Kaidah ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap masalah
hati dan niat, mengapa demikian? Karena hati adalah kunci utama amalan kita,
dan niat adalah ruh penggerak jasad kita. Kita hanya akan mendapat pahala
ketika kita niatkan amalan itu karena Alloh, sebagaimana sabda Rosululloh
-shollallohu alaihi wasallam-:
عن سعد بن
أبي وقاص قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن يؤجر في كل شيء،[1] حتى في اللقمة يرفعها إلى في امرأته. (رواه أحمد وغيره
وقال الأرناؤوط إسناده حسن)ـ
Seorang
mukmin bisa mendapat pahala dari segala sesuatu (dengan niat yg baik), hingga
suapan yang ia masukkan ke mulut istrinya. (HR. Ahmad dan yang lainnya,
dihasankan oleh Al-Arna’uth)
Dengan niat
yang baik, amalan yang sederhana bisa menghasilkan pahala yang agung. Tidak
asing bagi kita, kenapa sahabat Abu Bakar mengungguli sahabat-sahabat yang
lainnya? Seorang tabi’in, Bakr ibnu Abdillah al-Muzaniy mengatakan:
إن أبا بكر
رضي الله عنه لم يفضل الناس بكثرة صلاة، إنما فضلكم بشيء كان في قلبه (صحيح موقوف
على بكر بن عبد الله المزني)ـ
Sungguh!
tidaklah Abu Bakar itu mengungguli orang-orang dengan banyaknya amalan
sholatnya, tapi beliau mengungguli kalian itu dengan apa yang ada di hatinya.
Sebaliknya
karena niat yang salah, amalan yang besar sekalipun, bisa jadi hanya seperti
debu yang beterbangan. sebagaimana firman Alloh swt:
وقدمنا إلى
ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا
(Ingatlah
pada hari kiamat nanti) akan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan,
lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.
Terlalu
banyak ayat maupun hadits yang menunjukkan betapa pentingnya kita memperhatikan
hati dan niat kita, sebagai misal saja:
وما أمروا
إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين (وكل آية في قرن العبادة أو الدعاء بالإخلاص
فإنها دليل على هذه القاعدة)ـ
Alloh
berfirman: “Mereka
tidak diperintah, melainkan untuk menyembah Alloh dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama-Nya” (Al-Bayyinah:5)…
(Semua ayat yang menggabungkan ibadah atau doa dengan ikhlas, bisa menjadi
dalil untuk kaidah ini).
وعن أبي
هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الله لا ينظر إلى أجسادكم، ولا
إلى صوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم” (رواه مسلم)ـ
Rosul
-shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “sesungguhnya Alloh tidak melihat jasad dan
rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian” (HR. Muslim)
إِنَّمَا
الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا،
فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ
فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ
عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ
أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا
سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ
يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ
فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ
الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ
يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ
بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ (رواه الترمذي وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
صَحِيحٌ، وصححه الألباني)ـ
Rosul
-shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Dunia ini, hanya untuk empat orang:
(1) Hamba yang Alloh beri harta dan
ilmu, lalu dengannya ia bertakwa pada Tuhannya, menyambung tali silaturahim,
dan menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada
di posisi paling tinggi.
(2) Hamba yang Alloh beri Ilmu tanpa
harta, akan tetapi ia baik niatnya, ia berkata: ‘Seandainya aku punya harta,
tentu aku beramal seperti amal baiknya si fulan (yang kaya)’, maka orang
seperti ini dapat pahala sebagaimana niatnya, sehingga kedua orang ini
pahalanya sama.
(3) Hamba yang Alloh beri harta tanpa
ilmu, lalu ia sembrono dalam menggunakan hartanya tanpa dasar ilmu, sehingga ia
tidak bertakwa pada tuhannya dalam menggunakannya, tidak menyambung tali
silaturrohim, dan tidak menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang
seperti ini berada di posisi paling buruk (bawah).
(4) dan Hamba yang tidak diberi harta
dan ilmu, (serta buruk niatnya), ia mengatakan: ‘Seandainya aku punya harta,
tentu aku akan gunakan sebagaiman si fulan menggunakannya’, maka orang seperti
ini menuai dosa karena niatnya, sehingga kedua orang ini dosanya sama”.
(HR.
Tirmidzi, ia mengatakan: Hasan Shohih, dishohihkan pula oleh Albani).
Ini
merupakan kaidah yang sangat agung, ia masuk dalam separoh syariat Islam,
mengapa demikian? Karena syariat Islam terbagi menjadi dua: Syariat yang
mengatur amalan lahiriyah, dan syariat yang mengatur amalan batiniyah, dan
kaidah ini sebagai pengatur amalan batiniyah, yaitu niat.
