Dulu
di kota Makkah, terdapat seorang pemuda terhormat di kalangan suku
Quraisy. Ia terkenal dengan harta kekayaan yang melimpah, mempunyai
usaha perniagaan, dan terkenal sebagai pemuda jujur serta memegang
amanat. Pemuda itu ialah Abul ‘Ash bin Rabi’. Melihat kemuliaan pemuda ini, kekasih Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Khadijah binti Khuwailid berkeinginan menjodohkan putrinya, Zainab, dengan pemuda ini.
Nabi Muhammad pun menyetujui keinginan istrinya tersebut. Apalagi, Abul
‘Ash bukan termasuk orang asing di sisi Nabi. Moyang Abul’ Ash bertemu
dengan moyang Nabi pada Abdu Manaf. Demikian pula, garis darah Abul Ash
dari jalur ibu bertemu dengan garis darah Zainab dari jalur ibu
(Khadijah) pada Khuwailid.
Pernikahan pun dilangsungkan. Di hari yang indah itu, Khadijah
memberikan kalung miliknya sebagai hadiah bagi putri terncintanya itu.
Maka, Zainab pun berpindah tangan. Ia meninggalkan rumah ibu dan ayahnya
menuju naungan dan belaian Abul Ash bin Rabi’ untuk membangun maligai
rumah tangga bersamanya. Ketika itu, sesungguhnya Abul Ash belum memeluk
Islam. Sementara itu, الله belum mengharamkan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki kafir.
Bahtera pun Mulai Berguncang
Waktu pun terus berlalu, cahaya Islam mulai merasuk di hati penduduk Mekkah.
Namun sungguh sayang, Abul ‘Ash bin Rabi’ masih enggan menerima hidayah
Islam yang telah dipeluk istri tercintanya itu. Ia masih belum bisa
meninggalkan agama nenek moyangnya yang telah mengakar kuat di hatinya
walaupun di sisi hatinya yang lain, ia masih sangat mencintai Zainab
dengan kecintaan yang murni.
Zainab, dengan segala keinginan yang kuat, berupaya merayu suaminya
agar menerima hidayah Islam. Ia berupaya sebaik mungkin menerangkan
agama yang dibawa ayahnya kepada suaminya itu dengan tenang dan penuh
pengharapan. Dipilihnya kata-kata yang halus dan wajah yang lembut untuk
menarik hati Abul Ash. Ia juga berusaha sekuat mungkin memilih untaian
lisan yang indah dan tutur kata yang santun untuk meluluhkan hati sang
suami tercinta.
Namun, tidaklah ada yang bisa membalik hati manusia selain pencipta manusia itu sendiri, yaitu الله.
Zainab sangat bersedih karena laki-laki yang dicintainya itu sama
sekali tidak terketuk hatinya. Abul Ash hanya diam, dan tidak menanggapi
seruan istrinya dengan jawaban yang memuaskan. Seolah-olah, suara hati
sang istri tidaklah demikian penting dan berarti dalam hidupnya.
Ketika permusuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kaum muslimin dengan orang-orang kafir Quraisy semakin memuncak,
orang-orang kafir tersebut mendorong para laki-laki yang mempunyai istri
mukminah agar menceraikannya. Benarlah, dua belahan hati Nabi kita yang
mulia, Ruqayyah dan Ummu Kultsum telah dicerai suaminya, lalu
diantarkan ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa bahagianya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kembali kedua putrinya. Justru kekhawatiranlah yang melanda bila keduanya masih hidup bersama laki-laki musyrik.
Kaum kafir Quraisy sebenarnya juga mendorong Abul ‘Ash agar mencerai
Zainab. Salah satu di antara mereka mengatakan, “Hai Abul ‘Ash! Cerailah
istrimu! Kembalikan dia ke rumah bapaknya! Kami sanggup dan bersedia mengawinkanmu dengan siapa saja yang engkau sukai dari segudang wanita Quraisy yang cantik-cantik!”
Akan tetapi, ternyata cintanya terlanjur begitu dalam kepada Zainab.
