AL SUNNAH (PERSPEKTIF USHUL FIQIH)

Al-sunah merupakan sumber syari’at Islam yang kedua setelah Al-Qur'an. Kaum muslimin mencapai kata sepakat tentang hal ini, kecuali sebagian  kecil para pengingkar al-sunnah, dengan beberapa argumen lemah mereka. Namun demikian, terdapat beberapa simpul perbedaan pandangan mengenai kadar penggunaan dan standar penerimaannya sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an, yang tidak jarang menimbulkan kontroversi hebat dengan lahirnya kesimpulan hukum yang berbeda-beda dari sudut pandangan fiqh.
Secara historis, barangkali perbedaan pandangan semacam ini dapat dimaklumi. Mengingat pada periode-periode awal, ada kecenderungkan minimalisasi periwayatan al-sunnah, khususnya sunnah qauliyyah. Selain memberikan penekanan pada eksistensi Al-Qur'an sebagai sumber pegangan utama, faktor lain yang mendasarinya adalah kekhawatiran tersebarnya pendustaan terhadap ucapan beliau, Rasulullah saw., hal mana juga menjadi perhatian tersendiri dari beliau, hingga terlontar peringatan keras dari para pembuat kedustaaan terhadap Rasul[1].
Faktor geografis juga ikut menentukan perkembangan al-sunnah sebagai salah satu otoritas dalil syari'at. Dapat dibuktikan, bahwa perkembangan al-sunnah di Madinah, memiliki fenomena tersendiri. Produk-produk al-sunnah yang lahir dari kota Nabi dan tempat mayoritas shahabat tinggal ini relatif aman dari  pemalsuan, karena umumnya telah diketahui mayoritas mereka, tidak sedikit yang mendengar atau menyaksikannya langsung dari Nabi. Fenomena yang berkembang di Madinah ini nampak berbeda dengan fenomena yang berkembang di kota-kota lain. Di Irak misalnya, pada periode-periode pasca kenabian, kota yang mulai ramai dihuni para shahabat ini marak dengan adanya pemalsuan al-sunnah. Hal ini karena jauhnya kawasan tersebut dari Madinah sebagai pusat pengembangan dan informasi keagamaan saat itu. Selain itu, juga karena pengaruh proses asimilasi kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang baru saja memeluk Islam dengan keterbatasan taraf keimanan di satu sisi, serta faktor disintegrasi umat secara politis di sisi lain[2]. Dari sini barangkali dapat ditarik benang merah, mengapa Imam Malik yang berdomisili di Madinah tidak seselektif Al-Syafi'i yang berdomisili di Irak dalam menetapkan standar-standar kesahihan hadits (baca: al-sunnah).
Fenomena historis lainnya yang mempengaruhi perkembangan al-sunnah adalah cara-cara penyebarannya. Sejarah mencatat bahwa saat Nabi Muhammad masih hidup, pemeliharaan terhadap al-sunnah tidak sebagaimana yang dilakukan terhadap Al-Qur'an. Dulu, terutama di masa-masa Rasul masih hidup, usaha kodifikasi (pembukuan) terhadap al-sunnah belum pernah dimunculkan, begitu pula pada masa-masa shahabat sepeninggal beliau. Alasan utama ketiadaan usaha pembukuan al-sunnah ini bertitik tolak dari larangan Rasulullah. Hal ini untuk mengantisipasi bercampurnya materi al-sunnah dengan Al-Qur'an yang telah dirintis usaha pembukuannya sejak Rasul masih hidup. Beberapa bukti yang menunjukkan larangan penulisan al-sunnah ini, di antaranya adalah sebuah hadits mutawâtir, Rasulullah bersabda[3]:
لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّيْ  وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيُمْحِهِ وَحَدِّثُوْا عَنِّيْ وَلاَ حَرَجَ (رواه مسلم)
Artinya: Janganlah kalian menulis sesuatu dariku. Barangsiapa yang telah menulisnya, maka hendaklah ia buang. Ceritakanlah saja apa-apa dariku, tidak ada dosa di dalamnya. (HR. Muslim)
Sikap serupa juga pernah ditampakkan oleh Umar bin al-Khaththab saat detik-detik terakhir menjelang Rasullah wafat. Dihikayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan yang lain, bahwa ketika sakit Rasulullah semakin parah, beliau pernah berkata: "Berikanlah aku sebuah lembaran, akan aku tuliskan untuk kalian pesan, supaya kalian tidak tersesat setelahnya." Umar berkata pada para shahabat, "Sesungguhnya Nabi saw. dilanda oleh sakitnya, sementara di sisi kita sudah ada Kitab Allah yang mencukupi kita”.[4]
Namun demikian, larangan tersebut tidak dapat dipahami secara mutlak, karena bisa jadi larangan ini hanya beliau tujukan pada para penulis wahyu. Karena bila mereka turut menulis ucapan-ucapan beliau, bisa jadi akan terjadi pencampuradukan antara wahyu berupa Al-Qur'an dan sunnah nabawiyyah.
Ada beberapa argumen pembenar atas asumsi di atas. Di antaranya adalah hadits yang teriwayatkan dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar. Diceritakan bahwa ia pernah menulis setiap yang  ia dengar dari Rasulullah untuk dihafalkan. Kemudian orang Quraisy mencegahnya. Tatkala hal ini ia adukan pada Rasulullah, beliau bersabda:
اكْتُبْ , فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّيْ إِلاَّ حَقٌّ .(رواه أحمد)
Artinya: Tulislah (apa yang engkau dengar dariku), demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran. (HR. Ahmad)
Dari hadits ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa membukukan al-sunnah tidak dilarang oleh Rasulullah[5].
Kemudian untuk masa-masa setelahnya yaitu, sekitar awal-awal tahun 200 H. usaha pembukuan al-sunnah mulai digalakkan dengan menyendirikan pembukuan hadits dari lainnya, dengan cara pembukuan hadits secara musnad (yakni dengan menyebutkan semua periwayat hadits dan mengklasifikasikan berdasarkan periwayatnya), yang diriwayatkan oleh setiap shahabat dalam sembarang bab pembahasan, belum teratur dalam sistematika pembahasan pada masing-masing bab. Kendati metode pembukuan hadits ini menunjukkan kemajuan dengan disendirikannya penulisan hadits dari selainnya, namun upaya pembukuan ini belum membedakan antara hadits shahih dan hadits dla’îf.
Baru pada sekitar abad ke 3 H. pembukuan al-sunnah mulai diatur secara sistematis, di mana hadits shahih dibedakan dengan hadits dla’îf. Begitu pula, mulai diadakan penelitian terhadap kepribadian para periwayat, mulai integritas moral ('adâlah) sampai kekuatan hafalan (dlabth)nya. Di antara mereka yang turut dalam mensukseskan usaha pengkodifikasian al-sunnah ini adalah Imam al-Bukhari (w. 256 H) dengan sebuah karyanya Al-Jâmi’ al-Shahîh. Imam Muslim (w. 261 H) dengan karyanya Shahîh Muslim. Ibnu Mâjah (w. 273 H) dengan karyanya Sunan Ibnu Mâjah. Abu Dawud (w. 175 H) dengan karyanya Sunan Abî Dawud. Al-Turmudzi (w. 279 H) dengan karyanya Jâmi’ al-Turmudzi. Al-Nasâ’i (w. 303 H) dengan karyanya Sunan al-Nasâ’i. Dari kalangan Syi’ah ada Muhammad bin Ya’qub al-Kailani (w. 328 H) dengan karya monumentalnya, Al-Kâfi, Al-Thûsy (w. 411 H) dengan dua karyanya, Al-Istibshâr dan Tahdzîb al-Ahkâm, serta Ibn Bâbawaih (w. 381 H.).[6]
Pengertian al-sunnah
Al-sunnah, secara harfiah merupakan kosa kata kuno yang telah dikenal dalam bahasa Arab, bermakna jalan yang menjadi kebiasaan, baik atau buruk. Pengertian semacam ini dapat dilihat dalam hadits Rasul berikut:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً  حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْر ِأَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه الدارمي)
Artinya: Barang siapa yang berbuat baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang melakukaan perbuatan buruk, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Al-Dârami)
Dalam terminologi syari'at, al-sunnah memiliki beberapa pengertian. Oleh ulama'-ulama' Islam, kosakata ini direduksi dari pengertiannya sebagaimana dalam Al-Qur'an dan bahasa Arab, dan dipergunakan dalam pengertian yang lebih khusus. Yakni jalan yang menjadi kebiasaan dalam melaksanakan ajaran agama, atau dengan kata lain suatu gambaran amal perbuatan yang sesuai dengan teladan Nabi dan para shahabatnya, atau dengan tuntunan Al-Qur'an, sebagaimana petunjuk dan maksud yang terkandung di dalamnya[7]. Dengan pengertian inilah, secara terminologis kosakata al-sunnah dipergunakan pada permulaan Islam, sebagaimana hadits Nabi :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ (رواه أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجه وابن حبان والحاكم)
Artinya: Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa’ al-Rasyidin (para pengganti Rasul yang mendapatkan petunjuk) sepeninggalku. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Ibn Hibbân dan Al-Hâkim)
Antonim (lawan kata) dari al-sunnah dalam pengertian di atas adalah bid’ah yang diartikan sebagai perilaku "baru" yang tidak sesuai perintah Nabi[8]. Dalam sebuah hadits disebutkan :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
Artinya: "Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kita, (yakni agama Islam), dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian darinya, maka ia tertolak". (HR. Muslim).
Kemudian setelah melewati kurun waktu pertama, al-sunnah mengalami perkembangan istilah yang bervariasi, sejalan dengan perkembangan disiplin ilmu keislaman. Ada beberapa pengertian al-sunnah dipandang dari berbagai sudut disiplin ilmu tersebut, di antaranya pengertian dari sudut pandang ilmu fiqh, hadits, dan ushul fiqh.
Menurut ulama' fiqh, sunnah berarti suatu perbuatan yang dianjurkan tanpa ada keharusan, dengan gambaran siapa yang mengerjakan maka akan mendapatkan pahala dan bila tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa. Dengan kata lain, sunnah adalah antonim dari wajib.[9] Sedangkan menurut ahli hadits, sunnah adalah segala sesuatu yang tercermin dari diri Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan (taqrir), sifat-sifat lahir maupun batin dan universalitasnya, serta setiap hal yang dinisbatkan pada Rasul, baik sebelum atau sesudah diutus, baik yang telah ditetapkan dalam hukum syara’ maupun belum. Adapun al-sunnah menurut ulama’ ushul fiqh adalah segala sesuatu yang timbul dari Nabi saw. selain Al-Qur'an yang mencakup perkataan, perbuatan dan ketetapan atau persetujuan (taqrir) yang dapat digunakan sebagai landasan hukum syari’at[10]
Letak perbedaan pengertian sunnah secara terminologi antara ahli ushul dan ahli fiqh adalah bahwa sunnah menurut ahli ushul merupakan nama dari salah satu dalil atau sumber hukum, sedangkan sunnah menurut ahli fiqh merupakan salah satu hukum syara' untuk menunjukkan status hukum suatu perbuatan dengan dalil tersebut. Dari pengertian sunnah yang bervariasi ini, sunnah menurut ulama ushul fiqh-lah yang menjadi fokus pembahasan kali ini.
Dari definisi al-sunnah menurut ulama’ ushul terdapat tiga fokus pembahasan yang penting untuk diuraikan secara transparan, yaitu sunnah qauliyyah, sunnah fi’liyyah dan sunnah taqrîriyyah.
-           Sunnah qauliyyah berarti perkataan-perkataan Rasul, seperti perkatan beliau: "Tidak ada hak wasiat bagi ahli waris" (HR. Dâruquthnî). "Segala amal perbuatan harus disertai dengan niat" (HR. Bukhari) dan lain sebagainya.
-           Sunnah fi’liyyah berarti perbuatan-perbuatan Rasul dalam kesehariannya. Seperti halnya pelaksanaan shalat lima waktu, pelaksanaan ibadah haji, putusan hukum dengan disertai saksi dari pendakwa dan sumpah dari pihak terdakwa. Karena sangat luasnya pembahasan tentang sunnah fi’liyyah, pembahasan tentang hal ini akan disajikan dalam sub pembahasan tersendiri.
-           Sunnah taqrîriyah, berarti sikap diam Nabi Muhammad terhadap sesuatu yang dilakukan oleh para shahabat – berupa perbuatan maupun perkataan – di hadapan beliau, atau dilakukan tidak di hadapan beliau, akan tetapi beliau mengetahuinya. Dengan sikap diam Nabi terhadap apa-apa yang dilakukan oleh shahabat, membuktikan perbuatan tersebut tidak beliau ingkari, atau membuktikan perbuatan shahabat tersebut dianggap tidak bertentangan dengan syari’at. Karena sangat tidak mungkin beliau diam terhadap perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum syari’at Islam.[11]
Kemudian dalam kaitannya dengan beberapa pengertian al-sunnah di atas, secara etimologis maupun terminologis, tersisa sebuah pendapat kontroversial yang diajukan oleh sebagian peneliti. Mereka beranggapan bahwa kosakata sunnah berasal dari bahasa Ibrani, yaitu musyannah yang digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk menunjukkan arti kumpulan riwayat-riwayat Isra'iliyat sebagai penjelas kitab Taurat dan sekaligus sebagai referensi mereka untuk mengetahui hukum-hukumnya. Mereka beranggapan, kaum muslimin menyerap kata musyannah ke dalam bahasa Arab dan ditransliterasikan sebagai kata "sunnah" untuk menunjukkan kumpulan riwayat-riwayat Nabi Muhammad sebagai salah satu sumber hukum, seperti halnya dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Anggapan ini keliru, karena pada awalnya kaum muslimin tidak menggunakan istilah apapun untuk menunjukkan nama dari kumpulan-kumpulan riwayat Nabi Muhammad. Sunnah pada masa-masa permulaan Islam dipergunakan sebagai istilah untuk menunjukkan jalan atau perilaku Nabi Muhammad dan para shahabatnya sesuai dengan apa yang mereka pahami dari tuntunan Al-Qur'an dengan berbagai sisinya.
Adapun pengistilahan sunnah sebagai kumpulan perkataan-perkatan Nabi Muhammad hanyalah dikenal setelah genap seratus tahun pertama dari sejarah Islam ketika mulai digalakkan usaha pengumpulan dan kodifikasi hadits[12].

Antara al-sunnah, hadits dan khabar.
Ada dua term yang sering dikaitkan dengan al-sunnah, yakni hadits dan khabar. Adakah perbedaan di antara ketiganya? Para ulama’ berselisih pendapat dalam membedakan antara al-sunnah, hadîts dan khabar, sesuai dengan perspektif mereka masing-masing.
Al-hadîts (ucapan), dalam kaitan pembahasan ini, secara literal berarti sesuatu yang diperbincangkan dan diriwayatkan, termasuk di dalamnya adalah hadits Rasulullah saw[13]. Sedangkan al-khabar (berita), memiliki makna literal nama untuk sesuatu yang dijadikan bahan perbincangan[14]. Dalam terminologi ilmu hadits, Dua term ini, menurut Ibn Hajar al-'Asqalânî, adalah dua kata dengan makna sama. Keduanya diungkapkan untuk al-marfû', al-mauqûf dan al-maqthû'[15] dari jenis-jenis hadits. Ada yang berpendapat, bahwa hadits adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw., sedangkan khabar adalah yang datang dari selain beliau. Pendapat lain menyatakan bahwa khabar memiliki cakupan lebih luas dari hadits, sehingga setiap hadits adalah khabar, bukan sebaliknya. Ada lagi yang mengungkapkan bahwa hadits tidak digunakan pada selain marfû' kecuali dengan penyandaran[16].
Namun, dalam keterkaitannya dengan al-sunnah, hadits dan khabar ada sisi-sisi kesamaan dan perbedaan, namun secara definitif, hadits dan khabar berbeda dengan al-sunnah. Al-Taftazânî menyatakan bahwa al-sunnah adalah sesuatu yang bersumber dari Rasul selain Al-Qur'an, berupa perkataan (dan inilah yang disebut hadits), tindakan dan persetujuan[17]. Wahbah al-Zuhailî, dalam kaitannya dengan pembahsan ushul fiqh, lebih memilih pengistilahan al-sunnah daripada khabar dan hadits. Karena menurutnya, khabar, sebagaimana pula hadits, adalah sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw., pada shahabat atau yang lain, berupa perkataan, tindakan, persetujuan atau sifat-sifat. Sedangkan al-sunnah hanyalah mencakup sesuatu yang tersandarkan pada Nabi saw., berupa perkataan, tindakan, persetujuan atau sifat-sifat beliau[18].
Dari pengertian-pengertian di atas dengan beragam pendapat yang mengemuka, secara umum dapat disimpulkan, bahwa tidak setiap khabar atau hadits adalah al-sunnah. Kesimpulan ini selaras dengan lontaran pernyataan Imam Ahmad, "Dalam hadits ini terdapat lima sunnah", atau sinyalemen dari Al-Qâdli 'Iyâdl, bahwa Al-Tsaurî adalah seorang imam dalam bidang hadits, bukan imam dalam bidang sunnah, sedang Al-Auza'î adalah imam dalam bidang sunnah, bukan imam dalam bidang hadits, sementara Imam Malik adalah imam dalam bidang hadits sekaligus sunnah[19].
