KONSEP ZUHUD MENURUT IMAM GHOZALI
Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhiratpaling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.
Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu tunjukkan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.s. Thaha: 131)
Dan Allah swt. berfirman:
”Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan di dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Q.s. Asy-Syuura: 20).
Tentang hak Qarun, Allah swt. berfirman:
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya Ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh’.” (Q.s. Al-Qashash: 79-80).
Dijelaskan pula bahwa zuhud merupakan salah satu buah ilmu. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang pagi-pagi, dengan tujuan utamanya adalah dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, memporak-porandakan pekerjaannya dan menjadikan kefakirannya ada di depan matanya, serta tidak memberinya bagian dunia, kecuali yang telah ditetapkan kepadanya. Dan barangsiapa yang pagi-pagi bertujuan akhirat, Allah akan menghimpun keinginan-keinginannya, memelihara pekerjaannya, menjadikan kekayaannya ada dalam kalbunya, dan dunia mendatanginya dalam keadaan patuh.”
Ketika ditanya tentang firman Allah Swt :
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Q.s. Al-An’am: 125).
Yakni, tentang arti dan pengertian As-Syarhu (lapang), Rasulullah Saw. menjawab, “Ketika cahaya memasuki kalbu, ia jadi lapang dan luas.”
Ditanyakan kepada beliau, “Apakah hal itu memiliki tanda-tanda tertentu?”
“Benar,“ jawab Rasulullah, “memisahkan diri dari negeri yang penuh tipu daya, dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan untuk mati sebelum datangnya maut.”
Rasulullah Saw juga bersabda, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya!”
Dikatakan kepada beliau, “Kami memang malu.”
Rasulullah Saw. menimpali, ‘‘Kalian membangun apa yang tidak kalian tempati dan kalian memakan apa yang tidak kalian makan.”
Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang hidup zuhud di dunia, Allah memasukkan hikmah ke dalam kalbunya, menjadikan lisannya berbicara dengan (penuh) hikmah, memberitahunya tentang penyakit dunia dan obatnya, serta mengeluarkannya dari dunia dengan selamat (sejahtera) menuju ke negeri yang penuh kedamaian (Darus salam).”
Sabda beliau pula, “Seorang hamba itu tidak akan mencapai kesempurnaan hakikat iman, sehingga ia lebih mencintai untuk tidak dikenal daripada dikenal, dan sesuatu yang sedikit itu lebih ia cintai daripada sesuatu yang banyak.”
Dan sabda Rasulullah saw. berikutnya, “Jika Allah hendak mengaruniakan kebaikan kepada seseorang, Dia jadikan ia zuhud di dunia, menjadikan senang di akhirat, dan diperlihatkan cacat dirinya.”
Sabda beliau, “Hidup zuhudlah di dunia, niscaya kalian dicintai Allah swt, dan berzuhudlah terhadap apa yang jadi milik manusia, niscaya manusia mencintai diri kalian!”
Sabdanya pula, “Barangsiapa berkeinginan untuk diberi ilmu oleh Allah tanpa belajar, dan petunjuk tanpa hidayat, maka hendaklah ia hidup zuhud di dunia.”
Hidup zuhud memiliki esensi, dasar dan buah. Esensi zuhud adalah, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri darinya, penuh kepatuhan semaksimal mungkin.
Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu, dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhirat paling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.
Sedangkan buah zuhud adalah merasa cukup dengan apa adanya, untuk sekadar memenuhi kebutuhan, sekadar biaya penumpang kendaraan.
Sementara dasar dari hidup zuhud itu adalah cahaya ma’rifat yang membuahkan hal menjauhkan diri dari dunia. Ini menjelma pada anggota tubuh berupa sikap mencegah diri dari dunia, kecuali sekadar memenuhi kebutuhan sebagai bekal perjalanan. Bekal darurat di tengah jalan adalah tempat tinggal, pakaian, makanan dan perkakas rumah.