Baginya, tidak ada wanita Arab yang mampu menandingi kekasih tercintanya
tersebut. Oleh karena itu, Abul ‘Ash menjawab seruan orang kafir tadi, “Tidak! Aku tidak akan mencerainya. Aku tidak akan menggantinya dengan wanita manapun di seluruh dunia ini.”
Pada dasarnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin seandainya Abul ‘Ash mencerai Zainab. Namun, apa kuasa beliau? Saat itu, Allah belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria musyrik. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhak memaksa Abul ‘Ash untuk mencerai istrinya.
Ketika terjadi perang Badr, Abul ‘Ash ikut berada dalam barisan kaum
musyrikin. Apa boleh buat, sekiranya ia tidak berkenan memerangi
mertuanya, ia tinggal bersama musyrikin tersebut di Makkah. Itulah yang
memaksanya ikut dalam barisan musuh-musuh Allah.
Maka, perang pun terjadi dengan membawa hasil berupa kekalahan telak,
kehinaan, dan rasa malu yang menimpa kaum kafir Quraisy. Di antara
mereka, ada yang tewas terbunuh di tangan kaum muslimin. Ada yang
tertawan dan ada pula yang berhasil meloloskan diri. Adapun Abul ‘Ash,
ia termasuk kelompok yang tertawan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan uang tebusan yang harus dibayar bagi setiap tawanan yang ingin bebas. Tebusan yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tetapkan, sebesar kedudukan dan kekayaan tawanan tersebut di kaumnya,
antara seribu hingga empat ribu dirham. Maka, berdatanganlah para utusan
dari Makkah dengan membawa uang untuk menebus karib kerabat mereka yang
tertawan….
Rasulullah pun Turut Bersedih
Zainab, belahan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang begitu dalam cintanya kepada suaminya turut pula mengirim utusan
untuk menebus Abul ‘Ash bin Rabi’. Di antara uang tebusan itu, terdapat
sebuah kalung Zainab yang merupakan pemberian ibundanya, Khadijah binti
Khuwailid, sebagai hadiah di hari pernikahan Zainab dengan Abul ‘Ash.
Ketika Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat kalung tersebut, tersentuhlah hati beliau. Wajah beliau berubah
menjadi sedih dengan kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak? Kalung
yang beliau lihat dulunya adalah milik istri pertamanya yang selalu
mendampingi beliau dalam keadaan susah dan senang. Wanita mana yang
mampu menandingi kesetiaan Khadijah di kala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dicaci-maki orang-orang kafir. Khadijahlah yang menyelimuti nabi dan
menenangkan beliau ketika turun wahyu pertama kali. Dari wanita mulia
inilah Nabi memperoleh anak. Maka, wajarlah jikalau muncul perasaan
rindu di hati beliau.
Di sisi lain, kalung yang beliau lihat adalah kepunyaan putri yang
sangat beliau sayangi. Maka, hati mana yang tidak tersentuh, apalagi
dari seorang ayah kepada putri yang terpisah darinya? Oleh karena itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para
shahabatnya, “Harta ini dikirimkan Zainab untuk menebus suaminya, Abul
‘Ash. Sekiranya tuan-tuan setuju, saya harap tuan-tuan bebaskan tawanan
itu tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali padanya.
Para shahabat Nabi yang mulia serta merta menyahut seruan beliau dengan berkata, “Baik ya Rasulullah! Kami setuju.”
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun akhirnya membebaskan Abul ‘Ash ibn Rabi’ dengan memberi syarat agar ia segera mengantarkan Zainab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setibanya di Makkah.
Benar, setibanya di Makkah, Abul ‘Ash segera memenuhi janji ayah
kekasih tercintanya itu. Ia memerintah Zainab agar segera mempersiapkan
diri untuk pergi ke Madinah. Abul ‘Ash pun turut menyiapkan perbekalan
dan kendaraan untuk kepergian istrinya tersebut. Ia lalu menyuruh adiknya, ‘Amr ibn Rabi’[1], untuk mengantar Zainab dan menyerahkannya pada utusan Rasulullah yang sudah menunggu tidak jauh di luar kota Makkah.