Walhasil, usaha-usaha periwayatan yang berhasil mendokumentasikan hadits atau khabar, merupakan langkah awal untuk selanjutnya digali kandungan al-sunnah di dalamnya. Hadits dan khabar berfokus pada periwayatan, sedangkan al-sunnah berkaitan dengan pensyari'atan dari apa yang teriwayatkan.

Perbedaan Al-Qur'an dan al-sunnah
Al-sunnah memiliki keterkaitan erat dengan Al-Qur'an. Karena, selain keduanya muncul melalui Rasulullah, al-sunnah juga merupakan pengejawantahan dari ajaran Al-Qur'an, sebagaimana dipaparkan kemudian. Ada beberapa poin perbedaan antara Al-Qur'an dan al-sunnah, di antaranya adalah[20]:
-           Al-Qur'an terbukukan secara baku sesuai dengan urutan surat dan ayat dengan petunjuk wahyu. Berbeda dengan al-sunnah, yang tidak ditemukan orang yang membukukannya pada masa Nabi, kecuali sedikit dari para shahabat, bahkan pada masa-masa awal, Rasul melarang penulisan al-sunnah dan mencukupkannya pada hafalan, karena kekhawatiran tercampur dengan wahyu yang ditulis pada saat itu.
-           Al-Qur'an sampai kepada kita dengan periwayatan secara massal (mutawâtir), dari sisi hafalan maupun tulisan. Berbeda dengan periwayatan al-sunnah yang mayoritas periwayatannya dengan jalan âhâd (orang per orang).
-           Al-Qur'an tidak boleh diriwayatkan secara makna (yakni dengan menggunakan redaksi yang berbeda, namun dalam lingkup satu makna). Berbeda dengan al-sunnah yang bisa diriwayatkan secara  makna dengan redaksi yang berbeda-beda. Dan, hal ini banyak terjadi, sehingga perbedaan dalam  redaksi, bahasa dan periwayatan lazim terjadi.
-           Para sahabat pada era-era awal mengembalikan perbedaan di antara mereka dalam masalah huruf Al-Qur'an kepada Rasulullah dan memutuskan permasalahan tersebut dengan menentukan salah satu dari beberapa ragam bacaan, atau memperkenankan beberapa model bacaan sekaligus. Hal ini tentu berbeda dengan al-sunnah yang dalam sejarah tidak pernah ditemukan proses semacam ini.
Ishmah para Nabi
Berbicara tentang al-sunnah sebagai sumber hukum syari'at, tidak lepas dari pembicaraan tentang sifat ‘ishmah (keterpeliharaan) para nabi dari perbuatan yang bertentangan dengan syari'at Islam. Karena jika seorang utusan Tuhan yang harus menjadi panutan ternyata perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, maka fungsi kenabian, yakni seruan atas ketaatan terhadap Allah, tidak akan efektif, bahkan bertentangan dengan tugas utamanya.
Al-Qâdli Abû Bakar dan Ibn al-Hâjib meriwayatkan adanya ijma' kaum muslimin tentang sifat ishmah para Nabi dalam hal-hal yang merupakan dosa besar, serta dosa-dosa kecil yang dapat menurunkan martabat kenabian mereka. Meski demikian, mereka masih memperselisihkan argumentasi yang melandasi pemikiran ini, dalil syara'-kah, atau dalil rasio. Kalangan Mu’tazilah dan sebagian Asy’ariyyah beranggapan bahwa sifat ishmah para nabi dicetuskan secara rasio sekaligus dengan dukungan dalil syara’. Sementara menurut Al-Qâdli Abu Bakar, para ulama' Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, bahwa sifat ishmah para nabi didasarkan pada dalil syara’ semata, karena secara rasio, tidak satupun alasan logis yang menunjukkan bahwa para nabi terjaga dari perbuatan dosa. Sedangkan mengenai dosa-dosa kecil tanpa potensi penurunan derajat kenabian, mungkinkah para nabi melakukannya? Secara rasio, hal ini sah-sah saja, namun secara faktual tidak pernah terjadi, demikian pendapat mayoritas ulama'. Karenanya, bila secara zhâhir terdapat nash yang menunjukkan perbuatan dosa oleh seorang nabi, maka harus diarahkan pada pemahaman terjadinya hal tersebut saat sebelum kenabian, atau ada motif pembenar.
Hal lain yang terkait dengan sifat ishmah para nabi adalah, mungkinkah mereka berkata dusta ? Para ulama’ menyepakati atas  keterpeliharaan para nabi dari kesengajaan berkata dusta dalam hukum-hukum syara’, karena mu’jizat yang diberikan kepada mereka justru untuk membuktikan kejujuran perkataan para utusan Tuhan itu. Sedangkan dalam hal ketidaksengajaan berkata dusta yang muncul dari diri para nabi, mayoritas ulama' tidak membenarkannya.
Sifat ishmah para nabi sebagaimana dipaparkan di atas adalah berkaitan dengan masa kenabian, yakni tatkala mereka telah diangkat sebagai utusan Tuhan.  Adapun sebelum mereka mendapatkan mandat kenabian tersebut, terpeliharakah mereka dari perbuatan dosa ? Kontroversi pendapat masih saja terjadi. Mayoritas ulama’ beranggapan bahwa sifat ishmah hanya memiliki kaitan dengan derajat kenabian, sehingga sebelum diangkat sebagai utusan Tuhan, seorang nabi (baca: calon nabi) tidak diberikan sifat tersebut. Golongan Rawâfidl[21] beranggapan sebaliknya, bahwa sebelum atau sesudah pengangkatan sebagai nabi, seorang utusan Tuhan juga harus terpelihara dari dosa kecil dan dosa besar. Sedangkan menurut kalangan Mu’tazilah, sebelum diangkat sebagai nabi, mereka terpelihara dari perbuatan dosa besar saja[22].
Al-sunnah sebagai sumber syari’at Islam
Menurut Ibn al-Qayyim, sunnah Rasulullah yang berkaitan dengan pokok-pokok hukum syari'at berkisar kurang lebih 500 buah hadits, sedangkan yang berkaitan dengan detil-detil hukum syari'at ada sekitar 4000 buah hadits[23]. Meski demikian, terdapat jauh lebih banyak hadits yang berpotensi sebagai acuan dasar penetapan hukum, kendati di antara hadits tersebut keberadaannya masih memunculkan kontroversi, sebagaimana kontrovesi ulama' dalam pemakaian hadits âhâd.
Hal ini berbeda dengan Al-Qur'an, yang relatif 'aman' dari kontroversi keberadaan ayat per ayatnya misalkan. Ayat-ayat Al-Qur'an, status keberadaannya haruslah mutawâtir, dalam arti statusnya sebagai Al-Qur'an tidak terbantahkan lagi, karenanya perbedaan pendapat hukum di antara mujtahid hanya berkisar dari pemahaman dan interpretasi ayat-ayatnya. Sehingga ruang ijtihad pada ayat-ayat Al-Qur'an hanyalah diarahkan pada ayat-ayat yang zhanniyy al-dilâlah[24] saja.
Karena mayoritas al-sunnah yang status keberadaannya tidak lebih dari sekedar zhanni inilah, maka sisi argumentatif al-sunnah dalam ranah hukum syari'at berada pada prioritas kedua setelah Al-Qur'an. Pandangan semacam ini telah menjadi kesepakatan para ulama' Islam, kecuali beberapa golongan saja yang mengingkari al-sunnah sebagai sumber hukum mandiri.
Ada beberapa argumentasi yang melandasi pemikiran para ulama' dalam menjadikan al-sunnah sebagai sumber hukum syari'at, di antaranya dari berbagai ayat Al-Qur'an, ijma' dan argumentasi rasio. Selain konsensus umat, argumen-argumen ini pertama kali dicetuskan oleh seorang ulama' besar pembela al-sunnah, Imam al-Syafi'i ra. yang tertuang dalam dua karya agungnya Al-Umm dan Al-Risâlah. Secara terperinci argumen-argumen tersebut adalah sebagai berikut[25]:
Pertama, dalam nash-nash Al-Qur'an Allah memerintahkan kita untuk mematuhi Rasul dan mengikuti jejak beliau, serta menjadikan ketaatan kepada Rasul sebagai suatu bentuk ketaatan kepada-Nya. Allah juga memerintahkan agar mengembalikan penyelesaian semua persoalan kepada Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan. Kita tidak diberikan-Nya pilihan selain apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula, Al-Qur'an menggariskan keharusan beriman pada Rasulullah. Karenanya, orang yang wajib untuk dipatuhi, maka ucapan, perbuatan dan persetujuannya menjadi pegangan dan tuntunan dalam menjalani kehidupan keberagamaan. Dalam berbagai ayat Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء 59)
Artinya: Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (al-hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. (QS: An-Nisa' 59)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ الله َ(النساء 79)
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah. (QS : An-Nisa' 79).
مَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ هُمُ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا (النساء 69)
Artinya: Dan barang siapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dan para shadiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.(QS: An-Nisa' 69).
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ (الأحزاب 36)
Artinya: Dan tidak patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS: Al-Ahzab 36)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا (النساء 64)
Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikinya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam suatu perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya (QS An-Nisa' 64)
وَمَا آتاَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا (الحشر 7)
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. (QS: Al-Hasyr 7)
قُلْ إنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ (آل عمران 31)
Artinya: Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu (QS Ali 'Imran 31)
فَلْيَحْذَرْ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور 63)
Artinya: maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS: An-Nur 63)
إنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاَللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ (النور 62)
Artinya: Sesungguhnya yang sebenar-benarnya orang mu’min adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasul dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka agar tidak meninggalkan (Rasul) sebelum meminta izin kepadanya. (QS: An-Nur 62)
فَآمِنُوا بِاَللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ (الأعراف 158)
Artinya: Maka berimanlah kepada Allah dan rasulNya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimatnya (Al-Qur'an), dan ikutilah dia supaya kamu semua mendapatkan petunjuk. (QS: Al-A’raf 158)
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ (آل عمران 163)
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dapi golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan(jiwa)mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab (Al-Qur'an) dan al-hikmah (sunah nabi)dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang yata. (QS: Ali ‘Imran 163)
Keharusan ketaatan pada Rasul dan kaitan eratnya dengan keimanan ini dikuatkan pula dengan wasiat beliau sendiri, sebagaimana terlontar dalam beberapa kesempatan. Saat hajjat al-wadâ' (haji perpisahan) misalnya, Rasulullah bersabda:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( رواه مالك)
Artinya: Aku meninggalkan dua perkara, apabila kamu pegangi dua perkara tersebut maka kamu tidak akan sesat selamanya yaitu kitab Allah dan sunnah nabinya. (HR. Malik)
Kedua, ijma' shahabat semasa hidup Rasulullah dan sepeninggal beliau atas kewajiban mengikuti sunnah nabi. Mereka terbiasa mengikuti apa-apa yang diperintahkan Nabi dan menjahui segala yang beliau larang. Mereka tidak membedakan antara hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hukum yang muncul dari Nabi (al-sunnah). Keduanya wajib untuk diikuti.
Jawaban Mu’adz bin Jabal dapat menjadi gambaran dari kenyataan di atas. Saat ditanya Rasul tentang apa yang dijadikannya pegangan dalam memutuskan hukum tatkala dalam Al-Qur'an tidak ditemukan penjelasannya, Mu'adz menjawabnya, "Dengan sunnah Rasulullah". Atau sikap Abu Bakar dan ‘Umar ketika menghadapi kasus-kasus baru yang tidak ditemukan penjelasannya dalam Al-Qur'an. Demikian pula para shahabat lainnya, serta generasi-generasi setelahnya. Semua ini merupakan alasan pembenar sisi argumentatif al-sunnah dalam ranah hukum syari'at.
Ketiga, secara rasio dapat dipahami bahwa tatkala Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah dan mengikuti wahyu, sedangkan penyampaian risalah adalah dengan membacakan Al-Qur'an dan menjelaskan kandungan maknanya, sementara berbagai argumentasi telah membuktikan adanya sifat keterpeliharaan (ishmah) Rasul, maka dengan demikian, kongkretasi dari syari'at adalah Al-Qur'an dan ucapan Rasul. Muhammad Taqiyy al-Hâkim, sebagaimana dikutip Wahbah al-Zuhaili, menandaskan bahwa argumentasi ini adalah inti dari dalil pembenar sisi argumentatif al-sunnah. Pengingkaran terhadap hal ini akan berimbas pada pengingkaran secara rasional terhadap eksistensi kenabian[26].
Dari argumen-argumen di atas, dapat ditarik kepahaman, tatkala dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat yang secara literal bermakna mujmal (general) atau muthlaq (inlimit), yang tidak akan dapat dipahami tanpa adanya penjelasan dari Rasul penyampai wahyu, baik dari segi perbuatan atau perkataan, maka dengan demikian, segala sesuatu yang keluar dari Rasul (baca: al-sunnah) juga menjadi sumber legislasi hukum Islam. Beberapa ayat Al-Qur'an yang bermakna mujmal atau muthlaq dan tidak akan bisa diimplementasikan tanpa penjelasan dari Rasulullah adalah seperti ayat-ayat berikut:
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ (النساء 77)
Artinya: Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS: An-Nisa’ 77)
كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة 183)
Artinya: Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaiman di wajibkannya puasa pada orang-orang sebelum kamu. (QS: Al-Baqarah 183)
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إلَيْهِ سَبِيلاً (آل عمران 97)
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalan ke baitullah. (QS. Ali ‘Imran 97)
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة 275)
Artinya: Allah telah menghalakan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah  275)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا (المائدة 38)
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya. (QS: Al-Maidah 38)
Ayat-ayat di atas hanya menjelaskan secara global kewajiban shalat dan zakat, pensyari'atan puasa, larangan riba, serta ketentuan sanksi hukuman pencurian, tanpa menjelaskan secara detail tata cara pelaksanaannya. Dari penjelasan Nabi, berupa perkataan ataupun perbuatan, dapat diketahui detail-detail tata cara berbagai aturan syari'at tersebut.
* Argumentasi pengingkar al-sunnah
Ada beberapa alasan para pengingkar al-sunnah bersiteguh dengan pendapatnya, di antaranya adalah[27]:
Pertama, bahwa dalam Al-Qur'an telah terdapat penjelasan mengenai segala hal. Dan karena Al-Qur'an berbahasa Arab, maka dalam memahaminya, tidak dibutuhkan penjelas selain pengetahuan bahasa Arab. Sementara dalam periwayatan al-sunnah, ada keterlibatan periwayatnya yang tidak ada keterjaminan dari kebohongan, kekeliruan atau kealpaan. Karenanya, kedudukan al-sunnah tidak bisa setara dengan Al-Qur'an dalam fungsinya sebagai sumber hukum syari'at, sebab status keberadaan Al-Qur'an adalah qath'iyy al-tsubût[28]. Allah berfirman:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (الأنعام 38)
Artinya: Tidaklah kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab[29] (Al-Qur'an) (QS: Al-An’am 38).
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ (النحل 89)
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu. (QS: An-Nahl 89).
Dua ayat di atas menyatakan, tidak ada satupun persoalan yang terlewatkan oleh Al-Qur'an, sehingga tidak diperlukan dalil-dalil lain. Al-Qur'an juga telah memberikan penjelasan bagi semua hal. Karenanya, cukuplah bagi setiap muslim untuk berpegang dengan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sandaran. Andai saja Al-Qur'an membutuhkan al-sunnah, pastilah ada sesuatu yang tertinggal atau tidak dijelaskan dalam Al-Kitab, sehingga ini akan menyalahi pemberitaan Allah dalam ayat di atas, dan hal ini adalah irrasional (mustahil).
Namun, argumentasi di atas terbantahkan. Karena interpretasi para pengingkar al-sunnah tersebut keliru, sebab yang dimaksud dari Al-Kitab dalam dua ayat di atas bukanlah Al-Qur'an, tetapi al-lauh al-mahfûzh. Ini dibuktikan dari konteks kalimat pada ayat pertama, dengan runtutan selengkapnya sebagai berikut:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلاَ طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (الأنعام 38)
Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu, tiada sesuatupun Kami alpakan di dalam Al-Kitab (QS: Al-An'am 38)
Dan, dengan pengandaian bahwa maksud dari Al-Kitab adalah Al-Qur'an, maka pemaknaan ayat dengan zhâhir keumuman cakupannya adalah juga suatu kekeliruan, karena berapa banyak permasalahan-permasalahan duniawi tidak tercantum penjelasannya dalam Al-Qur'an, berapa banyak tata cara tuntunan-tuntunan syari'at cabangan tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an, seperti tata cara shalat, haji, zakat dan lain-lain. Karenanya, 'sesuatu' yang tidak ditinggalkan penjelasannya dalam Al-Qur'an hanyalah pokok-pokok akidah, seperti kewajiban shalat dan zakat, kehalalan makanan-makanan yang baik, keharaman zina, dan termasuk pula di dalamnya hal-hal yang penjelasannya dilimpahkan pada dalil lain, seperti firman Allah:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ (النساء 58)
Artinya: Taatilah Allah, dan taatilah rasulNya (QS: An-Nisa' 58)
Sanggahan semacam ini juga diberlakukan pada kesimpulan mereka dengan argumen ayat kedua. Bahwa keumuman cakupan 'sesuatu', bukanlah yang dikehendaki dari ayat ini. karena ayat ini pun juga harus dikompromikan dengan interpretasi sebagaimana pada ayat pertama.