Para Ulama
salaf mengetahui benar hal ini, oleh karenanya mereka sangat serius dalam
memperbaiki niatnya. Renungkanlah atsar-atsar berikut ini:
o
Yahya ibnu
Katsir: (تعلّموا النية، فإنه أبلغُ من العمل) pelajarilah masalah niat, karena itu
lebih penting daripada amalan.
o
Zabid
al-Yami: (إني لأُحِبُّ أن تكون لي نيةٌ في كل شيءٍ حتى
في الطعام والشراب) sungguh aku
senang, untuk meniatkan segala sesuatunya (untuk ibadah), meskipun dalam hal
makan dan minum.
o
Dawud
at-Tho’i: (رأيت الخيرَ كلَّه، إنما يجمعُه حسنُ النية) aku melihat, segala kebaikan hanya
terkumpul dalam niat yang baik.
o
Sufyan
at-Tsauriy: (ما عالَجْتُ شيئاً أشدَّ عليّ من نيّتِي،
لأنها تتقلَّبُ عليّ) tidak ada
yang lebih berat bagiku melebihi beratnya mengobati niatku, karena ia selalu
berubah-rubah dalam diriku.
o
Yusuf bin
Asbath: (تخليصُ النية من فسادها أشدُّ على العالِمين من
طول الاجتهاد) membersihkan
niat dari kotoran, lebih berat daripada istiqomah dalam amal ibadah.
o
Muthorrif
ibnu Abdillah: (صلاحُ القلبِ بصلاحِ العمل, وصلاحُ
العمل بصلاح النية) hati yang
baik adalah karena amal yang baik, dan amal yang baik adalah karena niat yang
baik.
o
Abdulloh
bin Mubarok: (رُبَّ عملٍ صغيرٍ تُعَظِّمه النية, ورُبَّ
عملٍ كبيرٍ تُصَغِّرُه النية)
betapa banyak amalan yang sepele menjadi besar karena niatnya, sebaliknya
betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niatnya.
o
Ibnu
’Ajlan: (لا يصلح العملُ إلا بثلاث: التقوى لِلّه,
والنيةُ الحسنة, والإصابةُ)
Amal tidak akan menjadi baik kecuali dengan tiga syarat: takwa, niat yang baik
dan benar dalam melakukannya.
o
Fudhoil bin
’Iyadh: (إنما يريد الله منك نيتك وإرادتك) Sesungguhnya yang Alloh inginkan darimu
adalah niat dan tujuanmu.
o
Beliau juga
mengatakan:
(إن العملَ إذا كان خالصاً ولم يكن صواباً لم يُقْبَل,
وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا، لم يُقْبَل حتى يكون خالصا صوابا)
Sesungguhnya
amal yang ikhlas tapi tidak benar, ia tidak akan diterima, begitu pula ketika
amal itu benar tapi tidak ikhlas… Ia tidak akan diterima hingga menjadi amal
yang ikhlas dan benar. (Ikhlas jika dilakukan karena Alloh, dan benar jika
dilakukan sesuai tuntunan).
Begitulah
para salafus sholeh, mereka tidak berkata dan bertindak kecuali setelah
menghadirkan niat yang baik, sehingga menjadi berkah ucapan, perbuatan dan umur
mereka. Mereka menjadi teladan dalam amalannya, karena mereka lebih dulu
menjadi teladan dalam memperbaiki niatnya. Sungguh mereka tidak asal-asalan
dalam beramal, tapi amal mereka muncul dari hati yang bersih, suci, dipenuhi
iman, takwa dan rasa takut pada Alloh ta’ala, dan tentunya amal mereka itu
muncul dari pemahaman yang mendalam tentang kitab dan sunnah.
Itulah yang
membuat mereka beda dengan kita, padahal puasa mereka sepintas sama seperti
puasa kita, begitu pula sholatnya, sama seperti sholat kita, hanya saja niat
dan tujuan yang jelas jauh berbeda.
Oleh karena
itu, hendaklah kita benar-benar memperhatikan masalah niat ini, Pahala niat
sangat agung, begitu bahanyanya sangat besar. Amal kita ibarat jasad, sedangkan
niat adalah nyawanya, dan tiada guna jasad tanpa ada nyawa. Amal kita juga
ibarat pohon, sedangkan niat adalah akarnya, dan pohon tidak akan tumbuh dengan
baik tanpa akar yang kokoh.
Itulah
sebabnya kita merasa berat dalam melakukan ibadah, mengapa? Karena kita tidak
menghadirkan niat yang tulus dalam beribadah. Wallohul musta’an.
Nash-nash
diatas, secara tidak langsung, juga menunjukkan pentingnya kita mempelajari
kaidah pertama ini: “segala sesuatu tergantung pada tujuannya”.
Dari
manakah para ulama menyimpulkan kaidah ini?
Dari banyak
nash-nash syar’i, baik dari Alqur’an maupun Sunnah… Dan nash yang paling mirip
dengan bunyi kaidah ini adalah hadits yang sangat masyhur, yang diriwayatkan
oleh sahabat Umar bin Khottob ـ: (قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: إنما الأعمال بالنيات)ـ semua amalan
itu tergantung niatnya.
Bahkan
sebagian ulama mengatakan, bahwa Lafal hadits ini lebih baik dan lebih mengena
dibandingkan lafal kaidah tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnus Subkiy
dalam kitabnya al-Asybah wan Nadho’ir (1/54).
Apa arti
kaidah ini?
(الأمور)
adalah bentuk jamak (plural) dari kata (الأمر) dan makna kata tersebut dalam bahasa arab
banyak, diantaranya: perintah, keadaan, sesuatu, perbuatan. Dan yang dimaksud (الأمر)
dalam lafal kaidah ini adalah: (الفعل والعمل)[2] yaitu
perbuatan, dan ia mencakup perbuatan lisan dan anggota badan lainnya.
