendapat kontroversial yang diajukan oleh sebagian
peneliti. Mereka beranggapan bahwa kosakata sunnah berasal dari bahasa Ibrani,
yaitu musyannah yang digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk menunjukkan
arti kumpulan riwayat-riwayat Isra'iliyat sebagai penjelas kitab Taurat
dan sekaligus sebagai referensi mereka untuk mengetahui hukum-hukumnya. Mereka
beranggapan, kaum muslimin menyerap kata musyannah ke dalam bahasa Arab
dan ditransliterasikan sebagai kata "sunnah" untuk menunjukkan
kumpulan riwayat-riwayat Nabi Muhammad sebagai salah satu sumber hukum, seperti
halnya dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Anggapan ini keliru, karena
pada awalnya kaum muslimin tidak menggunakan istilah apapun untuk menunjukkan
nama dari kumpulan-kumpulan riwayat Nabi Muhammad. Sunnah pada masa-masa
permulaan Islam dipergunakan sebagai istilah untuk menunjukkan jalan atau
perilaku Nabi Muhammad dan para shahabatnya sesuai dengan apa yang mereka
pahami dari tuntunan Al-Qur'an dengan berbagai sisinya.
Adapun pengistilahan sunnah
sebagai kumpulan perkataan-perkatan Nabi Muhammad hanyalah dikenal setelah
genap seratus tahun pertama dari sejarah Islam ketika mulai digalakkan usaha
pengumpulan dan kodifikasi hadits[12].
Antara al-sunnah, hadits dan khabar.
Ada dua term yang sering
dikaitkan dengan al-sunnah, yakni hadits dan khabar. Adakah perbedaan di
antara ketiganya? Para ulama’ berselisih pendapat dalam membedakan antara
al-sunnah, hadîts dan khabar, sesuai dengan perspektif mereka
masing-masing.
Al-hadîts (ucapan),
dalam kaitan pembahasan ini, secara literal berarti sesuatu yang
diperbincangkan dan diriwayatkan, termasuk di dalamnya adalah hadits Rasulullah
saw[13].
Sedangkan al-khabar (berita), memiliki makna literal nama untuk sesuatu
yang dijadikan bahan perbincangan[14].
Dalam terminologi ilmu hadits, Dua term ini, menurut Ibn Hajar al-'Asqalânî,
adalah dua kata dengan makna sama. Keduanya diungkapkan untuk al-marfû',
al-mauqûf dan al-maqthû'[15]
dari jenis-jenis hadits. Ada yang berpendapat, bahwa hadits adalah sesuatu yang
datang dari Nabi saw., sedangkan khabar adalah yang datang dari selain beliau.
Pendapat lain menyatakan bahwa khabar memiliki cakupan lebih luas dari hadits,
sehingga setiap hadits adalah khabar, bukan sebaliknya. Ada lagi yang
mengungkapkan bahwa hadits tidak digunakan pada selain marfû' kecuali
dengan penyandaran[16].
Namun, dalam keterkaitannya
dengan al-sunnah, hadits dan khabar ada sisi-sisi kesamaan dan
perbedaan, namun secara definitif, hadits dan khabar berbeda dengan al-sunnah.
Al-Taftazânî menyatakan bahwa al-sunnah adalah sesuatu yang bersumber dari
Rasul selain Al-Qur'an, berupa perkataan (dan inilah yang disebut hadits),
tindakan dan persetujuan[17].
Wahbah al-Zuhailî, dalam kaitannya dengan pembahsan ushul fiqh, lebih memilih
pengistilahan al-sunnah daripada khabar dan hadits. Karena menurutnya, khabar,
sebagaimana pula hadits, adalah sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw., pada
shahabat atau yang lain, berupa perkataan, tindakan, persetujuan atau
sifat-sifat. Sedangkan al-sunnah hanyalah mencakup sesuatu yang tersandarkan
pada Nabi saw., berupa perkataan, tindakan, persetujuan atau sifat-sifat beliau[18].
Dari pengertian-pengertian di
atas dengan beragam pendapat yang mengemuka, secara umum dapat disimpulkan,
bahwa tidak setiap khabar atau hadits adalah al-sunnah. Kesimpulan ini
selaras dengan lontaran pernyataan Imam Ahmad, "Dalam hadits ini
terdapat lima sunnah", atau sinyalemen dari Al-Qâdli 'Iyâdl, bahwa
Al-Tsaurî adalah seorang imam dalam bidang hadits, bukan imam dalam bidang
sunnah, sedang Al-Auza'î adalah imam dalam bidang sunnah, bukan imam dalam
bidang hadits, sementara Imam Malik adalah imam dalam bidang hadits sekaligus
sunnah[19].
Walhasil, usaha-usaha
periwayatan yang berhasil mendokumentasikan hadits atau khabar,
merupakan langkah awal untuk selanjutnya digali kandungan al-sunnah di
dalamnya. Hadits dan khabar berfokus pada periwayatan, sedangkan
al-sunnah berkaitan dengan pensyari'atan dari apa yang teriwayatkan.
Perbedaan Al-Qur'an dan al-sunnah
Al-sunnah memiliki keterkaitan
erat dengan Al-Qur'an. Karena, selain keduanya muncul melalui Rasulullah,
al-sunnah juga merupakan pengejawantahan dari ajaran Al-Qur'an, sebagaimana
dipaparkan kemudian. Ada beberapa poin perbedaan antara Al-Qur'an dan
al-sunnah, di antaranya adalah[20]:
-
Al-Qur'an terbukukan secara baku sesuai dengan urutan surat dan ayat dengan
petunjuk wahyu. Berbeda dengan al-sunnah, yang tidak ditemukan orang yang
membukukannya pada masa Nabi, kecuali sedikit dari para shahabat, bahkan pada
masa-masa awal, Rasul melarang penulisan al-sunnah dan mencukupkannya pada
hafalan, karena kekhawatiran tercampur dengan wahyu yang ditulis pada saat itu.
-
Al-Qur'an sampai kepada kita dengan periwayatan secara massal (mutawâtir),
dari sisi hafalan maupun tulisan. Berbeda dengan periwayatan al-sunnah yang
mayoritas periwayatannya dengan jalan âhâd (orang per orang).
-
Al-Qur'an tidak boleh diriwayatkan secara makna (yakni dengan menggunakan
redaksi yang berbeda, namun dalam lingkup satu makna). Berbeda dengan al-sunnah
yang bisa diriwayatkan secara makna dengan redaksi yang berbeda-beda.
Dan, hal ini banyak terjadi, sehingga perbedaan dalam redaksi, bahasa dan
periwayatan lazim terjadi.
-
Para sahabat pada era-era awal mengembalikan perbedaan di antara mereka
dalam masalah huruf Al-Qur'an kepada Rasulullah dan memutuskan permasalahan
tersebut dengan menentukan salah satu dari beberapa ragam bacaan, atau
memperkenankan beberapa model bacaan sekaligus. Hal ini tentu berbeda dengan
al-sunnah yang dalam sejarah tidak pernah ditemukan proses semacam ini.
Ishmah para Nabi
Berbicara tentang al-sunnah
sebagai sumber hukum syari'at, tidak lepas dari pembicaraan tentang sifat ‘ishmah
(keterpeliharaan) para nabi dari perbuatan yang bertentangan dengan syari'at
Islam. Karena jika seorang utusan Tuhan yang harus menjadi panutan ternyata
perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, maka fungsi kenabian, yakni
seruan atas ketaatan terhadap Allah, tidak akan efektif, bahkan bertentangan
dengan tugas utamanya.
Al-Qâdli Abû Bakar dan Ibn al-Hâjib
meriwayatkan adanya ijma' kaum muslimin tentang sifat ishmah para Nabi
dalam hal-hal yang merupakan dosa besar, serta dosa-dosa kecil yang dapat
menurunkan martabat kenabian mereka. Meski demikian, mereka masih
memperselisihkan argumentasi yang melandasi pemikiran ini, dalil syara'-kah, atau
dalil rasio. Kalangan Mu’tazilah dan sebagian Asy’ariyyah beranggapan bahwa
sifat ishmah para nabi dicetuskan secara rasio sekaligus dengan dukungan
dalil syara’. Sementara menurut Al-Qâdli Abu Bakar, para ulama' Syafi’iyyah dan
Hanafiyyah, bahwa sifat ishmah para nabi didasarkan pada dalil syara’
semata, karena secara rasio, tidak satupun alasan logis yang menunjukkan bahwa
para nabi terjaga dari perbuatan dosa. Sedangkan mengenai dosa-dosa kecil tanpa
potensi penurunan derajat kenabian, mungkinkah para nabi melakukannya? Secara
rasio, hal ini sah-sah saja, namun secara faktual tidak pernah terjadi,
demikian pendapat mayoritas ulama'. Karenanya, bila secara zhâhir
terdapat nash yang menunjukkan perbuatan dosa oleh seorang nabi, maka
harus diarahkan pada pemahaman terjadinya hal tersebut saat sebelum kenabian,
atau ada motif pembenar.
Hal lain yang terkait dengan
sifat ishmah para nabi adalah, mungkinkah mereka berkata dusta ? Para
ulama’ menyepakati atas keterpeliharaan para nabi dari kesengajaan berkata
dusta dalam hukum-hukum syara’, karena mu’jizat yang diberikan kepada mereka
justru untuk membuktikan kejujuran perkataan para utusan Tuhan itu. Sedangkan
dalam hal ketidaksengajaan berkata dusta yang muncul dari diri para nabi,
mayoritas ulama' tidak membenarkannya.
Sifat ishmah para nabi
sebagaimana dipaparkan di atas adalah berkaitan dengan masa kenabian, yakni
tatkala mereka telah diangkat sebagai utusan Tuhan. Adapun sebelum mereka
mendapatkan mandat kenabian tersebut, terpeliharakah mereka dari perbuatan dosa
? Kontroversi pendapat masih saja terjadi. Mayoritas ulama’ beranggapan bahwa
sifat ishmah hanya memiliki kaitan dengan derajat kenabian, sehingga
sebelum diangkat sebagai utusan Tuhan, seorang nabi (baca: calon nabi) tidak
diberikan sifat tersebut. Golongan Rawâfidl[21]
beranggapan sebaliknya, bahwa sebelum atau sesudah pengangkatan sebagai nabi,
seorang utusan Tuhan juga harus terpelihara dari dosa kecil dan dosa besar.
Sedangkan menurut kalangan Mu’tazilah, sebelum diangkat sebagai nabi, mereka
terpelihara dari perbuatan dosa besar saja[22].
Al-sunnah sebagai sumber syari’at Islam
Menurut Ibn al-Qayyim, sunnah
Rasulullah yang berkaitan dengan pokok-pokok hukum syari'at berkisar kurang
lebih 500 buah hadits, sedangkan yang berkaitan dengan detil-detil hukum
syari'at ada sekitar 4000 buah hadits[23].
Meski demikian, terdapat jauh lebih banyak hadits yang berpotensi sebagai acuan
dasar penetapan hukum, kendati di antara hadits tersebut keberadaannya masih
memunculkan kontroversi, sebagaimana kontrovesi ulama' dalam pemakaian hadits âhâd.
Hal ini berbeda dengan
Al-Qur'an, yang relatif 'aman' dari kontroversi keberadaan ayat per ayatnya
misalkan. Ayat-ayat Al-Qur'an, status keberadaannya haruslah mutawâtir,
dalam arti statusnya sebagai Al-Qur'an tidak terbantahkan lagi, karenanya
perbedaan pendapat hukum di antara mujtahid hanya berkisar dari pemahaman dan
interpretasi ayat-ayatnya. Sehingga ruang ijtihad pada ayat-ayat Al-Qur'an
hanyalah diarahkan pada ayat-ayat yang zhanniyy al-dilâlah[24]
saja.
Karena mayoritas al-sunnah
yang status keberadaannya tidak lebih dari sekedar zhanni inilah, maka
sisi argumentatif al-sunnah dalam ranah hukum syari'at berada pada prioritas
kedua setelah Al-Qur'an. Pandangan semacam ini telah menjadi kesepakatan para
ulama' Islam, kecuali beberapa golongan saja yang mengingkari al-sunnah sebagai
sumber hukum mandiri.
Ada beberapa argumentasi yang
melandasi pemikiran para ulama' dalam menjadikan al-sunnah sebagai sumber hukum
syari'at, di antaranya dari berbagai ayat Al-Qur'an, ijma' dan argumentasi
rasio. Selain konsensus umat, argumen-argumen ini pertama kali dicetuskan oleh
seorang ulama' besar pembela al-sunnah, Imam al-Syafi'i ra. yang tertuang dalam
dua karya agungnya Al-Umm dan Al-Risâlah. Secara terperinci
argumen-argumen tersebut adalah sebagai berikut[25]:
Pertama, dalam nash-nash
Al-Qur'an Allah memerintahkan kita untuk mematuhi Rasul dan mengikuti jejak
beliau, serta menjadikan ketaatan kepada Rasul sebagai suatu bentuk ketaatan
kepada-Nya. Allah juga memerintahkan agar mengembalikan penyelesaian semua
persoalan kepada Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan. Kita tidak
diberikan-Nya pilihan selain apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Begitu pula, Al-Qur'an menggariskan keharusan beriman pada Rasulullah.
Karenanya, orang yang wajib untuk dipatuhi, maka ucapan, perbuatan dan
persetujuannya menjadi pegangan dan tuntunan dalam menjalani kehidupan
keberagamaan. Dalam berbagai ayat Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء 59)
Artinya: Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah
rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(al-hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang
demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. (QS: An-Nisa' 59)
مَنْ يُطِعِ
الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ الله َ(النساء 79)
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah
mentaati Allah. (QS : An-Nisa' 79).
مَنْ يُطِعِ
اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ هُمُ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ
النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ
أُولَئِكَ رَفِيْقًا (النساء 69)
Artinya: Dan barang siapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu
para nabi dan para shadiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
saleh, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.(QS: An-Nisa' 69).
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ (الأحزاب 36)
Artinya: Dan tidak patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS:
Al-Ahzab 36)
فَلاَ
وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا (النساء 64)
Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikinya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan
kamu hakim dalam suatu perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan,
dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya (QS An-Nisa' 64)
وَمَا آتاَكُمُ الرَّسُوْلُ
فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا (الحشر 7)
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya, maka tinggalkanlah. (QS: Al-Hasyr 7)
قُلْ إنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ (آل عمران 31)
Artinya: Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu (QS Ali 'Imran 31)
فَلْيَحْذَرْ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور 63)
Artinya: maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya, takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS: An-Nur 63)
إنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاَللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ
عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ (النور 62)
Artinya: Sesungguhnya yang sebenar-benarnya orang mu’min adalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, dan apabila mereka berada
bersama-sama Rasul dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka agar
tidak meninggalkan (Rasul) sebelum meminta izin kepadanya. (QS: An-Nur 62)
فَآمِنُوا
بِاَللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ
الَّذِي يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ (الأعراف 158)
Artinya: Maka berimanlah kepada Allah dan rasulNya, nabi yang ummi yang
beriman kepada Allah dan kalimat-kalimatnya (Al-Qur'an), dan ikutilah dia
supaya kamu semua mendapatkan petunjuk. (QS: Al-A’raf 158)
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمْ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ (آل
عمران 163)
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dapi golongan
mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan(jiwa)mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab (Al-Qur'an)
dan al-hikmah (sunah nabi)dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu mereka
adalah benar-benar dalam kesesatan yang yata. (QS: Ali ‘Imran 163)
Keharusan ketaatan pada Rasul
dan kaitan eratnya dengan keimanan ini dikuatkan pula dengan wasiat beliau
sendiri, sebagaimana terlontar dalam beberapa kesempatan. Saat hajjat
al-wadâ' (haji perpisahan) misalnya, Rasulullah bersabda:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( رواه مالك)
Artinya: Aku meninggalkan dua perkara, apabila kamu pegangi dua perkara
tersebut maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu kitab Allah dan sunnah
nabinya. (HR. Malik)
Kedua, ijma'
shahabat semasa hidup Rasulullah dan sepeninggal beliau atas kewajiban
mengikuti sunnah nabi. Mereka terbiasa mengikuti apa-apa yang diperintahkan
Nabi dan menjahui segala yang beliau larang. Mereka tidak membedakan antara
hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hukum yang muncul dari Nabi
(al-sunnah). Keduanya wajib untuk diikuti.