Arahan makna dua ayat di atas dengan interpretasi sebagai dikemukakan di atas dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Ibn Mas'ud. Dalam suatu kesempatan, ia berfatwa di depan publik: "Allah melaknati para perempuan pembuat tato, pemesan tato, penyambung rambut, perenggang gigi, dan perubah ciptaan Allah". Seorang perempuan Bani Asad seketika memprotesnya. Ibn Mas’ud menukas, “Bagaimana aku tidak melaknati seseorang yang telah dilaknati oleh Rasullulah, di mana hal itu telah dijelaskan dalam Kitab Allah”. Perempuan itu berkata: “Aku telah membaca Al-Qur'an dari awal lembaran mushaf  sampai akhir, tidak pernah aku temukan penjelasan tentang hal itu”. Ibnu Mas’ud menjawab, “Seandainya engkau membacanya dari mulai lembaran pertama sampai lembaran akhir tentu akan kau temukan ayat yang menjelaskan kewajiban untuk mengikuti nabi Muhammad yaitu:
وَمَا آتاَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا (الحشر 7)
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah (QS: Al-Hasyr 7).
Kedua, ketiadaan nilai argumentatif al-sunnah dalam syari'ai Islam, menurut para pengingkarnya, disebabkan faktor ketiadaan garansi pemeliharaan dari Allah, sebagaimana pada Al-Qur'an. Allah berfirman:
إنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر 9)
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dzikr (Al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami yang benar-benar memelihara (QS: Al-Hijr 9)

Al-Dzikr dalam ayat di atas tidak lain adalah Al-Qur'an, dengan bukti adanya hashr (ketertentuan pada suatu hal semata) dengan mendahulukan jâr dan majrûr.
Dalih semacam ini disanggah, bahwa al-dzikr tidak secara khusus diarahkan pada Al-Qur'an semata. Namun juga mencakup syari'at secara kesuluruhan, termasuk terpeliharanya Al-Qur'an dan al-sunnah. Hal ini selaras dengan firman Allah:
وَيَأْبَى اللَّهُ إلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (التوبة 32)
Artinya: Dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya. (QS: At-Taubah 32)
Dan andaikata Al-Dzikr diarahkan secara khusus pada Al-Qur'an, maka nilai argumentatif dari pengajuan ayat di atas sebagai dalih dari anggapan mereka, yakni ketiadaan hujjah pada al-sunnah, tidak dapat dibenarkan. Karena bentuk hashr pada ayat di atas bukanlah hashr secara hakiki. Karena ada hal lain yang juga 'dipelihara' oleh Allah selain Al-Qur'an, seperti pada firman Allah:
إِنَّ اللهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ أَنْ تَزُوْلاَ (الفاطر 41)
Artinya: Sesungguhnya Allah telah menahan (menjaga) langit dan bumi supaya tidak lenyap .(QS: Al-Fathir 41)
وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ (المائدة 67)
Artinya: Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia (QS: Al-Maidah 67)
Demikianlah, tidak terbantahkan lagi, bahwa al-sunnah menduduki posisi penting dalam legislasi hukum Islam. Semua ulama' sepakat mengenai hal ini, kecuali sebagian kecil saja. Mereka berpegangan pada sebuah hadits palsu:
مَا آتاَكُمْ عَنِّيْ فَأَعْرِضُوْهُ عَلَى كِتَابِ اللهِ فَإِنْ وَافَقَ كِتَابَ اللهِ فَأَناَ قُلْتُهُ وَإِنْ خَالَفَ فَلَمْ أَقُلْهُ وَكَيْفَ أُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ وَبِهِ هَدَانِيْ
Artinya: Apa-apa yang datang kepadamu sekalian dariku, maka bandingkanlah dengan kitab Allah (Al-Qur'an) apabila terjadi persamaan maka saya mengatakannya dan apabila bertentangan dengan kitab Allah maka saya tidak mengatakannya. bagaimana mungkin saya berlainan dengan kitab Allah, padahal dengan kitab tersebut, Allah menunjukkan kepadaku".
Yahya bin Mu’in dan 'Abdurrahman bin Mahdi menyatakan bahwa hadits ini telah dipalsukan oleh orang-orang zindîq[30] dan Khawarij. Demikian pula diungkapkan oleh Al-Syafi'i, bahwa hadits ini tidak pernah diriwayatkan oleh siapapun.
Dan, dari argumen-argumen yang secara panjang lebar dipaparkan di muka, dalih hadits palsu ini dapat dicounter. Karenanya, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menolak sisi argumentatif al-sunnah dalam ranah hukum syari'at. Bahkan penolakan ini dapat berbuntut fatal, dengan cap kekufuran. Al-Syaukani menegaskan bahwa sisi argumentatif al-sunnah dan independensinya dalam legislasi hukum adalah fakta tak terbantahkan. Tidak akan menyalahinya kecuali orang-orang yang tidak mendapatkan bagian dari Islam[31].
Posisi al-sunnah terhadap Al-Qur'an
Dari paparan-paparan di muka, telah jelas dan nyata bahwa al-sunnah memiliki fungsi strategis dalam proses legislasi syari'at. Namun, seberapa jauh fungsi tersebut diperankan al-sunnah, serta bagaimana keterkaitannya dengan Al-Qur'an sebagai sumber hukum primer syari'at Islam ?
Secara umum dapat dinyatakan, bahwa sebenarnya posisi al-sunnah tidak ada bedanya dengan Al-Qur'an, dalam arti keduanya adalah dari Allah, pemegang otoritas syari'at secara hakiki. Karena, tidak ada hukum kecuali apa yang telah ditetapkan-Nya. Dan, Muhammad saw. sebagai utusan-Nya hanyalah penyampai wahyu dan penjelas kandungan maknanya. Karenanya, Imam agung Al-Syafi'i menyatakan bahwa tidak ada pertentangan sedikitpun antara Al-Qur'an dan al-sunnah, keduanya bersumber dari wahyu[32].
Namun, mengingat bahwa secara empiris, kebanyakan dokumentasi al-sunnah (baca: hadits) teriwayatkan secara âhâd, yang secara rasio hanya bertaraf zhanniyy al-tsubût, sementara Al-Qur'an teriwayatkan secara mutawâtir sehingga bertaraf qath'iyy al-tsubût, maka dalam konteks argumentatif, al-sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur'an. Kenyataan lain yang mendukung asumsi ini adalah bahwa al-sunnah berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an. Dan, dalam perunutan logika, suatu penjelas haruslah mengikuti apa yang dijelaskannya. Walhasil, secara umum dalam konteks argumentatif, al-sunnah menempati posisi kedua setelah Al-Qur'an.
Kesimpulan semacam ini telah diisyaratkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Turmudzi yang mengisahkan tentang dialog antara Rasulullah dan Mu'adz bin Jabal tatkala beliau memberikan pembekalan kepadanya sebagai utusan ke Yaman. Rasulullah bertanya: "Apabila suatu permasalahan dihadapkan kepadamu, dengan apa engkau menghukuminya? ".
"Saya akan menghukuminya dengan kitab Allah (Al-Qur'an)", jawab Mu'adz dengan tegas.
"Apabila engkau tidak menemukannya dalam kitab Allah?" tanya Rasul kembali.
"Aku akan menggunakan apa-apa yang pernah engkau katakan", tukas Mu'adz.
"Apabila dalam sunnahku juga tidak engkau temukan, maka dengan apa engkau menghukuminya?" Nabi melanjutkan pertanyaannya
"Aku akan menggunakan akal pikiranku untuk mendapatkan hukum yang sebenarnya", jawab shahabat Rasul ini.
Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu‘adz dan berkata: “Segala puji bagi Allah xang memberikan petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yang diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya."
Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah berpesan melalui sepucuk surat pada Syuraih, salah seorang qâdlinya, untuk mengikuti al-sunnah jika dalam pemutusan hukum tidak ditemuinya sebuah landasan dari Al-Qur'an. Dalam suratnya ‘Umar berpesan: “Lihatlah apa yang jelas bagimu dalam Al-Qur'an dan jadikan ia sebagai rujukan dalam menjawab sebuah pertayaanan, dan apa bila tidak jelas dalam Al-Qur'an, maka ikutilah sunnah Rasulullah.”
Begitu pula petuah Ibn Mas’ud, ia berkata: “Barangsiapa di antara kamu sekalian dihadapkan pada suatu kejadian, maka hukumilah dengan kitab Allah (Al-Qur'an). Bila dalam Al-Qur'an tidak kamu temukan, maka hukumilah dengan sunnah Rasul.”
Beberapa hadits dan riwayat di atas menunjukkan bahwa acuan pokok dalam upaya pencetusan hukum mengenai suatu kasus adalah Al-Qur'an sebagai referensi pertama dan utama. Jika tidak didapati putusan hukumnya, maka al-sunnah yang menjadi pijakan selanjutnya. Dan bila keduanya tidak memberikan solusi secara praktis, maka ijtihadlah yang menjadi tumpuan.

*****
Kemudian dari sisi muatan-muatan hukumnya, keterkaitan al-sunnah dengan Al-Qur'an dapat dijelaskan dalam beberapa model hubungan. Ada empat bentuk hubungan sebagaimana dijelaskan Al-Syafi'i dalam karya monumentalnya, Al-Risâlah. Pertama, al-sunnah sebagai pengukuh dan penguat hukum dalam Al-Qur'an. Kedua, al-sunnah sebagai interpretasi (tafsiran, penjelas) bagi Al-Qur'an. Ketiga, al-sunnah sebagai dalil ter-naskh-nya hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an. Keempat, al-sunnah menyatakan hukum baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.
1. Al-sunnah sebagai pengukuh dan penguat hukum dalam Al-Qur'an.
Dalam permasalahan ini, hukum-hukum yang dibawa al-sunnah bersesuaian dengan hukum-hukum yang dijelaskan Al-Qur'an. Karenanya, dalam posisi ini, hukum tersebut memiliki dua dalil landasan, Al-Qur'an menetapkannya, dan al-sunnah mengukuhkannya. Sebagaimana perintah shalat, zakat, puasa, dan haji, atau larangan berbuat syirik (menyekutukan Allah), membunuh, persaksian palsu, dan lain-lain yang oleh Al-Qur'an digariskan hukumnya, dan al-sunnah juga mengukuhkan dan menguatkannya.
2. Al-sunnah sebagai interpretasi (mubayyin) Al-Qur'an.
Yang dimaksud pada poin ini adalah bahwa al-sunnah berfungsi sebagai interpretasi (penjelas) dari hukum dalam Al-Qur'an yang dijelaskan secara global. Terdapat tiga bentuk interpretasi yang termasuk dalam kategori kedua ini. Yaitu al-sunnah sebagai taqyîd al-muthlaq, takhshîsh al-‘âm dan tabyîn al-mujmal.
a)     Al-sunnah sebagai tabyîn al-mujmal, maksudnya yaitu bahwa al-sunnah berfungsi sebagai penjelas hukum-hukum dalam Al-Qur'an yang masih mujmal (general). Seperti ayat-ayat tentang kewajiban shalat dan zakat (QS: An-Nisa’ 77), puasa (QS: Baqarah 183) dan haji (QS: Ali Imran 97). Ayat-ayat tersebut belum secara eksplisit menjelaskan bagaimana cara melakukan shalat, zakat, puasa maupun haji. Kemudian Rasulullah menjelaskan tata cara dari masing-masing tuntunan syari'at tersebut. Seperti sabda beliau: “Shalatlah kamu semua sebagaimana kalian melihatku melakukan shalat” (HR. Bukhari dari Malik bin Huwairits).
b)     Al-sunnah sebagai takhshish al-‘âm, maksudnya yaitu bahwa al-sunnah mengecualikan hukum dalam Al-Qur'an yang memiliki cakupan umum. Sebagaimana ayat tentang adanya hak waris bagi beberapa kerabat (QS: An-Nisa’ 11), yang kemudian terdapat takhsîsh (pengecualian, eksepsi) dari al-sunnah bahwa keluarga Rasul tidak berhak mendapatkan warisan beliau berdasar hadits: "Kami golongan para nabi, tidak dapat diwarisi, apa-apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah" (HR. Bukhari dan Muslim dari 'Urwah dari 'Aisyah ra.). Demikian pula, ayat tentang waris di atas juga di-takhshîsh oleh al-sunnah, bahwa seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan orang yang dibunuhnya (HR. Turmudzi dan Ibn Majah dari Abu Hurairah).
c)     Al-sunnah sebagai taqyîd al-muthlaq atau pembatasan (qayyid) terhadap suatu hukum dalam Al-Qur'an yang masih bersifat muthlaq. Sebagaimana Al-Qur'an menjelaskan bahwa sanksi pidana bagi seorang pencuri adalah potong tangan (QS: Al-Maidah 38), namun belum ada batasan, tangan sebelah mana yang harus dipotong, keseluruhan atau sebagian? Al-sunnah datang untuk membatasi ketentuan tersebut, bahwa yang harus dipotong adalah tangan kanan, dengan pemotongan sampai pada batas pergelangan. (HR Dâruquthni).
3. Al-sunnah sebagai argumen ter-naskh-nya Al-Qur'an.
Maksudnya adalah bahwa al-sunnah, kendati tidak dapat me-naskh hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an, namun ia memiliki fungsi sebagai argumen pembenar atas terjadinya naskh pada sebagian ayat Al-Qur'an dengan ayat lain yang me-naskh-nya. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama’ yang tidak memperbolehkan al-sunnah sebagai nâsikh (dalil yang menaskh) dari hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an, seperti Imam Al-Syafi'i[33]. Mereka berargumen dengan firman Allah:
مَا نَنْسَخْ مِنْ أَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا (البقرة 106)
Artinya: Ayat mana saja yang Kami naskh-kan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. (QS Baqarah 106).
Dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa subyek penyalin hukum adalah Allah, dan pengganti dari hukum yang disalin adalah sesuatu yang lebih baik atau sebanding dengan ayat yang tersalin. Dari pernyataan ini dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa dalil penyalin hukum (nâsikh) adalah Al-Qur'an, karena kitab ini datang dari Allah. Selain itu, dalil penyalin juga haruslah sesuatu yang lebih baik atau sebanding dengan ayat yang disalin hukumnya, dan ini tidak lain adalah Al-Qur'an. Sementara al-sunnah tidak dapat dijadikan sebagai subyek pe-naskh-an terhadap Al-Qur'an, sebab statusnya tidak seperti halnya Al-Qur'an. Meskipun demikian, al-sunnah bisa dijadikan sebagai dalil atau argumen ter-naskh-nya sebagian ayat Al-Qur'an dengan ayat yang lain.
Dalam hal ini dicontohkan, hukum kewajiban wasiat yang terdapat dalam Al-Qur'an (QS: Al-Baqarah 180) di-naskh dengan ayat Al-Qur'an yang lain, yaitu ayat tentang waris (QS: An-Nisa' 12). Sementara al-sunnah yang berfungsi menjelaskan pe-naskh-an ini adalah hadits Nabi saw:
أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ (رواه الترمذي)
Artinya : Ingatlah, tidak ada wasiat bagi ahli waris)
4. Al-sunnah sebagai penetap hukum baru
Yang dimaksud dalam poin ini adalah bahwa al-sunnah berfungsi sebagai penetap suatu hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Artinya bahwa al-sunnah dapat menetapkan hukum secara mandiri.
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama’. Ada yang menyatakan bahwa, karena al-sunnah memiliki keterkaitan dengan risalah kenabian, maka sah-sah saja bila secara mandiri menetapkan hukum tanpa didahului ketentuannya dalam Al-Qur'an. Sebagian ulama' yang lain menyatakan bahwa al-sunnah tidak bisa bertindak sebagai penetap hukum secara independen jika tidak terdapat penyebutannya dalam Al-Qur'an, baik secara eksplisit maupun implisit.
Pendapat yang menyatakan bahwa al-sunnah berfungsi sebagai penetap hukum baru, beralasan bahwa kepatuhan terhadap Rasul adalah sebuah kewajiban, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an, antara lain surat Al-Nisa’ 80 dan Al-Hasyr 7, yang telah dipaparkan di muka. Di samping itu, sebagai utusan Allah, Rasul saw. terpelihara dari kesalahan dan kemauan hawa nafsu.
Isyarat ke arah pemahaman ini juga tampak dari kisah pembekalan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad kepada Mu’adz bin Jabal tatkala beliau mengutusnya sebagai qâdli daerah Yaman, sebagaimana pula telah dikemukakan di depan. Yakni bahwa Mu'adz akan mengambil al-sunnah sebagai acuan penetapan hukum jika tidak dijumpainya dalam Al-Qur'an.
Di antara contoh al-sunnah yang berfungsi sebagai penetap hukum secara mandiri ini adalah ketentuan sanksi rajam bagi pelaku zina muhshan[34], kaum laki-laki haram memakai emas atau sutera dan kewajiban pembayaran diyat (denda) pembunuhan atas ahli waris ashabah pembunuh. Persoalan-persoalan ini sama sekali tidak pernah ditemukan dalam Al-Qur'an.
Menurut Al-Syafi'i, meskipun al-sunnah sebagai penetap hukum secara independen, namun masih harus tetap mengacu kepada Al-Qur'an dalam prinsip dasarnya. Dengan demikian, usaha untuk mencetuskan suatu hukum (ijtihad) yang dilakukan oleh Rasul tetap bersandar pada Al-Qur'an. Karenanya, dalam kaitannya dengan pandangan di atas, hendaknya dipahami bahwa al-sunnah tidak akan pernah bertentangan sedikitpun dengan Al-Qur'an.
