LINTASAN SEJARAH ISLAM (4)

BANGSA ARAB DAN KERAJAAN KUNA MEREKA

Abdul Hadi W. M.

Sudah kita ketahui bahwa bangsa Arab termasuk ke dalam rumpun ras Semit, begitu pula bahasanya. Termasuk ke dalam rumpun ini ialah bangsa-bangsa yang lebih tua seperti orang Amuru, Akadia, Sumeria, Foenisia, Ibrani, dan lain-lain. Nama semit diambil dari nama Sam atau Sem, putra Nabi Nuh. Sejak ribuan tahun yang lalu nenekmoyang mereka telah mendiami wilayah yang luas di sekitar lembah Mesopotamia, di Iraq sekarang ini. yang sering disebut daerah Hilal Subur karena dialiri dua sungai besar Tigris dan Eufrat. Di sinilah mereka mendirikan kerajaan-kerajaan besar seperti Babylonia, Assyria, Akadia, Sumeria dan lain-lain yang merupakan pusat-pusat peradaban tua yang berpengaruh.

Orang-orang Semit juga mendiami wilayah lain di barat daya Asia seperti Jazirah Arab, pesisir utara Afrika Utara dan Timur, hingga Meditarrania dan Andalusia di Eropa. Wilayah-wilayah awal yang didiami oleh orang Semit ini, khususnya Hilal Subur dan Jazirah Arab, letaknya sangat strategis sebab merupakan laluan utama kegiatan perdagangan internasional yang menghubungkan benua Asia dengan Afrika dan Eropa.

Jazirah Arab sendiri, yang merupakan tempat tinggal utama bangsa Arab yang sekarang ini, merupakan semenanjung yang sebagian wilayahnya terdiri dari padang pasir maha luas. Ini tidak berarti bahwa di situ tidak ada bagian yang subur yang memungkinkan tumbuhnya pusat-pusat peradaban. Ahli-ahli geografi sejak lama membagi kawasan ini menjadi tiga bagian:

(1) Arabia Petrix atau Petra. Nama Petra diambil dari nama kerajaan yang pernah muncul di situ sebelum penaklukan bangsa Romawi. Daerah ini terletak di sebelah barat Lembah Syam yang cukup subur, berhadapan dengan Laut Merah serta berbatasan dengan Anatolia, Turki sekarang. Sejak lama wilayah ini menjadi pusat kegiatan perdagangan karena letaknya strategis yang menghubungkan daratan Asia dengan Eropa, baik melalui laut maupun darat;

(2) Arabia Deserta atau Sahara, yang merupakan kawasan terluas dari

Jazirah Arab membentang dari lembah Syam di utara hingga perbatasan Yaman di selatan. Di bagian tengah wilayah ini terletaklah negeri Hejaz dengan Mekkah sebagai ibukotanya;

(3) Arabia Felix atau Hijau, yaitu wilayah Yaman. Bagian dari wilayah ini tidak kurang strategisnya berhadapan dengan Laut Merah di sebelah barat dan Samudra Hindia di sebelah selatan dan timur. Dengan pelabuhannya Aden , wilayah ini merupakan tempat singgah utama kapal-kapal dagang dari Eropa dan Afrika menuju Timur Jauh dan Asia Tenggara, dan sebaliknya dari Asia ke Eropa (Ismail Faruqi 1990; Ali Hasymi 1995).

Penduduk yang mendiami Jazirah Arab dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) Arab Baidah dan (2) Arab Baqiyah. Arab Baidah terdiri suku-suku besar Arab yang telah musnah yang tidak diketahui lagi sulur galurnya. Kita hanya mengetahuinya melalui kitab-kitab suci sepertin Taurat, Injil dan al-Qur`an. Misalnya suku Ad, Samud, Thasam, Judis dan sebuah kelompok utama dari suku Jurham.

Ada pun Arab Baqiyah ialah Arab yang masih kekal hingga sekarang yang dibagi lagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Arab Aribah dan Arab Musta`rabah. Arab Aribah terdiri dari orang-orang Qathan yang mula-mula mendiami Yaman, tetapi kemudian banyak berpindah ke utara serta bercampur baur dengan orang-orang Adnan yang datang dari utara. Dari induk besar suku Qathan inilah muncul suku-suku seperti Jurham baru dan Ya`rab, dan dari suku Ya`rab muncul kabilah-kabilah seperti Kahlan dan Himyar. Induk besar yang lain yang disebut Arab Musta`ribah merupakan keturunan orang-orang Adnan yang datang dari utara. Mereka merupakan komposisi terbesar penduduk Arabia Sahara.

Sebagian besar dari orang-orang Arab Must`ribah hidup sebagai nomaden atau baduwi yang berpindah-pindah, sebagian kecil hidup menetap, terutama yang tinggal di pesisir. Penghidupan utama mereka ialah berternak dan berdagang. Mereka merupakan keturunan orang-orang Semit Kana’an yang dibawa pindah oleh Nabi Ibrahim setelah istrinya Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail tinggal di Mekkah. Orang-orang Kana’an ini kemudian bercampur baur dengan orang-orang Qathan dan menjelma induk baru suku Adnan. Dari suku inilah muncul kabilah Quraysh yang mengusai Mekkah sejak akhir abad ke-6 M, lebih 50 tahun sebelum tersebarnya agama Islam di Jazirah Arab (Ali Hasymi 1995).

