Pengamen: Satuan Terkecil Manajemen Seni Pertunjukna

Julianus P Limbeng
Pemimpin Redaksi Jurnal Seni Musik UPH

julianus_limbeng@uph.edu

Abstrak

‘Pengamen’ is one of music performance that we can see spread in many space in side town, bus, train, café, restaurant, and other place. They have many personality in same time, like an organizing many people in a performing art. In same time them must to be an artist, manager, treasure, staf administrator, master of ceremony, vocalist, musician, and trainer. Pengamen to be suvervisor for himself and build network, territory, and audience. For this case, pengamen has a strategy to manage himself depend to them goal setting. For a research about management performing arts, pengamen can represent it.

*****


Stiker-stiker yang melecehkan pengamen juga dirasakan Sujud sebagai siksaan batin. "Ada tulisan ngamen gratis dan sebagainya, itu saya merasa ngelus dada. Betapa pengamen benar-benar telah mengganggu kenyamanan manusia. Apakah benar-benar begitu? Tak bolehkah ada sisa rezeki yang kami kais? Rasanya penghayatan untuk melihat pengamen diperlukan untuk mereka, orang-orang yang naik mobil," kata Sujud seperti menggugat. Sujud (Pengamen, Yogyakarta)[1]



Pendahuluan
Jakarta merupakan "surga" bagi pencari kerja, apa aja bisa menghasilkan uang...uang..dan uang, termasuk didalamnya "ngamen" dimanapun dia berada, dari rumah- ke rumah, di persimpangan jalan dan di angkutan. Maka tak heran bila sebuah kota metropolitan atau kota yang menuju metropolitan akan semakin banyak para pengamen dan peminta-minta berkeliaran di jalanan, walaupun sudah dijerat dengan berbagai Peraturan Daerah (PERDA).[2] Hampir disetiap sudut kota, di halte-halte bus, di kereta api, di rumah makan ‘berkelas’ sampai tempat penjual makanan di kaki lima, dengan mudah kita menyaksikan aksi para pengamen ‘bermusik’, dengan berbagai macam kategori dan kwalitas musikal.
Fenomena pengamen saat ini sangat beragam sekali, mulai dari usia anak-anak sampai dewasa, anak sekolah SD hingga mahasiswa, pria dan wanita; pengamen solo dan berkelompok; yang hanya menggunakan instrument sederhana seperti tepukan tangan saja hingga menggunakan berbagai alat musik layaknya band combo dan sebagainya. Dari yang sangat mengharapkan kerelaan orang memberikan uang sampai pengamen yang setengah mengancam atau bahkan mengancam. Demikian juga jika kita kaji syair-syair yang mereka bawakan juga sangat beragam, mulai dari tekstual yang sederhana, humor atau yang mengundang kelucuan hingga ada yang mengusung masalah-masalah kritik sosial, politik dan sebagainya. Dari lagu-lagu popular Indonesia, daerah, lagu-lagu Barat dan banyak juga yang mengusung lagu-lagu rohani Islam atau Kristen.
Jika dikaitkan dengan kegiatan ekonomi, maka kegiatan ngamen juga ada yang memang menggantungkan hidupnya kepada kegiatan ini akibat susahnya mendapatkan pekerjaan yang layak di kota-kota besar, namun tidak dipungkiri juga ada juga pengamen yang menyatakan dirinya sebagai pengungkapan ekspresi belaka. Meskipun demikian, namun imej di masyarakat pengamen selama ini dianggap sebagai orang yang tidak punya pekerjaan, kualitas rendah dan mengandalkan kenekatan belaka karena tidak ada pilihan lain. Bahkan pengamen sering dianggap sebagai pengemis hingga orang brengsek[3].