Klasifikasi al-sunnah
Ada banyak model pengklasifikasian al-sunnah, sebagaimana terungkap dalam disiplin ilmu teori hadits (mushthalah al-hadîts). Namun, fokus pembahasan  kali ini diarahkan pada pembagian al-sunnah dari sisi sanad (transmisi) periwayatannya, dan beberapa hal berkaitan dengan aktivitas penggalian hukum.
Klasifikasi dimaksud adalah sunnah mutawâtirah dan sunnah âhâd, serta sunnah masyhûrah menurut Hanafiyyah. Teori pembagian semacam ini dirumuskan sejak periode perkembangan disiplin ilmu hadits dan periwayatan pada sekitar kurun ke-3 H. seiring dengan usaha pembukuan dan pendokumentasian al-sunnah. Dan, tiga kategorisasi di atas hanyalah ditujukan pada hadits-hadits atau periwayatan sebelum kurun tersebut, yakni periwayatan oleh generasi shahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in. Karena pada masa-masa ini, hadits-hadits dikutip berdasarkan penuturan (khabar) dan pendengaran (simâ'), kemudian dihafal dan dituturkan pada generasi setelahnya, demikian seterusnya. Sedangkan pada masa-masa selanjutnya, setelah muncul upaya pembukuan hadits, model periwayatan beralih pada pengutipan dari karya-karya kumpulan hadits.
Karenanya, bisa dikatakan bahwa seluruh hadits adalah mutawâtir sejak masa pembukuannyan hingga sekarang, sebab telah terbukukan rapi dalam karya-karya kumpulan hadits.  Sehingga hadits yang pada periode-periode awal hanya diriwayatkan oleh seorang atau dua orang, maka setelah tiga periode ini teriwayatkan oleh banyak orang dengan mengutipnya dari karya-karya kumpulan hadits yang ada.
Dengan demikian, sejarah pengutipan al-sunnah mengalami dua fase perkembangan, fase pengutipan dengan cara penuturan dan pendengaran, serta fase pengutipan, dengan cara penulisan dan pembukuan. Dari sini bisa dipahami, andai saja sejak awal sudah ada usaha penulisan dan pembukuan al-sunnah sebagaimana upaya pemeliharaan terhadap Al-Qur'an, bisa jadi keberadaan semua hadits adalah mutawâtir sebagaimana Al-Qur'an.[35]
Menurut mayoritas ulama', dari segi sanadnya, al-sunnah terbagi dalam dua klasifikasi, sunnah mutawâtirah dan sunnah âhâd. Sementara kalangan Hanafiyyah mengklasifikasikan al-sunnah dalam tiga kategori. sunnah mutawâtirah, sunnah masyhûrah dan sunnah âhâd. Perbedaan teori klasifikasi ini, menurut Mushthafa Syalbi, tidak hanya sekedar dalam tataran istilah, tetapi ada konsekwensi tersendiri di balik perbedaan ini, yang tidak jarang hingga memunculkan perbedaan pendapat dalam tataran sintesa hukum fiqhiyyah. Karena dalam keterkaitannya dengan Al-Qur'an, al-sunnah bertindak sebagai pengejawantah kandungan kitab Allah tersebut. Dalam arti tatkala sebuah hadits telah dapat dipastikan eksistensi dan validitasnya, maka sebagian hadits tersebut, menurut sebagian ulama', bisa  berfungsi sebagai mukhashshish (pengecuali) dari keumuman teks ayat Al-Qur'an, sebagai qayyid (batas) terhadap kemutlakannya, sebagai mubayyin (penjelas) terhadap sisi ijmâl (general) ayat-ayatnya, bahkan bisa berfungsi sebagai nâsikh (penghapus) terhadap kandungan hukum sebagian ayatnya. Namun, sebagian ulama' yang lain mengambil jalan tengah dan tidak menjadikan al-sunnah dengan fungsi-fungsi sebagaimana di atas kecuali memiliki kesetaraan dengan Al-Qur'an dalam status periwayatan dan validitasnya, yakni hadits tersebut harus berstatus sahih dan mutawâtir, atau sekedar mendekati kesetaraan dengan sumber hukum primer itu, yang dalam hal ini diistilahkan sebagai masyhûr. Karenanya, kelompok terakhir ini mengklasifikasikan al-sunnah dalam tiga kategori, mutawâtirah, masyhurah dan âhâd[36].
Berikut ini pemaparan dari definisi dan posisi masing-masing kategori[37]:
1. Sunnah mutawâtirah 
Secara literal, mutawâtir berarti al-tatâbu’ (berurutan). Sebagaimana pengertian ini adalah firman Allah:
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا (المؤمنون 44)
Artinya: Kemudian kami mengutus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berurut-urut. (QS: Al-Mu'minun ayat 44).

Sedangkan secara terminologis, mutawâtir berarti setiap kabar yang diriwayatkan banyak orang yang secara akal tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong. Dengan demikian, sunnah mutawâtirah adalah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh segolongan orang yang secara akal tidak mungkin mereka sepakat untuk berbohong. Ini terjadi pada tiga generasi awal, yakni generasi shahabat, generasi tabi'in dan generasi  tabi'it tabi'in. Mengapa hanya sebatas tiga generasi? Karena setelah tiga periode di atas, telah ada upaya penulisan dan pembukuan hadits-hadits Nabi, sehingga hadits-hadits yang pada awalnya tidak berstatus mutawâtir, dengan adanya dokumentasi tertulis, akan populer pada masa-masa akhir.
Dengan model periwayatan secara mutawâtir inilah, Al-Qur'an ditransimisikan. Begitu pula sunnah-sunnah berdimensi praktik (amaliyyah), seperti sunnah yang menjelaskan jumlah rakaat shalat, tata cara ibadah haji, kadar kewajiban zakat, tata cara wtdlu dan lain sebagainya. Sedangkan sunnah-sunnah Rasul berdimensi aqwâliyyah (ucapan), teriwayatkan secara mutâwatir dengan jumlah terbatas, seperti hadits: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris” menurut sebagian ulama', hadits “Barang siapa sengaja berdusta atas namaku, nerakalah tempatnya” dan hadits "Celakalah mata kaki, nerakalah tempatnya".[38]
Sebagai konsekwensi logis dari pengertian sunnah mutawâtirah, maka konsensus ulama’ mencetuskan bahwa sunnah mutawâtirah dipastikan keberadaannya (qath’i) datang dari Rasulullah. Sehingga siapa saja yang mengingkari sunnah mutawâtirah, ia dinyatakan kafir. Hal ini disimpulkan dari suatu kenyataan, bahwa kita meyakini keberadaan suatu negeri yang jauh dari jangkauan kita, Mekkah misalnya, padahal kita sendiri belum pernah berkunjung ke negeri tersebut, atau keberadaan seseorang dari popularitas namanya, meski belum pernah bertemu langsung atau bahkan berlainan dimensi waktu. Demikian pulalah seharusnya kita menyikapi keberadaan sebuah hadits mutawâtir[39].
Mengenai kriteria-kriteria sebuah hadits bisa dikategorikan sebagai mutawâtir, ada banyak ragam persyaratan yang diajukan beberapa ulama' teoritisi. Kiranya tiga persyaratan yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili cukup simpel dan representatif dalam pemaparan kali ini[40].
Pertama, periwayatannya harus secara inderawi. Dengan demikian, rekomendasi akal tidak bisa dijadikan sandaran dalam periwayatan hadits mutawâtir, karena akal bisa jadi keliru dalam menyimpulkan sesuatu.
Kedua, harus diriwayatkan oleh segolongan orang yang oleh penilaian akal, biasanya dengan jumlah periwayat tersebut tidak mungkin mereka bersepakat untuk melakukan suatu kebohongan[41].
Ketiga, dua syarat di atas harus terpenuhi pada tiap-tiap simpul mata rantai periwayatan.
2. Sunnah Masyhûrah
Adalah sunnah yang pada permulaannya diriwayatkan oleh tiga, dua bahkan seorang sahabat, kemudian pada kurun pasca-shahabat mengalami penyebaran sehingga teriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut penilaian akal tidak mungkin mereka bersepakat untuk melakukan kebohongan. Secara singkat diungkapkan, bahwa hadits masyhur adalah hadits yang pada generasi awal teriwayatkan secara âhâd, kemudian pada dua kurun setelahnya teriwayatkan secara mutawâtir.
Seperti hadits “Amal perbuatan haruslah disertai dengan niat…”, hadits “Islam dibangun atas lima dasar…”, hadits “Tidak boleh menyakiti diri sendiri dan orang lain”. Juga hadits tentang pengusapan sepasang khuf (sepatu kulit), hal ihwal rajam, dan lain-lain[42].
Dari masing-masing definisi sunnah mutawâtirah dan masyhûrah di atas, dapat disimpulkan perbedaannya. Bahwa sunnah mutawâtirah adalah sunnah (hadits) yang sejak awal kemunculannya diriwayatkan secara massal dalam tiga periode awal. Sedangkan sunnah masyhûrah adalah sunnah (hadits) yang pada mulanya diriwayatkan oleh orang per orang dalam jumlah terbatas, dan untuk masa-masa berikutnya diriwayatkan secara massal oleh banyak orang. Karenanya, ulama' Hanafiyyah mengemukakan bahwa sunnah masyhûrah dalam bentuknya terdapat sisi syubhat, yakni pada sebagian fase periwayatannya mengandung sisi âhâd, tidak dalam segi maknanya[43].
Konsekwensi logis dari pendefinisian sunnah masyhûrah di atas adalah bahwa hadits dengan model transmisi seperti ini dapat dipastikan keberadaannya (qath'i) datang dari shahabat, namun tidak demikian bila dikaitkan dengan Nabi saw., alias keberadaan hadits tersebut datang dari beliau masih bersifat dugaan (zhanni). Kendati demikian, status zhanni pada hadits masyhûr lebih mendekati pada tataran yakin. Karenanya pengingkaran terhadap hadits masyhur mengakibatkan fâsiq[44].  Menurut ulama' Hanafiyyah, hadits masyhur bisa berfungsi untk men-takhshîsh ayat Al-Qur'an yang secara verbal bercakupan umum.
3. Sunnah Âhâd
Para ulama' berselisih pendapat dalam mendefinisikan sunnah âhâd sesuai dengan perspektif masing- masing. Menurut mayoritas ulama', sunnah âhâd adalah sunnah yang pada fase-fase periwayatannya hanya melibatkan orang per orang perawi dengan jumlah periwayat tidak sampai mencapai batas mutawâtir. Menurut Ibn Burhân, sunnah âhâd adalah sunnah yang diriwayatkan oleh perawi dalam jumlah tidak sampai mencapai batas istifâdlah dan syuhrah[45]. Oleh Al-Hindi, pendapat ini dinyatakan lemah menurut pandangan Syafi'iyyah, karena pendefinisian tersebut adalah pandangan kalangan Hanafiyyah[46]. Banyak sekali contoh sunnah yang teriwayatkan secara âhâd, bahkan tidak sedikit permasalahan-permasalahan krusial yang membutuhkan solusi hukum, ternyata tercantum dalam hadits-hadits yang teriwayatkan secara âhâd.
Periwayatan secara âhâd ini akan menimbulkan zhann (dugaan), tidak sampai pada tataran yakin dan kemantapan hati. Pendapat ini adalah dikemukakan oleh mayoritas pakar hadits, teolog dan ulama' fiqh. Adapun menurut kalangan Zhâhiriyyah, periwayatan secara âhâd menimbulkan suatu keyakinan, sebagaimana dilontarkan Dawud al-Zhâhirî, Husain bin Ali Al-Karâbîsî, Harits bin As’ad Al-Muhasibî dan yang lain. Sedangkan pendapat Al-Âmudî dan Abu Ishaq Al-Nazhzhâm adalah bahwa periwayatan âhâd bisa menimbulkan suatu keyakinan jika disertai petunjuk atau indikasi.[47]
Meskipun demikian, sunnah âhâd wajib untuk dijadikan sebagai referensi perujukan dalam kesehariannya, atau dengan kata lain wajib untuk diamalkan, sebagaimana telah dikemukakan oleh mayoritas ulama'. Karenanya, yang dimaksud oleh mayoritas ahli hadits bahwa hadits âhâd bisa menimbulkan suatu keyakinan, adalah keyakinan akan kewajiban mengamalkan hadits âhâd [48].
Sisi argumentatif hadits âhâd
Para shahabat telah mencapai kata sepakat untuk menjadikan hadits âhâd sebagai hujjah. Seringkali mereka menggunakan hadits tersebut dalam beberapa permasalahan yang mengemuka. Seperti penerimaan para shahabat terhadap hadits yang diriwayatkan Abu Bakar tentang ketiadaan pewarisan kerabat Rasulullah terhadap harta beliau[49]. Abu Bakar sendiri mengamalkan hadits Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah yang meriwayatkan bahwa Nabi saw. memberikan bagian waris seperenam bagi kakek (HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi dan Ibn Majah dari Qabîshah bin Dzu'aib).  'Umar bin al-Khaththab melakukan perujukan hukum pada hadits yang dikisahkan oleh 'Amr bin Hazm dalam masalah diyat (HR. Nasa'i). Utsman mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh Furai’ah bint Mâlik tentang tempat permulan iddah bagi isteri yang suaminya meninggal[50]. Begitu pula mayoritas mereka mengamalkan hadits riwayat 'Aisyah tentang kewajiban mandi besar karena pertemuan dua kelamin laki-laki dengan perempuan (HR. Muslim, Ahmad dan Turmudzi).
Kendati para sahabat telah sepakat menjadikan hadits âhâd sebagai hujjah yang mengikat, namun mereka berbeda sikap dalam menetapkan status kehujjahannya. Di antara mereka ada yang mensyaratkan persaksian dua orang, seperti yang dilakukan Abu Bakar dan Umar.
Pada suatu ketika Abu Bakar didatangi seorang nenek yang menuntut hak warisnya. Ia mengatakan, “Tidak aku temukan dalam Al-Qur'an yang menjelaskan engkau (nenek) mendapatkan hak waris, begitu pula Rasulullah saw. tidak menjelaskannya”.
Setelah ditanyakannya pada shahabat-shahabat lain, Mughirah bin Syu’bah berdiri, “Aku pernah mendengar bahwa Rasulullah memberinya hak waris seperenam”, ungkapnya.
"Adakah orang lain yang menyaksikanya?" sahut Abu Bakar.
Lalu Muhammad bin Maslamah berdiri dan bersaksi atas kebenaran perkatan Mughirah. Setelah itu, baru Abu Bakar memutuskan bahwa nenek tersebut mendapatkan bagian seperenam dari harta waris.
Begitu pula yang dilakukan 'Umar, ia juga mensyaratkan adanya persaksian dua orang dalam penggunaan hadits âhâd. Saat Abu Musa al-Asy'ari tidak menghadap tatkala 'Umar memanggil ke kediamannya, 'Umar menegur, "Kenapa engkau tidak datang ?”. Abu Musa beralasan, “Aku telah datang, aku ketuk pintu rumahmu tiga kali dan tidak ada jawaban darimu, lalu aku kembali, karena Rasulllah pernah berkata: 'Apabila kamu telah tiga kali meminta izin dan tidak ada jawaban, maka kembalilah” (HR. Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Dawud dari Abu Musa al-Asy'ari dan Abu Sa'id al-Khudzri). Mendengarkan hadits tadi, 'Umar agaknya ragu. Akhirnya ia ingin memastikan kebenaran ucapan Abu Musa, “Datangkanlah saksi padaku!". Para shahabat menukas, " Tidak ada saksi kecuali anak kecil di antara kaum ini (maksudnya adalah Abu Sa'id)". Tidak lama kemudian Abu Sa’id berdiri dan bersaksi atas kebenaran ucapan Abu Musa. Kemudian Umar berkata, “Kini aku tidak mencurigaimu, dan apa yang kamu katakan adalah dari Rasullullah”.
Berbeda dengan Abu Bakar dan Umar, Ali bin Abi Thalib ra. memiliki sikap tersendiri dalam kaitannya dengan penerimaan hadits âhâd. Sebagaimana diungkapkannya sendiri, ia tidak menerima hadits âhâd dari seorang periwayat sebelum menyumpahnya atas kebenaran ucapannya. Dalam hal ini, sepupu Nabi ini berkata: "Bila aku mendengar dari Rasulullah sebuah hadits, maka Allah telah menganugerahkan apa yang dikehendaki-Nya. Dan bila seseorang menceritakan sebuah hadits kepadaku, aku akan menyumpahnya. Bila ia telah bersumpah, aku pasti membenarkannya."
Demikianlah, sikap Abu Bakar, Umar dan Ali ra. dalam keterkaitannya dengan hadits âhâd. Demikian pula shahabat-shahabat lainnya. Meski demikian, acap kali mereka juga menolaknya. Namun bukan karena keengganan mereka menggunakaan hadits âhâd sebagai hujjah. Akan tetapi ada faktor lain yang mendasari penolakan mereka, semisal periwayatnya adalah orang yang lemah dalam periwayatan, atau hadits yang diriwayatkan bertentangan dengan hadits lain yang lebih akurat dan argumentatif. Sebagaimana 'Umar menolak hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah bint Qais tentang ketidakwajiban pemberian fasilitas tempat tinggal pada isteri yang dicerai suaminya, dengan dalih ketika ia dicerai suaminya, Rasul enggan mewajibkan kepada suaminya untuk memberikan tempat tinggal kepadanya (HR. Ahmad, dan enam imam hadits kecuali Bukhari). Dalam penolakan hadits di atas, Umar berkata: “Tidak akan kami abaikan Kitab Tuhan kami dan sunnah nabi kami hanya karena perkataan seorang perempuan yang belum kami ketahui, apakah ia berkata jujur atau  berbohong, apakah ia masih ingat (hafal) atau  telah lupa."