Melalui gambaran tersebut jelaslah bahwa jauh sebelum lahirnya agama Islam, nenek moyang bangsa Arab telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi serta memainkan peranan penting dalam sejarah umat manusia. Tetapi peradaban dan kebudayaan yang mereka kembangkan selama berabad-abad itu itu telah lama pula tenggelam bersamaan dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan kuna yang mereka dirikan seperti Babylonia, Assyria dan Sumeria. Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan ini pula, di situ mereka mendirikan kerajaan-kerajaan yang lebih kecil, tetapi memainkan peranan yang tidak kalah pentingnya dalam sejarah. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain ialah Kana’an (2500 – 333 SM), Petra di Syria sekarang (400 SM – 166 M). Lakhum (271 –628 M), Ghasan (271 SM –630 M), Hatra (85- 241 M) dan Palmira (130 SM – 270 M). Karena letaknya yang strategis, kerajaan-kerajaan ini dalam waktu yang lama menjadi ajang rebutan dua kuasa besar kala itu, yaitu kekaisaran Romawi dan kemaharajaan Persia. Satu persatu dan secara bergiliran kerajaan-kerajaan ini diduduki oleh dua kuasa besar itu menyebabkan mereka tidak mengembangkan peradaban dan kebudayaannya secara leluasa. Palmira ditaklukkan Romawi pada tahun 270 M, Petra atau Nabatea jatuh ke tangan Romawi pada tahun 105 M; Hatra ditalukkan Persia pada tahun 241 M, Lakhum bertekuk lutut pula pada Persia dan menjadi negara taklukan pada tahun 400 M sampai 628 M. Ghasan, kerajaan Arab terakhir di utara semenanjung, direbut oleh Persoia pada tahun 613 M.

Di bagian selatan Jazirah Arab yang disebut Arabia Hijau pernah pula berdiri beberapa kerajaan besar yang berdaulat dan telah berhasil mengembangkan peradaban dan kebudayaan yang tinggi. Misalnya Ma`in (1200 - 600 SM), Qataban (1000 – 200 SM), Saba’ (950 – 115 SM) , Himyar (115 SM – 525 M) dan Hadramaut (160 SM – 300 M). Karena letaknya yang juga strategis sebagai tempat singgah utama kapal-kapal yang berlayar dari Mediterania ke Timur Jauh, kerajaan-kerajaan ini juga tidak luput dari inceran dua kuasa besar yang telah disebutkan. Kerajaan besar terakhir mereka Himyar juga mengalami keruntuhan akibat pukulan dua kuasa besar mereka. Kerajaan ini didirikan oleh orang-orang Himyar yang merupakan pelaut-pelaut Arab ulung, sekaligus peniaga yang tangguh, yang pernah mengusai dunia pelayaran selama beberapa abad baik di Samudra Hindia maupun di Laut Mediterrania. Karena itu tidak mengherankan apabila kerajaan ini pernah muncul sebagai kerajaan maritim yang tangguh dan menguasai perdagangan internasional (Syalabi 1983).

Peninggalan sejarah dari kerajaan-kerajaan orang Himyar ini masih dapat dijumpai sekarang. Antara lain bekas tembok bendungan raksasa Ma`arib yang dibangun pada masa kerajaan Saba’ dan diperbaiki pada zaman kerajaan Himyar (Gustar Leboun tt). Bangunan ini runtuh pada abad ke-3 M, menyebabkan mundurnya kerajaan Himyar. Bangunan-bangunan penting kerajaan rubuh pula dan hanyut dibawa oleh banjir. Ini menyebabkan sebagian besar penduduknya pindah ke utara dan sebagian mereka kemudian bercampur dengan orang-orang dari Suku Adnan yang telah datang lebih dahulu dari mereka. Kendati demikian, karena letaknya yang strategis, kerajaan ini tetapi jadi ajang rebutan Persia dan Romawi. Pada tahun 523 M Himyar ditaklukkan oleh Habsyi, sebuah kerajaan vassal dari kekaisaran Romawi yang teletak di Afrika Timur, yaitu Ethiopia sekarang. Agama Kristen mulai berkembang di wilayah ini sejak masa itu, khususnya aliran-aliran Koptik, Nasharitah dan Yaakibah. Walaupun demikian pengaruh agama Kristen tidak besar dibanding agama Mesopotamia yang telah berkembang sebelumnya.

Pada tahun 565 M Himyar ditaklukkan sekali lagi oleh Habsyah di bawah rajanya Abrahah. Ini terjadi setelah beberapa waktu lamanya Himyar diperintah oleh raja Yahudi, yaitu Dhu Nu`as. Di bawah pemerintahan Dhu Nu`as inilah terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap orang Kristen yang menyebabkan Abrahah marah. Pada tahun 570 Abrahah membawa pasukan gajahnya ke Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah, tetapi gagal. Pada tahun 575 Himyar ditaklukkan oleh Persia dan ini semakin mempersukar berkembangnya agama Kristen dan Yahudi di Jazirah Arab (Ismail Faruqi 1990).