(مقاصد)
adalah bentuk plural (jamak) dari kata (مقصد) yang berarti (النية),[3] dan
definisi niat adalah: dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang
dikehendakinya.
Dari
keterangan ini, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa arti dari kaidah ini,
dilihat dari susunan katanya adalah: Semua amalan itu tergantung niatnya, dan
makna ini sama persis dengan makna lafal hadits (الأعمال
بالنيات). Karena maknanya
sama, maka penggunaan lafal nabawi (الأعمال بالنيات), lebih utama ketimbang menggunakan lafal
non nabawi, seperti (الأمور بمقاصدها), wallohu a’lam.
Maksud
kaidah ini adalah, bahwa semua amalan seseorang, (baik ucapan maupun perbuatan,
baik amalan duniawi maupun ukhrowi), akan berbeda hasil dan hukumnya, sesuai
dengan maksud dan tujuan orang yang melakukannya.
Pembahasan
masalah niat:
1. Niat adalah
amalan hati, tidak bisa digantikan dengan yang lainnya… oleh karenanya bila seorang memulai ihromnya dengan
melafalkan “Labbaikallohumma hajja” tanpa terbetik niat masuk ihrom haji di
hatinya, maka ihrom hajinya tidak sah… Sebaliknya jika ia telah niat dalam
hatinya tanpa melafalkan talbiyah, maka niat ihromnya sudah sah… Apabila ada
perselisihan antara hati dan lisan… Hatinya ingin niat haji, tapi yang terucap
“Labbaikallohu umroh”, maka yang dianggap sah adalah niat yang di hati… karena
niat adalah amalan hati, tidak bisa digantikan dengan yang lainnya…
2. Ada dua
fungsi dalam niat: (a) Untuk membedakan antara amalan ukhrowi (ibadah) dengan
amalan duniawi (adat)… misalnya: Antara mandi junub, dengan mandi untuk
menyegarkan badan… Perakteknya sama persis, tapi karena niatnya beda, yang
mandi junub jadi amalan ibadah (berpahala), sedang mandi untuk menyegarkan
badan tidak jadi ibadah… (b) Untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah
yang lainnya… misalnya: Sholat Qobliyah Subuh dengan Sholat Subuh, prakteknya
sama persis (bagi mereka yang tidak qunut)… yang membedakan hanyalah niatnya,
hingga yang satu jadi ibadah sunat, sedang yang lain jadi ibadah wajib…. Begitu
pula puasa nadzar hari senin dengan puasa sunat hari senin… prakteknya sama
persis, tapi karena niatnya beda, puasa nadzar jadi ibadah wajib, dan yang
lainnya jadi ibadah sunat… dst…
3. Syarat niat
ada 6: (a) Islam, oleh
karenanya niat ibadah tidak akan sah dari orang non muslim…(b)Ikhlas,
oleh karenanya ibadah tidak akan berpahala jika niatnya riya’… (c) Tamyiz, sehingga niat anak kecil yang belum tamyiz(bisa membedakan mana yang baik dan buruk) tidak sah,
oleh karenanya hajinya anak kecil harus dengan niat orang yang membawanya… (d) Tahu amalannya, karena bagaimana niat kita sempurna
tanpa tahu amalan yang akan kita kerjakan… (e)Waktu niat.
Hendaknya niat sebisa mungkin dilakukan berdekatan dengan awal amalan, lebih
dekat awal amalan lebih baik. Oleh karenanya tidak sah niat puasa romadhon pada
bulan sya’ban, tidak sah niat sholat dhuhur sebelum masuk waktunya, dst… (f) Tidak adanya
sesuatu yang menafikanya, seperti: ragu-ragu, atau memotongnya, atau
mencampurnya dengan hal lain yang bisa membatalkannya.
Penerapan
kaidah ini:
Sebagaimana
kita tahu, kaidah ini berlaku pada semua bab fikih, mulai dari bab ibadat,
mu’amalat, jinayat, dst… Dan karena fungsi utama mempelajari kaidah fikih
adalah untuk memudahkan kita menemukan hukum suatu kasus, maka kami akan
paparkan banyak contoh di bawah ini dalam bentuk soal-jawab:
1. Soal: Jika ada
dua orang yang hijrah dari negara kafir ke negara islam, apa keduanya mendapat
pahala?Jawab: Dengan
berdasar kaidah niat ini, kita katakan: Jika niatnya ikhlas karena Alloh maka
baginya pahala yang agung di sisi-Nya, Tetapi jika hijrahnya karena dorongan
harta atau cinta wanita, maka hijrahnya menjadi tanpa pahala. Sebagaimana sabda
Nabi -shollallohu
alaihi wasallam-:
“Sesungguhnya semua amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan meraih apa
yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya untuk Alloh dan Rosul-Nya, maka
hijrahnya untuk Alloh dan Rosul-Nya (sebagaimana niatnya), dan barangsiapa
hijrahnya karena niat duniawi atau cinta wanita yang akan dinikahi, maka
hijrahnya juga untuk tujuan itu (sebagaimana niatnya)” (HR. Bukhori Muslim)
2. Soal: Pejuang
perang, penuntut ilmu syar’i, dan seorang dermawan, apa mereka dijamin masuk
surga? Jawab:Dengan kaidah ini, kita katakan: Jika mereka niatnya
ikhlas, maka ketiganya dijanjikan pahala yang sangat agung oleh Alloh ta’ala.