Dalam contoh lain, Aisyah ra. menolak hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar "Sesungguhnya mayit disiksa karena kerabatnya menangisinya". Ummul mu'minin ini berdalih dengan sebuah argumentasi dari Al-Qur'an:
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya: Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS: Al-An'am 164)[51].
* * *
Sebagian kelompok mengingkari penggunaan hadits âhâd sebagai argumentasi legal syari'at Islam. Secara singkat, para pengingkar ini berdalih bahwa keberadaan hadits âhâd tidak lebih sekedar zhanniyy al-tsubût (keberadaannya berstatus dugaan), adanya peluang penggelapan dan kebohongan dari oknum periwayatnya, serta banyaknya materi yang disusupkan oleh kaum pengikut hawa nafsu dan pembuat bid'ah, hingga sulit memilah-milah antara hadits yang layak dan tidak[52].
Imam Al-Syafi’i, seorang tokoh ulama' pembela al-sunnah, dengan tegas menolak golongan pengingkar kehujjahan hadits âhâd dengan sejumlah argumentasi. Wahbah al-Zuhaili menyimpulkannya dalam lima poin pokok[53].
Pertama, argumen dari penalaran analogi (qiyas) terhadap sebuah ketetapan syari'at yang dikukuhkan Al-Qur'an, yakni penerimaan persaksian dua orang laki-laki, atau persaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Sementara aktivitas peradilan adalah menetapkan suatu hukum dengan jalan mengunggulkan sisi kejujuran saksi atas sisi kebohongannya. Yakni bahwa penerimaan hadits âhâd sebagai satu di antara berbagai bentuk argumentasi legal syari'at terkukuhkan dari cara berpikir analogi.
Kedua, Rasulllah sebagai menganjurkan pada umatnya untuk menghafalkan, memahami dan menyampaikan perkataan beliau, tanpa membedakan antara hadits yang teriwayatkan oleh orang per orang (âhâd) atau oleh sekelompok orang (mutawâtir). Beliau bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ عَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا فَحَفِظَهَا فَأَدَّاهَا , فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ فَقِيهٍ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ (رواه أحمد والترمذي وابن ماجه وابن حبان وغيرهم)
Artinya: Semoga Allah mencerahkan seorang hamba yang mendengarkan perkataanku, memahami, menghafal dan menyampaikannya. Berapa banyak pembawa fiqh (ilmu) (HR. Ahmad, Turmudzi, Ibn Hibbân dan yang lain)[54].
Ketiga, fakta sejarah menunjukkan bahwa para shahabat acap kali mensosialisasikan hukum-hukum syara' yang teriwayatkan oleh orang per orang dari kalangan mereka. Nabi saw. pun mendiamkan tindakan semacam ini. Bahkan, beliau sendiri pernah mengutus orang per orang dari kalangan shahabat untuk menyampaikan hukum-hukum syari'at. Sebagaimana dalam kisah jamaah shalat Masjid Quba' yang melingkar mengalihkan kiblatnya pada Ka'bah ketika ada seorang pembawa hadits memberitahukan perpindahan kiblat.
Keempat, dalam suatu kesempatan, Nabi saw. mengutus 12 orang shahabat sebagai delegasi penyampai dakwah pada 12 orang penguasa untuk masuk Islam. Beliau juga pernah mengirimkan surat pada sejumlah pembesar yang diantarkan oleh beberapa orang kurir.
Kelima, para shahabat juga menjadikan khabar âhâd sebagai pijakan penetapan hukum tatkala mereka tidak menemukan dalil dalam Al-Qur'an atau al-sunnah, sebagaimana dipaparkan di muka. Sesekali mereka memutuskan hukum dengan daya nalar rasio, namun tatkala mereka mengetahui sebuah hadits, maka dianulirnya putusan tersebut dan beralih pada ketentuan hadits. Sebagaimana tindakan Umar ra. yang memberikan hak kewarisan diyat orang yang terbunuh pada 'âqilah (ahli waris 'ashâbah)nya. Kemudian dianulirnya putusan tersebut setelah mengetahui hadits bahwa seorang isteri memiliki hak kewarisan dari diyat suaminya.
Sementara para pengingkar hadits âhâd, seperti Abu Ali Al-Jubâ’i dan kalangan teolog, Al-Qâsyâni dan sebagian golongan Râfidlah berpegang dengan dalil-dalil lemah yang tidak layak untuk diajukan sebagai penguat tesis mereka.
* Penerapan hadits âhâd oleh para ulama'
            Di lingkungan empat madzhab, terdapat beragam kriteria penggunaan khabar âhâd sebagai salah satu hujjah dalam kancah hukum syari'at. Berikut konsep penerapan masing-masing dari empat madzhab tersebut[55].
Penerapan hadits âhâd oleh kalangan Hanafiyyah
Kalangan Hanafiyah menetapkan tiga persyaratan hadits âhâd untuk bisa dijadikan sebagai hujjah dalam syari'at Islam.
Pertama, periwayat hadits âhâd tersebut tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan materi hadits yang ia riwayatkan. Karena adanya pertentangan ini seakan merupakan indikasi bahwa hadits tersebut telah di-naskh. Karenanya, bila tindakan periwayat hadits âhâd tersebut bertentangan dengan materi hadits yang ia riwayatkan, kalangan Hanafiyyah tidak menjadikan hadits tersebut sebagai acuan hukum.  Bahkan, mereka berpandangan, justru tindakan periwayat hadits itulah yang harus dijadikan standar penetapan hukum.
Berkaitan dengan hal ini, kalangan Hanafiyah enggan menerima hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni  ”Cara penyucian wadah salah satu dari kalian ketika ada anjing menjilatnya, adalah dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim). Hadits ini bertentangan dengan tindakan Abu Hurairah, perawi hadits, yang hanya membasuh tempat jilatan anjing tiga kali, demikian dikisahkan oleh Al-Dâruquthni.
Kedua, hadits âhâd tersebut tidak membicarakan persoalan-persoalan yang sering terjadi, atau yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak ('umûm al-balwâ). Sebab hadits yang membicarakan persoalan-persoalan tersebut tentunya teriwayatkan secara massal, dengan model periwayatan mutawâtir atau masyhûr.  Karenanya, periwayatan hadits semacam ini secara âhâd akan menimbulkan keragu-raguan atas kebenaran hadits tersebut. Dari sini, ulama' Hanafiyah tidak menggunakan hadits yang menjelaskan tentang mengangkat tangan ketika hendak ruku’[56], dengan dalih di atas.
Ketiga, bila perawi hadits âhâd bukan seorang pakar fiqh, maka hadits yang ia riwayatkan haruslah tidak bertentangan dengan qiyas atau kaidah dasar syari'at Islam. Ini dilandasi dengan suatu pemikiran, bahwa periwayatan secara maknawi[57] adalah model periwayatan yang telah menjadi trend di antara para perawi, sehingga bila perawi hadits âhâd bukan seorang faqîh  bisa jadi ada kata-kata kunci sebagai dasar acuan hukum  yang hilang atau terlewatkan dari periwayatannya. Para perawi hadits yang oleh kalangan Hanafiyyah dinilai sebagai bukan faqîh di antaranya adalah Abu Hurairah, Salman al-Farisi dan Anas bin Malik ra.
Berdasarkan kriteria ini, kalangan Hanafiyah enggan berpedoman pada hadits Abu Hurairah tentang kambing atau unta musharrah[58] (yang sengaja tidak diperah susunya). Dalam hadits tersebut Rasul bersabda: Janganlah kalian membiarkan (tidak memerah) susu unta atau kambing. Barangsiapa yang membeli hewan tersebut, maka setelah ia memerah susunya, diperbolehkaan memilih di antara dua pilihan, bila ia menghendaki, ia boleh menahan (tidak mengembalikan)nya, dan bila ia menghendaki, ia boleh mengembalikannya beserta satu sha’[59] kurma (sebagai pengganti susu yang telah di ambilnya)." (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Mereka, kalangan Hanafiyyah, berpendapat dalam opsi kedua, yakni mengembalikan unta atau kambing beserta satu shâ' kurma sebagai kompensasi dari susu yang diperah dan dimilikinya, kontradiktif dengan qiyas dan kaidah dasar syari'at, yakni kaidah dlaman (kompensasi, ganti rugi) yang mengharuskan adanya kompensasi berupa barang sejenis (mitsliy) bila 'pelanggaran' hak tersebut terjadi pada barang-barang yang memiliki kesejenisan, dan berupa nilai barang (qîmah) bila 'pelanggaran' hak tersebut terjadi pada barang-barang yang tidak memiliki kesejenisan. Selain itu, materi hadits di atas juga bertentangan dengan kaidah dari sebuah hadits:
الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ (رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه عن عائشة)
Artinya: kemanfaatan (profit) adalah sebanding dengan biaya (cost)[60]. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah dari Aisyah ra.)
Dengan penerapan kaidah ini, seharusnya dalam kasus ini, susu unta atau kambing yang telah diambil oleh pembeli, menjadi miliknya sendiri. Sementara hadits di atas tidak menggariskan demikian. Karenanya, dalam opsi kedua yang mengharuskan pengembalian hewan musharrah bersama satu shâ’ kurma sebagai kompensasi dari susu yang telah diambil pembeli, bertentangaan dengan kaidah dasar ini. Sehingga dalam kasus ini, kalangan Hanafiyyah enggan menjadikan hadits riwayat Abu Hurairah ini sebagai dasar acuan hukum.
Namun, Wahbah al-Zuhaili menganalisis, sebenarnya persyaratan ini hanyalah pendapat ‘Isa bin Abân yang juga diamini oleh generasi mutaakhkhirin dari kalangan Hanafiyyah. Sedang yang menjadi pegangan mayoritas kalangan Hanafiyyah adalah memprioritaskan hadits secara mutlak, serta penilaian bahwa Abu Hurairah adalah seorang faqîh. Abu Hanifah sendiri mengakui kapasitas pengetahuan fiqh shahabat Rasul ini. Terbukti dalam pencetusan ketidakbatalan puasa dari seseorang yang makan atau minum karena lupa, Abu Hanifah menggunakan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ (رواه أحمد عن أبي هريرة)
Artinya: Barangsiapa makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah)
Mengomentari keberadaan hadits di atas, Abu Hanifah pernah berkata: "Seandainya riwayat ini tidak ada, aku akan menggunakan qiyas". Adapun pengabaian kalangan Hanafiyyah terhadap hadits Abu Hurairah tentang hewan musharrah – masih menurut Wahbah – hanya karena ada faktor lain, sebagaimana ada yang mengungkapkan, bahwa hadits tersebut memiliki sisi lemah dalam mata rantai periwayatannya, atau mengalami pe-naskh-an. Yang jelas, bukan karena faktor kepribadian negatif shahabat[61].
Penerapan hadits âhâd oleh kalangan Malikiyyah
Dalam menentukan kriteria penerimaan hadits âhâd, kalangan Malikiyyah mensyaratkan bahwa hadits âhâd bisa dijadikan sebagai hujjah selama tidak bertentangan dengan tradisi (amaliyah) ahli Madinah. Karena menurut mereka, amaliyah ahli Madinah setingkat dengan periwayatannya. Sementara, periwayatan secara massal (dalam hal ini ahli Madinah) lebih memiliki kekuatan daripada periwayatan beberapa orang saja (âhâd). Dengan kata lain, amaliyah ahli Madinah adalah bagian dari sunnah mutawâtirah, karena periwayatannya terjadi dari generasi ke generasi, sehingga tidak mungkin terjadi penyelewengan. Karenanya, kalangan Malikiyah menolak hadits yang diriwayatkan dari Hakîm bin Hizâm tentang ketentuan khiyâr (hak menentukan pilihan) dalam transaksi jual beli,[62] karena hadits tersebut bertentangan dengan amaliyah ahli Madinah, di mana mereka tidak memperbolehkan adanya khiyar. Pendapat ulama' Malikiyyah ini ditolak tegas oleh mayoritas ulama’, karena penduduk Madinah bukanlah orang-orang yang ma'shûm (terpelihara dari salah).
Penerapan hadits âhâd oleh kalangan Syafi'iyyah
Menurut padangan ulama' Syâfi’iyah, hadits âhâd bisa dijadikan acuan hukum bila memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya adalah
(1) Hadits âhâd haruslah diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dalam urusan agama dan terkenal jujur dalam ucapannya[63].
(2) Para periwayat hadits âhâd adalah orang-orang berakal yang memiliki pemahaman terhadap hadits yang ia riwayatkan, serta mampu menyampaikannya secara literal sebagaimana yang didengarnya, bukan dengan pendekatan maknawi (yakni menyampaikannya dengan makna penunjukan tekstual hadits yang didengarnya).
(3) Periwayatnya memiliki daya ingat dan hafalan yang kuat, akan hadits yang ia riwayatkan.
(4) Hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan para ahli ilmu.
Persyaratan-persyaratan di atas harus dipenuhi oleh para perawi hadits dalam masing-masing tingkatannya, dari awal sampai akhir periwayatan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kalangan Syafi'iyah mensyaratkan kesinambungan mata rantai periwayatan hingga pada Nabi. Karenanya, Al-Syafi'i tidak menjadikan hadits mursal sebagai acuan penetapan hukum, kecuali dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana diuraikan kemudian.
Penerapan hadits âhâd oleh kalangan Hanabilah
Pada dasarnya, para ulama' kalangan Hanabilah tidak jauh beda dengan Syafi'iyyah dalam hal penerapan hadits âhâd, kecuali bahwa ulama' Hanabilah menerima penerapan hadits mursal secara mutlak. Hanya saja, kedudukan hadits mursal menurut mereka adalah lemah, yang karenanya fatwa shahabat lebih mereka prioritaskan.
Dari keterangan di atas, secara umum dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa di antara para ulama' yang berafiliasi pada empat madzhab, kalangan Hanabilah merupakan komunitas ulama' yang paling banyak menerapkan al-sunnah, disusul kemudian kalangan Malikiyyah, lalu Syafi’iyyah dan terakhir adalah Hanafiyyah.
Hadits mursal
Hadits mursal, dalam terminologi ilmu hadits adalah sebuah hadits terdapat pengguguran seorang perawi kalangan shahabat dari mata rantai periwayatan. Atau dengan kata l`in, perawi kalangan tabi'in berkata: "Rasulullah saw. bersabda demikian", atau "Nabi saw. melakukan demikian", atau "Di hadapan Rasul saw. seseorang melakukan demikian". Seperti perkataan Sa'id bin Musayyab, seorang tabi'in: "Rasul bersabda demikian atau mengerjakan demikian".
Sedangkan hadits yang di dalamnya terdapat pengguguran seorang râwi kalangan tabi'in dari mata rantai periwayatan, dinamakan sebagai hadits munqathi'. Seperti perkataan Imam Malik, seorang tâbi’it tâbi’în: "Abu Hurairah berkata: 'Rasullulah bersabda demikian". Atau disebut mu'adldlal, bila terdapat pengguguran lebih dari seorang perawi secara berturut-turut. Seperti perkataan Imam Malik, "Sampai padaku dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: 'Adalah hak bagi sahaya, mendapatkan makanan dan pakaian secara baik, dan ia tidak boleh dibebani pekerjaan kecuali sebatas kemampuannya". Dalam hadits ini, terdapat pengguguran dua orang perawi secara berturut-turut, yakni Muhammad bin 'Ijlân dan ayahnya.[64]
Sedangkan dalam terminologi ushul fiqh, hadits mursal memiliki pengertian lebih luas. Yakni periwayatan seorang perawi adil yang tidak pernah bertatap muka dengan Nabi saw., yakni perawi kalangan tabi'in, tabi'it tabi'in, atau perawi era setelahnya, dengan bentuk perkataan: “Rasulullah bersabda demikian”. Dalam pengertian lain, hadits mursal adalah sebuah hadits yang dalam periwayatannya, ada perawi yang tidak dituturkan, seorang perawi atau lebih. Berarti, hadits mursal dalam terminologi ushul fiqh, bisa pula memasukkan hadits mursal dalam pengertian ilmu hadits, hadits munqathi', hadits mu'adldlal dan hadits mu'allaq. [65]
Melihat bahwa dalam mata rantai periwayatan hadits mursal terdapat pengguguran perawi, sehingga tidak diketahui latar belakang kepribadiannya, maka dapatkah hadits mursal dijadikan pijakan pengambilan hukum? Ada pemilahan mengenai hal ini, yakni yang bekenaan dengan hadits mursal shahabat (mursal al-shahâbî), dan hadits mursal selain shahabat (mursal ghair al-shahâbî).
Maksud dari kategori pertama, yakni mursal al-shahâbî, adalah bahwa seorang shahabat yang mendengar sebuah hadits dari seseorang dan meriwayatkannya tanpa menyebutkan perawi yang didengar keterangan haditsnya. Dalam kategori ini, mayoritas ulama' menyepakati penerimaannya sebagai hujjah[66]. Karena secara zhahir ia mendengarnya langsung dari Rasulullah, atau mendengarnya dari shahabat lain yang mendengarnya langsung dari beliau, sedangkan semua shahabat memiliki sifat adâlah (integritas moral dan ketakwaan), yang mengharuskan penerimaan periwayatnya, kendati tidak diketahui jelas identitasnya[67]. Atau andaikan ditemukan, seorang shahabat meriwayatkan hadits dari kalangan tabi’in, maka kemungkinan semacam ini sangat tipis, sehingga dianggap tidak pernah terjadi[68].