Saya pernah mendengar rekaman seorang pengamen dari Yogya yang bernama Sujud yang hanya menggunakan satu buah kendang dua sisi sebagai musik pengiring nyanyiannya. Namun jika kita analisis kemampuannya mengolah kata-kata atau syair-syair yang ia kumandangkan benar-benar sangat professional sekali. Bahkan oleh Sapto Rahardjo (seorang pemusik kontemporer Indonesia) pernah dibawa dalam sebuah ajang festival musik internasional yang diikuti oleh pemusik Australia, Amerika, Inggris pada tahun 1997 di daerah Ancol Jakarta Utara.[4] Demikian juga di Bandung pernah ada seorang pengamen yang sangat terkenal yang hanya bermodalkan kacapi Sunda diatonis, yang dikenak dengan nama Braga Stone (--terinspirasi lagu-lagu dari kelompok musik Rolling Stone, karena tempat mangkal ngamennya di Lapangan Braga di Bandung, maka dikenal dengan Braga Stone--). Dengan alat musik tradisional kacapi Braga Stone mampu membawakan lagu-lagu Barat dengan baik. Dua contoh pengamen ini benar-benar mengelola dirinya sebagai pengamen, bahkan rekaman mereka ngamen juga sering dijadikan sebagai bahan kajian di siara radio. Seperti Pak Sujud, tidak jarang dia selalu diundang (nanggap) ke pesta-pesta perkawinan dengan bayaran tertentu. Jika tidak ada tanggapan maka dia mengamen dari satu rumah ke rumah. Ini memperlihatkan contoh adanya pengamen yang menggantungkan ekonomi keluarganya dari kegiatan mengamen.
Karena bagi sebagian orang kegiatan mengamen menjadi tiang penyangga utama hidupnya, maka banyak pengamen yang benar-benar serius mengelolanya, sehingga kegiatan tersebut benar-benar menjadi sumber uang yang terutama bagi ekonomi keluarganya. Namun tidak sedikit juga pengamen yang menggunakan penghasilannya dengan poya-poya. Fenomena ini semuanya menarik dijadikan sebagai bahan kajian dari berbagai disiplin ilmu, termasuk musik, karena kegiatan utama pengamen pada dasarnya adalah bermain musik. Mungkin bisa lebih difokuskan kepada seni pertunjukan, khususnya dari sisi manajemennya.
Mempelajari manajemen seni pertunjukan sering sekali dijadikan objek maupun subjek penelitian berdasarkan seni pertunjukan yang secara teoritis memang dia dapat dikelompokkan sebagai sebuah seni pertunjukan yang formal. Sebagai objek penelitian kita sering mengambil sebuah seni pertunjukan yang besar dan kompleks permasalahannya. Tetapi ketika kita ingin menempatkan sebuah seni pertunjukan yang idiosinkretik, namun masih dalam asas kriteria ‘seni’ pertunjukan, maka kita sebenarnya dapat melakukan sebuah kajian atau penelitian terhadap seni pertunjukan yang lebih kecil. Salah satu yang sering lepas dari pantauan kita seni pertunjukan yang terkait dengan manajerial adalah pengamen yang dalam bahasa Inggrisnya sering diterjemahkan sebagai singing beggar. Namun beggar yang dimaksud disini sebenarnya lebih ditekankan kepada kategori peminta-minta, pengemis, memiskinkan. Namun apabila kita lihat di beberapa contoh di berbagai dunia, barangkali istilah tersebut juga sebenarnya perlu diredefenisi, karena banyak group-group musik yang ‘mengamen’, namun jika ditinjau dari aspek musik, barangkali jauh lebih berkwalitas dari group-group band popular sekalipun[5]. Istilah pengemis dan peminta-minta, memiskinkan, sebenarnya lebih kearah sifat pertunjukan itu sendiri sebagai keberlanjutan aktivitas ‘seni’ musik itu sendiri.
Pengamen merupakan sesuatu yang sering bahkan sangat sering sekali kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya bagi masyarakat perkotaan. Pengamen merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kita, karena hampir di setiap tempat ‘mereka’ hadir membawakan lagu-lagu mulai dari lagu dangdut, country, pop, dan setersusnya. Juga ada yang menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Juga ada pengamen yang hanya sendiri sampai berkelompok. Demikian juga ada pengamen yang sama sekali tidak menggunakan istrumen musik sampai menggunakan beragam alat musik.