Makanan memiliki jangka waktu dan takaran tertentu. Jangka waktu makanan yang terpendek atau terdekat adalah sekadar merasa cukup dengan mengganjal rasa lapar pada waktu itu pula. Jika makanan itu sekadar untuk makan pagi, maka ia tidak menyimpan makanan untuk makan malam. Jangka waktu sederhana adalah menyimpan makanan untuk rentang waktu sebulan sampai empat puluh hari saja; dan yang lebih minim lagi, menyimpan makanan untuk satu tahun. Bila melampaui jangka waktu tersebut, itu berarti telah keluar dari seluruh kategori hidup zuhud. Kecuali ia memiliki kasab yang tidak bersumber dari kekuasaan; seperti Daud At-Tha’ie. Dia adalah orang yang memiliki 20 dinar. Ia menahan uang tersebut dan merasa puas dengan sejumlah uang itu selama 20 tahun; yang demikian ini tidak membatalkan tahap dan derajat zuhud di akhirat, kecuali bagi orang yang mensyaratkan adanya tawakal dalam hidup zuhud itu sendiri.
Ukuran dan takarannya minimal setengah adalah satu kati, dan takaran yang tertinggi ialah satu thud. Lebih dari takaran tersebut, berarti membatalkan maqam hidup zuhud.
Jenis makanan tersebut adalah makanan pokok sehari-hari, walaupun hal itu berupa tepung kasar. Jenis sederhana adalah roti gandum, dan jenis yang tertinggi adalah roti gandum yang tidak diayak. Bila diayak, tergolong hidup mewah, bukan hidup zuhud. Rempah-rempahnya, yang paling rendah adalah cuka, sayur dan garam. Jenis sederhana adalah minyak, dan jenis tertinggi ialah daging. Itu pun seminggu sekali, atau dua kali. Jika berlangsung lama, orang tersebut bukanlah orang yang hidup zuhud.
Aisyah r.a. berkata, “Selama empat puluh malam di rumah Rasulullah Saw, lampu ataupun api tidak pernah dinyalakan.”
Dikatakan, selama tiga hari sejak tiba di Madinah, Rasulullah Saw. belum pernah kenyang dengan roti gandum.
Sedangkan pakaian, minimal adalah pakaian yang dapat menutupi aurat dan melindungi diri dari panas dan dingin. Sedangkan paling mewah adalah pakaian yang berupa baju, celana, sarung dan jenis yang kasar, kemudian bila mencuci pakaian, ia tidak mendapatkan pakaian lain sebagai gantinya. Orang yang memiliki dua baju bukanlah orang yang hidup zuhud.
Aisyah r.a, kata Abu Dzar, pernah mengeluarkan pakaian yang bertambal-tambal dan sarung kasar, lalu dia berkata, ”Rasulullah Saw. bertahan dengan dua macam pakaian ini.”
Rasulullah Saw. pernah salat dengan mengenakan pakaian dan tenunan bulu, setelah mengucapkan salam, beliau bersabda, ”Aku disibukkan dengan melihat baju ini, bawalah baju ini ke Abu Jahm (Al-Hadist).”
Tali sandal beliau telah usang, lalu (oleh salah seorang sahabat) diganti dengan tali sandal yang baru. Seusai salat beliau bersabda, “Kembalikanlah tali sandal yang usang, sungguh aku melihat (tali baru) dalam salat.”
Beliau takjub terhadap keindahan sepasang sandalnya itu, spontan beliau sujud, lalu bersabda, “Keindahan sepasang sandal itu membuatku kagum, maka aku tunduk kepada Tuhanku, khawatir Dia membenciku.”
Selanjutnya beliau keluar dengan mengenakan sepasang sandal tersebut, dan kemudian diberikan kepada orang miskin yang pertama kali beliau lihat (temui).
Baju Umar r.a. diperkirakan memiliki dua belas tambalan, di antara tambalan itu berasal
dari kulit.
Adapun Ali r.a, di masa pemerintahannya membeli pakaian seharga 3 dirham, lalu memotong lengan bajunya itu sampai di pergelangan tangan seraya berkata, “Segala puji bagi Allah, ini termasuk pakaian yang mewah.”
Di antara mereka juga berkata, ”Aku menaksir pakaian dan sandal Sufyan seharga satu dirham dan 2/6 dirham.”
Ali r.a. berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayat kepada para pemimpin agar mereka seperti halnya manusia kelas bawah, agar kaum yang kaya meneladani mereka dan tidak merendahkan kefakiran si orang miskin, karena dia sendiri juga fakir.”