Tetapi, jika niatnya tidak ikhlas, misalnya, perangnya karena ingin dijuluki
pahlawan pemberani… belajar ilmu syar’i-nya karena ingin dijuluki Kyai…
Seringnya menyumbang karena ingin berjuluk Dermawan dan pemberi… maka mereka
menjadi orang yang paling awal masuk neraka. Sebagaimana sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Pada hari kiamat nanti, orang yang pertama diadili
adalah: (a)
orang yang gugur di medang perang, ia
didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia
mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia
menjawab: “Aku gunakan untuk perang (dengan ikhlas) karena-Mu hingga aku
syahid”. Alloh katakan: “Kamu bohong, sebenarnya kamu perang agar dijuluki
pemberani, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya
untuk menyeretnya ke Neraka. (b)
Orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta membaca Alqur’an, ia didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya
kepadanya hingga ia mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat
dengannya?” ia menjawab: “Aku gunakan untuk belajar, mengajar dan membaca
Alqur’an (dengan ikhlas) karena-Mu”. Alloh katakan: “Kamu bohong, Tapi
sebenarnya kamu menuntut ilmu agar dijuluki Sang Alim, dan kamu membaca
Alqur’an agar dijuluki Sang Qori’, dan kamu telah mendapatkan itu”, lalu Dia
memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka. (c) Orang yang Alloh luaskan
hartanya, ia
didatangkan dan Alloh perlihatkan nikmat-nikmat-Nya kepadanya hingga ia
mengetahuinya, lalu Dia bertanya: “Apa yang kau perbuat dengannya?” ia
menjawab: “Aku tidak tinggalkan satu pun jalan sedekah, kecuali aku sedekahkan
harta itu (dengan ikhlas) karena-Mu”. Alloh katakan: “Kamu bohong, Tapi
sebenarnya kamu lakukan itu agar dijuluki Sang Dermawan, dan kamu telah
mendapatkan itu”, lalu Dia memerintah malaikat-Nya untuk menyeretnya ke Neraka.
(HR. Muslim)… Lihatlah, betapa bahayanya niat, amalan yang sangat mulia pun
bisa menjadi bumerang bagi pelakunya… Karena semua amal tergantung niatnya…
3. Soal: Bolehkah
kita mengamankan barang temuan, yang didapat di tanah suci mekah dan madinah? Jawab:Kita tahu Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah melarang kita mengambil barang temuan dari
tanah suci mekah dan madinah, kecuali bagi mereka yang berniat mengumumkan dan
menyampaikannya kepada si empunya (HR. Bukhori Muslim), dan ia tidak akan
memilikinya selamanya… Jadi jika niatnya untuk dimiliki, maka ia tidak boleh
mengambilnya, tapi jika niatnya untuk disampaikan ke pemiliknya, maka ia boleh
mengambilnya meski barang itu tidak akan menjadi miliknya selamanya… Lihatlah
bagaimana pengaruh niat, amalan yang sekilas sama, hukumnya bisa beda… karena
“Semua amalan tergantung niatnya”.
4. Soal: Hasil buruan hewan yang terlatih, apa semuanya halal
dimakan? Jawab: Jika hewan itu berburu dengan sendirinya, tanpa
perintah dari pemiliknya, maka hasil buruannya haram dimakan, Sedang jika hewan
itu berburu karena perintah pemiliknya maka hasil buruannya menjadi halal… Jadi
halal dan haram hasil buruan itu tergantung ada tidaknya niat dari pemiliknya…
Karena semua amalan tergantung niatnya…
5. Soal: Dua orang yang junub (hadats besar), kemudian mandi,
yang satu niatnya untuk mendinginkan badan, yang lain niatnya untuk
menghilangkan hadats besar, bagaimana hukumnya? Jawab: Kita katakan “Semua amalan tergantung niatnya”, maka
orang pertama masih tetap junub, sedang orang kedua sudah suci dari junub.
6. Soal: Dua orang tidak makan dan tidak minum dari Subuh
sampai Maghrib, tapi yang satu niatnya hanya diet, sedang yang lain niatnya
puasa karena Alloh, bagaimana hukumnya? Jawab: Karena niat yang berbeda, maka orang pertama tidak
dapat pahala puasa, sedang orang kedua mendapatkannya.