Sedangkan apabila hadits mursal muncul dari selain shahabat, yakni tabi’in atau yang lain (mursal ghair al-shahâbî), di antara para ulama' terdapat beberapa versi pendapat[69].
Pertama, bisa dijadikan sebagai hujjah secara mutlak. Pendapat ini diungkapkan oleh mayoritas ulama', di antaranya adalah Abu Hanifah, Imam Malik, dan Ahmad bin Hanbal. Mereka beralasan, bahwa bila seorang perawi dengan sifat 'adâlah (integitas moral dan kepribadian), menampakkan keyakinannya atas penyandaran materi hadits pada Rasul saw., maka secara zhâhir ia meyakini bahwa Rasul telah mengatakannya. Dengan demikian, ketiadaan penyebutan râwi dalam sebuah periwayatan, tidak berpengaruh terhadap status kebenaran hadits yang ia riwayatkan. Karenanya, dalam hal ini status hadits mursal sama halnya dengan hadits musnad (hadits periwayatnya disebutkan secara lengkap).
Kedua, bisa dijadikan hujjah bila hadits mursal tersebut dimunculkan oleh para imam periwayat hadits yang dlâbith (memiliki daya ingat kuat). Pendapat ini diungkapkan oleh Ibn al-Hâjib dan Ibn al-Hamâm. Alasan yang dikemukakan versi kedua ini sama dengan argumentasi pendapat pertama. Yakni tatkala seorang perawi adil yakin akan penisbatan materi hadits pada Rasul saw., maka hal ini merupakan indikasi adanya pengakuan akan adâlah dari râwi yang digugurkannya itu. Tâj al-Dîn al-Subuki mengajukan interpretasi, bahwa termasuk dalam kategori imam-imam ini adalah para shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Ketiga, apabila hadits mursal dimunculkan orang-orang yang hidup di masa-masa awal, yaitu masa-masa shahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, maka bisa dijadikan sebagai hujjah, tidak dibedakan, antara mereka yang tergolong imam-imam periwayat hadits maupun bukan. Pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Abân, dengan menuangkan argumentasinya dari sabda Rasul. ”Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelahku, kemudian generasi setelahnya, setelah itu tersebarlah kebohongan-kebohongan.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Turmudzi dari Ibn Mas'ud). Hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang yang hidup pada periode-periode awal (shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in) kebanyakan – kalau tidak dikatakan keseluruhan – memiliki sifat adâlah. Dan ada dugaan kuat, bahwa para periwayat hadits adalah mereka yang memiliki sifat ini, dan hanya meriwayatkan hadits dari orang-orang yang juga memiliki sifat 'adâlah, sehingga hadits yang mereka riwayatkan bisa dijadikan sebagai hujjah. Adapun setelah kurun-kurun pertama, telah merajalela kebohongan-kebohongan terhadap hadits Nabi, sehingga apa-apa yang mereka riwayatkan tidak bisa diterima sebagai referensi hukum, sebelum meneliti latar belakang kepribadian semua perawi. Ibn al-Hâjib mengajukan pengecualian dari konsekwensi logis kandungan akhir hadits di atas, bahwa apabila mereka tergolong imam-imam periwayat hadits dari generasi setelah tiga kurun terbaik, maka hadits mursal-nya pun dapat diterima.
Keempat, menengah-nengahi pendapat yang menolak hadits mursal dan menerimanya. Pandangan moderat ini dikemukakan Al-Syafi'i. Beliau memberikan persyaratan, bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah dengan beberapa kriteria. Secara berurutan menurut skala prioritasnya, kriteria-kriteria tersebut adalah[70]:
1.       Hadits mursal dimunculkan oleh para pemuka tabi’in yang sering bertemu dengan shahabat, seperti Sa’id bin Musayyab, Al-Zuhri, dan lain-lain, yakni orang-orang yang tidak me-mursal-kan hadits kecuali dari periwayat terpercaya. Termasuk di antara mereka adalah Al-Hasan, Al-Sya'bi dan Ibn Sîrîn. Sedangkan hadits mursal yang dimunculkan oleh kalangan tabi'in selainnya, tidak bisa diterima.
2.       Hadits mursal diperkuat kandungan maknanya dengan hadits musnad (hadits yang perawinya disebutkan secara lengkap).
3.       Hadits mursal selaras dengan hadits mursal lain yang diterima oleh para ulama'.
4.       Hadits mursal didukung oleh pendapat para shahabat.
5.       Hadits mursal didukung oleh fatwa mayoritas ulama'. 
            Bila tidak memenuhi salah satu kriteria di atas, maka hadits mursal tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Pendapat ini didasarkan pada argumen, bahwa penerimaan riwayat dari seseorang bergantung pada faktor adâlah-nya. Sedang dalam hadits mursal, status adâlah dari perawi yang digugurkan penyebutannya, tidak diketahui. Dan, dengan ketidakjelasan status adâlah dan latar belakang kepribadiannya, nyata-nyata periwayatan tersebut tidak dapat diterima. Namun, tatkala periwayatan semacam ini dibarengi lima indikator di atas, maka dugaan kebenaran akan lebih dominan dibanding dugaan kedustaannya. Sedang mengamalkan dugaan kuat (zhann) adalah wajib.
Kelima, secara mutlak tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Pendapat ini dilontarkan oleh kalangan Zhahiriyah dan mayoritas ahli hadits era abad ketiga. Mereka berdalih bahwa dalam hadits mursal, terdapat pengguguran perawi, yang sehingga mengakibatkan ketidaktahuan akan identitasnya. Sementara ketidaktahuan identitas menyebabkan ketidaktahuan sifat-sifatnya. Dan, secara bulat disepakati, bahwa ketidaktahuan sifat-sifat perawi mengharuskan penolakan hadits yang diriwayatkan darinya.
Perilaku Rasulullah saw.
Sebagaimana dipaparkan di muka, al-sunnah adalah segala sesuatu yang timbul dari diri Nabi Muhammad saw. selain Al-Qur'an, yang mencakup perkataan, tindakan, maupun ketetapan atau persetujuan (taqrir).  Berkaitan dengan tindakan-tindakan Rasul, yang menjadi persoalan adalah, apakah semua perilaku Rasul harus dijadikan pijakan penetapan hukum? Dalam permasalahan ini, para ulama teoritisi mengklasifikasikan perilaku Nabi dalam tiga bagian[71]:
(1).                        Perilaku Rasul yang berhubungan dengan watak, dan karakter manusiawi, atau berhubungan dengan tradisi lokal bangsa Arab, seperti style berdiri, duduk, makan, minum, dan lain-lain. Dalam konteks ini, telah terbentuk konsensus di antara ulama, bahwasanya perilaku Nabi dalam kategori ini adalah mubah bagi beliau sendiri. Begitupun umatnya, tidak wajib untuk menirunya. Demikian diungkapkan mayoritas ulama. Sebagian ulama’ berpendapat, hukum meniru perilaku Rasulullah yang semacam ini adalah mandûb (sunnat). Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Abdullah bin 'Umar gemar mengamati dan meneladani perilaku Rasul dalam kesehariannya.
(2).                        Perilaku Rasul yang hanya dikhusukan pada diri Nabi Muhammad saw. Seperti kewenangan melakukan wishâl (meneruskan berpuasa hingga malam hari), beristeri lebih dari empat, kewajiban shalat dluha, idul adha, witir, tahajjud dan lain-lain. Perilaku semacam demikian bukan merupakan pensyari'atan bagi umatnya. Dalam arti, kita tidak diperkenankan melakukan wishâl dan menikah lebih dari empat isteri, juga tidak ada kewajiban melakukan shalat-shalat yang khusus diwajibkan atas diri Nabi saw.
(3).                        Perilaku Rasul selain dua kategori di atas yang menjelaskan tata cara pelaksanaan tuntunan syari’at Islam secara umum. Dalam konteks inilah, perilaku beliau berfungsi sebagai pensyari'atan. Umatnya dituntut untuk meneladani dan mengikuti jejak beliau. Hanya saja, dalam konteks syari'at, perilaku-perilaku Rasul dalam kategori ini mengandung berbagai dimensi hukum, adakalanya wajib, mandûb (sunnat), atau ibâhah (perkenan). Ada beberapa pemilahan dalam menentukan norma hukum berkaitan dengan perilaku beliau secara kasuistik.
a)       Apabila tindakan Rasul diketahui sebagai penjelasan dari kandungan ayat-ayat Al-Qur'an yang secara literal bercakupan umum ('âm), maka  dimensi hukum perilaku ini setingkat dengan dimensi hukum dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur'an yang dijelaskan. Bila hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an adalah wajib, maka perilaku Nabi wajib pula hukumnya, bila kandungan hukum ayat-ayat Al-Qur'an adalah mandûb, maka perilaku ini berhukum mandûb, atau bila ayat Al-Qur'an berkandungan hukum ibahah, maka demikian pulalah norma hukum perilaku tersebut. Perbuatan yang menjelaskan kandungan ayat Al-Qur'an tersebut seperti tata cara tayammum Rasul dengan mengusap tangan sampai siku-siku sebagai penjelasan dari ketentuan global ayat tentang tayammum (QS: Al-Maidah 6). Atau tindakan beliau dalam menjelaskan tata cara penerapan sanksi pidana pencurian, yakni potong tangan, sebagai implementasi dari ketentuan general ayat Al-Qur'an tentang sanksi tersebut (QS: Al-Maidah 38).
b)       Apabila tindakan Nabi secara zhâhir tidak nampak statusnya sebagai penjelas kandungan ayat Al-Qur'an yang masih umum, atau dengan kata lain, perbuatan tersebut muncul secara mandiri dari ketentuan Al-Qur'an, maka dalam penentuan status hukumnya, terdapat dua pemilahan mengenai keterkaitannya dengan bentuk ritual ibadah (qurbah) atau bukan.
-         Apabila status hukum perbuatan Rasul tersebut diketahui, wajib, sunnat atau ibâhah, maka demikian pula halnya umat beliau, bila perbuatan tersebut wajib atas Rasul, maka mengikutinya adalah wajib, bila perbuatan tersebut berhukum sunnat, maka mengikuti Rasul dalam perbuatan tersebut juga berhukum sunnah. Beberapa argumen yang melandasi pemikiran ini, di antaranya dari nash Al-Qur'an surat Al-Hasyr 7, An-Nur 63, dan Ali Imran 31 sebagaimana telah dipaparkan di muka. Demikian pula yang diteladankan para shahabat, mereka menunjukkan kepatuhan pada Rasul, dan menjadikan perilaku beliau sebagai teladan dalam bertindak dan bersikap. Diriwayatkan, bahwa 'Umar bin al-Khaththab ra. pernah mencium hajar aswad (batu hitam di sudut Ka'bah). "Seandainya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu". ujarnya, seolah berbicara pada hajar aswad.
-         Apabila status hukum dari perbuatan Nabi tidak diketahui, wajib, sunnah atau mubah, maka terdapat pemilahan.
·          Apabila perbuatan Nabi berupa pendekatan diri kepada Allah (qurbah) seperti shalat dua rokaat yang dilakukan tidak secara kontinyu, maka status hukum perbuatan tersebut adalah sunnat. Sedangkan menurut Imam Malik, perbuatan tersebut menunjukkan pada hukum wajib, karena Allah telah memerintahkan untuk mengikuti Rasul, sementara orientasi kalimat perintah adalah adalah wajib.
·          Apabila perbuatan tersebut bukan merupakan upaya khusus pendekatan diri kepada Allah (ghair qurbah), seperti jual beli dan transaksi muzâra’ah[72] maka perbuatan tersebut adalah ibâhah (perkenan, boleh). Hal ini karena ibâhah merupakan kadar terendah yang diyakini dari sebuah perbuatan Rasul. Maksudnya, jika Rasul berbuat sesuatu, paling tidak perbuatan tersebut berhukum boleh. Dan tidak dapat berpindah pada hukum lain, tanpa dalil yang jelas. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Al-Karkhi, serta direkomendasikan oleh Ibn al-Hâjib. Sedangkan menurut Imam Al-Syafi'i, perbuatan tersebut menunjukkan pada hukum sunnat, sebab perbuatan apapun, pasti dimaksudkan untuk pendekatan diri kepada Allah (qurbah), sementara batas minimal status qurbah adalah sunnat. Pendapat kedua ini juga didukung oleh mayoritas kalangan Hanafiyyah dan Mu’tazilah. Al-Amudi dan Al-Isnawi berpandangan, apabila perbuatan Nabi secara jelas dimaksudkan untuk qurbah, maka dalam perbuatan tersebut terdapat persekutuan (qadr al-musytarak) antara wajib dan sunnat (ibâhah tidak diperhitungkan karena adanya prioritas pelaksanaan daripada pengabaian terhadap perbuatan tersebut). Dan apabila perbuatan tersebut tidak secara jelas dimaksukan untuk qurbah, maka ini menunjukkan pada persekutuan antara wajib, sunnah dan ibâhah, (ibâhah diikutsertakan dengan motif memperingan kesulitan).
Taqrîr dan sikap diam Nabi
Dalam terminologi ushul fiqh, taqrîr adalah sikap ketidakingkaran Rasul saw., alias diam terhadap perbuatan atau perkataan shahabat yang dilakukan di hadapan beliau, dan tidak terdapat faktor khusus yang mendorong sikap diam ini. Sikap taqrîr ini adalah salah satu bentuk dari sunnah beliau yang harus diikuti. Karena, perbuatan apa saja yang dilakukan di hadapan Rasulullah, kemudian beliau mendiamkannya, berarti perbuatan tersebut adalah benar, sebab  tidak mungkin beliau membiarkan perbuatan munkar terjadi dengan sepengetahuan beliau, padahal beliau mampu mencegahnya.
Contohnya adalah sikap diam Nabi ketika mendengarkan seorang lelaki yang berkata: “Bila seorang lelaki melihat istrinya bersama dengan lelaki lain, maka jika ia membunuh lelaki lain tersebut, maka ia harus dibalas bunuh. Dan bila ia menuduhnya berzina, maka ia harus dicambuk.”  Dari sikap diam Rasul ini menunjukkan bahwa pernyataan orang tersebut benar, berarti pelaku pembunuhan harus dibalas bunuh, begitu pula penuduh zina harus dicambuk.
Contoh lain adalah sikap diam beliau ketika melihat Qais sedang melakukan shalat dua rakaat setelah shalat Shubuh. Hal ini menunjukkan bahwa seusai shalat Shubuh, boleh melakukan shalat lagi jika ada alasan melakukannya, seperti menunaikan shalat qadlâ' atau yang lain.
Demikian ini bila sikap diam Rasul terjadi atas tindakan-tindakan yang dilakukan di hadapan beliau. Lantas bagaimana jika sikap diam tersebut muncul atas tindakan yang dilakukan di luar jangkauan mata? Ada pemilahan dalam menyikapi hal ini.
Jika pada umumnya perbuatan-perbuatan semacam itu tidak mungkin luput dari pengetahuan Nabi, maka perbuatan tersebut setingkat dengan perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau dan tidak diingkarinya. Seperti apa yang dilakukan Muadz. Setelah menunaikan shalat Isya’ bersama Nabi, ia melakukan shalat sunnat, sementara kaumnya melakukan shalat Isya’ bermakmum kepadanya. Kejadian semacam ini, layaknya tidak luput dari pengetahuan Nabi. Dan dalam hal ini, beliau tidak mengingkarinya. Karenanya, hal ini menunjukkan bahwa perbuatan Mu'adz tersebut boleh untuk dilakukan, karena seandainya tidak diperbolehkan, niscaya Rasul akan mengingkarinya.
Mengenai perbuatan-perbuatan yang pada umumnya tidak beliau ketahui jika terjadi tidak di hadapan mata, maka ketiadaan sikap Nabi ini tidak lantas ditafsiri sebagai persetujuan beliau. Contohnya adalah kejadian yang diceritakan oleh seorang shahabat dari kalangan Anshar bahwa pada masa hidup Nabi, ia pernah melakukan hubungan badan tanpa melakukan mandi setelahnya. Sikap diam Nabi terhadap perkataan tersebut tidak lantas menunjukan suatu hukum, bahwa orang yang melakukan hubungan badan tidak wajib mandi. Karena perkataan semacam ini biasanya terlontar secara sembunyi-sembunyi, sehingga sikap diam Nabi dimungkinkan karena beliau tidak mengetahui hal tersebut[73].
"Kontradiksi" (ta'ârudl) dalam al-sunnah
Sebelum lebih jauh melangkah pada pembahasan ini, perlu digarisbawahi, bahwa secara esensial, di antara muatan-muatan al-sunnah sama sekali tidak terdapat kontradiksi (ta'ârudl). Karena, al-sunnah bersumber dari wahyu, sebagaimana pula tidak mungkin terjadi kontradiksi antara al-sunnah dan Al-Qur'an. Istilah ini dimunculkan hanya sebatas tataran linguistik, untuk menyikapi perbedaan implikasi yang timbul dari beberapa nash. Dalam kaitannya dengan al-sunnah, fokus pembahasan terbagi dalam tiga kategori penting. Yakni kontradiksi di antara perbuatan-perbuatan Nabi, kontradiksi di antara perkataan-perkataan beliau dan kontradiksi antara perkataan dan perbuatan.