Pengertian Ngamen
Ngamen sebenarnya dapat diartikan menjual ‘keahlian’, khususnya dalam bidang musik yang berpindah-pindah tempat atau berkeliling dari stau tempat ke tempat yang lain, sedangkan pengamen adalah orang yang melakukan kegiatan ngamen tersebut. Menjual keahlian karena dilihat dari sejarahnya banyak pengamen di Jawa memang berlatar belakang sebagai pemain karawitan (musik tradisional Jawa). Sebagai contoh Wiro Sumarto dari Klaten Jawa Tengah, yang memang seorang pangrawit yang karena sepinya pertunjukan musik, maka dengan teman-temannya dia menggantungkan hidup dari kegiatan bermain musik keliling dengan menjual jasa secara suka rela, namun dengan harapan ada balasan berupa materi (uang). Kegiatan ini sudah dimulai sebelum tahun 1960-an. Pada tahun 1969 muncul seorang pengamen generasi mereka di Yogyakarta, yaitu Pak Sujud. Dalam bahasa Cirebon disebut dengan Bebarang. Karena tidak ada satu tempat khusus sebagai tempat pertunjukannya, dan dianggap sebagai kesenian yang kwalitasnya rendah maka ngamen[6] diartikan sebagai ngemis atau meminta-minta.[7] Mengamen diartikansebagai meminta sesuatu (uang) dengan usaha yg seminimal mungkin.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia ngamen[8] terdiri dari dua pengertian, pertama sebagai kegiatan keliling bermain musik dengan mengharapkan bayaran, kedua sebagai kegiatan pergi melaut mencari ikan. Demikian juga pengertian yang sama dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia[9], Dalam kamus online pengamen ditulis sebagai “beg while singing playing musical instruments or reciting prayers, atau be persistent (memaksa).”[10]Pengertian-pengertian yang diberikan dalam beberapa kamus pengertiannya hampir sama. Kegiatan bermain musik dari satu tempat ke tempat lain dengan mengharapkan imbalan sukarela atas pertunjukan yang mereka suguhkan. Namun karya yang mereka suguhkan berbeda-beda, baik dari segi bentuk dan kwalitas maupun performanya.