Jawaban Mu’adz bin Jabal dapat
menjadi gambaran dari kenyataan di atas. Saat ditanya Rasul tentang apa yang
dijadikannya pegangan dalam memutuskan hukum tatkala dalam Al-Qur'an tidak
ditemukan penjelasannya, Mu'adz menjawabnya, "Dengan sunnah
Rasulullah". Atau sikap Abu Bakar dan ‘Umar ketika menghadapi
kasus-kasus baru yang tidak ditemukan penjelasannya dalam Al-Qur'an. Demikian
pula para shahabat lainnya, serta generasi-generasi setelahnya. Semua ini
merupakan alasan pembenar sisi argumentatif al-sunnah dalam ranah hukum
syari'at.
Ketiga, secara
rasio dapat dipahami bahwa tatkala Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk
menyampaikan risalah dan mengikuti wahyu, sedangkan penyampaian risalah adalah
dengan membacakan Al-Qur'an dan menjelaskan kandungan maknanya, sementara
berbagai argumentasi telah membuktikan adanya sifat keterpeliharaan (ishmah)
Rasul, maka dengan demikian, kongkretasi dari syari'at adalah Al-Qur'an dan
ucapan Rasul. Muhammad Taqiyy al-Hâkim, sebagaimana dikutip Wahbah
al-Zuhaili, menandaskan bahwa argumentasi ini adalah inti dari dalil pembenar
sisi argumentatif al-sunnah. Pengingkaran terhadap hal ini akan berimbas pada
pengingkaran secara rasional terhadap eksistensi kenabian[26].
Dari argumen-argumen di atas,
dapat ditarik kepahaman, tatkala dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang
secara literal bermakna mujmal (general) atau muthlaq (inlimit),
yang tidak akan dapat dipahami tanpa adanya penjelasan dari Rasul penyampai
wahyu, baik dari segi perbuatan atau perkataan, maka dengan demikian, segala
sesuatu yang keluar dari Rasul (baca: al-sunnah) juga menjadi sumber legislasi
hukum Islam. Beberapa ayat Al-Qur'an yang bermakna mujmal atau muthlaq
dan tidak akan bisa diimplementasikan tanpa penjelasan dari Rasulullah
adalah seperti ayat-ayat berikut:
وَأَقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ (النساء 77)
Artinya: Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat. (QS: An-Nisa’ 77)
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ (البقرة 183)
Artinya: Diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaiman di wajibkannya puasa pada orang-orang sebelum
kamu. (QS: Al-Baqarah 183)
وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إلَيْهِ سَبِيلاً (آل عمران 97)
Artinya: Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup
mengadakan perjalan ke baitullah. (QS. Ali
‘Imran 97)
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة 275)
Artinya: Allah telah
menghalakan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah 275)
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا (المائدة 38)
Artinya: Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya. (QS: Al-Maidah 38)
Ayat-ayat di atas hanya menjelaskan secara global kewajiban shalat dan
zakat, pensyari'atan puasa, larangan riba, serta ketentuan sanksi hukuman
pencurian, tanpa menjelaskan secara detail tata cara pelaksanaannya. Dari
penjelasan Nabi, berupa perkataan ataupun perbuatan, dapat diketahui
detail-detail tata cara berbagai aturan syari'at tersebut.
* Argumentasi pengingkar al-sunnah
Ada beberapa alasan para
pengingkar al-sunnah bersiteguh dengan pendapatnya, di antaranya adalah[27]:
Pertama, bahwa
dalam Al-Qur'an telah terdapat penjelasan mengenai segala hal. Dan karena
Al-Qur'an berbahasa Arab, maka dalam memahaminya, tidak dibutuhkan penjelas
selain pengetahuan bahasa Arab. Sementara dalam periwayatan al-sunnah, ada
keterlibatan periwayatnya yang tidak ada keterjaminan dari kebohongan,
kekeliruan atau kealpaan. Karenanya, kedudukan al-sunnah tidak bisa setara
dengan Al-Qur'an dalam fungsinya sebagai sumber hukum syari'at, sebab status
keberadaan Al-Qur'an adalah qath'iyy al-tsubût[28].
Allah berfirman:
مَا
فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (الأنعام 38)
Artinya: Tidaklah kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab[29]
(Al-Qur'an) (QS: Al-An’am 38).
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ (النحل 89)
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala
sesuatu. (QS: An-Nahl 89).
Dua ayat di atas menyatakan, tidak ada satupun persoalan yang terlewatkan
oleh Al-Qur'an, sehingga tidak diperlukan dalil-dalil lain. Al-Qur'an juga
telah memberikan penjelasan bagi semua hal. Karenanya, cukuplah bagi setiap
muslim untuk berpegang dengan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sandaran. Andai
saja Al-Qur'an membutuhkan al-sunnah, pastilah ada sesuatu yang tertinggal atau
tidak dijelaskan dalam Al-Kitab, sehingga ini akan menyalahi pemberitaan Allah
dalam ayat di atas, dan hal ini adalah irrasional (mustahil).
Namun, argumentasi di atas
terbantahkan. Karena interpretasi para pengingkar al-sunnah tersebut keliru,
sebab yang dimaksud dari Al-Kitab dalam dua ayat di atas bukanlah
Al-Qur'an, tetapi al-lauh al-mahfûzh. Ini dibuktikan dari
konteks kalimat pada ayat pertama, dengan runtutan selengkapnya sebagai
berikut:
وَمَا مِنْ
دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلاَ طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إلاَّ أُمَمٌ
أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (الأنعام 38)
Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga)
seperti kamu, tiada sesuatupun Kami alpakan di dalam Al-Kitab (QS: Al-An'am
38)
Dan, dengan pengandaian bahwa maksud dari Al-Kitab adalah Al-Qur'an,
maka pemaknaan ayat dengan zhâhir keumuman cakupannya adalah juga suatu
kekeliruan, karena berapa banyak permasalahan-permasalahan duniawi tidak
tercantum penjelasannya dalam Al-Qur'an, berapa banyak tata cara tuntunan-tuntunan
syari'at cabangan tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an, seperti tata cara shalat,
haji, zakat dan lain-lain. Karenanya, 'sesuatu' yang tidak ditinggalkan
penjelasannya dalam Al-Qur'an hanyalah pokok-pokok akidah, seperti kewajiban
shalat dan zakat, kehalalan makanan-makanan yang baik, keharaman zina, dan
termasuk pula di dalamnya hal-hal yang penjelasannya dilimpahkan pada dalil
lain, seperti firman Allah:
أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ (النساء 58)
Artinya: Taatilah Allah, dan taatilah rasulNya (QS: An-Nisa' 58)
Sanggahan semacam ini juga diberlakukan pada kesimpulan mereka dengan
argumen ayat kedua. Bahwa keumuman cakupan 'sesuatu', bukanlah yang dikehendaki
dari ayat ini. karena ayat ini pun juga harus dikompromikan dengan interpretasi
sebagaimana pada ayat pertama.
Arahan makna dua ayat di atas
dengan interpretasi sebagai dikemukakan di atas dikuatkan oleh sebuah riwayat
dari Ibn Mas'ud. Dalam suatu kesempatan, ia berfatwa di depan publik: "Allah
melaknati para perempuan pembuat tato, pemesan tato, penyambung rambut,
perenggang gigi, dan perubah ciptaan Allah". Seorang perempuan Bani
Asad seketika memprotesnya. Ibn Mas’ud menukas, “Bagaimana aku tidak
melaknati seseorang yang telah dilaknati oleh Rasullulah, di mana hal itu telah
dijelaskan dalam Kitab Allah”. Perempuan itu berkata: “Aku telah membaca
Al-Qur'an dari awal lembaran mushaf sampai akhir, tidak pernah aku
temukan penjelasan tentang hal itu”. Ibnu Mas’ud menjawab, “Seandainya
engkau membacanya dari mulai lembaran pertama sampai lembaran akhir tentu akan
kau temukan ayat yang menjelaskan kewajiban untuk mengikuti nabi Muhammad
yaitu:
وَمَا آتاَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا (الحشر 7)
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya
maka tinggalkanlah (QS: Al-Hasyr 7).
Kedua, ketiadaan
nilai argumentatif al-sunnah dalam syari'ai Islam, menurut para pengingkarnya,
disebabkan faktor ketiadaan garansi pemeliharaan dari Allah, sebagaimana pada
Al-Qur'an. Allah berfirman:
إنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر 9)
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dzikr (Al-Qur'an) dan
sesungguhnya Kami yang benar-benar memelihara (QS: Al-Hijr 9)
Al-Dzikr dalam ayat di atas tidak lain adalah Al-Qur'an, dengan bukti adanya hashr
(ketertentuan pada suatu hal semata) dengan
mendahulukan jâr dan majrûr.
Dalih semacam ini disanggah,
bahwa al-dzikr tidak secara khusus diarahkan pada Al-Qur'an semata.
Namun juga mencakup syari'at secara kesuluruhan, termasuk terpeliharanya
Al-Qur'an dan al-sunnah. Hal ini selaras dengan firman Allah:
وَيَأْبَى
اللَّهُ إلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (التوبة 32)
Artinya: Dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya,
walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya. (QS: At-Taubah 32)
Dan andaikata Al-Dzikr diarahkan
secara khusus pada Al-Qur'an, maka nilai argumentatif dari pengajuan ayat di
atas sebagai dalih dari anggapan mereka, yakni ketiadaan hujjah pada al-sunnah,
tidak dapat dibenarkan. Karena bentuk hashr pada ayat di atas bukanlah hashr
secara hakiki. Karena ada hal lain yang juga 'dipelihara' oleh Allah selain
Al-Qur'an, seperti pada firman Allah:
إِنَّ اللهَ
يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ أَنْ تَزُوْلاَ (الفاطر 41)
Artinya: Sesungguhnya Allah telah menahan (menjaga) langit dan bumi
supaya tidak lenyap .(QS: Al-Fathir 41)
وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ (المائدة 67)
Artinya: Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia (QS: Al-Maidah
67)
Demikianlah, tidak
terbantahkan lagi, bahwa al-sunnah menduduki posisi penting dalam legislasi
hukum Islam. Semua ulama' sepakat mengenai hal ini, kecuali sebagian kecil
saja. Mereka berpegangan pada sebuah hadits palsu:
مَا آتاَكُمْ
عَنِّيْ فَأَعْرِضُوْهُ عَلَى كِتَابِ اللهِ فَإِنْ وَافَقَ كِتَابَ اللهِ فَأَناَ
قُلْتُهُ وَإِنْ خَالَفَ فَلَمْ أَقُلْهُ وَكَيْفَ أُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ وَبِهِ
هَدَانِيْ
Artinya: Apa-apa yang datang kepadamu sekalian dariku, maka
bandingkanlah dengan kitab Allah (Al-Qur'an) apabila terjadi persamaan maka
saya mengatakannya dan apabila bertentangan dengan kitab Allah maka saya tidak
mengatakannya. bagaimana mungkin saya berlainan dengan kitab Allah, padahal
dengan kitab tersebut, Allah menunjukkan kepadaku".
Yahya bin Mu’in dan
'Abdurrahman bin Mahdi menyatakan bahwa hadits ini telah dipalsukan oleh
orang-orang zindîq[30] dan
Khawarij. Demikian pula diungkapkan oleh Al-Syafi'i, bahwa hadits ini tidak
pernah diriwayatkan oleh siapapun.
Dan, dari argumen-argumen yang
secara panjang lebar dipaparkan di muka, dalih hadits palsu ini dapat
dicounter. Karenanya, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menolak sisi
argumentatif al-sunnah dalam ranah hukum syari'at. Bahkan penolakan ini dapat
berbuntut fatal, dengan cap kekufuran. Al-Syaukani menegaskan bahwa sisi
argumentatif al-sunnah dan independensinya dalam legislasi hukum adalah fakta
tak terbantahkan. Tidak akan menyalahinya kecuali orang-orang yang tidak
mendapatkan bagian dari Islam[31].
Posisi al-sunnah terhadap Al-Qur'an
Dari paparan-paparan di muka,
telah jelas dan nyata bahwa al-sunnah memiliki fungsi strategis dalam proses
legislasi syari'at. Namun, seberapa jauh fungsi tersebut diperankan al-sunnah,
serta bagaimana keterkaitannya dengan Al-Qur'an sebagai sumber hukum primer syari'at
Islam ?
Secara umum dapat dinyatakan,
bahwa sebenarnya posisi al-sunnah tidak ada bedanya dengan Al-Qur'an, dalam
arti keduanya adalah dari Allah, pemegang otoritas syari'at secara hakiki.
Karena, tidak ada hukum kecuali apa yang telah ditetapkan-Nya. Dan, Muhammad
saw. sebagai utusan-Nya hanyalah penyampai wahyu dan penjelas kandungan
maknanya. Karenanya, Imam agung Al-Syafi'i menyatakan bahwa tidak ada
pertentangan sedikitpun antara Al-Qur'an dan al-sunnah, keduanya bersumber dari
wahyu[32].
Namun, mengingat bahwa secara
empiris, kebanyakan dokumentasi al-sunnah (baca: hadits) teriwayatkan secara âhâd,
yang secara rasio hanya bertaraf zhanniyy al-tsubût, sementara Al-Qur'an
teriwayatkan secara mutawâtir sehingga bertaraf qath'iyy al-tsubût, maka
dalam konteks argumentatif, al-sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur'an.
Kenyataan lain yang mendukung asumsi ini adalah bahwa al-sunnah berfungsi
sebagai penjelas Al-Qur'an. Dan, dalam perunutan logika, suatu penjelas
haruslah mengikuti apa yang dijelaskannya. Walhasil, secara umum dalam konteks
argumentatif, al-sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur'an.
Kesimpulan semacam ini telah
diisyaratkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Turmudzi
yang mengisahkan tentang dialog antara Rasulullah dan Mu'adz bin Jabal tatkala
beliau memberikan pembekalan kepadanya sebagai utusan ke Yaman. Rasulullah
bertanya: "Apabila suatu permasalahan dihadapkan kepadamu, dengan apa
engkau menghukuminya? ".
"Saya akan menghukuminya
dengan kitab Allah (Al-Qur'an)", jawab Mu'adz dengan tegas.
"Apabila engkau tidak
menemukannya dalam kitab Allah?" tanya Rasul kembali.
"Aku akan menggunakan
apa-apa yang pernah engkau katakan", tukas Mu'adz.
"Apabila dalam
sunnahku juga tidak engkau temukan, maka dengan apa engkau menghukuminya?"
Nabi melanjutkan pertanyaannya
"Aku akan menggunakan
akal pikiranku untuk mendapatkan hukum yang sebenarnya", jawab
shahabat Rasul ini.
Kemudian
Rasulullah menepuk dada Mu‘adz dan berkata: “Segala puji bagi Allah xang
memberikan petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yang diridlai oleh Allah
dan Rasul-Nya."
Khalifah Umar bin al-Khaththab
ra. pernah berpesan melalui sepucuk surat pada Syuraih, salah seorang qâdlinya,
untuk mengikuti al-sunnah jika dalam pemutusan hukum tidak ditemuinya sebuah
landasan dari Al-Qur'an. Dalam suratnya ‘Umar berpesan: “Lihatlah apa yang
jelas bagimu dalam Al-Qur'an dan jadikan ia sebagai rujukan dalam menjawab
sebuah pertayaanan, dan apa bila tidak jelas dalam Al-Qur'an, maka ikutilah
sunnah Rasulullah.”
Begitu pula petuah Ibn Mas’ud,
ia berkata: “Barangsiapa di antara kamu sekalian dihadapkan pada suatu
kejadian, maka hukumilah dengan kitab Allah (Al-Qur'an). Bila dalam Al-Qur'an
tidak kamu temukan, maka hukumilah dengan sunnah Rasul.”
Beberapa hadits dan riwayat di
atas menunjukkan bahwa acuan pokok dalam upaya pencetusan hukum mengenai suatu
kasus adalah Al-Qur'an sebagai referensi pertama dan utama. Jika tidak didapati
putusan hukumnya, maka al-sunnah yang menjadi pijakan selanjutnya. Dan bila
keduanya tidak memberikan solusi secara praktis, maka ijtihadlah yang menjadi
tumpuan.