* Kontradiksi antara perkataan-perkataan Nabi
Pada dasarnya, perkataan-perkataan Rasulullah tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. Seandainya ditemukan, hal tersebut hanyalah dalam tataran zhâhir, bukan secara hakiki. Hal ini disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah perbedaan sudut pandang mujtahid dalam memahami hadits, kadang memiliki dimensi makna yang jelas, samar atau karena faktor lainnya. Mengenai perkataan-perkataan Nabi yang "kontradiktif" ini, mayoritas ulama' minus Hanafiyyah, memberikan empat solusi secara bertahap
1.       Melakukan jâmi' (kompromi) antara perkataan-perkataan Nabi yang tampak kontradiktif. Dengan arti, memposisikan sebuah perkataan Nabi pada suatu kondisi, dan memposisikan perkataan yang lain pada kondisi yang lain pula. Sebagaimana mengarahkan pada masing-masing obyeknya (tanwî'), memberikan masing-masing batasan (qayyid), mengarahkan dimensi hakikat dan majasnya, memberlakukan eksepsi (takhshîsh), dan sebagainya. Hal ini dilandasi pemikiran mendasar, adalah lebih baik memfungsikan dua dalil secara sekaligus daripada mengabaikan salah satunya.
2.       Bila upaya kompromi (jâmi') tidak berhasil, maka dilakukanlah tarjîh (preferensi) pada salah satu perkataan Nabi. Tarjîh sendiri dapat dilakukan melalui berbagai segi. Tarjîh dari segi materi hadits (matan) seperti pen-tarjîh-an hadits muhkam (non-interpretable) atas hadits yang mufassar (interpretable), tarjîh dari segi sanadnya, seperti men-tarjîh hadits mutawâtir atas hadits âhâd, tarjîh dari sisi periwayat, seperti men-tarjîh hadits dengan perawi yang memiliki karakter 'adâlah (intregitas moral dan ketakwaan), kemampuan dan pengetahuannya dalam fiqh, atau daya ingat dan hafalannya yang kuat. Selain hal-hal di atas, tarjîh dapat pula dilakukan dari sisi dilâlah (penunjukan status hukumnya, meliputi haram, ibâhah, itsbât atau nafi dan lain-lain), sebagaimana men-tarjîh hadits yang dilâlah-nya haram. Ada pula tarjîh dari sisi eksternal (amr khârij), seperti men-tarjîh hadits yang diperkuat dengan dalil lain, dari Al-Qur'an, al-sunnah maupun ijma’. Menurut sebagian ulama' teoritisi, seperti kalangan Hanafiyyah, tarjîh diposisikan pada urutan pertama, disusul jâmi' pada posisi kedua.
3.       Bila upaya jâmi' dan tarjîh tidak mungkin dilakukan, maka salah satu perkataan Nabi berfungsi me-naskh perkataan yang lain. Ini dengan catatan, keduanya memiliki kekuatan yang setara, serta secara kronologis, masing-masing perkataan tersebut diketahui mana yang muncul lebih akhir. Dan, yang muncul terakhir inilah yang akan me-naskh perkataan yang muncul sebelumnya.
4.       Bila tiga tahapan upaya di atas tidak bisa direalisasikan, maka kedua perkataan tersebut saling menggugurkan (tasâquth).
* Kontradiksi di antara perbuatan-perbuatan Nabi
Permasalahan ini memicu kontroversi ulama', dapatkah tindakan-tindakan Rasulullah saw. bertentangan satu dengan yang lain? Mayoritas ulama' teoritisi berpandangan bahwa di antara tindakan-tindakan beliau, tidak mungkin terjadi kontradiksi. Maksudnya, suatu perbuatan tidak dapat me-naskh atau men-takhsîsh perbuatan yang lain, karena sangat mungkin pada suatu saat perbuatan beliau berhukum wajib, dan saat yang lain berhukum sunnat.
Namun terdapat riwayat dari Ibn Rusyd, bahwa perbuatan Rasulullah yang kontradiktif dengan perbuatan lain, diposisikan sebagaimana kontradiksi di antara perkataan-perkataan beliau. Sementara Ibn Al-‘Arabi dalam karyanya, Al-Mahshûl, meriwayatkan tiga versi pendapat ulama tentang kontradiksi di antara perbuatan-perbuatan Nabi.
-           boleh memilih salah satunya sebagai pegangan dan acuan hukum.
-           prioritas ada pada perbuatan yang dilakukan terlebih dahulu.
-           Melakukan preferensi (tarjîh) pada salah satunya dengan mencari indikasi penguat. Sebagaimana dalam tata cara pelaksanaan shalat khauf (shalat dalam kondisi ketakutan atau situasi perang) yang pernah dilakukan Nabi hingga 24 metode. Dalam kaitannya dengan hal ini Imam Al-Syafi'i dan Imam Malik berpendapat, dalam permasalahan ini dibutuhkan adanya tarjîh pada salah satu bentuk shalat khauf yang lebih mendekati pada bentuk atau aktivitas shalat pada umumnya[74].
* Kontradiksi antara perbuatan dan perkataan Nabi
Dalam beberapa permasalahan sering dijumpai, perbuatan Nabi bertentangan dengan perkataan beliau. Seperti larangan menghadap kiblat ketika melakukan buang air, sedang dalam keterangan lain dituturkan bahwa beliau pernah melakukannya. Untuk menguak permasalahan ini, fokus pembahasan diarahkan dalam tiga kategori uraian. Yakni perkataan terlontar mendahului perbuatan beliau, perbuatan beliau lakukan mendahului perkataan, atau tidak diketahui keberadaan perbuatan dan perkataan tersebut, mana yang lebih awal muncul.
(1).             Perkataan lebih dahulu daripada perbuatan.
Dalam hal ini, perbuatan Rasulullah – yang memenuhi kriteria wajib untuk diikuti, sebagaimana paparan terdahulu – dapat me-naskh perkataan sebelumnya, baik perkataan tersebut bersifat umum, bagi Nabi dan umatnya, khusus bagi umatnya, atau khusus bagi diri Nabi.
Yang bersifat umum misalnya perkataan Nabi: “Wajib bagi kita semua  melakukan puasa pada hari Senin”, tetapi dan pada hari Senin ternyata Nabi tidak berpuasa. Maka perbuatan ini, dapat me-naskh perkataan sebelumnya. Jika perkataan tersebut khusus bagi diri Nabi, maka naskh juga khusus bagi beliau, bukan bagi umatnya.
Sedangkan bila perbuatan Nabi tidak disertai kewajiban mengikuti bagi umatnya, maka perkataan tersebut berfunsi men-takhshîsh pada perbuatannya, bukan me-naskh-nya.
(2).             Perbuatan lebih dahulu dari perkataan.
Seperti tindakan Nabi menunaikan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Dan beberapa waktu kemudian beliau melarangnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, terdapat tiga pemilahan dalam  menentukan status hukumnya, dengan syarat terdapat dalil atas kewajiban pengulang-ulangan perbuatan tersebut. Karena bila tidak terdapat dalil yang menunjukkan kewajiban pengulang-ulangan, maka dalam permasalahan ini tidak dapat disebut sebagai kontradiksi (ta'ârudl).
-           Apabila perkataan tersebut bercakupan umum untuk diri Nabi sendiri maupun umatnya, maka perkataan tersebut dapat me-naskh perbuatan. Sebagaimana beliau berpuasa Asyura’ misalnya, dan terdapat dalil atas kewajiban pengulang-ulangan perbuatan tersebut. Setelah itu, beberapa waktu kemudian beliau berkata: “Bagi kita tidak wajib melakukan puasa Asyura’”, maka perkataan tersebut me-naskh perbuatan.
-           Perkataan tersebut khusus bagi diri Nabi, seperti beliau berpuasa Asyura’, kemudian berkata: “Tidak wajib bagi saya melakukan puasa Asyura’”, maka perkataan tersebut me-naskh perbuatan beliau sendiri, sementara umatnya tetap wajib melaksanakan puasa Asyura’.
-           Perkataan Nabi tersebut khusus bagi umatnya, seperti beliau berpuasa Asyura’, kemudian berkata: “Tidak wajib bagimu sekalian melakukan puasa Asyura’”, Maka perkataan tersebut me-naskh kewajiban puasa atas umatnya, sedang beliau tetap berkewajiban melakukannya.
(3).             Tidak diketahui mana yang lebih awal atau lebih akhir di antara perkataan dan perbuatan Nabi saw.
Dalam menyelesaikan permasalahan ini, apabila perbuatan dan perkataan Nabi bisa dikompromikan (jâmi'), maka harus dilakukan, dengan metode takhshîsh atau yang lain. Sedang bila tidak dapat dikompromikan, bagaimana cara penyelesaiannya ? Di kalangan ulama' setidaknya terdapat tiga versi pendapat.
-           Perkataan lebih diprioritaskan daripada perbuatan.  Karena, dengan sendirinya, perkataan Rasul menunjukkan atas makna yang dikandungnya tanpa membutuhkan perantara. Sedangkan perbuatan, dalam penunjukan atas makna yang dikandungnya, harus disertai perantara. Seperti kewajiban menunaikan shalat lima waktu, tidak dapat diketahui dari perbuatan beliau tanpa disertai perkataan: "Shalatlah kalian sebagaimana engkau melihatku melakukan shalat" (HR. Bukhari dan Muslim). Pendapat ini didukung oleh Al-Râzi dan mayoritas ulama.
-           Perbuatan lebih diprioritaskan daripada perkataan, karena perbuatan memiliki dilalah (penunjukan atas maksud) lebih jelas daripada perkataan. Terbukti, teori atau perkataaan seorang arsitek tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa disertai perbuatan atau praktik, seperti dengan membuat peta.
-           Menangguhkan permasalahan (tawaqquf) hingga ditemukan dalil secara eksplisit yang mengarahkan pada salah satunya. Hal ini karena kita diwajibkan mengikuti sunnah Rasul tanpa membedakan antara perkataan dan perbuatannya.
Metode periwayatan hadits
Dalam periwayatan sebuah hadits terdapat beberapa metode, terkait dengan materi hadits yang diriwayatkan (matan), atau dengan model penyandarannya (isnâd). Dalam keterkaitannya dengan materi yang diriwayatkan, ada beberapa model periwayatan yang pada akhirnya timbul kontroversi di antara para ulama’ teoritisi. Dalam hal ini, selain terdapat implikasi terhadap status validitas hadits, juga tentu saja berhubungan dengan implikasi linguistik, karena dalam meninjau kandungan sebuah hukum, tidak bisa dilepaskan dari hal ini. Beberapa model tersebut di antaranya[75]:
(1).                        Periwayatan dengan menggunakan redaksi hadits yang sama persis apa yang didengar oleh perawinya. Periwayatan semacam ini merupakan model terbaik, karena seorang periwayat telah memenuhi apa yang diamanatkan kepadanya, menuturkan sesuai apa yang ia dengar. Kemudian terkait hal ini, hadits yang diriwayatkan kadangkala berupa dialog tanya jawab, sehingga apabila sebuah jawaban tidak akan bisa dipahami tanpa disertai penuturan pertanyaan, maka harus menyertakan pertanyaannya, dan sebaliknya, bila jawaban tersebut bisa dipahami tanpa penyebutan pertanyaannya, maka bebas menyebutkan jawabannya.
(2).                        Periwayatan tidak dengan redaksi asli, tetapi dengan redaksi lain yang memiliki kesamaan makna. Mengenai boleh tidaknya meriwayatkan sebuah hadits dengan model semacam ini, terdapat delapan versi pendapat di antara ulama dalam permasalahan ini.
a.        Boleh, bagi seorang perawi yang memiliki pengetahuan tentang makna-makna lafal. Sedangkan bagi perawi yang tidak memiliki pengetahuan tentang hal ini, ia tidak diperkenankan meriwayatkannya secara makna. Pendapat ini, sebagaimana diklaim oleh Al-Qâdli, merupakan konsensus para ulama. Meski demikian, masih terdapat perbedaan pandangan mengenai pensyaratannya. Di antara mereka ada yang mensyaratkan harus dengan menggunakan redaksi yang sinonim (murâdif) dengan redaksi asal, seperti kata julûs diganti dengan kata qu‘ûd atau sebaliknya. Ada pula yang mensyaratkan kesetaraan jelas tidaknya penunjukan lafal terhadap maknanya. Atau ada juga pensyaratan bahwa redaksi yang mereka riwayatkan bukan redaksi paten dalam ritual ibadah (ta‘abbud bi lafzhihi) seperti tasyahhud, Istiftâh dan lain sebagainya.
b.       Tidak boleh secara mutlak. Dengan demikian kewajiban seorang râwi – baik seorang yang memiliki pengetahuan makna-makna lafal ataupun bukan – adalah meriwayatkan hadits dengan redaksi yang sama persis dengan apa yang didengar. Pendapat ini, sebagaimana dikutip oleh Al-Qâdli, dilontarkan oleh mayoritas ulama' salaf dan ahli hadits. Versi ini, menurut al-Syaukâni, menyalahi tradisi para periwayat hadits sejak dahulu, dan sangat sulit untuk direalisasikan. Karena, seringkali ditemukan, sebuah hadits diriwayatkan secara massal dengan redaksi yang berbeda-beda.
c.        Boleh, bila redaksi hadits tidak memiliki potensi kontroversi penafsiran. Pendapat ini diungkapkan oleh sebagian ulama' Syafi'iyyah, dan pendapat terpilih dari Ilkiyâ al-Thabari.
d.       Boleh apabila perawinya tidak hafal redaksi aslinya. Pendapat ini didukung oleh Al-Mâwardi dan Al-Rauyâni.
e.        Boleh apabila redaksinya menggunakan bentuk amar (kalimat perintah) atau nahi (kalimat larangan). Sehingga bila redaksi hadits berupa kalam khabar (kalimat berita), maka tidak diperkenankan meriwayatkannya dengan makna.
f.        Boleh apabila redaksi hadits merupakan redaksi yang muhkam (penunjukan maknanya lugas). Apabila menggunakan redaksi yang mujmal (general) atau musytarak (polisemi), maka tidak diperbolehkan.
g.        Bila redaksi hadits terangkai dalam susunan kata yang tidak bisa dipahami kalangan awam kecuali dengan menampilkannya secara persis, maka tidak diperbolehkan meriwayatkannya secara maknawi.
h.       Boleh apabila dimaksudkan untuk keperluan penyampaian fatwa atau berargumentasi dalam forum ilmiah. Apabila untuk sekedar periwayatan, maka tidak diperbolehkan.
(3).                        Periwayatan dengan membuang sebagian redaksi hadits (elipsis). Dalam konteks ini, apabila redaksi yang terbuang memiliki keterkaitan secara lafzhiyyah atau ma'nawiyyah dengan redaksi yang ditampilkan, maka tidak di perbolehkan. Pendapat ini, sebagaimana diungkapkan oleh Shafiy al-Hindi dan Ibn Al-Anbari secara bulat telah disepakati para ulama'[76]. Wujud dari keterkaitan lafzhiyyah adalah sebagaimana istitsnâ' (eksepsi) kalimat bersyarat (conditional sentence), ghayah (limit), dan sifat. Keterkaitan ma'nawiyyah seperti makna khâsh dan âmm, muqayyad dan muthlaq, mubayyan dan mujmal,  atau nâsikh dan mansûkh.
(4).                        Periwayatan dengan penambahan pada materi hadits (mudraj). Dalam hal ini, apabila kata tambahan berfungsi sebagai interpretasi dan penjelasan latar belakang kemunculan hadits atau makna kandungan hadits, maka diperbolehkan. Ini dengan syarat seorang râwi menjelaskan bahwa tambahan tersebut dari dirinya sendiri, sehingga orang lain mengetahui bahwa kata-kata tersebut bukan bagian dari hadits. Al-Mâwardi dan Al-Rauyâni memilah, bagi perawi kalangan shahabat boleh memberikan tambahan sebagai penjelas latar belakang kemunculan hadits, sedang bagi perawi selain shahabat, hanya boleh memberikan penambahan kata sekedar sebagai penjelasan secara literal[77].
Selain empat model periwayatan terkait dengan materi hadits sebagaimana dipaparkan di atas, masih ada beberapa model lagi yang karena keterbatasan ruang, maka tidak dicantumkan pembahasannya.

Demikianlah, secara umum tidak ada keraguan lagi bahwa al-sunnah merupakan salah satu sumber hukum syari'at. Bila ditilik dari sudut perunutan logika, posisi al-sunnah berada pada urutan kedua setelah Al-Qur'an, karena penerimaan terhadap al-sunnah baru bisa dihasilkan setelah penerimaan akan kebenaran Al-Qur'an. Namun, al-sunnah justru memegang peran amat penting dalam pembentukan konsep legislasi syari'at. Hal ini karena tatkala Rasul mendapatkan mandat sebagai penjelas kandungan Al-Qur'an, maka konsekwensi logisnya, al-sunnah sebagai sesuatu yang muncul dari diri utusan Allah itu pun berfungsi sebagai penjelas Al-Qur'an. "Al-Qur'an lebih membutuhkan pada al-sunnah daripada kebutuhan al-sunnah akan Al-Qur'an" , demikian diungkapkan Al-Auza'i. Karenanya, sangat naif bila seorang muslim mengesampingkan keberadaan al-sunnah sebagai sendi-sendi pokok ajaran Islam yang menuntunnya menuju pada pencerahan pemikiran dan perbuatan. Dan, sama naifnya pula bila al-sunnah sebagai tuntunan hidup, tidak secara optimal menjadi porsi dari penekunan bidang keilmuan para pelanjut mujtahid pewaris Nabi. Wallahu a'lam.