7. Soal: Bagaimana hukum lelaki melihat wanita dengan niat
dinikahi? Jawab: Memang Rosul -shollallohu alaihi wasallam- memerintahkan
kita untuk melihat wanita yang mau kita nikahi (HR. Muslim), akan tetapi itu
tergantung niatnya… Jika niatnya hanya karena senang cuci mata, dan tidak
sungguh-sungguh ingin menikah, maka amalannya menjadi haram. Sebaliknya apabila
ia melakukannya karena niat yang kuat untuk menikah, maka amalannya sesuai
sunnah Rosul -shollallohu
alaihi wasallam-… Karena
semua amalan itu tergantung niatnya…
8. Soal: Bagaimana hukum orang meng-haji-kan atau
meng-umroh-kan orang lain, dan mengambil upah untuk itu? Jawab: Banyak dalil yang membolehkan mewakili orang lain
dalam Ibadah Haji maupun Umroh… Adapun mengambil upah untuk itu, maka solusinya
adalah kaidah ini: “Semua amal tergantung niatnya”, jika niatnya dalam mewakili
hanya untuk mengambil untung harta, maka ia hanya menuai untung harta itu saja
tanpa pahala akhirat, Alloh berfirman (yang artinya): “Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia
dan perhiasannya, maka kami berikan balasan penuh atas pekerjaan mereka di
dunia… mereka tidak akan dirugikan di dunianya. (Tapi) mereka tidak memiliki
bagian di akhirat kecuali Neraka”
(Hud:15-16). Sebaliknya jika dalam mengambil upah itu dengan niat untuk bekal
hajinya, maka ia dapat dua-duanya, pahala akhirat dan manfaat dunia…
9. Soal: Orang yang mabuk hingga hilang akalnya, bagaimana
hukum akadnya, talaknya dan pengakuannya?Jawab: InsyaAlloh Pendapat
yang benar adalah yang mengatakan akadnya orang itu tidak sah, talaknya tidak
jatuh, dan pengakuannya tidak dianggap. Mengapa? Karena perkataannya sia-sia,
karena ia tidak memiliki niat yang benar, sebagaimana orang gila… Pendapat
inilah yang sesuai dengan nash-nash syar’i, perkataan para sahabat, dan
dasar-dasar Islam… Alloh berfirman (yang artinya) “Janganlah kalian mendekati sholat saat
kalian mabuk, hingga kalian sadar dengan ucapan kalian” (An-Nisa:43), ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mabuk
biasanya tidak tahu apa yang diucapkannya, itu berarti ucapan yang keluar bukan
berasal dari hati, padahal syariat tidak menghukum seseorang kecuali karena
amalan yang bersumber dari hati, sebagaimana firmannya: “Alloh menghukum kalian, karena
niat yang terkandung dalam hati kalian” (Al-Baqoroh:225)…
Intinya “Semua amalan tergantung niatnya” dan karena orang yang mabuk sampai
hilang akalnya tidak memiliki niat yang benar, maka amalannya tidak dianggap…
oleh karenanya akadnya menjadi tidak sah, talaknya tidak jatuh, dan
pengakuannya tidak dianggap… wallohu a’lam.
10. Soal: Apa hukumnya: orang melakukan sesuatu yang membatalkan
puasa karena tidak tahu/lupa/dipaksa? (Tidak apa-apa, dan puasanya sah)… Apa hukumnya orang yang melakukan pantangan Ihrom ketika
haji atau umroh karena tidak tahu/lupa/dipaksa? (Tidak apa-apa, haji atau
umrohnya sah, tidak usah bayar dam)… Apahukumnya
orang yang bicara dalam sholat karena tidak tahu/lupa? (Tidak apa-apa, dan
sholatnya sah)… Apahukumnya orang yang mengucapkan kalimat kufur dalam
keadaan terpaksa? (tidak murtad, dan ia tidak berdosa)… Apa hukum orang yang shalat dengan najis karena tidak
tahu? (sholatnya sah, meskipun lebih baik mengulanginya jika belum keluar
waktunya)… Apa hukum orang yang menoleh dalam sholat karena kaget?
(Tidak apa-apa, dan sholatnya sah)… Apa hukum orang
yang mentalak istri karena diancam/dipaksa? (Talaknya tidak jatuh, dan wanita
itu tetap menjadi istrinya)… Apa hukum orang yang salah ucap, maksud hati ingin
mengatakan: Aku bermaksud “meleraikanmu” tapi yang terucap “menceraikanmu”?
(Talaknya tidak jatuh, dan wanita itu tetap menjadi istrinya)… Apa hukum orang yang lupa sholat, hingga keluar waktunya?
(Tidak berdosa, dan harus shalat ketika ingat)… Dan masih banyak sekali
kasus-kasus lainnya… Intinya Syariat Islam menggugurkan hukuman bagi mereka
melakukan sesuatu tanpa sengaja, karena “Semua amalan itu tergantung niatnya”…
11. Soal: Bagaimana hukum seorang mujtahid, jika salah dalam
ijtihadnya? Jawab: Sebagaimana Sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Jika
seorang penentu hukum berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, sedang
bila ia berijtihad dan salah, maka baginya satu pahala” (HR. Bukhori Muslim)… Mengapa demikian? Karena sang
mujtahid tidak bermaksud memilih yang salah, ia berniat mencari yang benar
sesuai dengan dalil yang sampai pada dia, tapi tak disengaja ia jatuh dalam
kesalahan… Sebagaimana kaidah “Semua amalan tergantung pada niatnya”, maka
kesalahan itu tidak berakibat dosa, karena ia tidak berniat melakukan
kesalahan… Yang
perlu digaris-bawahi di sini adalah: Ketika
seorang mujtahid tidak berdosa dalam melakukan kesalahan berdasarkan
ijtihadnya, bukan berarti kita boleh menirunya dan melakukan kesalahan yang
sama… Karena, ke-tidak-berdosa-an mereka adalah didasari oleh ijtihadnya
mereka, dan penilaian mereka bahwa itu yang benar… Adapun orang yang tahu,
bahwa ternyata pendapat mereka lemah dan salah, maka ia tidak boleh menirunya,
dan berdosa jika ia melakukannya, karena dengan begitu, ia berarti melakukan