*****
Kemudian dari sisi
muatan-muatan hukumnya, keterkaitan al-sunnah dengan Al-Qur'an dapat dijelaskan
dalam beberapa model hubungan. Ada empat bentuk hubungan sebagaimana dijelaskan
Al-Syafi'i dalam karya monumentalnya, Al-Risâlah. Pertama, al-sunnah
sebagai pengukuh dan penguat hukum dalam Al-Qur'an. Kedua, al-sunnah sebagai
interpretasi (tafsiran, penjelas) bagi Al-Qur'an. Ketiga, al-sunnah
sebagai dalil ter-naskh-nya hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an. Keempat,
al-sunnah menyatakan hukum baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.
1. Al-sunnah sebagai pengukuh dan penguat hukum
dalam Al-Qur'an.
Dalam permasalahan ini,
hukum-hukum yang dibawa al-sunnah bersesuaian dengan hukum-hukum yang
dijelaskan Al-Qur'an. Karenanya, dalam posisi ini, hukum tersebut memiliki dua
dalil landasan, Al-Qur'an menetapkannya, dan al-sunnah mengukuhkannya.
Sebagaimana perintah shalat, zakat, puasa, dan haji, atau larangan berbuat
syirik (menyekutukan Allah), membunuh, persaksian palsu, dan lain-lain yang
oleh Al-Qur'an digariskan hukumnya, dan al-sunnah juga mengukuhkan dan menguatkannya.
2. Al-sunnah sebagai interpretasi (mubayyin) Al-Qur'an.
Yang dimaksud pada poin ini
adalah bahwa al-sunnah berfungsi sebagai interpretasi (penjelas) dari hukum
dalam Al-Qur'an yang dijelaskan secara global. Terdapat tiga bentuk
interpretasi yang termasuk dalam kategori kedua ini. Yaitu al-sunnah sebagai taqyîd
al-muthlaq, takhshîsh al-‘âm dan tabyîn al-mujmal.
a)
Al-sunnah sebagai tabyîn al-mujmal, maksudnya yaitu bahwa al-sunnah
berfungsi sebagai penjelas hukum-hukum dalam Al-Qur'an yang masih mujmal
(general). Seperti ayat-ayat tentang kewajiban shalat dan zakat (QS: An-Nisa’
77), puasa (QS: Baqarah 183) dan haji (QS: Ali Imran 97). Ayat-ayat tersebut
belum secara eksplisit menjelaskan bagaimana cara melakukan shalat, zakat,
puasa maupun haji. Kemudian Rasulullah menjelaskan tata cara dari masing-masing
tuntunan syari'at tersebut. Seperti sabda beliau: “Shalatlah kamu semua
sebagaimana kalian melihatku melakukan shalat” (HR. Bukhari dari Malik bin Huwairits).
b)
Al-sunnah sebagai takhshish al-‘âm, maksudnya yaitu bahwa al-sunnah
mengecualikan hukum dalam Al-Qur'an yang memiliki cakupan umum. Sebagaimana
ayat tentang adanya hak waris bagi beberapa kerabat (QS: An-Nisa’ 11), yang
kemudian terdapat takhsîsh (pengecualian, eksepsi) dari al-sunnah bahwa
keluarga Rasul tidak berhak mendapatkan warisan beliau berdasar hadits: "Kami
golongan para nabi, tidak dapat diwarisi, apa-apa yang kami tinggalkan adalah
shadaqah" (HR. Bukhari dan Muslim dari 'Urwah dari 'Aisyah ra.).
Demikian pula, ayat tentang waris di atas juga di-takhshîsh oleh
al-sunnah, bahwa seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan orang yang
dibunuhnya (HR. Turmudzi dan Ibn Majah dari Abu Hurairah).
c)
Al-sunnah sebagai taqyîd al-muthlaq atau pembatasan (qayyid)
terhadap suatu hukum dalam Al-Qur'an yang masih bersifat muthlaq.
Sebagaimana Al-Qur'an menjelaskan bahwa sanksi pidana bagi seorang pencuri
adalah potong tangan (QS: Al-Maidah 38), namun belum ada batasan, tangan
sebelah mana yang harus dipotong, keseluruhan atau sebagian? Al-sunnah datang
untuk membatasi ketentuan tersebut, bahwa yang harus dipotong adalah tangan
kanan, dengan pemotongan sampai pada batas pergelangan. (HR Dâruquthni).
3. Al-sunnah sebagai argumen ter-naskh-nya Al-Qur'an.
Maksudnya adalah bahwa
al-sunnah, kendati tidak dapat me-naskh hukum yang telah ditetapkan oleh
Al-Qur'an, namun ia memiliki fungsi sebagai argumen pembenar atas terjadinya naskh
pada sebagian ayat Al-Qur'an dengan ayat lain yang me-naskh-nya.
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama’ yang tidak memperbolehkan al-sunnah
sebagai nâsikh (dalil yang menaskh) dari hukum yang terdapat
dalam Al-Qur'an, seperti Imam Al-Syafi'i[33].
Mereka berargumen dengan firman Allah:
مَا نَنْسَخْ مِنْ أَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا (البقرة 106)
Artinya: Ayat mana saja yang Kami naskh-kan atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya.
(QS Baqarah 106).
Dalam ayat di atas dijelaskan,
bahwa subyek penyalin hukum adalah Allah, dan pengganti dari hukum yang disalin
adalah sesuatu yang lebih baik atau sebanding dengan ayat yang tersalin. Dari
pernyataan ini dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa dalil penyalin hukum (nâsikh)
adalah Al-Qur'an, karena kitab ini datang dari Allah. Selain itu, dalil
penyalin juga haruslah sesuatu yang lebih baik atau sebanding dengan ayat yang
disalin hukumnya, dan ini tidak lain adalah Al-Qur'an. Sementara al-sunnah
tidak dapat dijadikan sebagai subyek pe-naskh-an terhadap Al-Qur'an,
sebab statusnya tidak seperti halnya Al-Qur'an. Meskipun demikian, al-sunnah
bisa dijadikan sebagai dalil atau argumen ter-naskh-nya sebagian ayat
Al-Qur'an dengan ayat yang lain.
Dalam hal ini dicontohkan,
hukum kewajiban wasiat yang terdapat dalam Al-Qur'an (QS: Al-Baqarah 180) di-naskh dengan ayat Al-Qur'an yang
lain, yaitu ayat tentang waris (QS: An-Nisa' 12). Sementara al-sunnah yang berfungsi menjelaskan pe-naskh-an ini adalah
hadits Nabi saw:
أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه
الترمذي)
Artinya : Ingatlah, tidak ada
wasiat bagi ahli waris)
4. Al-sunnah sebagai penetap hukum baru
Yang dimaksud dalam poin ini
adalah bahwa al-sunnah berfungsi sebagai penetap suatu hukum yang tidak
terdapat dalam Al-Qur'an. Artinya bahwa al-sunnah dapat menetapkan hukum secara
mandiri.
Dalam permasalahan ini,
terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama’. Ada yang menyatakan bahwa,
karena al-sunnah memiliki keterkaitan dengan risalah kenabian, maka sah-sah
saja bila secara mandiri menetapkan hukum tanpa didahului ketentuannya dalam
Al-Qur'an. Sebagian ulama' yang lain menyatakan bahwa al-sunnah tidak bisa
bertindak sebagai penetap hukum secara independen jika tidak terdapat penyebutannya
dalam Al-Qur'an, baik secara eksplisit maupun implisit.
Pendapat yang menyatakan bahwa
al-sunnah berfungsi sebagai penetap hukum baru, beralasan bahwa kepatuhan
terhadap Rasul adalah sebuah kewajiban, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an,
antara lain surat Al-Nisa’ 80 dan Al-Hasyr 7, yang telah dipaparkan di muka. Di
samping itu, sebagai utusan Allah, Rasul saw. terpelihara dari kesalahan dan
kemauan hawa nafsu.
Isyarat ke arah pemahaman ini
juga tampak dari kisah pembekalan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad kepada
Mu’adz bin Jabal tatkala beliau mengutusnya sebagai qâdli daerah Yaman,
sebagaimana pula telah dikemukakan di depan. Yakni bahwa Mu'adz akan mengambil
al-sunnah sebagai acuan penetapan hukum jika tidak dijumpainya dalam Al-Qur'an.
Di antara contoh al-sunnah
yang berfungsi sebagai penetap hukum secara mandiri ini adalah ketentuan sanksi
rajam bagi pelaku zina muhshan[34],
kaum laki-laki haram memakai emas atau sutera dan kewajiban pembayaran diyat
(denda) pembunuhan atas ahli waris ashabah pembunuh. Persoalan-persoalan
ini sama sekali tidak pernah ditemukan dalam Al-Qur'an.
Menurut Al-Syafi'i, meskipun
al-sunnah sebagai penetap hukum secara independen, namun masih harus tetap
mengacu kepada Al-Qur'an dalam prinsip dasarnya. Dengan demikian, usaha untuk
mencetuskan suatu hukum (ijtihad) yang dilakukan oleh Rasul tetap bersandar
pada Al-Qur'an. Karenanya, dalam kaitannya dengan pandangan di atas, hendaknya
dipahami bahwa al-sunnah tidak akan pernah bertentangan sedikitpun dengan
Al-Qur'an.
Klasifikasi al-sunnah
Ada banyak model
pengklasifikasian al-sunnah, sebagaimana terungkap dalam disiplin ilmu teori
hadits (mushthalah al-hadîts). Namun, fokus
pembahasan kali ini diarahkan pada pembagian al-sunnah dari sisi sanad
(transmisi) periwayatannya, dan beberapa hal berkaitan dengan aktivitas
penggalian hukum.
Klasifikasi dimaksud adalah
sunnah mutawâtirah dan sunnah âhâd, serta sunnah masyhûrah menurut
Hanafiyyah. Teori pembagian semacam ini dirumuskan sejak periode perkembangan
disiplin ilmu hadits dan periwayatan pada sekitar kurun ke-3 H. seiring dengan
usaha pembukuan dan pendokumentasian al-sunnah. Dan, tiga kategorisasi di atas
hanyalah ditujukan pada hadits-hadits atau periwayatan sebelum kurun tersebut,
yakni periwayatan oleh generasi shahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in.
Karena pada masa-masa ini, hadits-hadits dikutip berdasarkan penuturan (khabar)
dan pendengaran (simâ'), kemudian dihafal dan dituturkan pada generasi
setelahnya, demikian seterusnya. Sedangkan pada masa-masa selanjutnya, setelah
muncul upaya pembukuan hadits, model periwayatan beralih pada pengutipan dari
karya-karya kumpulan hadits.
Karenanya, bisa dikatakan bahwa
seluruh hadits adalah mutawâtir sejak masa pembukuannyan hingga
sekarang, sebab telah terbukukan rapi dalam karya-karya kumpulan hadits.
Sehingga hadits yang pada periode-periode awal hanya diriwayatkan oleh seorang
atau dua orang, maka setelah tiga periode ini teriwayatkan oleh banyak orang
dengan mengutipnya dari karya-karya kumpulan hadits yang ada.
Dengan demikian, sejarah
pengutipan al-sunnah mengalami dua fase perkembangan, fase pengutipan dengan
cara penuturan dan pendengaran, serta fase pengutipan, dengan cara penulisan
dan pembukuan. Dari sini bisa dipahami, andai saja sejak awal sudah ada usaha
penulisan dan pembukuan al-sunnah sebagaimana upaya pemeliharaan terhadap
Al-Qur'an, bisa jadi keberadaan semua hadits adalah mutawâtir sebagaimana
Al-Qur'an.[35]
Menurut mayoritas ulama', dari
segi sanadnya, al-sunnah terbagi dalam dua klasifikasi, sunnah mutawâtirah
dan sunnah âhâd. Sementara kalangan Hanafiyyah mengklasifikasikan
al-sunnah dalam tiga kategori. sunnah mutawâtirah, sunnah masyhûrah dan
sunnah âhâd. Perbedaan teori klasifikasi ini, menurut Mushthafa Syalbi,
tidak hanya sekedar dalam tataran istilah, tetapi ada konsekwensi
tersendiri di balik perbedaan ini, yang tidak jarang hingga memunculkan
perbedaan pendapat dalam tataran sintesa hukum fiqhiyyah. Karena dalam
keterkaitannya dengan Al-Qur'an, al-sunnah bertindak sebagai pengejawantah
kandungan kitab Allah tersebut. Dalam arti tatkala sebuah hadits telah dapat
dipastikan eksistensi dan validitasnya, maka sebagian hadits tersebut, menurut
sebagian ulama', bisa berfungsi sebagai mukhashshish (pengecuali)
dari keumuman teks ayat Al-Qur'an, sebagai qayyid (batas) terhadap
kemutlakannya, sebagai mubayyin (penjelas) terhadap sisi ijmâl (general)
ayat-ayatnya, bahkan bisa berfungsi sebagai nâsikh (penghapus) terhadap
kandungan hukum sebagian ayatnya. Namun, sebagian ulama' yang lain mengambil
jalan tengah dan tidak menjadikan al-sunnah dengan fungsi-fungsi sebagaimana di
atas kecuali memiliki kesetaraan dengan Al-Qur'an dalam status periwayatan dan
validitasnya, yakni hadits tersebut harus berstatus sahih dan mutawâtir,
atau sekedar mendekati kesetaraan dengan sumber hukum primer itu, yang dalam
hal ini diistilahkan sebagai masyhûr. Karenanya, kelompok terakhir ini
mengklasifikasikan al-sunnah dalam tiga kategori, mutawâtirah, masyhurah
dan âhâd[36].
Berikut ini pemaparan dari
definisi dan posisi masing-masing kategori[37]:
1. Sunnah mutawâtirah
Secara literal, mutawâtir berarti
al-tatâbu’ (berurutan). Sebagaimana pengertian ini adalah firman Allah:
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا (المؤمنون 44)
Artinya: Kemudian kami mengutus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami
berurut-urut. (QS: Al-Mu'minun ayat 44).
Sedangkan secara terminologis,
mutawâtir berarti setiap kabar yang diriwayatkan banyak orang yang secara
akal tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong. Dengan demikian, sunnah
mutawâtirah adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh
segolongan orang yang secara akal tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong.
Ini terjadi pada tiga generasi awal, yakni generasi shahabat, generasi tabi'in
dan generasi tabi'it tabi'in. Mengapa hanya sebatas tiga
generasi? Karena setelah tiga periode di atas, telah ada upaya penulisan dan
pembukuan hadits-hadits Nabi, sehingga hadits-hadits yang pada awalnya tidak
berstatus mutawâtir, dengan adanya dokumentasi tertulis, akan populer
pada masa-masa akhir.
Dengan model periwayatan
secara mutawâtir inilah, Al-Qur'an ditransimisikan. Begitu pula
sunnah-sunnah berdimensi praktik (amaliyyah), seperti sunnah yang menjelaskan
jumlah rakaat shalat, tata cara ibadah haji, kadar kewajiban zakat, tata cara
wtdlu dan lain sebagainya. Sedangkan sunnah-sunnah Rasul berdimensi aqwâliyyah
(ucapan), teriwayatkan secara mutâwatir dengan jumlah terbatas,
seperti hadits: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris” menurut sebagian
ulama', hadits “Barang siapa sengaja berdusta atas namaku, nerakalah
tempatnya” dan hadits "Celakalah mata kaki, nerakalah
tempatnya".[38]
Sebagai konsekwensi logis dari
pengertian sunnah mutawâtirah, maka konsensus ulama’ mencetuskan bahwa sunnah
mutawâtirah dipastikan keberadaannya (qath’i) datang dari
Rasulullah. Sehingga siapa saja yang mengingkari sunnah mutawâtirah, ia
dinyatakan kafir. Hal ini disimpulkan dari suatu kenyataan, bahwa kita meyakini
keberadaan suatu negeri yang jauh dari jangkauan kita, Mekkah misalnya, padahal
kita sendiri belum pernah berkunjung ke negeri tersebut, atau keberadaan
seseorang dari popularitas namanya, meski belum pernah bertemu langsung atau
bahkan berlainan dimensi waktu. Demikian pulalah seharusnya kita menyikapi
keberadaan sebuah hadits mutawâtir[39].