[1] Muhammad al-Khudlarî Bik, Tarikh Al-Tasyrî’ Al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1995, hlm. 61.
[2] Muhyi al-Dîn 'Abd al-Salâm, Mauqif al-Imâm al-Syâfi'i, Kairo: Lajnat al-Ta'rîf bi al-Islâm, tt. hlm 122-123.
[3] ‘Isâwî Ahmad ‘Isâwî, Al-Madkhal li al-Fiqh al-Islâmî, Târikhuhu, Mashâdiruhu, Nazhariyyât al-Milk wa al-‘Aqd, Qawâ‘iduhu al-Kulliyyât, Mesir: Al-Mâliyyah, tt. juz I hlm. 221.
[4] Muhammad bin Ismâ'il al-Bukhâri, Al-Jâmi' al-Shahîh al-Mukhtashar, Beirut: Dâr Ibn Katsîr al-Yamâmah, cet III 1983, juz I hlm. 54.
[5] 'Isâwî Ahmad 'Isâwî, loc.cit.
[6] Ibid.
[7] Mahmûd Syaltût, Islam, Aqîdah wa Syari'ah, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. III 1966, hlm. 499
[8] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad Al-Syaukâni, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. hlm. 33.
[9] Wahbah al-Zuhaylî,  Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, tt., juz I hlm. 450.
[10] Ibid. ; Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr al-'Arabî, tt., hlm. 104.
[11] Wahbah al-Zuhaylî,  loc.cit..
[12] Mahmud Syaltut, op.cit., hlm 501. Menurut Ibn Zuhri, usaha pembukuan al-sunnah ini dimulai pada zaman Khalifah 'Umar bin Abdul Aziz.
[13] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayûmî, Al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr, Beirut: Al-Maktabah al-'Ilmiyyah, tt., hlm. 124.
[14] Wizârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'at al-Fiqhiyyah, Kuwait: Wizârat al-Awqâf al-Kuwaitiyyah, tt., juz XIII hlm. 13.
[15] Al-marfû' adalah periwayatan yang disandarkan pada Rasulullah saw., berupa perkataan, tindakan atau sifat-sifat. Sedangkan al-mauqûf adalah hadits yang tidak disandarkan pada Rasulullah saw., tetapi hanya perkataan atau tindakan shahabat. Dan bila penyandaran periwayatan hanya sampai pada generasi tabi'in, maka disebut al-maqthû'.
[16] Wizârat al-Awqâf, ibid, juz XIII hlm. 13-14. Maksud dari pendapat terakhir adalah bahwa dalam penyebutannya, seringkali diungkapkan hadits mauqûf, hadits maqthû', bahkan hadits maudlû' (palsu). Berarti, penyebutan 'hadits' dari tiga rangkaian kata ini menunjukkan bahwa secara hakiki, ketiga hal ini bukan merupakan hadits.
[17] Mas'ûd bin ‘Umar al-Taftâzânî, Syarh al-Talwîh 'ala al-Taudlîh, Mesir: Maktabat al-Shabîh, tt., juz II hlm. 3.
[18] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit..juz I hlm. 449.
[19] Muhyi al-Dîn 'Abd al-Salâm, op.cit., hlm 122.
[20] Mahmud Syaltut, op.cit., hlm 507.
[21] Rawâfidl, bentuk plural (jamak) dari Râfidlah, secara literal berarti orang yang meninggalkan. Nama ini disandangkan pada sebuah sekte sempalan Syi'ah, karena mereka meninggalkan anjuran Zaid bin Ali bin Abi Thalib ra. untuk tidak menghujat para shahabat.
[22] Al-Syaukâni, op.cit.,  hal 33-34.
[23] Muhammad bin Abî Bakar bin Ayyûb al-Dimasyqî (Ibn al-Qayyim), I'lâm al-mûqi'în 'an Rabb al-'Âlamîn, Beirut: Dâr al-Jail, 1973, juz II hlm. 257.
[24] Zhanniyy al-dilâlah, adalah sebuah dalil atau ungkapan yang penunjukan maknanya interpretable, masih terbuka untuk ditafsirkan dengan beragam makna, tidak mengarah hanya pada satu makna.
[25] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit..juz I hlm. 455-458
[26] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit..juz I hlm. 457.
[27] Wahbah al-Zuhaylî,  ibid..juz I hlm. 458-460.
[28] Qath'iyy al-tsubût adalah sebuah dalil yang keberadaan dan validitasnya telah dapat dipastikan dengan yakin, bukan sekedar kemungkinan atau dugaan.
[29] Sebagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab dengan Lauh Mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk telah dituliskan (ditetapkan) di sana. Ada pula yang menafsirkan dengan Al-Qur’an, yang berarti bahwa di dalam Al-Qur'an telah ada pokok-pokok agama, norma-norma hukum dan pimpinan untuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat, serta kebahagian makhluk pada umumnya. Lihat Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota, 1989, hlm. 192.
[30] Zindîq adalah orang yang menyembunyikan kekufuran di balik penampakan keislamannya.
[31] Al-Syaukâni, op.cit.,  hal 33.
[32] Dari pernyataan ini, tercetus suatu sikap dari kalangan Syafi'iyyah bahwa tatkala terjadi 'kontradiksi' secara literal antara Al-Qur'an dan sunnah mutawâtirah, maka tidak ada upaya preferensi (tarjîh) terhadap salah satu dari keduanya.
[33] Sebagaimana dipaparkan pada pembahasan Al-Qur'an, mayoritas ulama' berpendapat bahwa al-sunnah dapat me-naskh Al-Qur'an, karena keduanya bersumber dari wahyu Allah. Sebagian ulama', di antaranya  adalah Al-Syâfi’î, berpendapat sebaliknya, bahwa al-sunnah tidak dapat me-naskh ayat Al-Qur’an. Namun pernyataan 'kontroversial' ini sebenarnya merupakan etika agung Al-Syafi'i dalam menjelaskan kesejalanan al-sunnah dengan Al-Qur'an, karena keduanya adalah bersumber dari wahyu. Al-Subuki menginterpretasikan pernyataan Al-Syafi'i di atas dengan suatu ungkapan, bahwa tatkala terjadi penyalinan ayat Al-Qur’an dengan al-sunnah, maka bersamanya terdapat ayat Al-Qur’an yang menguatkan pe-naskh-an al-sunnah atau menjelaskan kesejalanan antara Al-Qur’an dan al-sunnah. Karenanya, dalam fungsi ini, pada hakikatnya al-sunnah hanya sebagai petunjuk atas ter-naskh-nya suatu ayat Al-Qur'an dengan ayat lain. Namun, di balik itu semua, tampaknya kontroversi pendapat semacam ini tidak lebih sebatas retorika, karena contoh yang diungkapkan masing-masing kelompok juga masih terbuka untuk diperdebatkan. Selaras dengan asumsi ini adalah pernyataan Al-Zarqâni, bahwa ulama' yang secara teoritis memperbolehkan terjadinya naskh dalam ayat Al-Qur'an oleh al-sunnah ini juga berbeda pendapat, apakah secara faktual benar-benar terjadi.
[34] Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh orang yang telah beristeri atau bersuami.
[35] Muhammad Musthafâ Syalbî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Beirut: Dâr al-Nahdlah al-'Arabiyyah, 1986.juz I hlm. 125
[36] Muhammad Musthafâ Syalbî, ibid., juz I hlm. 127.
[37] Muhammad Musthafâ Syalbî, ibid juz I hlm. 125; Wahbah al-Zuhaylî, op.cit., juz I hlm. 451.
[38] Hadits pertama diriwayatkan oleh dua belas orang shahabat, di antaranya dikeluarkan oleh Ibn Abî Syaibah, Dâruquthni dan Ibn 'Adiy dari Ali bin Abî Thalib ra. Hadits kedua dikeluarkan oleh Ahmad dan pemilik enam kitab hadits induk dari Anas ra., dari jalur lain juga diriwayatkan oleh Zubair, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa'id al-Khudzri, Ibn Mas'ud dan masih banyak lagi. Sedang hadits ketiga dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, Ahmad dari Jabir bin Abdillah, Ahmad dan Dâruquthni dari Abdullah bin al-Hârits. Lihat Wahbah al-Zuhaylî,  ibid..juz I hlm. 452.
[39] Wahbah al-Zuhaylî,  ibid..juz I hlm. 453.
[40] Wahbah al-Zuhaylî,  ibid..juz I hlm. 452.
[41] Dalam penentuan jumlah periwayat hingga pemberitaan mereka bisa menimbulkan keyakinan, terdapat beragam pendapat. Namun ada suatu patokan dasar yang diajukan oleh kalangan Syafi'iyyah, termasuk Abu Bakar al-Bâqilâni, yakni bahwa jumlah empat orang periwayat belum memberikan kepastian tentang kebenaran berita yang dibawanya, alias pemberitaan mereka belum dapat disebut sebagai mutawâtir, karena empat orang yang bersaksi atas perbuatan zina masih perlu uji kelayakan mengenai 'adâlahnya. Namun, bilangan lima – sebagaimana terungkap dalam suatu pendapat yang menyangkanya sebagai batas minimal mutawâtir – juga belum tentu menimbulkan pemberitaan mutawâtir. Dan masih banyak lagi pendapat yang menentukan bilangan minimal mutawâtir, seperti 7, 10, 12, 20, 40, 70, 313, 500 dan sebagainya, dengan alasan-alasan yang kurang mendasar. Pendapat yang benar, sebagaimana diutarakan oleh banyak teoritisi, dalam menentukan jumlah minimal periwayat kabar mutawâtir adalah tanpa menentukannya dalam bilangan tertentu, yang terpenting adalah, bila dengan jumlah tersebut, pemberitaan yang mereka sampaikan akan menimbulkan penilaian akal, bahwa mereka tidak mungkin bersepakat atas kebohongan. Lihat Al-Syaukâni, op.cit., hlm. 48; Al-Jalâl Syams al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Syarh ‘alâ matn Jam‘ al-Jawâmi‘, Al-Biqa’: Dar Ibn ‘Abûd, 1995.juz II hlm. 121-123.
[42] Hadits pertama, dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar ra., hadits kedua juga oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra., sedang hadits ketiga diriwayatkan oleh Ibn Majah, Dâruquthni dan yang lain, dari Abu Sa’id Al-Khudzri ra. Adapun hadits tentang khuf diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Jarir ra., dan hadits mengenai rajam diriwayatkaan oleh Ahmad dan enam imam hadits dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid. Lihat Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit..juz I hlm. 454.
[43] Ibid.
[44] Fâsiq adalah keluar dari garis ketentuan syari'at, atau disebut pula maksiat.
[45] Istifâdlah dan syuhrah, secara literal berarti populer. Maksudnya segolongan orang dengan jumlah 'banyak', yakni lebih dari tiga atau empat orang. Sehingga hadits mustafîdl atau masyhûr adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat. Sebenarnya banyak sekali ragam pendefinisian kedua istilah ini. Sebagian pakar berpendapat bahwa mustafîdl atau masyhûr sama dengan mutawâtir, sedangkan yang lain berpandangan, bahwa mustafîdl dan masyhûr merupakan pertengahan antara âhâd dan mutawâtir, sehingga kalangan Hanafiyyah mengklasifikasi sunnah atau hadits dalam tiga kategori seperti dijelaskan di muka. Dan, Al-Âmudi yang berpandangan bahwa mustafîdl atau masyhûr termasuk dalam kategori âhâd, mendefinisikannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga atau empat orang periwayat yang tidak sampai mencapai jumlah mutawâtir. Karena inilah, muncul perselisihan pandangan dalam mendefinisikan hadits âhâd.
[46] Badr al-Dîn Muhammad Bahâdir bin ’Abd Allâh al-Zarkasyi, Al-Bahr al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2000 juz III hlm. 318
[47] Abû Husain Muhammad bin 'Ali bin Thayyib al-Bashri al-Mu’tazili, Al-Mu’tamad fî ushûl al-Fiqh, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1965, juz II hlm. 566.
[48] Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli, Al-Mustashfâ min ’Ilm al-Ushûl, Beirut, Dâr al-Fikr, tt. juz I hlm. 145.
[49] Rasulullah saw. bersabda: "Kami, para nabi, tidak dapat diwarisi, apa-apa yang kami tinggalkan adalah sadaqah" HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Bakar ra.
[50] Rasulullah saw. bersabda padanya: "Menetaplah engkau hingga usai iddahmu !" (HR. Ahmad dan empat imam hadits)
[51] Maksud ayat ini adalah bahwa masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri.
[52] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit..juz I hlm. 467.
[53] Ibid.
[54] Hadits ini mutawâtir, diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi dan Ibn Hibbân, dari Ibn Mas'ud. Dari jalur lain juga diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al-Dliyâ' dari Zaid bin Tsabit.
[55] Wahbah al-Zuhaylî,  ibid..juz I hlm. 470-473
[56] HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Ibn 'Umar.
[57] Periwayatan secara maknawi adalah periwayatan dengan menggunakan makna yang senada dengan teks perkataan Nabi saw., bukan sama persis secara tekstual. Mengenai permasalahan ini akan dipaparkan pada pembahasan selanjutnya.
[58] Musharrah adalah hewan ternak yang sengaja tidak diperah susunya dalam beberapa waktu dengan mengikat putingnya. Ini adalah salah satu modus penipuan dalam jual beli hewan ternak, agar para pembeli mengira hewan tersebut mengandung banyak air susu.
[59] Shâ' adalah satuan takaran pada masa Rasulullah, setara dengan 2,1 kg atau 2,5 hingga 2,7 kg.
[60] Maksud kaidah ini adalah, apabila telah terjadi akad jual beli suatu barang semisal lahan, kemudian mengeluarkan hasil, maka apabila ditemukan 'aib qadîm (cacat yang terjadi sebelum transaksi) pada barang tersebut, maka pembeli boleh mengembalikan kepada penjual, dan kemanfaatan lahan tersebut menjadi milik pembeli.
[61] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit..juz I hlm. 471.
[62] Rasullullah bersabda: "Penjual dan pembeli diperbolehkan mengadakan khiyar. Apabila keduanya jujur dan terus terang (dalam jual belinya) maka keduanya akan diberkahi dalam jual belinya, (tetapi) apabila keduanya bohong atau tidak berterus terang, maka dihilangkanlah barakah jual belinya". (HR.  Bukhari, Muslim, Ahmad dan Malik)
[63] Ada beberapa hal yang terkait dengan persyaratan ini, yakni bahwa seorang perawi hadits haruslah seorang yang memiliki karakter adâlah. Namun, para ulama’ berselisih pendapat dalam mendefinisikannya. Menurut Hanafiyyah adâlah berarti memenuhi segala tuntunan syari'at serta tidak pernah melakukan perbuatan fasiq. Menurut Syafi’iyah, adâlah berarti suatu karakter yang mencegah seseorang melakukan dosa besar, atau dosa kecil dan hal-hal mubah yang dianggap hina oleh syara’, seperti buang air di jalanan. Menurut Ibn al-Hâjib, adalah yaitu perhatian besar akan persoalan-persoalan agama sehingga dapat mendorong seseorang memenuhi perilaku ketakwaan dan murû’ah (memelihara harga diri) serta tidak pernah melakukan bid’ah. Dari definisi-definisi di atas, Al-Syaukani menawarkan definisi yang menurutnya simpel dan cukup representatif, yakni berpegang dengan norma-norma syari’at. Dengan demikian, periwayatan seorang fasiq tidak bisa dibuat sebagai hujjah, meskipun menurut Hanafiyyah persaksiannya bisa diterima. Lihat Al-Syaukani, op.cit., hlm. 51-52
[64] Mahmud Yunus, 'Ilm Mushthalah al-Hadîts, Jakarta: Al-Maktabah al-Sa'diyyah Putera, 1940, hlm. 64-65.
[65] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit., juz I hlm. 473
[66] Kalangan Hanafiyyah mengklaim, bahwa penerimaan ini merupakan kesepakatan semua ulama'. Namun, ternyata dalam menyikapi hadits mursal shahabat, para ulama' tidak secara bulat menyepakati penerimaannya. Terbukti, Abu Ishâq al-Isfirâyînî mengatakan bahwa ia tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Lihat Mahmud Yunus, op.cit., hlm. 63; Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Al-Syaukâni, Nail al-Authâr, beirut: Dâr al-Hadîts, tt., juz III hlm. 26.
[67] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit..juz I hlm. 474. Al-Zarkasyi, op.cit., juz III hlm. 462.
[68] Al-Zarkasyi, ibid.
[69] Wahbah al-Zuhaylî,  op.cit..juz I hlm. 475
[70] Ibid.
[71] Wahbah al-Zuhaylî,  ibid..juz I hlm. 478
[72] Muzâra'ah adalah transaksi bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarapnya, dengan ketentuan pokok bibit tanaman berasal dari pemilik lahan.
[73] Abû Ishaq Ibrâhim bin 'Ali bin Yûsuf Al-Syairâzî Al-Fairûzabadî, Al-Luma' fî Ushûl al-Fiqh, Surabaya: Al-Hidayah, hlm. 37.
[74] Al-Syaukâni, op.cit., hlm 38.
[75] Al-Syaukânî, ibid., hlm. 57.
[76] Al-Syaukânî, ibid., hlm. 58. Kendati demikian, Al-Syairâzi dan Al-Qâdli meriwayatkan sebuah pendapat lemah yang menyatakan bahwa periwayatan secara elipsis diperbolehkan secara mutlak.
[77] Ibid.

Previous Post Next Post