‘Amr ibn Rabi’ menyambut perintah kakaknya itu. Serta merta ia
menyandang busur dan membawa sekantong anak panah, lalu dinaikkannya
Zainab ke Haudaj. Mereka pergi ke luar Makkah di tengah hari,
di depan muka kaum Quraisy. Melihat hal itu, orang-orang Quraisy marah,
dan berupaya menyusul keduanya, lalu mengancam dan menakut-nakuti
Zainab. Mereka mendapati Amr dan Zainab di Dzi Thuwa. Salah satu dari mereka yang pertama kali mampu menyusul keduanya adalah Habbar bin Aswad bin Muthallib bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushayyi dan Nafi’ bin Abdul Qais Az-Zuhri (ada yang mengatakan Nafi’ bin Abdi ‘Amr).
Habbar yang datang dengan menghunus pedang sangat menggetarkan perasaan
Zainab yang berada di sekedupnya. Saat itu, ia sedang hamil. Gangguan
dan ancaman Habbar membuatnya jatuh terpelanting dari sekedupnya yang
mengakibatkan kandungannya gugur. Ini merupakan musibah berat yang
dihadapi Zainab karena gangguan mereka membuat beliau sering
sakit-sakitan yang akhirnya menjadi sebab kematian beliau. Oleh karena
itu, sang ayah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada para shahabatnya,
“Jika
kamu sekalian bertemu Habbar bin Aswad dan Nafi’ bin Amr, bakarlah
keduanya karena keduanya telah menyakiti Zainab, putri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia keluar ke Madinah hingga
akhirnya ia terus sakit-sakitan sampai meninggal dunia.”
(As-Siyar II/247)
Akan tetapi, ‘Amr ibn Rabi’, dengan panah yang telah ia siapkan,
berkata keras kepada orang-orang Quraisy tersebut, “Siapa mendekat, aku
panah batang lehernya!”
Suasana menjadi tegang. Perkataan ‘Amr bukanlah main-main karena suku
Quraisy telah mengenalnya sebagai pemanah ulung yang tidak pernah
meleset bidikannya. Di tengah-tengah suasana seperti itu, berkatalah Abu
Sufyan ibn Harb, “Wahai anak saudaraku, letakkan panahmu! Kami akan
bicara denganmu.”
‘Amr pun meletakkan panahnya.
Abu Sufyan berkata lagi, “Perbuatanmu ini tidak betul hai ‘Amr. Engkau
membawa Zainab keluar dengan terang-terangan di hadapan orang banyak dan
di depan mata kami. Orang ‘Arab seluruhnya tahu akan kekalahan mereka
di Badr dan musibah yang ditimpakan bapak Zainab kepada kami.
Bila engkau membawa Zainab ke luar secara terang-terangan begini,
berarti engkau menghina seluruh kabilah ini sebagai penakut, lemah, dan
tidak berdaya. Alangkah hinanya itu!!! Oleh karena itu, bawalah Zainab
kembali kepada suaminya untuk beberapa hari. Setelah penduduk tahu kami
telah berhasil mencegah kepergiannya, engkau boleh membawanya diam-diam
dan sembunyi-sembunyi. Jangan di siang bolong seperti ini! Engkau boleh
mengantarkannya kepada bapaknya. Kami tidak mempunyai kepentingan
apa-apa untuk menahannya.”
‘Amr menyetujui saran Abu Sufyan. Dia mengantar Zainab kembali ke
rumahnya di Makkah. Selang beberapa hari kemudian, di tengah malam, ‘Amr
membawa Zainab ke luar kota dengan sembunyi-sembunyi lalu meyerahkannya
kepada utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
tangan ke tangan, sebagaimana pesan Abul ‘Ash. Dalam Majma’ Zawaid
disebutkan bahwa tatkala warga Makkah sudah tenang dan tidak lagi
membicarakan perihal Zainab, Amr keluar bersama Zainab di waktu malam,
lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya.