Mengenai kriteria-kriteria
sebuah hadits bisa dikategorikan sebagai mutawâtir, ada banyak ragam
persyaratan yang diajukan beberapa ulama' teoritisi. Kiranya tiga persyaratan
yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili cukup simpel dan representatif dalam
pemaparan kali ini[40].
Pertama, periwayatannya
harus secara inderawi. Dengan demikian, rekomendasi akal tidak bisa dijadikan
sandaran dalam periwayatan hadits mutawâtir, karena akal bisa jadi
keliru dalam menyimpulkan sesuatu.
Kedua, harus
diriwayatkan oleh segolongan orang yang oleh penilaian akal, biasanya dengan
jumlah periwayat tersebut tidak mungkin mereka bersepakat untuk melakukan suatu
kebohongan[41].
Ketiga, dua syarat
di atas harus terpenuhi pada tiap-tiap simpul mata rantai periwayatan.
2. Sunnah Masyhûrah
Adalah sunnah yang pada
permulaannya diriwayatkan oleh tiga, dua bahkan seorang sahabat, kemudian pada
kurun pasca-shahabat mengalami penyebaran sehingga teriwayatkan oleh sekelompok
orang yang menurut penilaian akal tidak mungkin mereka bersepakat untuk
melakukan kebohongan. Secara singkat diungkapkan, bahwa hadits masyhur
adalah hadits yang pada generasi awal teriwayatkan secara âhâd, kemudian
pada dua kurun setelahnya teriwayatkan secara mutawâtir.
Seperti hadits “Amal
perbuatan haruslah disertai dengan niat…”, hadits “Islam dibangun atas
lima dasar…”, hadits “Tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain”.
Juga hadits tentang pengusapan sepasang khuf (sepatu kulit), hal ihwal
rajam, dan lain-lain[42].
Dari masing-masing definisi sunnah
mutawâtirah dan masyhûrah di atas, dapat disimpulkan perbedaannya.
Bahwa sunnah mutawâtirah adalah sunnah (hadits) yang sejak awal
kemunculannya diriwayatkan secara massal dalam tiga periode awal. Sedangkan sunnah
masyhûrah adalah sunnah (hadits) yang pada mulanya diriwayatkan oleh orang
per orang dalam jumlah terbatas, dan untuk masa-masa berikutnya diriwayatkan
secara massal oleh banyak orang. Karenanya, ulama' Hanafiyyah mengemukakan
bahwa sunnah masyhûrah dalam bentuknya terdapat sisi syubhat,
yakni pada sebagian fase periwayatannya mengandung sisi âhâd, tidak
dalam segi maknanya[43].
Konsekwensi logis dari
pendefinisian sunnah masyhûrah di atas adalah bahwa hadits dengan model
transmisi seperti ini dapat dipastikan keberadaannya (qath'i) datang
dari shahabat, namun tidak demikian bila dikaitkan dengan Nabi saw., alias
keberadaan hadits tersebut datang dari beliau masih bersifat dugaan (zhanni).
Kendati demikian, status zhanni pada hadits masyhûr lebih
mendekati pada tataran yakin. Karenanya pengingkaran terhadap hadits masyhur
mengakibatkan fâsiq[44].
Menurut ulama' Hanafiyyah, hadits masyhur bisa berfungsi untk men-takhshîsh
ayat Al-Qur'an yang secara verbal bercakupan umum.
3. Sunnah Âhâd
Para ulama' berselisih
pendapat dalam mendefinisikan sunnah âhâd sesuai dengan perspektif
masing- masing. Menurut mayoritas ulama', sunnah âhâd adalah sunnah yang
pada fase-fase periwayatannya hanya melibatkan orang per orang perawi dengan
jumlah periwayat tidak sampai mencapai batas mutawâtir. Menurut Ibn
Burhân, sunnah âhâd adalah sunnah yang diriwayatkan oleh perawi dalam
jumlah tidak sampai mencapai batas istifâdlah dan syuhrah[45].
Oleh Al-Hindi, pendapat ini dinyatakan lemah menurut pandangan Syafi'iyyah,
karena pendefinisian tersebut adalah pandangan kalangan Hanafiyyah[46]. Banyak
sekali contoh sunnah yang teriwayatkan secara âhâd, bahkan tidak sedikit
permasalahan-permasalahan krusial yang membutuhkan solusi hukum, ternyata
tercantum dalam hadits-hadits yang teriwayatkan secara âhâd.
Periwayatan secara âhâd
ini akan menimbulkan zhann (dugaan), tidak sampai pada tataran
yakin dan kemantapan hati. Pendapat ini adalah dikemukakan oleh mayoritas pakar
hadits, teolog dan ulama' fiqh. Adapun menurut kalangan Zhâhiriyyah,
periwayatan secara âhâd menimbulkan suatu keyakinan, sebagaimana
dilontarkan Dawud al-Zhâhirî, Husain bin Ali Al-Karâbîsî, Harits bin
As’ad Al-Muhasibî dan yang lain. Sedangkan pendapat Al-Âmudî dan Abu
Ishaq Al-Nazhzhâm adalah bahwa periwayatan âhâd bisa menimbulkan suatu
keyakinan jika disertai petunjuk atau indikasi.[47]
Meskipun demikian, sunnah âhâd
wajib untuk dijadikan sebagai referensi perujukan dalam kesehariannya, atau
dengan kata lain wajib untuk diamalkan, sebagaimana telah dikemukakan oleh
mayoritas ulama'. Karenanya, yang dimaksud oleh mayoritas ahli hadits bahwa
hadits âhâd bisa menimbulkan suatu keyakinan, adalah keyakinan akan
kewajiban mengamalkan hadits âhâd [48].
Sisi argumentatif hadits âhâd
Para shahabat telah mencapai
kata sepakat untuk menjadikan hadits âhâd sebagai hujjah. Seringkali
mereka menggunakan hadits tersebut dalam beberapa permasalahan yang mengemuka.
Seperti penerimaan para shahabat terhadap hadits yang diriwayatkan Abu Bakar
tentang ketiadaan pewarisan kerabat Rasulullah terhadap harta beliau[49].
Abu Bakar sendiri mengamalkan hadits Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin
Maslamah yang meriwayatkan bahwa Nabi saw. memberikan bagian waris seperenam
bagi kakek (HR. Ahmad,
Abu Dawud, Turmudzi dan Ibn Majah dari Qabîshah bin Dzu'aib). 'Umar bin
al-Khaththab melakukan perujukan hukum pada hadits yang dikisahkan oleh 'Amr
bin Hazm dalam masalah diyat (HR. Nasa'i). Utsman mengamalkan
hadits yang diriwayatkan oleh Furai’ah bint Mâlik tentang tempat permulan iddah
bagi isteri yang suaminya meninggal[50].
Begitu pula mayoritas mereka mengamalkan hadits riwayat 'Aisyah tentang
kewajiban mandi besar karena pertemuan dua kelamin laki-laki dengan perempuan (HR. Muslim, Ahmad dan Turmudzi).
Kendati para
sahabat telah sepakat menjadikan hadits âhâd sebagai hujjah yang
mengikat, namun mereka berbeda sikap dalam menetapkan status kehujjahannya. Di antara
mereka ada yang mensyaratkan persaksian dua orang, seperti yang dilakukan Abu
Bakar dan Umar.
Pada suatu ketika Abu Bakar
didatangi seorang nenek yang menuntut hak warisnya. Ia mengatakan, “Tidak
aku temukan dalam Al-Qur'an yang menjelaskan engkau (nenek) mendapatkan hak
waris, begitu pula Rasulullah saw. tidak menjelaskannya”.
Setelah ditanyakannya pada
shahabat-shahabat lain, Mughirah bin Syu’bah berdiri, “Aku pernah mendengar
bahwa Rasulullah memberinya hak waris seperenam”, ungkapnya.
"Adakah orang lain yang
menyaksikanya?" sahut Abu Bakar.
Lalu Muhammad bin Maslamah
berdiri dan bersaksi atas kebenaran perkatan Mughirah. Setelah itu, baru Abu
Bakar memutuskan bahwa nenek tersebut mendapatkan bagian seperenam dari harta
waris.
Begitu pula yang dilakukan
'Umar, ia juga mensyaratkan adanya persaksian dua orang dalam penggunaan hadits
âhâd. Saat Abu Musa al-Asy'ari tidak menghadap tatkala 'Umar
memanggil ke kediamannya, 'Umar menegur, "Kenapa engkau tidak datang ?”.
Abu Musa beralasan, “Aku telah datang, aku ketuk pintu rumahmu tiga kali dan
tidak ada jawaban darimu, lalu aku kembali, karena Rasulllah pernah berkata: 'Apabila
kamu telah tiga kali meminta izin dan tidak ada jawaban, maka kembalilah” (HR. Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Dawud dari
Abu Musa al-Asy'ari dan Abu Sa'id al-Khudzri). Mendengarkan hadits tadi,
'Umar agaknya ragu. Akhirnya ia ingin memastikan kebenaran ucapan Abu Musa, “Datangkanlah
saksi padaku!". Para shahabat menukas, " Tidak ada saksi
kecuali anak kecil di antara kaum ini (maksudnya adalah Abu Sa'id)".
Tidak lama kemudian Abu Sa’id berdiri dan bersaksi atas kebenaran ucapan Abu
Musa. Kemudian Umar berkata, “Kini aku tidak mencurigaimu, dan apa yang kamu
katakan adalah dari Rasullullah”.
Berbeda dengan Abu Bakar dan
Umar, Ali bin Abi Thalib ra. memiliki sikap tersendiri dalam kaitannya dengan
penerimaan hadits âhâd. Sebagaimana diungkapkannya sendiri, ia tidak
menerima hadits âhâd dari seorang periwayat sebelum menyumpahnya atas
kebenaran ucapannya. Dalam hal ini, sepupu Nabi ini berkata: "Bila aku
mendengar dari Rasulullah sebuah hadits, maka Allah telah menganugerahkan apa
yang dikehendaki-Nya. Dan bila seseorang menceritakan sebuah hadits kepadaku,
aku akan menyumpahnya. Bila ia telah bersumpah, aku pasti membenarkannya."
Demikianlah, sikap Abu Bakar,
Umar dan Ali ra. dalam keterkaitannya dengan hadits âhâd. Demikian pula
shahabat-shahabat lainnya. Meski demikian, acap kali mereka juga menolaknya.
Namun bukan karena keengganan mereka menggunakaan hadits âhâd sebagai
hujjah. Akan tetapi ada faktor lain yang mendasari penolakan mereka, semisal
periwayatnya adalah orang yang lemah dalam periwayatan, atau hadits yang
diriwayatkan bertentangan dengan hadits lain yang lebih akurat dan
argumentatif. Sebagaimana 'Umar menolak hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah
bint Qais tentang ketidakwajiban pemberian fasilitas tempat tinggal pada isteri
yang dicerai suaminya, dengan dalih ketika ia dicerai suaminya, Rasul enggan
mewajibkan kepada suaminya untuk memberikan tempat tinggal kepadanya (HR. Ahmad, dan enam imam hadits kecuali Bukhari).
Dalam penolakan hadits di atas, Umar berkata: “Tidak akan kami abaikan Kitab
Tuhan kami dan sunnah nabi kami hanya karena perkataan seorang perempuan yang
belum kami ketahui, apakah ia berkata jujur atau berbohong, apakah ia
masih ingat (hafal) atau telah lupa."
Dalam contoh lain, Aisyah ra.
menolak hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar "Sesungguhnya mayit
disiksa karena kerabatnya menangisinya". Ummul mu'minin ini
berdalih dengan sebuah argumentasi dari Al-Qur'an:
وَلاَ تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
* * *
Sebagian kelompok mengingkari
penggunaan hadits âhâd sebagai argumentasi legal syari'at Islam. Secara
singkat, para pengingkar ini berdalih bahwa keberadaan hadits âhâd tidak
lebih sekedar zhanniyy al-tsubût (keberadaannya berstatus dugaan),
adanya peluang penggelapan dan kebohongan dari oknum periwayatnya, serta
banyaknya materi yang disusupkan oleh kaum pengikut hawa nafsu dan pembuat bid'ah,
hingga sulit memilah-milah antara hadits yang layak dan tidak[52].
Imam Al-Syafi’i, seorang tokoh
ulama' pembela al-sunnah, dengan tegas menolak golongan pengingkar kehujjahan
hadits âhâd dengan sejumlah argumentasi. Wahbah al-Zuhaili
menyimpulkannya dalam lima poin pokok[53].
Pertama, argumen
dari penalaran analogi (qiyas) terhadap sebuah ketetapan syari'at yang
dikukuhkan Al-Qur'an, yakni penerimaan persaksian dua orang laki-laki, atau
persaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Sementara aktivitas
peradilan adalah menetapkan suatu hukum dengan jalan mengunggulkan sisi
kejujuran saksi atas sisi kebohongannya. Yakni bahwa penerimaan hadits âhâd
sebagai satu di antara berbagai bentuk argumentasi legal syari'at terkukuhkan
dari cara berpikir analogi.
Kedua, Rasulllah
sebagai menganjurkan pada umatnya untuk menghafalkan, memahami dan menyampaikan
perkataan beliau, tanpa membedakan antara hadits yang teriwayatkan oleh orang
per orang (âhâd) atau oleh sekelompok orang (mutawâtir). Beliau
bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ عَبْدًا سَمِعَ
مَقَالَتِي فَوَعَاهَا فَحَفِظَهَا فَأَدَّاهَا , فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ
فَقِيهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ (رواه أحمد
والترمذي وابن ماجه وابن حبان وغيرهم)
Artinya: Semoga Allah mencerahkan seorang hamba yang mendengarkan
perkataanku, memahami, menghafal dan menyampaikannya. Berapa banyak pembawa
fiqh (ilmu) (HR. Ahmad, Turmudzi, Ibn Hibbân dan yang lain)[54].
Ketiga, fakta
sejarah menunjukkan bahwa para shahabat acap kali mensosialisasikan hukum-hukum
syara' yang teriwayatkan oleh orang per orang dari kalangan mereka. Nabi saw.
pun mendiamkan tindakan semacam ini. Bahkan, beliau sendiri pernah mengutus
orang per orang dari kalangan shahabat untuk menyampaikan hukum-hukum syari'at.
Sebagaimana dalam kisah jamaah shalat Masjid Quba' yang melingkar mengalihkan
kiblatnya pada Ka'bah ketika ada seorang pembawa hadits memberitahukan
perpindahan kiblat.
Keempat, dalam
suatu kesempatan, Nabi saw. mengutus 12 orang shahabat sebagai delegasi
penyampai dakwah pada 12 orang penguasa untuk masuk Islam. Beliau juga pernah
mengirimkan surat pada sejumlah pembesar yang diantarkan oleh beberapa orang
kurir.
Kelima, para
shahabat juga menjadikan khabar âhâd sebagai pijakan penetapan hukum
tatkala mereka tidak menemukan dalil dalam Al-Qur'an atau al-sunnah,
sebagaimana dipaparkan di muka. Sesekali mereka memutuskan hukum dengan daya
nalar rasio, namun tatkala mereka mengetahui sebuah hadits, maka dianulirnya
putusan tersebut dan beralih pada ketentuan hadits. Sebagaimana tindakan Umar
ra. yang memberikan hak kewarisan diyat orang yang terbunuh pada 'âqilah
(ahli waris 'ashâbah)nya. Kemudian dianulirnya putusan tersebut setelah
mengetahui hadits bahwa seorang isteri memiliki hak kewarisan dari diyat suaminya.
Sementara para pengingkar
hadits âhâd, seperti Abu Ali Al-Jubâ’i dan kalangan teolog, Al-Qâsyâni
dan sebagian golongan Râfidlah berpegang dengan dalil-dalil lemah yang
tidak layak untuk diajukan sebagai penguat tesis mereka.
* Penerapan hadits âhâd oleh para ulama'
Di
lingkungan empat madzhab, terdapat beragam kriteria penggunaan khabar âhâd
sebagai salah satu hujjah dalam kancah hukum syari'at. Berikut konsep penerapan
masing-masing dari empat madzhab tersebut[55].
Penerapan hadits âhâd oleh kalangan Hanafiyyah
Kalangan Hanafiyah menetapkan
tiga persyaratan hadits âhâd untuk bisa dijadikan sebagai hujjah dalam
syari'at Islam.