Manajemen Seni Pertunjukan
Bagi beberapa institusi seni, manajemen seni pertunjukan merupakan satu hal yang perlu dalam memperoduksi sebuah pertunjukan kesenian.[11]Karena mau tak mau, meskipun sebagai bidang ilmu, muara dari musik itu sendiri adalah bagaimana memproduksi bunyi itu, baik dalam bentuk rekaman maupun dalam bentuk pertunjukan musik. Meskipun tidak terkait langsung dengan nilai-nilai komersil, yaitu dalam tataran seni untuk seni, namun suksesnya sebuah perhelatan atau pertunjukan musik membawa dampak kepuasan minimal bagi performer apabila sebuah produksi pertunjukan dilakukan dengan manajemen yang baik. Namun perkembangan selanjutnya, ketika musik terkait langsung dengan masalah nilai-nilai komersil, maka ia menjadi lebih atau ‘sangat’ perlu dikelola, dimenej, karena terkait dengan masalah dampak berikut atau selanjutnya, sehingga dapat memenuhi keinginan kesenian itu sendiri sekaligus bagi audien sebagai pasar dan bagi performernya yang dapat menghasilkan materi. Ini tentunya membutuhkan pemahaman yang baik tentang aspek teoritis maupun praktis.
Bagaimana hal tersebut kita dapat dalam pengelolan seni pertunjukan? Barangkali dalam pengelolaan mata kuliah yang terkait dengan manajemen produksi atau manajemen seni pertunjukan, kita lebih sering mengemukakan contoh-contoh manajemen seni itu kepada seni pertunjukan yang sifatnya formal, besar, jelas tempat pertunjukannya, atau barangkali pertunjukan yang dapat dikatakan berskala besar. Padahal pengelolaan seni pertunjukan dalam skala kecil juga dalam ranah praktik keilmuan juga dapat kita temukan dalam keseharian, yang ada di lingkungan kita yang dapat direfleksikan juga pada skala besar, salah satu contohnya adalah pengamen. Pengamen adalah sebuah pementasan karya musik yang skalanya relatif kecil untuk merencanakan dan melaksanakan suatu pertunjukan musik dengan tempat pertunjukan dimana saja ada kesempatan yang memungkinkan mereka untuk mengekspresikan musiknya. Untuk melaksanakan pertunjukan musik, pengamen juga membutuhkan pemahaman aspek teoritis, pengenalan lapangan, pasar atau audiens, sehingga dapat dijadikan sebagai modal dalam kelancaran pelaksanaan pertunjukannya. Dalam hal ini pengamen tidak hanya dwi fungsi, yaitu terampil sebagai pekerja dan terampil sebagai pemain, tetapi lebih dari itu, pengamen akan merangkap sekaligus beberapa peranan. Artinya pengamen harus mampu sebagai (1) pemain atau pelaku (actor); (2) pembawa acara atau MC; (3) sebagai manajer; (4) sebagai tenaga pemasaran; (5) pelatih; dan (6) keuangan. Jika peranan-peranan itu dimainkan oleh pengamen solo sendirian, maka dapat dikatakan pengamen sebagai satuan terkecil manajemen seni pertunjukan.
Dalam menjadikan dirinya trampil sebagai pekerja dan pemain, pengamen juga mengembangkan dirinya tergantung pada level mana yang hendak ia capai. Artinya pengamen juga mengembangkan berbagai strategi yang kadang cukup kreatif dan inovatif. Misalnya dalam pemilihan lagu-lagu yang hendak dibawakan, alat musik, dan berbagai hal yang terjadi di lapangan tempat ia ‘manggung’ yang sangat situasional. Dalam hal ini sangat dibutuhkan tingkat professional yang matang. Artinya unsure-unsur manajemennya sangat kental dan menarik untuk dicermati. Pemahaman ‘enam A’ (apa, mengapa, siapa, bilamana, dimana, dan bagaimana) meskipun tidak formal mereka dapatkan dari bangku sekolah, tetapi dalam praktiknya mereka terapkan dalam mengelola dirinya sebagai actor dan sekaligus manajer. Dalam prakteknya ada pengamen yang mampu mengimplementasikannya dalam pertunjukan keseniannya, yaitu sebagai penyelenggara dan sebagai pelaku.
Pengamen dapat disebut sebagai satuan kecil seni pertunjukan, karena unsur-unsur manajerial ada disana meskipun dilakukan oleh hanya satu orang pelaku saja. Konsep manajemen seni sebenarnya adalah menganut konsep ilmu ekonomi, yaitu bagaimana mengatur dan menjalankan sebuah unit-unit kerja agar dapat berjalan dengan baik, efektif dalam mencapai tujuan tertentu. Manajemen seni pertunjukan biasanya terkait dengan masalah efek balik, yaitu khususnya aspek pemasaran dan penggalangan dana, sehingga dari segi materi pertunjukan juga dapat dipertunjukkan dengan baik (feeder), yang akhirnya berimbas kepada masuknya dana, sehingga proses pertunjukan-pertunjukan selanjutnya dapat berlangsung tarus menerus. Dalam hal ini sangat dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola organisasi dan pertunjukan (musik).
Hal-hal yang terkait dengan manajemen ini biasanya terkait dengan empat hal, yaitu yang biasa dalam manajemen dikenal dengan POAC, yaitu unsure-unsur Planing, Organizing, Actuiting, dan Controlling. Jika kita kaitkan dengan pengamen, maka mereka juga mempunyai keempat hal tersebut. Mereka mempunyai perencanaan meskipun terkadang perencanaan ini tidak kelihatan terlalu matang atau perencanaan jangka pendek, bahkan perencanaan sesaat saja. Namun ada beberpa pengemen juga yang mempunyai perencanaan matang ketika dia memutuskan diri menjadi pengamen. Jika dia memilih itu sebagai profesinya, maka sangat dituntut keprofesionalan, khususnya dalam merencanakan berbagai hal, baik masa pendek dan masa panjang.
Pengamen juga mengorganisasikan dirinya dalam kegiatannya, khususnya manajemen diri sendiri jika itu dilakukan sendiri. Organisasi ini terkait dengan multi-peran yang ia miliki atau multi peran yang melekat pada dirinya sendiri. Dalam hal ini ia harus mampu mengorganisasikan dirinya dalam berbagai peran sekaligus. Dia harus mengetahui dirinya berperan sebagai apa dalam satu waktu. Ketika ia sebagai MC sebelum membawakan lagu misalnya, ia benar-benar tahu siapa audiensnya, dan pemilihan kata-kata apa yang tepat ia sampaikan sehingga memperoleh simpati atau setidaknya mengalihkan perhatian orang kepada pertunjukan yang bakal ia pertunjukkan dalam waktu berikutnya. Ketika ia melakukan pertunjukan ia juga mengerti bahwa saat itu ia sebagai performa atau artisnya. Dalam hal ini teknik-teknik vocal, bermain musik sekaligus, penguasaan panggung, ekspressi dan sebagainya benar-benar diterapkan. Demikian seterusnya ketika dalam waktu yang bersamaan dalam multi perannya tersebut. Dalam mengutip uang dari audiens biasanya, ia mengerti apa ia lakukan. Ini semuanya membutuhkan pengorganisasian peran agar berlangsung dengan baik, meskipun dalam skala yang paling kecil, yaitu diri sendiri.
Hal sama juga ia lakukan untuk melihat bagaimana kemajuan (progress) dari pertunjukannya dari hari ke hari. Pengamen juga mempunyai goal setting. Dan goal setting ini tegantung kepada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok pengamen. Hal ini berpengaruh secara holistik bagi multi peran tadi, dan ini kelihatan dari prilaku pengamen itu sendiri. Goal setting mempengaruhi manjerialnya, dan saling terkait satu dengan yang lain. Oleh sebab itu kontrol terhadap pencapaian dan keberhasilan menjadi bahan koreksi bagi pengembangan berbagai hal.