kesalahan yang telah ia sadari… Intinya “Semua amalan tergantung pada niatnya”…
Wallohu a’lam…
12. Soal: Bagaimana
dengan orang yang bernadzar menziarahi masjid madinah. Jawab: Jika ia bermaksud menziarahi masjid nabawi untuk
beribadah di dalamnya, maka itu termasuk nadzar taat yang wajib tunaikan, meski
harus safar jauh, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Barangsiapa nadzar untuk
melakukan ketaatan kepada Alloh, maka hendaklah ia tunaikan! sedang barangsiapa
yang nadzar untuk maksiat, maka janganlah ia melakukannya!” (HR. Bukhori)… Adapun bila maksud utama dari nadzar itu
untuk menziarahi makam Nabi -shollallohu alaihi wasallam- maka itu menjadi nadzar maksiat jika harus safar jauh,
mengapa? Karena makam tidak boleh dijadikan tujuan untuk safar jauh,
sebagaimana sabda Rosul -shollallohu
alaihi wasallam-: “Janganlah mengadakan safar, kecuali ke tiga masjid: Masjidil
Harom, Masjidku ini (yakni Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsho” (HR. Bukhori Muslim)… Pendapat ini dipilih oleh Abu
Muhammad Al Juwaini dan didukung oleh Al-Qadli Husain, Al-Qadhi ‘Iyadh (Fathul
Bari, syarah hadits no: 1189) dan Al-Muhaqqiq Ash-Shon’ani (Subulus Salam
2/283) dan sekelompok ulama lainnya… Lihatlah bagaimana hukum bisa berbalik 180
derajat hanya karena perbedaan niat… begitulah, karena “setiap amalan
tergantung niatnya”…
13. Soal: Apa hukum
melihat wanita, sekejap tanpa sengaja? Jawab: Karena “semua amal tergantung pada niatnya”, maka
pandangan itu tidak menyebabkan dosa, karena ia tidak sengaja dan tak ada niat
melakukannya, tapi wajib baginya segera memalingkan pandangannya… Jika tidak,
dan meneruskan pandangannya dengan sengaja, maka ia berdosa karenanya… karena
timbulnya niat dalam hatinya untuk melakukan dosa itu… karena itu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ketika ditanya tentang hal ini, beliau mengatakan: “Palingkanlah pandanganmu!” (HR. Abu Dawud, dan dishohihkan oleh Tirmidzy,
Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Albani).
14. Soal: Apa hukum
talak yang dijatuhkan seseorang yang sedang sangat marah sekali, hingga pada
taraf tidak sadar dengan apa yang diucapkannya? Jawab: Dalam keadaan seperti itu, ia sudah tidak sadar dengan
ucapannya, dan orang seperti ini semua ucapannya tidak dianggap, karena tanpa
dasar niat dalam hatinya, sehingga talaknya tidak jatuh, karena “Setiap amalan
itu tergantung pada niatnya”… Berbeda jika ketika marah, ia masih sadar dan
tahu apa yang diucapkannya, lalu mentalak istrinya, maka dalam kasus kedua ini,
talaknya jatuh, karena “Setiap amalan itu tergantung pada niatnya”…
15. Soal: Apa hukum menggundul kepala? Jawab: Menggundul bisa berbeda-beda hukumnya, (a)Ia bisa jadi amal ibadah, seperti ketika haji, umroh,
anak kecil di hari nasikahnya, dan orang kafir ketika masuk Islam (al-Mughni
1/274)… (b)Bisa jadi amalan syirik, seperti menggundul dengan
niat merendah dan tunduk kepada selain Alloh, sebagaimana diperaktekkan para
pengikut fanatik para guru tarekat sufi, mereka mengatakan: “Aku menggundul
kepalaku untuk si fulan dan kamu menggundul kepalamu untuk si fulan” (Zadul
Ma’ad 4/159)…(c)Bisa jadi bid’ah, seperti menggundul ketika taubat
(Majmu’ Fatawa 21/117)… (d)Bisa jadi harom, seperti: Menggundul karena ditinggal
mati kerabat atau orang tercinta, atau karena meniru mode orang kafir atau
fasiq yang terkenal dengan model plontosnya… (e)Bisa jadi
dibolehkan tanpa pahala, misalnya karena adanya kebutuhan duniawi… Intinya
hukum menggundul ini tergantung niatnya, karena menggundul itu merupakan
amalan, dan “Semua amal itu tergantung pada niatnya”.
16. Soal: Apa hukum mencela (men-jarh)
seseorang? Jawab: itu tergantung niatnya: Jika niatnya ikhlas untuk
menasehati, proporsional, tidak bermaksud menghina, merendahkan, dan hanya
membatasi sisi yang perlu saja, maka itu menjadi amalan ibadah sebagaimana
diterapkan oleh para imam ahli jarh
watta’dil… Apabila
tidak demikian maka amalan itu menjadi haram… karena setiap amalan tergantung
niatnya…
17. Soal: Bisakah makan dan minum berpahala? Jawab: Memang, pada asalnya makan dan minum -yang waktu kita
setiap hari tersita untuknya- itu bukan amal ibadah, tapi dengan menerapkan
kaidah ini, amalan ini bisa menjagi ibadah yang berpahala… Misalnya dengan
meniatkannya untuk bekal ta’at pada Alloh ta’ala, karena badan tidak akan kuat
ibadah kecuali dengan makan dan minum… Maka niatkanlah makan dan minum dengan
niat baik ini, dan terapkanlah Adab Islami di dalamnya, seperti: Memulai dengan
basmalah, makan dengan tangan kanan, memakan yang paling dekat dulu, membagi
jatah volume perut menjadi tiga (yakni sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk
minuman dan sepertiga udara), dst… Jika anda melakukannya dengan niat itu,
tentunya waktu yang tersita untuk makan dan minum menjadi penuh dengan ibadah
yang berpahala, bahkan dengan niat yang baik setiap gerakan anda (mulai dari
menurunkan tangan untuk mengambil makanan, mengangkatnya kembali untuk
memasukkannya ke mulut, memamahnya, menelannya, dst) menjadi ibadah… Mengapa?