Pertama, periwayat
hadits âhâd tersebut tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan
materi hadits yang ia riwayatkan. Karena adanya pertentangan ini seakan
merupakan indikasi bahwa hadits tersebut telah di-naskh. Karenanya, bila
tindakan periwayat hadits âhâd tersebut bertentangan dengan materi
hadits yang ia riwayatkan, kalangan Hanafiyyah tidak menjadikan hadits tersebut
sebagai acuan hukum. Bahkan, mereka berpandangan, justru tindakan
periwayat hadits itulah yang harus dijadikan standar penetapan hukum.
Berkaitan dengan hal ini,
kalangan Hanafiyah enggan menerima hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
yakni ”Cara penyucian wadah salah satu dari kalian ketika ada anjing
menjilatnya, adalah dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali, salah satunya
dengan debu.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim). Hadits ini bertentangan
dengan tindakan Abu Hurairah, perawi hadits, yang hanya membasuh tempat jilatan
anjing tiga kali, demikian dikisahkan oleh Al-Dâruquthni.
Kedua, hadits âhâd
tersebut tidak membicarakan persoalan-persoalan yang sering terjadi, atau yang
berkaitan dengan hajat hidup orang banyak ('umûm al-balwâ). Sebab hadits
yang membicarakan persoalan-persoalan tersebut tentunya teriwayatkan secara
massal, dengan model periwayatan mutawâtir atau masyhûr.
Karenanya, periwayatan hadits semacam ini secara âhâd akan menimbulkan
keragu-raguan atas kebenaran hadits tersebut. Dari sini, ulama' Hanafiyah tidak
menggunakan hadits yang menjelaskan tentang mengangkat tangan ketika hendak
ruku’[56],
dengan dalih di atas.
Ketiga, bila
perawi hadits âhâd bukan seorang pakar fiqh, maka hadits yang ia
riwayatkan haruslah tidak bertentangan dengan qiyas atau kaidah dasar syari'at
Islam. Ini dilandasi dengan suatu pemikiran, bahwa periwayatan secara maknawi[57]
adalah model periwayatan yang telah menjadi trend di antara para perawi,
sehingga bila perawi hadits âhâd bukan seorang faqîh bisa
jadi ada kata-kata kunci sebagai dasar acuan hukum yang hilang atau
terlewatkan dari periwayatannya. Para perawi hadits yang oleh kalangan
Hanafiyyah dinilai sebagai bukan faqîh di antaranya adalah Abu Hurairah,
Salman al-Farisi dan Anas bin Malik ra.
Berdasarkan kriteria ini,
kalangan Hanafiyah enggan berpedoman pada hadits Abu Hurairah tentang kambing
atau unta musharrah[58]
(yang sengaja tidak diperah susunya). Dalam hadits tersebut Rasul bersabda: “Janganlah kalian membiarkan (tidak memerah) susu
unta atau kambing. Barangsiapa yang membeli hewan tersebut, maka setelah ia
memerah susunya, diperbolehkaan memilih di antara dua pilihan, bila ia
menghendaki, ia boleh menahan (tidak mengembalikan)nya, dan bila ia
menghendaki, ia boleh mengembalikannya beserta satu sha’[59]
kurma (sebagai pengganti susu yang telah di ambilnya)." (HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim)
Mereka,
kalangan Hanafiyyah, berpendapat dalam opsi kedua, yakni mengembalikan unta
atau kambing beserta satu shâ' kurma sebagai kompensasi dari susu yang
diperah dan dimilikinya, kontradiktif dengan qiyas dan kaidah dasar syari'at,
yakni kaidah dlaman (kompensasi, ganti rugi) yang mengharuskan adanya
kompensasi berupa barang sejenis (mitsliy) bila 'pelanggaran' hak
tersebut terjadi pada barang-barang yang memiliki kesejenisan, dan berupa nilai
barang (qîmah) bila 'pelanggaran' hak tersebut terjadi pada
barang-barang yang tidak memiliki kesejenisan. Selain itu, materi hadits di
atas juga bertentangan dengan kaidah dari sebuah hadits:
الْخَرَاجُ
بِالضَّمَانِ (رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه عن عائشة)
Artinya: kemanfaatan (profit) adalah sebanding dengan biaya (cost)[60]. (HR.
Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah dari Aisyah ra.)
Dengan penerapan kaidah ini,
seharusnya dalam kasus ini, susu unta atau kambing yang telah diambil oleh
pembeli, menjadi miliknya sendiri. Sementara hadits di atas tidak menggariskan
demikian. Karenanya, dalam opsi kedua yang mengharuskan pengembalian hewan musharrah
bersama satu shâ’ kurma sebagai kompensasi dari susu yang telah
diambil pembeli, bertentangaan dengan kaidah dasar ini. Sehingga dalam kasus
ini, kalangan Hanafiyyah enggan menjadikan hadits riwayat Abu Hurairah ini
sebagai dasar acuan hukum.
Namun, Wahbah al-Zuhaili
menganalisis, sebenarnya persyaratan ini hanyalah pendapat ‘Isa bin Abân yang
juga diamini oleh generasi mutaakhkhirin dari kalangan Hanafiyyah.
Sedang yang menjadi pegangan mayoritas kalangan Hanafiyyah adalah
memprioritaskan hadits secara mutlak, serta penilaian bahwa Abu Hurairah adalah
seorang faqîh. Abu Hanifah sendiri mengakui kapasitas pengetahuan fiqh
shahabat Rasul ini. Terbukti dalam pencetusan ketidakbatalan puasa dari
seseorang yang makan atau minum karena lupa, Abu Hanifah menggunakan hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
مَنْ أَكَلَ
أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ
وَسَقَاهُ (رواه أحمد عن أبي هريرة)
Artinya: Barangsiapa makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia
sempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum. (HR. Ahmad
dari Abu Hurairah)
Mengomentari keberadaan hadits di atas, Abu Hanifah pernah berkata: "Seandainya
riwayat ini tidak ada, aku akan menggunakan qiyas". Adapun pengabaian
kalangan Hanafiyyah terhadap hadits Abu Hurairah tentang hewan musharrah
– masih menurut Wahbah – hanya karena ada faktor lain, sebagaimana ada yang
mengungkapkan, bahwa hadits tersebut memiliki sisi lemah dalam mata rantai
periwayatannya, atau mengalami pe-naskh-an. Yang jelas, bukan karena
faktor kepribadian negatif shahabat[61].
Penerapan hadits âhâd oleh kalangan Malikiyyah
Dalam menentukan kriteria
penerimaan hadits âhâd, kalangan Malikiyyah mensyaratkan bahwa hadits âhâd
bisa dijadikan sebagai hujjah selama tidak bertentangan dengan tradisi (amaliyah)
ahli Madinah. Karena menurut mereka, amaliyah ahli Madinah setingkat dengan
periwayatannya. Sementara, periwayatan secara massal (dalam hal ini ahli
Madinah) lebih memiliki kekuatan daripada periwayatan beberapa orang saja (âhâd).
Dengan kata lain, amaliyah ahli Madinah adalah bagian dari sunnah
mutawâtirah, karena periwayatannya terjadi dari generasi ke generasi,
sehingga tidak mungkin terjadi penyelewengan. Karenanya, kalangan Malikiyah
menolak hadits yang diriwayatkan dari Hakîm bin Hizâm tentang ketentuan khiyâr
(hak menentukan pilihan) dalam transaksi jual beli,[62]
karena hadits tersebut bertentangan dengan amaliyah ahli Madinah, di mana
mereka tidak memperbolehkan adanya khiyar. Pendapat ulama' Malikiyyah
ini ditolak tegas oleh mayoritas ulama’, karena penduduk Madinah bukanlah
orang-orang yang ma'shûm (terpelihara dari salah).
Penerapan hadits âhâd oleh kalangan Syafi'iyyah
Menurut padangan ulama'
Syâfi’iyah, hadits âhâd bisa dijadikan acuan hukum bila memenuhi
beberapa persyaratan, di antaranya adalah
(1) Hadits âhâd
haruslah diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dalam urusan agama dan
terkenal jujur dalam ucapannya[63].
(2) Para periwayat hadits âhâd
adalah orang-orang berakal yang memiliki pemahaman terhadap hadits yang ia
riwayatkan, serta mampu menyampaikannya secara literal sebagaimana yang
didengarnya, bukan dengan pendekatan maknawi (yakni menyampaikannya dengan
makna penunjukan tekstual hadits yang didengarnya).
(3) Periwayatnya memiliki daya
ingat dan hafalan yang kuat, akan hadits yang ia riwayatkan.
(4) Hadits tersebut tidak
bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan para ahli ilmu.
Persyaratan-persyaratan di
atas harus dipenuhi oleh para perawi hadits dalam masing-masing tingkatannya,
dari awal sampai akhir periwayatan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
kalangan Syafi'iyah mensyaratkan kesinambungan mata rantai periwayatan hingga pada
Nabi. Karenanya, Al-Syafi'i tidak menjadikan hadits mursal sebagai acuan
penetapan hukum, kecuali dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana diuraikan
kemudian.
Penerapan hadits âhâd oleh kalangan Hanabilah
Pada dasarnya, para ulama'
kalangan Hanabilah tidak jauh beda dengan Syafi'iyyah dalam hal penerapan
hadits âhâd, kecuali bahwa ulama' Hanabilah menerima penerapan hadits mursal
secara mutlak. Hanya saja, kedudukan hadits mursal menurut mereka adalah
lemah, yang karenanya fatwa shahabat lebih mereka prioritaskan.
Dari keterangan di atas,
secara umum dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa di antara para ulama' yang
berafiliasi pada empat madzhab, kalangan Hanabilah merupakan komunitas ulama'
yang paling banyak menerapkan al-sunnah, disusul kemudian kalangan Malikiyyah,
lalu Syafi’iyyah dan terakhir adalah Hanafiyyah.
Hadits mursal
Hadits mursal, dalam
terminologi ilmu hadits adalah sebuah hadits terdapat pengguguran seorang
perawi kalangan shahabat dari mata rantai periwayatan. Atau dengan kata l`in, perawi
kalangan tabi'in berkata: "Rasulullah saw. bersabda demikian",
atau "Nabi saw. melakukan demikian", atau "Di hadapan
Rasul saw. seseorang melakukan demikian". Seperti perkataan Sa'id bin
Musayyab, seorang tabi'in: "Rasul bersabda demikian atau mengerjakan
demikian".
Sedangkan hadits yang di
dalamnya terdapat pengguguran seorang râwi kalangan tabi'in dari mata
rantai periwayatan, dinamakan sebagai hadits munqathi'. Seperti
perkataan Imam Malik, seorang tâbi’it tâbi’în: "Abu Hurairah
berkata: 'Rasullulah bersabda demikian". Atau disebut mu'adldlal,
bila terdapat pengguguran lebih dari seorang perawi secara berturut-turut.
Seperti perkataan Imam Malik, "Sampai padaku dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw. bersabda: 'Adalah hak bagi sahaya, mendapatkan makanan dan
pakaian secara baik, dan ia tidak boleh dibebani pekerjaan kecuali sebatas
kemampuannya". Dalam hadits ini, terdapat pengguguran dua orang perawi
secara berturut-turut, yakni Muhammad bin 'Ijlân dan ayahnya.[64]
Sedangkan dalam terminologi
ushul fiqh, hadits mursal memiliki pengertian lebih luas. Yakni
periwayatan seorang perawi adil yang tidak pernah bertatap muka dengan Nabi
saw., yakni perawi kalangan tabi'in, tabi'it tabi'in, atau perawi
era setelahnya, dengan bentuk perkataan: “Rasulullah bersabda demikian”.
Dalam pengertian lain, hadits mursal adalah sebuah hadits yang dalam
periwayatannya, ada perawi yang tidak dituturkan, seorang perawi atau lebih.
Berarti, hadits mursal dalam terminologi ushul fiqh, bisa pula
memasukkan hadits mursal dalam pengertian ilmu hadits, hadits munqathi',
hadits mu'adldlal dan hadits mu'allaq. [65]
Melihat bahwa dalam mata
rantai periwayatan hadits mursal terdapat pengguguran perawi, sehingga
tidak diketahui latar belakang kepribadiannya, maka dapatkah hadits mursal
dijadikan pijakan pengambilan hukum? Ada pemilahan mengenai hal ini, yakni yang
bekenaan dengan hadits mursal shahabat (mursal al-shahâbî),
dan hadits mursal selain shahabat (mursal ghair al-shahâbî).
Maksud dari kategori pertama,
yakni mursal al-shahâbî, adalah bahwa seorang shahabat yang
mendengar sebuah hadits dari seseorang dan meriwayatkannya tanpa menyebutkan
perawi yang didengar keterangan haditsnya. Dalam kategori ini, mayoritas ulama'
menyepakati penerimaannya sebagai hujjah[66].
Karena secara zhahir ia mendengarnya langsung dari Rasulullah, atau
mendengarnya dari shahabat lain yang mendengarnya langsung dari beliau,
sedangkan semua shahabat memiliki sifat adâlah (integritas moral dan
ketakwaan), yang mengharuskan penerimaan periwayatnya, kendati tidak diketahui
jelas identitasnya[67].
Atau andaikan ditemukan, seorang shahabat meriwayatkan hadits dari kalangan tabi’in,
maka kemungkinan semacam ini sangat tipis, sehingga dianggap tidak pernah
terjadi[68].
Sedangkan apabila hadits mursal
muncul dari selain shahabat, yakni tabi’in atau yang lain (mursal ghair
al-shahâbî), di antara para ulama' terdapat beberapa versi pendapat[69].
Pertama, bisa
dijadikan sebagai hujjah secara mutlak. Pendapat ini diungkapkan oleh mayoritas
ulama', di antaranya adalah Abu Hanifah, Imam Malik, dan Ahmad bin Hanbal.
Mereka beralasan, bahwa bila seorang perawi dengan sifat 'adâlah
(integitas moral dan kepribadian), menampakkan keyakinannya atas penyandaran
materi hadits pada Rasul saw., maka secara zhâhir ia meyakini bahwa
Rasul telah mengatakannya. Dengan demikian, ketiadaan penyebutan râwi dalam
sebuah periwayatan, tidak berpengaruh terhadap status kebenaran hadits yang ia
riwayatkan. Karenanya, dalam hal ini status hadits mursal sama halnya
dengan hadits musnad (hadits periwayatnya disebutkan secara lengkap).
Kedua, bisa
dijadikan hujjah bila hadits mursal tersebut dimunculkan oleh para imam
periwayat hadits yang dlâbith (memiliki daya ingat kuat). Pendapat ini
diungkapkan oleh Ibn al-Hâjib dan Ibn al-Hamâm. Alasan yang dikemukakan
versi kedua ini sama dengan argumentasi pendapat pertama. Yakni tatkala seorang
perawi adil yakin akan penisbatan materi hadits pada Rasul saw., maka hal ini
merupakan indikasi adanya pengakuan akan adâlah dari râwi yang
digugurkannya itu. Tâj al-Dîn al-Subuki mengajukan interpretasi, bahwa termasuk
dalam kategori imam-imam ini adalah para shahabat, tabi’in dan tabi’it
tabi’in.
Ketiga, apabila
hadits mursal dimunculkan orang-orang yang hidup di masa-masa awal,
yaitu masa-masa shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, maka bisa
dijadikan sebagai hujjah, tidak dibedakan, antara mereka yang tergolong
imam-imam periwayat hadits maupun bukan. Pendapat ini diutarakan oleh Ibnu
Abân, dengan menuangkan argumentasinya dari sabda Rasul. ”Sebaik-baik
generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelahku, kemudian generasi
setelahnya, setelah itu tersebarlah kebohongan-kebohongan.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Turmudzi dari Ibn Mas'ud). Hadits ini menunjukkan bahwa
orang-orang yang hidup pada periode-periode awal (shahabat, tabi’in, tabi’it
tabi’in) kebanyakan – kalau tidak dikatakan keseluruhan – memiliki sifat adâlah.