Pengamen: Satuan Terkecil Manajemen Seni
Waridi mengatakan, ada tiga faktor penting dalam seni pertunjukan agar dapat memenuhi tuntutan pasar (audience) yakni faktor kemenarikan, keunikan, dan kemudahan akses[12]. Disebutkan, dalam faktor kemenarikan terdapat unsur estitis, artitis, maupun profesional sesuai kegunaan. Dalam faktor keunikan terdapat unsur spesifik dan orisinalitas. Sedangkan faktor kemudahan akses terdapat unsur jumlah seniman, properti, maupun perlengkapan. Dalam siaran pers ini juga hal senada dikatakan Ratna Riantiarno dari Teater Koma Jakarta, dalam mengelola seni pertunjukan dengan manajemen modern janganlah terkecoh oleh kata modern secara harafiahnya. Namun seyogyanya modern tersebut diartikan kontemporer atau kekinian. Dengan demikian manajemen seni pertunjukan yang baik adalah menajemen yang berfungsi, dengan begitu yang dituntut adalah kecerdasan dan kepekaan.
Di dalam manajemen seni pertunjukan, ‘seni’ ditempatkan sebagai komoditas. Dalam kegiatan ‘ngamen’ para pengamen biasanya mewakili beberapa peranan sekaligus dalam memenej diri dalam pertunjukan yang ia lakukan.
(1) Pengamen sebagai manajer. Ada unsur-unsur manajerial di dalamnya. Pengamen biasanya melakukan survei pasar meskipunm tidak secara formal. Biasanya para pengamen mengetahui jalur-jalur mana saja tempat yang cocok untuk mengamen, juga mengetahui tempat-tempat mana saja lokasi yang cocok untuk mengamen. Disamping itu juga pengamen mengetahui;
(2) Promosi; promosi yang dimaksud disini, ia biasanya memperkenalkan diri (meskipun tidak semuanya, karena ada juga pengamen yang langsung menyanyi saja) kepada audiensnya, misalnya ia mengatakan bahwa lagu yang ia nyanyikan adalah hasil ciptaannya sendiri; ia sangat membutuhkan dana karena ada alasan-alasan, misalnya keluarganya sakit; memperlihatkan foto copy ijazahnya (nanggur belum dapat kerja), dan sebagainya, sehingga lebih meyakinkan audiens siapa dia.
(3) Mengatur jadwal latihan; meskipun tidak seketat seorang pemain piano klasik mempersiapkan sebuah recital, pengamen juga mengatur jadwal latihan. Tempat latihan mereka biasanya di rumah atau di halte bis, atau dimana saja ada kesempatan.
(4) Pengamen memenej dirinya sebagai Master of Ceremony (MC) atau pembawa acara; Ini jelas sekali dalam memperkenalkan dirinya, prinsip-prinsip pembawa acara itu diterapkan, misalnya seorang pengemen biasanya mengucapkan (remarks) kata salam pembuka, bernyanyi, sling, bernyanyi lagi, kata penutup dan himbauan untuk memberkan sumbangan. Pemilihan kata-kata disini sangat penting, tergantung kepada kategori pengamennya. Pemilihan kata-kata pengamen yang setengah memaksa, memaksa, dan pengamen yang mengharapkan suka rela adalah sangat berbeda dalam hal memilih kata-kata yang diucapkan. Dan ini membutuhkan manajemen.
(5) Pengamen sebagai pelaku pertunjukan (performer);
(6) Pengamen sebagai tenaga pemasaran;
(7) Pengamen sebagai administrasi keuangan, artinya setelah memberikan kata penutup perihal pertunjukannya, ia juga yang berperan mengutip sumbangan para audiens yang bersimpati terhadap pertunjukan musiknya.
(8) Membangun jaringan kerja;
(9) Pengamen juga membentuk organisasi profesi. Di Jakarta sekitarnya sudah terdapat beberpa organisasi yang mereka bangun sebagai wadah bagi pengamen jalanan;
(10) Pengamen membangun teritori. Tidak semua wilayah bisa dimasuki oleh pengamen lain, secara tidak formal mereka mengerti wilayah-wilayah mana saja yang bisa mereka masuki sebagai tempat mengamen.
Melihat hal ini, sebenarnya manajemen seni pertunjukan dalam pengamen ini dapat dikatakan sebagai salah satu manajemen skala terkecil. Ia terkait dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksana dan sekaligus sebagai pemantau atau control terhadap kegiatan-kegiatan kesenian tersebut untuk mencapai suatu tujuan dan keberlangsungannya.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post