Tetapi selain kerajaan-kerajaan besar ini, yang menjadi rebutan dua adikuasa Romawi dan Persia kala itu, terdapat negeri-negeri yang merdeka dan luput dari perhatian dua adikuasa tersebut. Di antaranya Hejaz yang mampu mempertahankan kemerdekaannya hingga berkembangnya agama Islam. Keengganan Romawi dan Persia untuk merebut wilayah ini terutama karena letaknya yang sukar dicapai sebab dikelilingi gurun pasir yang maha luas dan mengerikan. Di Hejaz inilah Mekkah terletak seakan-akan sebagai pusat negeri itu dan di Mekkah pula berdiri Ka’bah yang telah lama menjadi pusat ziarah suku-suku Arab dari berbagai penjuru Jazirah Arab.

Bangunan suci itu dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail

untuk memenuhi panggilan Tuhan. Tetapi sejak pudarnya keimanan keturunan mereka terhadap agama Tauhid, dan semakin meluasnya pengaruh paganisme Mesopotamia (Ismail Faruqi 1991), lama kelamaan mereka kembali menjadi pemuja berhala. Tidak mengherankan jika di sekitar Ka’bah kemudian banyak terdapat berhala yang menjadi tujuan pemujaan. Sampai berkembangnya Islam di seitu tidak kurang 360 berhala terdapat, sebab masing-masing kabilah memiliki berhala sendiri. Berhala-berhala utama antara lan ialah Lat, Uzza, Manat dan Hubal.

Pada mulanya Ka’bah berada di bawah kekuasaan Nabi Ismail dan putra sulungnya Nabit. Kemudian setelah jatuh ke dalam penguasaan kabilah Jurjun. Setelah itu jatuh pula ke tangan kabilah Khuza`ah yang datang dari Yaman setelah runtuhnya bendungan Ma`arib. Mereka menguasai Ka`bah selama tiga abad dan sejak itulah pemujaan terhadap berhala-berhala berkembang. Pada abad ke-5 M kaum Quraysh, yang merupakan puak utama dari rumpun suku-suku Adnan dan merupakan keturunan langsung dari Nabi Ismail, giliran menguasai Ka`bah. Di bawah pimpinan orang Quraysh inilah Ka`bah Mekkah bertambah maju dan berkembang pesat sebagai pusat ziarah. Pada tahun 540 M mereka memugar telaga air Zamzam. Ketika itu yang menjadi pemimpin Ka’bah ialah Abdul Muththalib, kakek Nabi Muhammad s.a.w.

Telah dijelaskan bahwa kemunduran yang dialami bangsa Arab dalam sejarahnya terutama disebabkan oleh runtuhnya kerajaan-kerajaan mereka ke tangan bangsa Romawi dan Persia. Kemunduran itu ditambah lagi dengan banyaknya perang antar kabilah yang sering terjadi sejak abad-abad pertama tarikh Masehi. Akibat peperangan yang menguras tenaga dan memakan banyak korban itu, mereka tidak lagi dapat mengembangkan kebudayaan seperti nenek moyangnya terdahulu. Perang antar suku yang terbesar antara lain ialah Perang Busus yang berlangsung selama 40 tahun melibatkan kabilah Taghlib dan Bakar. Penyebabnya sepele, yaitu perselisihan mengenai seekor unta. Perang lainnya ialah perang Dahis yang terjadi antara pimpinan kabilah al-Ghubara dan Dahis, juga selama 40 tahun. Kemudian Perang Fujar yang memusnahkan banyak pemukiman pada abad ke-3 M, lebih kurang 228 tahun sebelum lahirnya Nabi Muhammad s.a.w. Peperangan itu biasanya terjadi pada bulan suci, yaitu ketika diselenggarakannya Pasar Ukaz di Mekkah pada musim ziarah ke Ka`bah.

Benih-benih persatuan muncul setelah raja Abrahah dari Yaman menyerbu Mekkah pada tahun 570 M dengan pasukan gajahnya dengan tujuan menghancurkan Ka`bah dan memindahkan pusat ziarah bangsa Arab ke Yaman. Serbuan itu gagal. Pasukan gajah Abrahah diserang oleh burung Ababil yang menyebabkan gajah-gajah itu lumpuh. Tentara Abrahah pun pulang dengan hampa ke Yaman. Benih-benih persatuan yang mulai muncul itu mendorong mereka memilikirkan strategi mempertahankan Ka’bah secara bersama-sama. Sejak itu pula mereka menetapkan bahasa Mudhar, salah satu dialek Arab yang tumbuh di Hejaz, sebagai bahasa persatuan. Dalam bahasa Arab Mudhar inilah al-Qur`an diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.

(BERSAMBUNG)

Berbang kota kuna Niniveh,, bekas pusat kerjaaan Assyria. Di sini perang terakhir antara Romawi dan Persia terjadi pada 622-4.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post