Dan ada dugaan kuat, bahwa para periwayat hadits adalah mereka yang memiliki
sifat ini, dan hanya meriwayatkan hadits dari orang-orang yang juga memiliki
sifat 'adâlah, sehingga hadits yang mereka riwayatkan bisa dijadikan
sebagai hujjah. Adapun setelah kurun-kurun pertama, telah merajalela
kebohongan-kebohongan terhadap hadits Nabi, sehingga apa-apa yang mereka
riwayatkan tidak bisa diterima sebagai referensi hukum, sebelum meneliti latar
belakang kepribadian semua perawi. Ibn al-Hâjib mengajukan pengecualian
dari konsekwensi logis kandungan akhir hadits di atas, bahwa apabila mereka
tergolong imam-imam periwayat hadits dari generasi setelah tiga kurun terbaik,
maka hadits mursal-nya pun dapat diterima.
Keempat,
menengah-nengahi pendapat yang menolak hadits mursal dan menerimanya.
Pandangan moderat ini dikemukakan Al-Syafi'i. Beliau memberikan persyaratan,
bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah dengan beberapa
kriteria. Secara berurutan menurut skala prioritasnya, kriteria-kriteria
tersebut adalah[70]:
1.
Hadits mursal dimunculkan oleh para pemuka tabi’in yang
sering bertemu dengan shahabat, seperti Sa’id bin Musayyab, Al-Zuhri, dan
lain-lain, yakni orang-orang yang tidak me-mursal-kan hadits kecuali
dari periwayat terpercaya. Termasuk di antara mereka adalah Al-Hasan,
Al-Sya'bi dan Ibn Sîrîn. Sedangkan hadits mursal yang dimunculkan oleh
kalangan tabi'in selainnya, tidak bisa diterima.
2.
Hadits mursal diperkuat kandungan maknanya dengan hadits musnad (hadits yang perawinya
disebutkan secara lengkap).
3.
Hadits mursal selaras dengan hadits mursal lain yang diterima
oleh para ulama'.
4.
Hadits mursal didukung oleh pendapat para shahabat.
5.
Hadits mursal didukung oleh fatwa mayoritas ulama'.
Bila
tidak memenuhi salah satu kriteria di atas, maka hadits mursal tidak
bisa dijadikan sebagai hujjah. Pendapat ini didasarkan pada argumen, bahwa
penerimaan riwayat dari seseorang bergantung pada faktor adâlah-nya.
Sedang dalam hadits mursal, status adâlah dari perawi yang
digugurkan penyebutannya, tidak diketahui. Dan, dengan ketidakjelasan status adâlah
dan latar belakang kepribadiannya, nyata-nyata periwayatan tersebut tidak dapat
diterima. Namun, tatkala periwayatan semacam ini dibarengi lima indikator di
atas, maka dugaan kebenaran akan lebih dominan dibanding dugaan kedustaannya.
Sedang mengamalkan dugaan kuat (zhann) adalah wajib.
Kelima, secara
mutlak tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Pendapat ini dilontarkan oleh
kalangan Zhahiriyah dan mayoritas ahli hadits era abad ketiga. Mereka berdalih
bahwa dalam hadits mursal, terdapat pengguguran perawi, yang sehingga
mengakibatkan ketidaktahuan akan identitasnya. Sementara ketidaktahuan
identitas menyebabkan ketidaktahuan sifat-sifatnya. Dan, secara bulat
disepakati, bahwa ketidaktahuan sifat-sifat perawi mengharuskan penolakan
hadits yang diriwayatkan darinya.
Perilaku Rasulullah saw.
Sebagaimana dipaparkan di
muka, al-sunnah adalah segala sesuatu yang timbul dari diri Nabi Muhammad saw.
selain Al-Qur'an, yang mencakup perkataan, tindakan, maupun ketetapan atau
persetujuan (taqrir). Berkaitan dengan tindakan-tindakan Rasul,
yang menjadi persoalan adalah, apakah semua perilaku Rasul harus dijadikan
pijakan penetapan hukum? Dalam permasalahan ini, para ulama teoritisi
mengklasifikasikan perilaku Nabi dalam tiga bagian[71]:
(1).
Perilaku Rasul yang berhubungan dengan watak, dan karakter manusiawi, atau
berhubungan dengan tradisi lokal bangsa Arab, seperti style berdiri,
duduk, makan, minum, dan lain-lain. Dalam konteks ini, telah terbentuk
konsensus di antara ulama, bahwasanya perilaku Nabi dalam kategori ini adalah mubah
bagi beliau sendiri. Begitupun umatnya, tidak wajib untuk menirunya. Demikian
diungkapkan mayoritas ulama. Sebagian ulama’ berpendapat, hukum meniru perilaku
Rasulullah yang semacam ini adalah mandûb (sunnat). Sebuah riwayat
menyebutkan bahwa Abdullah bin 'Umar gemar mengamati dan meneladani perilaku
Rasul dalam kesehariannya.
(2).
Perilaku Rasul yang hanya dikhusukan pada diri Nabi Muhammad saw. Seperti
kewenangan melakukan wishâl (meneruskan berpuasa hingga malam hari),
beristeri lebih dari empat, kewajiban shalat dluha, idul adha,
witir, tahajjud dan lain-lain. Perilaku semacam demikian bukan merupakan
pensyari'atan bagi umatnya. Dalam arti, kita tidak diperkenankan melakukan wishâl
dan menikah lebih dari empat isteri, juga tidak ada kewajiban melakukan
shalat-shalat yang khusus diwajibkan atas diri Nabi saw.
(3).
Perilaku Rasul selain dua kategori di atas yang menjelaskan tata cara
pelaksanaan tuntunan syari’at Islam secara umum. Dalam konteks inilah, perilaku
beliau berfungsi sebagai pensyari'atan. Umatnya dituntut untuk meneladani dan
mengikuti jejak beliau. Hanya saja, dalam konteks syari'at, perilaku-perilaku
Rasul dalam kategori ini mengandung berbagai dimensi hukum, adakalanya wajib, mandûb
(sunnat), atau ibâhah (perkenan). Ada beberapa pemilahan dalam
menentukan norma hukum berkaitan dengan perilaku beliau secara kasuistik.
a)
Apabila tindakan Rasul diketahui sebagai penjelasan dari kandungan
ayat-ayat Al-Qur'an yang secara literal bercakupan umum ('âm),
maka dimensi hukum perilaku ini setingkat dengan dimensi hukum dalam
kandungan ayat-ayat Al-Qur'an yang dijelaskan. Bila hukum yang terkandung dalam
Al-Qur'an adalah wajib, maka perilaku Nabi wajib pula hukumnya, bila kandungan
hukum ayat-ayat Al-Qur'an adalah mandûb, maka perilaku ini berhukum mandûb,
atau bila ayat Al-Qur'an berkandungan hukum ibahah, maka demikian
pulalah norma hukum perilaku tersebut. Perbuatan yang menjelaskan
kandungan ayat Al-Qur'an tersebut seperti tata cara tayammum Rasul
dengan mengusap tangan sampai siku-siku sebagai penjelasan dari ketentuan
global ayat tentang tayammum (QS: Al-Maidah 6). Atau tindakan beliau
dalam menjelaskan tata cara penerapan sanksi pidana pencurian, yakni potong
tangan, sebagai implementasi dari ketentuan general ayat Al-Qur'an tentang
sanksi tersebut (QS: Al-Maidah 38).
b)
Apabila tindakan Nabi secara zhâhir tidak nampak statusnya sebagai
penjelas kandungan ayat Al-Qur'an yang masih umum, atau dengan kata lain,
perbuatan tersebut muncul secara mandiri dari ketentuan Al-Qur'an, maka dalam
penentuan status hukumnya, terdapat dua pemilahan mengenai keterkaitannya
dengan bentuk ritual ibadah (qurbah) atau bukan.
- Apabila status hukum perbuatan
Rasul tersebut diketahui, wajib, sunnat atau ibâhah, maka demikian pula
halnya umat beliau, bila perbuatan tersebut wajib atas Rasul, maka mengikutinya
adalah wajib, bila perbuatan tersebut berhukum sunnat, maka mengikuti Rasul
dalam perbuatan tersebut juga berhukum sunnah. Beberapa argumen yang melandasi
pemikiran ini, di antaranya dari nash Al-Qur'an surat Al-Hasyr 7, An-Nur
63, dan Ali Imran 31 sebagaimana telah dipaparkan di muka. Demikian pula yang
diteladankan para shahabat, mereka menunjukkan kepatuhan pada Rasul, dan
menjadikan perilaku beliau sebagai teladan dalam bertindak dan bersikap.
Diriwayatkan, bahwa 'Umar bin al-Khaththab ra. pernah mencium hajar aswad
(batu hitam di sudut Ka'bah). "Seandainya aku tidak melihat Rasulullah
menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu". ujarnya, seolah
berbicara pada hajar aswad.
- Apabila status hukum dari perbuatan
Nabi tidak diketahui, wajib, sunnah atau mubah, maka terdapat pemilahan.
· Apabila
perbuatan Nabi berupa pendekatan diri kepada Allah (qurbah) seperti
shalat dua rokaat yang dilakukan tidak secara kontinyu, maka status hukum
perbuatan tersebut adalah sunnat. Sedangkan menurut Imam Malik, perbuatan
tersebut menunjukkan pada hukum wajib, karena Allah telah memerintahkan untuk
mengikuti Rasul, sementara orientasi kalimat perintah adalah adalah wajib.
· Apabila
perbuatan tersebut bukan merupakan upaya khusus pendekatan diri kepada Allah (ghair
qurbah), seperti jual beli dan transaksi muzâra’ah[72]
maka perbuatan tersebut adalah ibâhah (perkenan, boleh). Hal ini
karena ibâhah merupakan kadar terendah yang diyakini dari sebuah
perbuatan Rasul. Maksudnya, jika Rasul berbuat sesuatu, paling tidak perbuatan
tersebut berhukum boleh. Dan tidak dapat berpindah pada hukum lain, tanpa dalil
yang jelas. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Al-Karkhi, serta
direkomendasikan oleh Ibn al-Hâjib. Sedangkan menurut Imam Al-Syafi'i,
perbuatan tersebut menunjukkan pada hukum sunnat, sebab perbuatan apapun, pasti
dimaksudkan untuk pendekatan diri kepada Allah (qurbah), sementara batas
minimal status qurbah adalah sunnat. Pendapat kedua ini juga
didukung oleh mayoritas kalangan Hanafiyyah dan Mu’tazilah. Al-Amudi dan
Al-Isnawi berpandangan, apabila perbuatan Nabi secara jelas dimaksudkan untuk qurbah,
maka dalam perbuatan tersebut terdapat persekutuan (qadr al-musytarak)
antara wajib dan sunnat (ibâhah tidak diperhitungkan karena
adanya prioritas pelaksanaan daripada pengabaian terhadap perbuatan tersebut).
Dan apabila perbuatan tersebut tidak secara jelas dimaksukan untuk qurbah, maka
ini menunjukkan pada persekutuan antara wajib, sunnah dan ibâhah,
(ibâhah diikutsertakan dengan motif memperingan kesulitan).
Taqrîr dan sikap diam Nabi
Dalam terminologi ushul fiqh, taqrîr
adalah sikap ketidakingkaran Rasul saw., alias diam terhadap perbuatan atau
perkataan shahabat yang dilakukan di hadapan beliau, dan tidak terdapat faktor
khusus yang mendorong sikap diam ini. Sikap taqrîr ini adalah salah satu
bentuk dari sunnah beliau yang harus diikuti. Karena, perbuatan apa saja yang
dilakukan di hadapan Rasulullah, kemudian beliau mendiamkannya, berarti
perbuatan tersebut adalah benar, sebab tidak mungkin beliau membiarkan
perbuatan munkar terjadi dengan sepengetahuan beliau, padahal beliau
mampu mencegahnya.
Contohnya adalah sikap diam
Nabi ketika mendengarkan seorang lelaki yang berkata: “Bila seorang lelaki
melihat istrinya bersama dengan lelaki lain, maka jika ia membunuh lelaki lain
tersebut, maka ia harus dibalas bunuh. Dan bila ia menuduhnya berzina, maka ia
harus dicambuk.” Dari sikap diam Rasul ini menunjukkan bahwa
pernyataan orang tersebut benar, berarti pelaku pembunuhan harus dibalas bunuh,
begitu pula penuduh zina harus dicambuk.
Contoh lain adalah sikap diam
beliau ketika melihat Qais sedang melakukan shalat dua rakaat setelah shalat
Shubuh. Hal ini menunjukkan bahwa seusai shalat Shubuh, boleh melakukan shalat
lagi jika ada alasan melakukannya, seperti menunaikan shalat qadlâ' atau
yang lain.
Demikian ini bila sikap diam
Rasul terjadi atas tindakan-tindakan yang dilakukan di hadapan beliau. Lantas
bagaimana jika sikap diam tersebut muncul atas tindakan yang dilakukan di luar
jangkauan mata? Ada pemilahan dalam menyikapi hal ini.
Jika pada umumnya
perbuatan-perbuatan semacam itu tidak mungkin luput dari pengetahuan Nabi, maka
perbuatan tersebut setingkat dengan perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau
dan tidak diingkarinya. Seperti apa yang dilakukan Muadz. Setelah menunaikan shalat
Isya’ bersama Nabi, ia melakukan shalat sunnat, sementara kaumnya melakukan
shalat Isya’ bermakmum kepadanya. Kejadian semacam ini, layaknya tidak luput
dari pengetahuan Nabi. Dan dalam hal ini, beliau tidak mengingkarinya.
Karenanya, hal ini menunjukkan bahwa perbuatan Mu'adz tersebut boleh untuk
dilakukan, karena seandainya tidak diperbolehkan, niscaya Rasul akan
mengingkarinya.
Mengenai perbuatan-perbuatan
yang pada umumnya tidak beliau ketahui jika terjadi tidak di hadapan mata, maka
ketiadaan sikap Nabi ini tidak lantas ditafsiri sebagai persetujuan beliau.
Contohnya adalah kejadian yang diceritakan oleh seorang shahabat dari kalangan
Anshar bahwa pada masa hidup Nabi, ia pernah melakukan hubungan badan tanpa
melakukan mandi setelahnya. Sikap diam Nabi terhadap perkataan tersebut tidak
lantas menunjukan suatu hukum, bahwa orang yang melakukan hubungan badan tidak
wajib mandi. Karena perkataan semacam ini biasanya terlontar secara
sembunyi-sembunyi, sehingga sikap diam Nabi dimungkinkan karena beliau tidak
mengetahui hal tersebut[73].
"Kontradiksi" (ta'ârudl) dalam al-sunnah
Sebelum lebih jauh melangkah
pada pembahasan ini, perlu digarisbawahi, bahwa secara esensial, di antara
muatan-muatan al-sunnah sama sekali tidak terdapat kontradiksi (ta'ârudl).
Karena, al-sunnah bersumber dari wahyu, sebagaimana pula tidak mungkin terjadi
kontradiksi antara al-sunnah dan Al-Qur'an. Istilah ini dimunculkan hanya
sebatas tataran linguistik, untuk menyikapi perbedaan implikasi yang timbul
dari beberapa nash. Dalam kaitannya dengan al-sunnah, fokus pembahasan
terbagi dalam tiga kategori penting. Yakni kontradiksi di antara
perbuatan-perbuatan Nabi, kontradiksi di antara perkataan-perkataan beliau dan
kontradiksi antara perkataan dan perbuatan.
* Kontradiksi antara perkataan-perkataan Nabi
Pada dasarnya,
perkataan-perkataan Rasulullah tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
Seandainya ditemukan, hal tersebut hanyalah dalam tataran zhâhir, bukan
secara hakiki. Hal ini disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah perbedaan
sudut pandang mujtahid dalam memahami hadits, kadang memiliki dimensi makna
yang jelas, samar atau karena faktor lainnya. Mengenai perkataan-perkataan Nabi
yang "kontradiktif" ini, mayoritas ulama' minus Hanafiyyah,
memberikan empat solusi secara bertahap
1.
Melakukan jâmi' (kompromi) antara perkataan-perkataan Nabi yang
tampak kontradiktif. Dengan arti, memposisikan sebuah perkataan Nabi pada suatu
kondisi, dan memposisikan perkataan yang lain pada kondisi yang lain pula.