Karena niat yang baik dapat merubah amal duniawi menjadi ibadah yang berpahala…
Sungguh, adakah orang yang tidak sanggup melakukannya?!… Hanya dengan niat yang
sederhana dan ringan, amal dunia berubah menjadi ibadah dan berpahala… Itu semua
kembali kepada kaidah “Setiap amalan itu tergantung niatnya”…
18. Soal: Bisakah kita tidur sambil ibadah? Jawab: Hukum asalnya, tidur adalah amalan mubah yang tanpa pahala dan dosa, padahal ia lumayan banyak
menyita waktu kita… Alangkah baiknya jika kita bisa menjadikannya ibadah yang
berpahala, sehingga kita bisa mengeruk banyak keuntungan akhirat dengannya…
Ingatlah kaidah “Semua amalan tergantung niatnya”… Dengan niat yang baik, tidur
kita menjadi ibadah, seperti meniatkannya untuk bekal ta’at pada Alloh jalla
wa’ala, karena badan akan kehilangan kekuatannya tanpa tidur… dan hendaklah ia
menerapkan Adab Islami di dalamnya, seperti wudhu sebelum tidur, membaca doa
tidur yang dituntunkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, tidur dengan posisi miring pada tubuh bagian kanan,
dst… Jika kita melakukannya dengan niat yang baik, maka tidur kita, menjadi
ibadah yang berpahala… Itulah sebabnya mengapa amal duniawi orang yang selalu
ingat Alloh menjadi ibadah, sedang amal orang yang lalai menjadi kosong tanpa pahala…
19. Soal: Bisakah rutinitas kerja dan mengais rizki menjadi amal
ibadah? Jawab: Kerja, mungkin kegiatan paling banyak menyita waktu
kita dalam hidup ini, padahal ia termasuk amal duniawi yang mubahshollallohu alaihi wasallam-), menjadikan banyak orang tahu agamanya, membantu
para siswa memenuhi kebutuhan pribadinya, dan niat-niat baik lainnya… Dengan
niat yang baik itu, maka langkah kakinya, naik kendaraannya, menetapnya di
tempat kerja, pulangnya, dan setiap cobaan yang dialaminya menjadi tabungan
pahala… Lihatlah bagaimana keuntungan besar yang disebabkan niat ini, padahal
ia hanyalah amal hati yang ringan dan tanpa biaya… sayangnya kebanyakan orang
lupa dengan hal ini, karena setan melupakannya… semoga Alloh melindungi kita
semua dari gangguannya… amin…
(tanpa pahala dan dosa)… Orang yang berakal, tentunya
tidak ingin waktu panjang itu terbuang tanpa pahala… Kuncinya adalah niat yang
baik… Misalnya: Kerja dengan niat ibadah pada Alloh ta’ala, mencari rizki yang
halal sehingga menghindarkannya dari minta-minta, dan membantunya dalam
menunaikan kewajiban menafkahi anak istri… dengan meniatkannya memudahkan
urusan orang lain dan menasehatinya… jika ia guru, maka meniatkannya untuk
menyebarkan kebaikan, mengajarkan sunnah (tuntunan Nabi -
20. Soal: Apakah membeli suatu kebutuhan, seperti: mobil,
pakaian, rumah, makanan, minuman, alat rumah tangga, dll, bisa berpahala? Jawab: Sertailah dengan niat yang baik, insyaAlloh setiap
amalan anda akan berpahala… Soal: Membeli dan Memakai jam tangan, bisa berpahala? Jawab: Tentu… dengan niat yang baik, ia menjadi berpahala,
misalnya: Ketika membeli atau memakainya ia niatkan untuk: menertibkan waktu
ibadahnya, mengingatkan janji yang dibuatnya, dan niat baik lainnya… Karena
amal duniawi akan berpahala jika disertai dengan niat yang baik… karena semua
amalan tergantung niatnya…
21. Soal: Refreshing, tamasya ke tempat rekreasi, dan
sejenisnya, apa bisa berpahala? Jawab: Karena amal tersebut bukan ibadah (dalam ilmu fikih,
semua amalan yang bukan ibadah disebut adat) dan mubah, maka ia tidak berpahala
kecuali dengan niat yang baik… tentunya dengan catatan amalan itu tidak
menjerumuskan kita pada hal yang harom… Niat yang baik dalam hal ini, misalnya:
Menghibur diri dan menghilangkan kepenatan, hingga pikirannya segar dan giat
kembali dalam ibadahnya… karena sebagaimana kita tahu, pikiran dan hati kadang
lelah, penat dan bosan dengan rutinitas yang kita lakukan, meski bentuknya
ibadah, hingga butuh waktu istirahat, refreshing, dan hiburan yang halal untuk
menghilangkannya… Inilah metode yang benar… Alhamdulillah, Islam bukanlah agama