Akhirnya,
Abul Ash pun berpisah dengan istrinya. Dalam masa perpisahan ini, tiada
satupun yang sangat Zainab harapkan selain hidayah Islam merasuk kepada
kekasih yang sangat ia cintai itu. Zainab senantiasa memohon kepada
Allah agar Abul Ash segera memeluk agama Islam. Perpisahan ini demikian
lama, berlangsung beberapa tahun hingga menjelang Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).
Awal Mula Pertemuan setelah Perpisahan yang Lama
Abul Ash adalah seorang pedagang dan biasa berdagang ke negeri Syam.
Kegiatan perdagangan inilah yang dilakukannya setelah ia berpisah dengan
wanita yang sangat dicintainya itu. Suatu ketika, menjelang terjadinya Fathu Makkah,
dalam perjalanan pulang Abul Ash dari Syam ke Makkah, kafilahnya
dicegat pasukan patroli Rasulullah. Ketika itu, Abul Ash membawa seratus
onta yang penuh dengan muatan dan seratus tujuh pulu personil yang
menggiring unta-unta tersebut. Namun, Abul Ash masih beruntung karena ia
berhasil
lolos dari sergapan patroli Madinah. Kemudian, dengan sembunyi-sembunyi
ia menyusup ke kota Madinah di kala hari telah gelap. Ia berhasil
mendapati rumah Zainab, lalu minta perlindungan kepadanya. Zainab pun
memberi perlindungan kepada Abul Ash.
Setelah itu, ketika Nabi hendak menunaikan shalat shubuh dan beliau
sudah sudah berdiri di mihrab, lalu takbir dan takbirnya diikuti para
shahabat, Zainab berteriak dengan sekuat-kuatnya dari tempat khusus
wanita,
“Hai manusia! Saya Zainab binti Muhammad. Abul Ash minta perlindungan kepada saya. Oleh karena itu, saya melindunginya.“
Setelah Nabi usai melakasanakan shalat, Nabi berkata kepada para shahabatnya,
“Apakah tuan-tuan mendengar suara Zainab?“
Para shahabat menjawab, “Kami mendengarnya wahai utusan Allah“
Nabi berkata lagi,
“Demi الله yang jiwaku dalam genggamannya. Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini, kecuali setelah mendengar teriakan Zainab“
Kemudian, Nabi mendatangi rumah Zainab, kemudian berkata kepada putrinya tersebut,
“Hormatilah Abul ‘Ash! Akan tetaapi, ketahuilah! Engkau tidak lagi halal baginya.“
Setelah itu, Nabi memanggil pasukan patroli Madinah yang telah
menyergap kafilah dagang Abul Ash, lalu beliau berkata kepadaa mereka,
“Sebagaimana
kalian ketahui, orang ini (Abul Ash) adalah family kami. Kalian telah
merampas hartanya. Jika kalian ingin berbuat baik, kembalikanlah
hartanya. Itulah yang kami sukai. Akan tetapi, jika kalian enggan
mengenbalikan, itu adalah hak kalian karena harta itu adalah rampasan
perang dibrikan الله kepada kalian. Kalian berhak mengambilnya.“
Mendengar perkataan Nabi tersebut, para shahabat justru mengatakan,
“Kami kembalikan wahai ututsan Allah…”
Mengetahui para shahabat nabi ingin mengembalikan hartanya, Abul Ash
mendatangi mereka untuk mengambil hartanya tersebut. Ketika Abul Ash
sampai di hadapan para shahabat Nabi, para shahabat berkata,
“Wahai
Abul ‘Ash! Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy. Engkau anak paman
ingakan serahkan harta ini semuanya kepadanu. Engkau akan dapat
menikmati harta penduduk Makkah yang Engkau bawa ini. Tinggallah bersama
kami di Madinah“
Kalau kita lihat sepintas, tawaran para shahabat ini demikian
menguntungkan Abul Ash. Namun, lihatlah betapa tinggi dan luhur pekerti
serta kemormatan Abul Ash dalam sikap Abul Ash berikut ini:
Abul Ash menolak tawaran para shahabat seraya berkata,
“Usul kalian sangat jelak dan tidak pantas. Aku harus membayar hutang-hutangku segera“
Lalu, Abu ‘Ash membawa kembali harta bendanya menuju Makkah. kemudian,
begitu ia sampai di Makkah, ia segera memabayarkan hutang-hutangnya
kepada setiap yang berhak menerimanya. Setelah itu, ia bekata kepada
penduduk Makkah,
“Hai kaum Quraisy! Masih adakah yang belum menerima pembayaran dariku?“
Penduduk Makkah serta merta menjawab seruan itu,
“Tidak! Semoga الله membalasmu dengan yang lebih baik. Kami telah menerima pembayaran darimu secukupnya.“
Abul ‘Ash lalu berkata,
“Sekarang ketahuilah, aku telah aku telah membyar hak kamu masing-masing secukupnya. Maka, kini dengarkan! Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang disembah kecuali الله dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan الله . Demi الله,
tidak ada yang menghalangiku untuk menyatakan Islam kepada Muhammad
ketika aku berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku kalau kalian
menyangka, aku masuk Islam karena hendak memakan harta kalian. Kini,
setelah الله membayarnya kepada kamu sekalian dan tanggung jawabku telah selesai, aku menyatakan masuk Islam.”
Setelah itu, Abul ‘Ash keluar dari Makkah untuk menemui Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah pun menerima dan menyambut kedatangannya, serta menyerahkan kembali istrinya, Zainab ke dalam naungannya.
Di antara kemuliaan Abul Ash adalah apa yang disabdakan Nabi Muhammad berikut ini,
“Dia berbicara kepadaku, aku mempercayainya. Dia berjanji kepadaku, dia memenuhi janjinya.”
Namun, kebahagiaan Abul ‘Ash dalam merasakan kesejukan sang istri
tercinta setelah waktu perpisahan yang begitu panjang tidaklah
berlangsung lama. Ia dapati lagi perpisahan berikutnya yang tidak
mungkin lagi datang pertemuan berikutnya. Perpisahan itu ialah kepergian
Zainab meninggalkan dunia ini, tepatnya pada tahun 8 hijriah.
——————————————————-
CATATAN: Harap pembaca jangan mengopy artikel ini terlebih dahulu. Qaddarullah, sebelum artikel ini diupload,
beberapa referensi kitab yang sudah penulis susun dalam risalah khusus,
HILANG. Padahal, penulis berupaya menukilkan beberapa teks-teks Arab
yang merupakan sabda Nabi, pembicaraan tokoh-tokoh (Abul Ash, Zainab,
dan orang-orang Quraisy) beserta sumbernya agar pembaca dapat merujuknya
langsung pada kitab aslinya. Oleh karena itu, penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya apabila penulis belum mencantumkan kitab-kitab
rujukan. Penulis akan menyusunnya kembali atau mencari lagi risalah yang
hilang tersebut lalu diupload lagi dalam bentuk ARTIKEL REVISI. Artikel
yang belum direvisi ini sengaja penulis upload agar pemaca yang kiranya
menemukan kesalahan dalam artikel ini, dapat ikut mengeditnya atau
menambahkan dari referensi lain yang pembaca dapatkan.
[1] Dalam referensi yang lain, penulis dapati bahwa saudara Abul ‘Ash yang mengantar Zainab adalah Kinanah bin Rabi’. Insya Allah, penulis akan mengeceknya kembali dalam kitab biografi shahabat di Ushudul Ghabah atau Al-Ishobah.
Dan mana yang benar antara Kinanah atau Amr, akan penulis sampaikan
dalam artikel revisi. Bagi pembaca yang telah mengetahui mana yang benar
dari di antara kedua nama tersebut, harap segera menyampaikannya kepada
penulis.