Sebagaimana mengarahkan pada masing-masing obyeknya (tanwî'), memberikan
masing-masing batasan (qayyid), mengarahkan dimensi hakikat dan
majasnya, memberlakukan eksepsi (takhshîsh), dan sebagainya. Hal
ini dilandasi pemikiran mendasar, adalah lebih baik memfungsikan dua dalil
secara sekaligus daripada mengabaikan salah satunya.
2.
Bila upaya kompromi (jâmi') tidak berhasil, maka dilakukanlah tarjîh
(preferensi) pada salah satu perkataan Nabi. Tarjîh sendiri dapat
dilakukan melalui berbagai segi. Tarjîh dari segi materi hadits (matan)
seperti pen-tarjîh-an hadits muhkam (non-interpretable)
atas hadits yang mufassar (interpretable), tarjîh dari
segi sanadnya, seperti men-tarjîh hadits mutawâtir atas
hadits âhâd, tarjîh dari sisi periwayat, seperti men-tarjîh
hadits dengan perawi yang memiliki karakter 'adâlah (intregitas moral
dan ketakwaan), kemampuan dan pengetahuannya dalam fiqh, atau daya ingat
dan hafalannya yang kuat. Selain hal-hal di atas, tarjîh dapat
pula dilakukan dari sisi dilâlah (penunjukan
status hukumnya, meliputi haram, ibâhah, itsbât atau nafi
dan lain-lain), sebagaimana men-tarjîh hadits yang dilâlah-nya
haram. Ada pula tarjîh dari sisi eksternal (amr khârij),
seperti men-tarjîh hadits yang diperkuat dengan dalil lain, dari
Al-Qur'an, al-sunnah maupun ijma’. Menurut sebagian ulama' teoritisi, seperti
kalangan Hanafiyyah, tarjîh diposisikan pada urutan pertama,
disusul jâmi' pada posisi kedua.
3.
Bila upaya jâmi' dan tarjîh tidak mungkin dilakukan,
maka salah satu perkataan Nabi berfungsi me-naskh perkataan yang lain.
Ini dengan catatan, keduanya memiliki kekuatan yang setara, serta secara
kronologis, masing-masing perkataan tersebut diketahui mana yang muncul lebih
akhir. Dan, yang muncul terakhir inilah yang akan me-naskh perkataan
yang muncul sebelumnya.
4.
Bila tiga tahapan upaya di atas tidak bisa direalisasikan, maka kedua
perkataan tersebut saling menggugurkan (tasâquth).
* Kontradiksi di antara perbuatan-perbuatan Nabi
Permasalahan ini memicu
kontroversi ulama', dapatkah tindakan-tindakan Rasulullah saw. bertentangan
satu dengan yang lain? Mayoritas ulama' teoritisi berpandangan bahwa di antara
tindakan-tindakan beliau, tidak mungkin terjadi kontradiksi. Maksudnya, suatu
perbuatan tidak dapat me-naskh atau men-takhsîsh perbuatan yang lain,
karena sangat mungkin pada suatu saat perbuatan beliau berhukum wajib, dan saat
yang lain berhukum sunnat.
Namun terdapat riwayat dari
Ibn Rusyd, bahwa perbuatan Rasulullah yang kontradiktif dengan perbuatan lain,
diposisikan sebagaimana kontradiksi di antara perkataan-perkataan beliau.
Sementara Ibn Al-‘Arabi dalam karyanya, Al-Mahshûl, meriwayatkan
tiga versi pendapat ulama tentang kontradiksi di antara perbuatan-perbuatan
Nabi.
-
boleh memilih salah satunya sebagai pegangan dan acuan hukum.
-
prioritas ada pada perbuatan yang dilakukan terlebih dahulu.
-
Melakukan preferensi (tarjîh) pada salah satunya dengan
mencari indikasi penguat. Sebagaimana dalam tata cara pelaksanaan shalat khauf
(shalat dalam kondisi ketakutan atau situasi perang) yang pernah dilakukan Nabi
hingga 24 metode. Dalam kaitannya dengan hal ini Imam Al-Syafi'i dan Imam Malik
berpendapat, dalam permasalahan ini dibutuhkan adanya tarjîh pada
salah satu bentuk shalat khauf yang lebih mendekati pada bentuk atau
aktivitas shalat pada umumnya[74].
* Kontradiksi antara perbuatan dan perkataan Nabi
Dalam beberapa permasalahan
sering dijumpai, perbuatan Nabi bertentangan dengan perkataan beliau. Seperti
larangan menghadap kiblat ketika melakukan buang air, sedang dalam keterangan
lain dituturkan bahwa beliau pernah melakukannya. Untuk menguak permasalahan
ini, fokus pembahasan diarahkan dalam tiga kategori uraian. Yakni perkataan
terlontar mendahului perbuatan beliau, perbuatan beliau lakukan mendahului
perkataan, atau tidak diketahui keberadaan perbuatan dan perkataan tersebut,
mana yang lebih awal muncul.
(1). Perkataan
lebih dahulu daripada perbuatan.
Dalam hal ini, perbuatan
Rasulullah – yang memenuhi kriteria wajib untuk diikuti, sebagaimana paparan
terdahulu – dapat me-naskh perkataan sebelumnya, baik perkataan tersebut
bersifat umum, bagi Nabi dan umatnya, khusus bagi umatnya, atau khusus bagi
diri Nabi.
Yang bersifat umum misalnya
perkataan Nabi: “Wajib bagi kita semua melakukan puasa pada hari
Senin”, tetapi dan pada hari Senin ternyata Nabi tidak berpuasa. Maka
perbuatan ini, dapat me-naskh perkataan sebelumnya. Jika perkataan
tersebut khusus bagi diri Nabi, maka naskh juga khusus bagi beliau,
bukan bagi umatnya.
Sedangkan bila perbuatan Nabi
tidak disertai kewajiban mengikuti bagi umatnya, maka perkataan tersebut
berfunsi men-takhshîsh pada perbuatannya, bukan me-naskh-nya.
(2). Perbuatan
lebih dahulu dari perkataan.
Seperti tindakan Nabi
menunaikan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Dan beberapa waktu
kemudian beliau melarangnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, terdapat tiga
pemilahan dalam menentukan status hukumnya, dengan syarat terdapat dalil
atas kewajiban pengulang-ulangan perbuatan tersebut. Karena bila tidak terdapat
dalil yang menunjukkan kewajiban pengulang-ulangan, maka dalam permasalahan ini
tidak dapat disebut sebagai kontradiksi (ta'ârudl).
-
Apabila perkataan tersebut bercakupan umum untuk diri Nabi sendiri maupun
umatnya, maka perkataan tersebut dapat me-naskh perbuatan. Sebagaimana
beliau berpuasa Asyura’ misalnya, dan terdapat dalil atas kewajiban
pengulang-ulangan perbuatan tersebut. Setelah itu, beberapa waktu kemudian
beliau berkata: “Bagi kita tidak wajib melakukan puasa Asyura’”, maka
perkataan tersebut me-naskh perbuatan.
-
Perkataan tersebut khusus bagi diri Nabi, seperti beliau berpuasa Asyura’,
kemudian berkata: “Tidak wajib bagi saya melakukan puasa Asyura’”, maka
perkataan tersebut me-naskh perbuatan beliau sendiri, sementara umatnya
tetap wajib melaksanakan puasa Asyura’.
-
Perkataan Nabi tersebut khusus bagi umatnya, seperti beliau berpuasa Asyura’,
kemudian berkata: “Tidak wajib bagimu sekalian melakukan puasa Asyura’”,
Maka perkataan tersebut me-naskh kewajiban puasa atas umatnya, sedang
beliau tetap berkewajiban melakukannya.
(3). Tidak
diketahui mana yang lebih awal atau lebih akhir di antara perkataan dan
perbuatan Nabi saw.
Dalam menyelesaikan
permasalahan ini, apabila perbuatan dan perkataan Nabi bisa dikompromikan (jâmi'),
maka harus dilakukan, dengan metode takhshîsh atau yang lain. Sedang
bila tidak dapat dikompromikan, bagaimana cara penyelesaiannya ? Di kalangan
ulama' setidaknya terdapat tiga versi pendapat.
-
Perkataan lebih diprioritaskan daripada perbuatan. Karena, dengan
sendirinya, perkataan Rasul menunjukkan atas makna yang dikandungnya tanpa
membutuhkan perantara. Sedangkan perbuatan, dalam penunjukan atas makna yang
dikandungnya, harus disertai perantara. Seperti kewajiban menunaikan shalat
lima waktu, tidak dapat diketahui dari perbuatan beliau tanpa disertai
perkataan: "Shalatlah kalian sebagaimana engkau melihatku melakukan
shalat" (HR. Bukhari dan Muslim). Pendapat ini didukung oleh Al-Râzi dan mayoritas ulama.
-
Perbuatan lebih diprioritaskan daripada perkataan, karena perbuatan
memiliki dilalah (penunjukan atas maksud) lebih jelas daripada
perkataan. Terbukti, teori atau perkataaan seorang arsitek tidak akan dapat
dipahami secara jelas tanpa disertai perbuatan atau praktik, seperti dengan
membuat peta.
-
Menangguhkan permasalahan (tawaqquf) hingga ditemukan dalil secara
eksplisit yang mengarahkan pada salah satunya. Hal ini karena kita diwajibkan
mengikuti sunnah Rasul tanpa membedakan antara perkataan dan perbuatannya.
Metode periwayatan hadits
Dalam periwayatan sebuah
hadits terdapat beberapa metode, terkait dengan materi hadits yang diriwayatkan
(matan), atau dengan model penyandarannya (isnâd). Dalam
keterkaitannya dengan materi yang diriwayatkan, ada beberapa model periwayatan
yang pada akhirnya timbul kontroversi di antara para ulama’ teoritisi. Dalam
hal ini, selain terdapat implikasi terhadap status validitas hadits, juga tentu
saja berhubungan dengan implikasi linguistik, karena dalam meninjau kandungan
sebuah hukum, tidak bisa dilepaskan dari hal ini. Beberapa model tersebut di
antaranya[75]:
(1).
Periwayatan dengan menggunakan redaksi hadits yang sama persis apa yang
didengar oleh perawinya. Periwayatan semacam ini merupakan model terbaik,
karena seorang periwayat telah memenuhi apa yang diamanatkan kepadanya,
menuturkan sesuai apa yang ia dengar. Kemudian terkait hal ini, hadits yang
diriwayatkan kadangkala berupa dialog tanya jawab, sehingga apabila sebuah
jawaban tidak akan bisa dipahami tanpa disertai penuturan pertanyaan, maka
harus menyertakan pertanyaannya, dan sebaliknya, bila jawaban tersebut bisa
dipahami tanpa penyebutan pertanyaannya, maka bebas menyebutkan jawabannya.
(2).
Periwayatan tidak dengan redaksi asli, tetapi dengan redaksi lain yang
memiliki kesamaan makna. Mengenai boleh tidaknya meriwayatkan sebuah hadits
dengan model semacam ini, terdapat delapan versi pendapat di antara ulama dalam
permasalahan ini.
a.
Boleh, bagi seorang perawi yang memiliki pengetahuan tentang makna-makna
lafal. Sedangkan bagi perawi yang tidak memiliki pengetahuan tentang hal ini,
ia tidak diperkenankan meriwayatkannya secara makna. Pendapat ini, sebagaimana
diklaim oleh Al-Qâdli, merupakan konsensus para ulama. Meski demikian, masih
terdapat perbedaan pandangan mengenai pensyaratannya. Di antara mereka ada yang
mensyaratkan harus dengan menggunakan redaksi yang sinonim (murâdif)
dengan redaksi asal, seperti kata julûs diganti dengan kata qu‘ûd atau
sebaliknya. Ada pula yang mensyaratkan kesetaraan jelas tidaknya penunjukan
lafal terhadap maknanya. Atau ada juga pensyaratan bahwa redaksi yang mereka
riwayatkan bukan redaksi paten dalam ritual ibadah (ta‘abbud bi lafzhihi)
seperti tasyahhud, Istiftâh dan lain sebagainya.
b.
Tidak boleh secara mutlak. Dengan demikian kewajiban seorang râwi –
baik seorang yang memiliki pengetahuan makna-makna lafal ataupun bukan – adalah
meriwayatkan hadits dengan redaksi yang sama persis dengan apa yang didengar.
Pendapat ini, sebagaimana dikutip oleh Al-Qâdli, dilontarkan oleh mayoritas
ulama' salaf dan ahli hadits. Versi ini, menurut al-Syaukâni, menyalahi tradisi
para periwayat hadits sejak dahulu, dan sangat sulit untuk direalisasikan.
Karena, seringkali ditemukan, sebuah hadits diriwayatkan secara massal dengan
redaksi yang berbeda-beda.
c.
Boleh, bila redaksi hadits tidak memiliki potensi kontroversi penafsiran.
Pendapat ini diungkapkan oleh sebagian ulama' Syafi'iyyah, dan pendapat
terpilih dari Ilkiyâ al-Thabari.
d.
Boleh apabila perawinya tidak hafal redaksi aslinya. Pendapat ini didukung
oleh Al-Mâwardi dan Al-Rauyâni.
e.
Boleh apabila redaksinya menggunakan bentuk amar (kalimat perintah)
atau nahi (kalimat larangan). Sehingga bila redaksi hadits berupa kalam khabar
(kalimat berita), maka tidak diperkenankan meriwayatkannya dengan makna.
f.
Boleh apabila redaksi hadits merupakan redaksi yang muhkam
(penunjukan maknanya lugas). Apabila menggunakan redaksi yang mujmal (general)
atau musytarak (polisemi), maka tidak diperbolehkan.
g.
Bila redaksi hadits terangkai dalam susunan kata yang tidak bisa dipahami
kalangan awam kecuali dengan menampilkannya secara persis, maka tidak
diperbolehkan meriwayatkannya secara maknawi.
h.
Boleh apabila dimaksudkan untuk keperluan penyampaian fatwa atau
berargumentasi dalam forum ilmiah. Apabila untuk sekedar periwayatan, maka
tidak diperbolehkan.
(3).
Periwayatan dengan membuang sebagian redaksi hadits (elipsis). Dalam
konteks ini, apabila redaksi yang terbuang memiliki keterkaitan secara lafzhiyyah
atau ma'nawiyyah dengan redaksi yang ditampilkan, maka tidak di
perbolehkan. Pendapat ini, sebagaimana diungkapkan oleh Shafiy al-Hindi dan Ibn
Al-Anbari secara bulat telah disepakati para ulama'[76].
Wujud dari keterkaitan lafzhiyyah adalah sebagaimana istitsnâ'
(eksepsi) kalimat bersyarat (conditional sentence), ghayah
(limit), dan sifat. Keterkaitan ma'nawiyyah seperti makna khâsh dan
âmm, muqayyad dan muthlaq, mubayyan dan mujmal,
atau nâsikh dan mansûkh.
(4).
Periwayatan dengan penambahan pada materi hadits (mudraj). Dalam hal
ini, apabila kata tambahan berfungsi sebagai interpretasi dan penjelasan latar
belakang kemunculan hadits atau makna kandungan hadits, maka diperbolehkan. Ini
dengan syarat seorang râwi menjelaskan bahwa tambahan tersebut dari
dirinya sendiri, sehingga orang lain mengetahui bahwa kata-kata tersebut bukan
bagian dari hadits. Al-Mâwardi dan Al-Rauyâni memilah, bagi perawi kalangan
shahabat boleh memberikan tambahan sebagai penjelas latar belakang kemunculan
hadits, sedang bagi perawi selain shahabat, hanya boleh memberikan penambahan
kata sekedar sebagai penjelasan secara literal[77].
Selain empat
model periwayatan terkait dengan materi hadits sebagaimana dipaparkan di atas,
masih ada beberapa model lagi yang karena keterbatasan ruang, maka tidak
dicantumkan pembahasannya.
Demikianlah, secara umum tidak
ada keraguan lagi bahwa al-sunnah merupakan salah satu sumber hukum syari'at.