yang memberatkan, membosankan dan mengekang… Islam agama yang seimbang dan
proporsional… maka janganlah anda serius terus menerus, sebaliknya jangan pula
mencari hiburan tanpa batasan, tapi keduanya harus ada, jadikanlah hiburan itu
seperti garam dalam masakan… dan ketika sedang refreshing, niatkanlah untuk
menghibur diri agar kuat menjalankan taat kepada Alloh ta’ala…
22. Soal: Apa hukuman orang yang membunuh seseorang tanpa alasan
yang dibenarkan? Jawab: Hukumnya berbeda-beda tergantung niatnya: (a)Jika ia melakukannya dengan tanpa sengaja, maka
dihukumi Qotlul
Khoto’(membunuh tanpa sengaja), Hukumannya:
membayar diyatnya, dan tidak boleh diqishosh… (b)Jika ia
melakukannya dengan sengaja tapi alatnya tidak mematikan, maka dihukumi Qotlu Syibhil ’Amd (membunuh semi sengaja), hukumannya: Membayar diyatnya
yang lebih tinggi dari diyat qotlul
khoto’, dan tidak boleh diqishosh… (c)Dan jika ia melakukannya dengan sengaja dan alatnya
mematikan, maka dihukumi Qotlul
’Amd, maka ada tiga pilihan bagi wali korban: Qishosh, membayar diyat sesuai
permintaan wali korban, dan memaafkannya sama sekali… Perbedaan hukum ini
disebabkan oleh niat… karena semua amal tergantung niatnya…
23. Soal: Apa hukuman bagi orang mencuri harta orang yang
berhutang kepadanya? Jawab: Itu tergantung niatnya: Jika niatnya untuk melunasi
hutangnya, maka tidak boleh diterapkan hukum potong tangan terhadapnya, berbeda
jika niatnya memang murni untuk mencuri, maka ia dihukumi sesuai dengan
niatnya… karena perbuatannya tergantung pada niatnya…
24. Tapi perlu
diingat, bahwa NIAT BAIK tidak bisa merubah kemaksiatan menjadi ketaatan… Tidak
boleh mencuri, meski niatnya untuk menafkahi keluarga… Tidak boleh membuang bom
sembarangan, meski niatnya untuk jihad fisabilillah… Tidak boleh korupsi, meski niatnya untuk
disedekahkan atau bantu sanak famili… Tidak boleh memalsu hadits, meski niatnya
untuk menggiatkan ibadah… Tidak boleh mengaku nabi, meski niatnya untuk
menyebarkan kebaikan dan memajukan Umat Islam… Tidak boleh melakukan bid’ah,
meski tujuannya untuk ibadah… Tidak boleh syirik, meski niatnya menarik hati
umat… tidak boleh sombong, meski niatnya tahadduts binni’mah… tidak boleh
ghibah, meski redaksinya “kasihan ya si fulan, ia telah begini dan begitu”…
tidak boleh melihat wajah wanita yang bukan mahromnya, meski niatnya menikmati
ciptaan Alloh… tidak boleh mauludan, meski niatnya mahabbah nabi… tidak boleh mengadakan acara tujuh hari setelah
kematian, meski niatnya untuk berbuat baik pada si mayit… tidak boleh membangun
kuburan, meski niatnya menghormati ahli kuburnya… dan seterusnya dan
seterusnya…
25. Ada juga
amalan yang otomatis menjadi berpahala tanpa harus niat… Yaitu, setiap amalan yang memberi manfaat baik
kepada orang lain, seperti: Membantu orang lain dalam kebaikan, menyelamatkan
orang lain, menjima’ istri, menafkahi keluarga, menanam tanaman atau pohon jika
dimakan burung atau hewan lainnya, dll… Tapi, peran niat tetap ada dalam
amal-amal ini, yakni memperbanyak dan memperbesar pahalanya… wallohu a’lam… Hal
ini selaras dengan sabda Beliau -shollallohu alaihi wasallam-: “Pada
kemaluan kalian, ada sedekah”. Para
sahabat bertanya: “Wahai
Rosululloh, apa dengan memuaskan syahwat, orang bisa menuai pahala?!“. Beliau menjawab: “Bukankah ia akan berdosa jika menaruhnya
pada hal yang harom?! Begitu pula sebaliknya, ia akan mendapat pahala jika
menaruhnya pada hal yang halal” (HR.
Muslim)… Begitu pula sabdanya: “
Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu tanaman itu
dimakan oleh burung / manusia / binatang ternak, kecuali yang demikian itu
sebagai sedekah darinya” (HR.
Bukhori Muslim)…
Sekian
tulisan ini, Semoga bermanfaat… apa saja yang benar di dalamnya itu dari Alloh…
dan jika ada kesalahan, itu dari diri saya dan setan… dan semoga Alloh
mengampuninya… kurang lebihnya mohon maaf…subhaanakalloohumma wabihamdika asyhadu allaailaaha
illaa anta astaghfiruka wa’atuubu ilaiik…