Gerakan Politik Fundamentalisme

Reportase Ceramah Prof. Thomas Meyer

Oleh Saidiman Ahmad

Fundamentalisme tidak terkait dengan satu agama. Ia ada pada semua agama. Demikian Prof. Dr. Thomas Meyer (Universitas Dortmund, Jerman) mengenai salah satu karakter fundamentalisme. Pandangan itu dikemukakan dalam ceramah dan diskusi publik bertajuk “What is Fundamentalism?” 22 November 2011. Acara ini diselenggarakan oleh Jaringan Islam Liberal berkerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung. Selain Thomas Meyer, hadir pula Ulil Abshar-Abdalla sebagai pembanding.

Fundamentalisme tidak terkait dengan satu agama. Ia ada pada semua agama. Demikian Prof. Dr. Thomas Meyer (Universitas Dortmund, Jerman) mengenai salah satu karakter fundamentalisme. Pandangan itu dikemukakan dalam ceramah dan diskusi publik bertajuk “What is Fundamentalism?” 22 November 2011. Acara ini diselenggarakan oleh Jaringan Islam Liberal berkerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung. Selain Thomas Meyer, hadir pula Ulil Abshar-Abdalla sebagai pembanding.

Pada kesempatan itu, Thomas Meyer mengemukakan Sembilan karakter fundamentalisme. Pertama, fundamentalisme merupakan gejala yang ada di semua agama. Ia tidak terkait dengan agama tertentu. Bahkan sebenarnya fundamentalisme hanya salah satu cara memahami agama.

Kedua, fundamentalisme lebih sebagai ideology politik ketimbang agama. Dalam banyak sekali kasus, nuansa politik gerakan fundamentalisme sangat kuat. Mereka membangun framing ketertindasan ummat yang kemudian mereka jadikan kerangka gerakan. Mereka mendesakkan suatu sistem politik baru. Tak jarang di antara mereka bermetamorfosis menjadi partai politik dan ikut serta dalam pemilihan umum yang demokratis.

Bagi Meyer, fundamentalisme sesungguhnya adalah bagian dari modernitas. Ia merupakan respon langsung terhadap modernism. Ia adalah bentuk modern dan anti-modernisme. “Fundamentalis is a modern form of anti-modernism,” tegas Meyer.

Karakter ketiga fundamentalisme, menurut Meyer, adalah bahwa ia lahir sebagai respon terhadap krisis. Ada pengandaian bahwa dunia sekarang ini sedang berada pada situasi kacau balau baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Krisis kepemimpinan dalam segala ranah kehidupan itulah yang mendorong lahirnya gerakan fundamentalisme.

Keempat, fundamentalisme ditandai dengan suatu prinsip superioritas diri atas yang lain. Di sini politik identitas mewujud. Kaum fundamentalis selalu merasa diri mengatasi yang lain. Mereka menganggap diri sebagai yang paling benar, yang paling saleh, yang paling lurus. Selebihnya adalah kesesatan dan penyimpangan.

Meyer juga menyebut, kelima, bahwa ciri yang kuat pada fundamentalisme adalah mereka begitu anti dan membenci kampanye kesetaraan gender dan pluralisme. Itulah yang menjelaskan kenapa semua gerakan fundamentalisme selalu menyasar pengungkungan terhadap perempuan. Peraturan-peraturan yang mereka desakkan hampir selalu berkaitan dengan bagaimana perempuan diatur. Mereka begitu bebal dan tak mau menerima gagasan bahwa pada dasarnya semua manusia sama apapun latar belakang seks dan budayanya.
Ciri keenam dari fundamentalisme, menurut Meyer, adalah resistance identity. Ini yang kemudian menjustifikasi kenapa gerakan fundamentalisme selalu mengarah pada totalitarianism. Ciri ketujuh adalah bahwa fundamentalisme selalu melakukan penolakan terhadap identitas dan menolak budaya demokrasi.

Kedelapan, kaum fundamentalis merasa terjebak dalam ketidak-amanan. Ini pula yang biasa disebut sebagai mental terkepung. Ada kekuatan di luar sana yang mereka sangka akan menghancurleburkan mereka. Akibatnya, mereka sangat reaktif dan acapkali agressif.

Meyer menjelaskan bahwa bahwa demokrasi bukanlah majoritarian rule melainkan rule of law. Memang betul bahwa ada pemilihan umum. Tapi bukan berarti penguasa terpilih harus selalu menjalankan amanat kelompok mayoritas. Demokrasi justru memilih pemimpin untuk bergerak dalam koridor hukum. Rule of law adalah unsur paling penting dalam demokrasi. Kaum fundamentalis dicirikan, kesembilan, oleh penolakannya terhadap rule of law. “Jika kau ingin menyaksikan bahwa semua orang bisa menjalankan ibadah secara bebas, maka yang pertama yang harus ditegakkan adalah rule of law,” demikian Meyer. Meyer mencontohkan bagaimana kekuatan fundamentalis tahun 1920-an dan 1930-an di Jerman begitu kuat dan mereka menegakkan suatu demokrasi mayoritarianisme yang tak lain adalah totalitarianisme.

Ulil Abshar-Abdalla memberi tanggapan atas paparan Prof. Meyer. Menurut Ulil, ada kesamaan antara fundamentalisme Islam dan komunisme serta Marxisme. Fundamentalisme Islam ditandai dengan klaim ideology komprehensifnya. Semua hal hendak diatur. Semua hal hendak dikontrol.

Hal lain, menurut Ulil, yang menarik adalah bahwa gerakan fundamentalisme (terutama Islam) pada praktiknya sangat terobsesi untuk mengatur wilayah privat, bukan wilayah publik. Kampanye yang mereka usung sejauh ini justru sangat didominasi oleh isu-isu ruang privat, misalnya moralitas, pakaian perempuan, minuman keras, perzinahan, dan seterusnya. Mereka justru tidak terlalu peduli dengan persoalan publik.

Prof. Meyer menimpali bahwa sebenarnya kaum fundamentalis ingin mendominasi kehidupan publik untuk mengatur kehidupan privat.

Ulil menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai gerakan fundamentalisme adalah suatu realitas yang sungguh-sungguh dinamis. Idealisasi dari kaum fundamentalis ternyata tidak terbukti dalam realitas kehidupan politik. Ketika para fundamentalis terjun ke dunia politik, mereka tak bisa menghindarkan diri dari kompromi sebagaimana yang lazim terjadi di dunia politik praktis.

Pada intinya, Ulil hendak menyatakan bahwa fundamentalisme adalah barang yang terus bergerak dan berubah. Ia tidak diam di tempat dan membatu.


Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post