Bila ditilik dari sudut perunutan logika, posisi al-sunnah berada pada urutan
kedua setelah Al-Qur'an, karena penerimaan terhadap al-sunnah baru bisa
dihasilkan setelah penerimaan akan kebenaran Al-Qur'an. Namun, al-sunnah justru
memegang peran amat penting dalam pembentukan konsep legislasi syari'at. Hal
ini karena tatkala Rasul mendapatkan mandat sebagai penjelas kandungan
Al-Qur'an, maka konsekwensi logisnya, al-sunnah sebagai sesuatu yang muncul
dari diri utusan Allah itu pun berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an. "Al-Qur'an
lebih membutuhkan pada al-sunnah daripada kebutuhan al-sunnah akan
Al-Qur'an" , demikian diungkapkan Al-Auza'i. Karenanya, sangat naif
bila seorang muslim mengesampingkan keberadaan al-sunnah sebagai sendi-sendi
pokok ajaran Islam yang menuntunnya menuju pada pencerahan pemikiran dan
perbuatan. Dan, sama naifnya pula bila al-sunnah sebagai tuntunan hidup, tidak
secara optimal menjadi porsi dari penekunan bidang keilmuan para pelanjut
mujtahid pewaris Nabi. Wallahu a'lam. ‘
[2] Muhyi al-Dîn 'Abd al-Salâm, Mauqif
al-Imâm al-Syâfi'i, Kairo: Lajnat al-Ta'rîf bi al-Islâm, tt. hlm
122-123.
[3] ‘Isâwî Ahmad ‘Isâwî, Al-Madkhal
li al-Fiqh al-Islâmî, Târikhuhu, Mashâdiruhu, Nazhariyyât al-Milk wa al-‘Aqd,
Qawâ‘iduhu al-Kulliyyât, Mesir: Al-Mâliyyah, tt. juz I hlm. 221.
[4] Muhammad bin Ismâ'il
al-Bukhâri, Al-Jâmi' al-Shahîh al-Mukhtashar, Beirut: Dâr Ibn
Katsîr al-Yamâmah, cet III 1983, juz I hlm. 54.
[8] Muhammad ibn ‘Ali ibn
Muhammad Al-Syaukâni, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq
min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. hlm. 33.
[12] Mahmud Syaltut, op.cit.,
hlm 501. Menurut Ibn Zuhri, usaha pembukuan
al-sunnah ini dimulai pada zaman Khalifah 'Umar bin Abdul Aziz.
[13] Ahmad bin Muhammad bin Ali
al-Fayûmî, Al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr,
Beirut: Al-Maktabah al-'Ilmiyyah, tt., hlm. 124.
[14] Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn
al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'at al-Fiqhiyyah,
Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt., juz XIII hlm. 13.
[15] Al-marfû' adalah periwayatan yang disandarkan pada Rasulullah saw., berupa
perkataan, tindakan atau sifat-sifat. Sedangkan al-mauqûf adalah hadits
yang tidak disandarkan pada Rasulullah saw., tetapi hanya perkataan atau
tindakan shahabat. Dan bila penyandaran periwayatan hanya sampai pada generasi
tabi'in, maka disebut al-maqthû'.
[16] Wizârat al-Awqâf, ibid,
juz XIII hlm. 13-14. Maksud dari pendapat terakhir adalah bahwa dalam
penyebutannya, seringkali diungkapkan hadits mauqûf, hadits maqthû',
bahkan hadits maudlû' (palsu). Berarti, penyebutan 'hadits' dari tiga
rangkaian kata ini menunjukkan bahwa secara hakiki, ketiga hal ini bukan
merupakan hadits.
[17] Mas'ûd bin ‘Umar
al-Taftâzânî, Syarh al-Talwîh 'ala al-Taudlîh,
Mesir: Maktabat al-Shabîh, tt., juz II hlm. 3.
[21] Rawâfidl, bentuk plural (jamak) dari Râfidlah, secara literal berarti
orang yang meninggalkan. Nama ini disandangkan pada sebuah sekte sempalan
Syi'ah, karena mereka meninggalkan anjuran Zaid bin Ali bin Abi Thalib ra.
untuk tidak menghujat para shahabat.
[23] Muhammad bin Abî Bakar bin
Ayyûb al-Dimasyqî (Ibn al-Qayyim), I'lâm al-mûqi'în 'an Rabb al-'Âlamîn,
Beirut: Dâr al-Jail, 1973, juz II hlm. 257.
[24] Zhanniyy al-dilâlah, adalah sebuah dalil atau ungkapan yang penunjukan maknanya
interpretable, masih terbuka untuk ditafsirkan dengan beragam makna, tidak
mengarah hanya pada satu makna.
[28] Qath'iyy al-tsubût adalah sebuah dalil yang keberadaan dan validitasnya telah dapat
dipastikan dengan yakin, bukan sekedar kemungkinan atau dugaan.
[29] Sebagian mufassirin menafsirkan
Al-Kitab dengan Lauh Mahfudz dengan arti bahwa nasib semua
makhluk telah dituliskan (ditetapkan) di sana. Ada pula yang menafsirkan dengan
Al-Qur’an, yang berarti bahwa di dalam Al-Qur'an telah ada pokok-pokok agama,
norma-norma hukum dan pimpinan untuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat,
serta kebahagian makhluk pada umumnya. Lihat Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989,
hlm. 192.
[32] Dari pernyataan ini, tercetus
suatu sikap dari kalangan Syafi'iyyah bahwa tatkala terjadi 'kontradiksi'
secara literal antara Al-Qur'an dan sunnah mutawâtirah, maka tidak ada
upaya preferensi (tarjîh) terhadap salah satu dari keduanya.
[33] Sebagaimana dipaparkan pada
pembahasan Al-Qur'an, mayoritas ulama' berpendapat bahwa al-sunnah dapat me-naskh
Al-Qur'an, karena keduanya bersumber dari wahyu Allah. Sebagian ulama', di
antaranya adalah Al-Syâfi’î, berpendapat sebaliknya, bahwa al-sunnah tidak dapat me-naskh ayat Al-Qur’an. Namun pernyataan 'kontroversial' ini sebenarnya merupakan etika agung
Al-Syafi'i dalam menjelaskan kesejalanan al-sunnah dengan Al-Qur'an, karena
keduanya adalah bersumber dari wahyu. Al-Subuki menginterpretasikan pernyataan
Al-Syafi'i di atas dengan suatu ungkapan, bahwa tatkala terjadi penyalinan ayat Al-Qur’an dengan
al-sunnah, maka bersamanya terdapat ayat Al-Qur’an yang menguatkan pe-naskh-an al-sunnah atau menjelaskan
kesejalanan antara Al-Qur’an dan al-sunnah. Karenanya,
dalam fungsi ini, pada hakikatnya al-sunnah hanya sebagai petunjuk atas ter-naskh-nya
suatu ayat Al-Qur'an dengan ayat lain. Namun, di balik itu semua, tampaknya
kontroversi pendapat semacam ini tidak lebih sebatas retorika, karena contoh
yang diungkapkan masing-masing kelompok juga masih terbuka untuk diperdebatkan.
Selaras dengan asumsi ini adalah pernyataan Al-Zarqâni, bahwa ulama' yang
secara teoritis memperbolehkan terjadinya naskh dalam ayat Al-Qur'an
oleh al-sunnah ini juga berbeda pendapat, apakah secara faktual benar-benar
terjadi.
[35] Muhammad Musthafâ Syalbî, Ushûl
al-Fiqh al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Nahdlah al-'Arabiyyah, 1986.juz I
hlm. 125
[38] Hadits pertama diriwayatkan
oleh dua belas orang shahabat, di antaranya dikeluarkan oleh Ibn Abî Syaibah,
Dâruquthni dan Ibn 'Adiy dari Ali bin Abî Thalib ra. Hadits kedua dikeluarkan
oleh Ahmad dan pemilik enam kitab hadits induk dari Anas ra., dari jalur lain
juga diriwayatkan oleh Zubair, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa'id
al-Khudzri, Ibn Mas'ud dan masih banyak lagi. Sedang hadits ketiga dikeluarkan
oleh Muslim dari Abu Hurairah, Ahmad dari Jabir bin Abdillah, Ahmad dan
Dâruquthni dari Abdullah bin al-Hârits. Lihat Wahbah al-Zuhaylî, ibid..juz
I hlm. 452.
[41] Dalam penentuan jumlah
periwayat hingga pemberitaan mereka bisa menimbulkan keyakinan, terdapat
beragam pendapat. Namun ada suatu patokan dasar yang diajukan oleh kalangan
Syafi'iyyah, termasuk Abu Bakar al-Bâqilâni, yakni bahwa jumlah empat orang
periwayat belum memberikan kepastian tentang kebenaran berita yang dibawanya,
alias pemberitaan mereka belum dapat disebut sebagai mutawâtir, karena
empat orang yang bersaksi atas perbuatan zina masih perlu uji kelayakan
mengenai 'adâlahnya. Namun, bilangan lima – sebagaimana terungkap dalam
suatu pendapat yang menyangkanya sebagai batas minimal mutawâtir – juga
belum tentu menimbulkan pemberitaan mutawâtir. Dan masih banyak lagi
pendapat yang menentukan bilangan minimal mutawâtir, seperti 7, 10, 12,
20, 40, 70, 313, 500 dan sebagainya, dengan alasan-alasan yang kurang mendasar.
Pendapat yang benar, sebagaimana diutarakan oleh banyak teoritisi, dalam
menentukan jumlah minimal periwayat kabar mutawâtir adalah tanpa
menentukannya dalam bilangan tertentu, yang terpenting adalah, bila dengan
jumlah tersebut, pemberitaan yang mereka sampaikan akan menimbulkan penilaian
akal, bahwa mereka tidak mungkin bersepakat atas kebohongan. Lihat Al-Syaukâni,
op.cit., hlm. 48; Al-Jalâl Syams al-Dîn Muhammad bin Ahmad
al-Mahallî, Syarh ‘alâ matn Jam‘ al-Jawâmi‘, Al-Biqa’: Dar Ibn ‘Abûd, 1995.juz II hlm. 121-123.
[42] Hadits
pertama, dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar ra., hadits kedua juga
oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra., sedang hadits ketiga diriwayatkan
oleh Ibn Majah, Dâruquthni dan yang lain, dari Abu Sa’id Al-Khudzri ra. Adapun
hadits tentang khuf diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim dari
Jarir ra., dan hadits mengenai rajam diriwayatkaan oleh Ahmad dan enam imam
hadits dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid. Lihat Wahbah
al-Zuhaylî, op.cit..juz I hlm. 454.
[45] Istifâdlah dan syuhrah, secara literal berarti populer. Maksudnya
segolongan orang dengan jumlah 'banyak', yakni lebih dari tiga atau empat orang.
Sehingga hadits mustafîdl atau masyhûr adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat. Sebenarnya banyak sekali ragam
pendefinisian kedua istilah ini. Sebagian pakar berpendapat bahwa mustafîdl
atau masyhûr sama dengan mutawâtir, sedangkan yang lain berpandangan,
bahwa mustafîdl dan masyhûr merupakan pertengahan antara âhâd dan
mutawâtir, sehingga kalangan Hanafiyyah mengklasifikasi sunnah atau
hadits dalam tiga kategori seperti dijelaskan di muka. Dan, Al-Âmudi yang
berpandangan bahwa mustafîdl atau masyhûr termasuk dalam kategori
âhâd, mendefinisikannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari
tiga atau empat orang periwayat yang tidak sampai mencapai jumlah mutawâtir.
Karena inilah, muncul perselisihan pandangan dalam mendefinisikan hadits âhâd.
[46] Badr al-Dîn Muhammad
Bahâdir bin ’Abd Allâh al-Zarkasyi, Al-Bahr al-Muhîth fî
Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2000 juz III hlm. 318
[47] Abû Husain Muhammad
bin 'Ali bin Thayyib al-Bashri al-Mu’tazili, Al-Mu’tamad fî ushûl al-Fiqh,
Damaskus: Dâr al-Fikr, 1965, juz II hlm. 566.
[48] Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad
al-Ghazâli, Al-Mustashfâ min ’Ilm al-Ushûl, Beirut, Dâr al-Fikr, tt.
juz I hlm. 145.
[49] Rasulullah saw. bersabda: "Kami,
para nabi, tidak dapat diwarisi, apa-apa yang kami tinggalkan adalah sadaqah"
HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Bakar ra.
[50] Rasulullah saw. bersabda
padanya: "Menetaplah engkau hingga usai iddahmu !" (HR. Ahmad
dan empat imam hadits)
[54] Hadits ini mutawâtir,
diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi dan Ibn Hibbân, dari Ibn Mas'ud. Dari
jalur lain juga diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al-Dliyâ' dari Zaid bin Tsabit.
[57] Periwayatan secara maknawi
adalah periwayatan dengan menggunakan makna yang senada dengan teks perkataan
Nabi saw., bukan sama persis secara tekstual. Mengenai permasalahan ini akan
dipaparkan pada pembahasan selanjutnya.
[58] Musharrah adalah hewan ternak yang sengaja tidak diperah susunya dalam
beberapa waktu dengan mengikat putingnya. Ini adalah salah satu modus penipuan
dalam jual beli hewan ternak, agar para pembeli mengira hewan tersebut
mengandung banyak air susu.
[60] Maksud kaidah ini adalah,
apabila telah terjadi akad jual beli suatu barang semisal lahan, kemudian
mengeluarkan hasil, maka apabila ditemukan 'aib qadîm (cacat yang
terjadi sebelum transaksi) pada barang tersebut, maka pembeli boleh
mengembalikan kepada penjual, dan kemanfaatan lahan tersebut menjadi milik
pembeli.
[62] Rasullullah bersabda: "Penjual
dan pembeli diperbolehkan mengadakan khiyar. Apabila keduanya jujur dan terus
terang (dalam jual belinya) maka keduanya akan diberkahi dalam jual belinya,
(tetapi) apabila keduanya bohong atau tidak berterus terang, maka
dihilangkanlah barakah jual belinya". (HR. Bukhari, Muslim,
Ahmad dan Malik)
[63] Ada beberapa hal yang terkait
dengan persyaratan ini, yakni bahwa seorang perawi hadits haruslah seorang yang
memiliki karakter adâlah. Namun, para ulama’ berselisih pendapat dalam
mendefinisikannya. Menurut Hanafiyyah adâlah berarti memenuhi segala
tuntunan syari'at serta tidak pernah melakukan perbuatan fasiq. Menurut
Syafi’iyah, adâlah berarti suatu karakter yang mencegah seseorang melakukan
dosa besar, atau dosa kecil dan hal-hal mubah yang dianggap hina oleh syara’,
seperti buang air di jalanan. Menurut Ibn al-Hâjib, adalah yaitu
perhatian besar akan persoalan-persoalan agama sehingga dapat mendorong
seseorang memenuhi perilaku ketakwaan dan murû’ah (memelihara harga
diri) serta tidak pernah melakukan bid’ah. Dari definisi-definisi di
atas, Al-Syaukani menawarkan definisi yang menurutnya simpel dan cukup
representatif, yakni berpegang dengan norma-norma syari’at. Dengan demikian,
periwayatan seorang fasiq tidak bisa dibuat sebagai hujjah, meskipun
menurut Hanafiyyah persaksiannya bisa diterima. Lihat Al-Syaukani, op.cit.,
hlm. 51-52
[64] Mahmud Yunus, 'Ilm
Mushthalah al-Hadîts, Jakarta: Al-Maktabah al-Sa'diyyah
Putera, 1940, hlm. 64-65.
[66] Kalangan Hanafiyyah
mengklaim, bahwa penerimaan ini merupakan kesepakatan semua ulama'. Namun,
ternyata dalam menyikapi hadits mursal shahabat, para ulama' tidak secara bulat
menyepakati penerimaannya. Terbukti, Abu Ishâq al-Isfirâyînî mengatakan bahwa ia
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Lihat Mahmud Yunus, op.cit.,
hlm. 63; Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Al-Syaukâni, Nail
al-Authâr, beirut: Dâr al-Hadîts, tt., juz III hlm. 26.
[72] Muzâra'ah adalah transaksi bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarapnya,
dengan ketentuan pokok bibit tanaman berasal dari pemilik lahan.
[73] Abû Ishaq Ibrâhim bin
'Ali bin Yûsuf Al-Syairâzî Al-Fairûzabadî, Al-Luma' fî Ushûl al-Fiqh,
Surabaya: Al-Hidayah, hlm. 37.
[76] Al-Syaukânî, ibid.,
hlm. 58. Kendati demikian, Al-Syairâzi dan Al-Qâdli meriwayatkan sebuah
pendapat lemah yang menyatakan bahwa periwayatan secara elipsis diperbolehkan
secara mutlak.