Tempat tinggal (rumah) dalam ukuran paling sederhana adalah, Anda puas dengan salah Satu sudut di dalam masjid, atau sebuah tempat pondokan ahli shuffah. Rumah termewah bagi orang yang hidup zuhud adalah dia berupaya mencari tempat khusus, yaitu sebuah ruangan atau kamar, baik dengan jalan dibeli ataupun disewa, dengan syarat luasnya tidak melebihi kebutuhan, tidak terlalu tinggi dan dia tidak mempermasalahkan akan catnya.
Dalam sebuah atsar disinyalir, bahwa orang yang meninggikan bangunan rumahnya lebih dari enam hasta, dipanggil oleh penyeru, “Hendak ke mana wahai orang yang paling fasik? Sedang Rasulullah saw. meninggal dunia, tidak pernah menata batu-bata dan bambu.”
Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Rasulullah Saw melintasi kami yang sedang mengerjakan atau mendirikan rumah dari bambu, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya persoalannya lebih cepat dari itu. Nabi Nuh as. membuat rumah dan bambu. Maka dinyatakan kepada beliau, Jika kamu mau, kamu dapat membuatnya dari tanah.’ ’Ini sudah cukup untuk orang yang akan mati,’ jawab beliau’.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa membangun (rumah) di atas atau lebih dari kebutuhannya, maka akan dibebankan kepadanya pada hari Kiamat.”
Beliau juga bersabda:
“Setiap bangunan (rumah) adalah beban bagi pemiliknya pada hari Kiamat, kecuali yang (sekadar) melindunginya dari panas dan dingin.”
Tentang perkakas dan perabot rumah, ada tingkatan-tingkatan tersendiri. Yang terendah atau paling sederhana adalah seperti keadaan Nabi Isa Ibnu Maryam as, sebab yang beliau miliki hanyalah sisir dan sebuah cangkir. Ketika melihat orang menyisir rambutnya dengan jari-jemari, beliau membuang sisir miliknya; juga saat melihat orang lain minum dengan menggunakan tangannya, maka beliau pun membuang cangkirnya.
Perabot atau perkakas dengan mutu sedang adalah menggunakan jenis perabot kasar, satu buah untuk setiap tujuan, dan berupaya sekuat tenaga untuk menggunakan satu perabot tersebut untuk beberapa tujuan.
Umar r.a. berkata kepada Umair bin Sa’ied, gubernur Hamsh, “Harta-benda apakah yang kamu miliki?” ”Aku memiliki tongkat yang kugunakan untuk bersandar dan membunuh ular ketika aku menjumpainya. Aku juga memiliki kantong kulit, tempat menaruh (menyimpan) makananku; dan aku memiliki mangkuk besar, kugunakan makan, membasuh kepala dan pakaianku. Aku juga punya bejana, di Situ aku menaruh minumanku dan air wudhu’ku. Selain harta-benda itu semua, maka hal tersebut mengikuti saja terhadap apa yang ada padaku,” jawab Umair bin Sa’ied. “Kamu benar,” kata Umar.
Al-Hasan berkata, ‘Aku pernah mendapatkan 70 orang saleh, tidak seorang pun dari mereka yang memiliki pakaian, kecuali hanya satu. Dan tidak seorang pun yang melepaskan satu pakaian untuk diletakkan di tanah.”
Alas tidur Rasulullah Saw. sendiri, bantalnya terbuat dari kulit yang berisikan sabut kasar.
Inilah riwayat dan perjalanan para zahid di dunia. Orang yang mencegah diri dan derajat ini, maka tidak sedikit pun yang menyesal karena hilangnya martabat semacam itu. Dia pasti gigih untuk lebih mendekati mereka, daripada mendekati orang-orang yang berfoya-foya dengan kehidupan duniawi.
Ada beberapa tingkatan hidup zuhud:
Pertama, dia hidup zuhud, sementara nafsunya cenderung pada dunia, namun ia terus berjuang dan memeranginya. Ia adalah orang yang berupaya hidup zuhud (mutazahhid), bukan zahid. Sungguh demikian, awal orang yang zuhud adalah upaya hidup zuhud (mutazahhid).
Kedua, dirinya berpaling dari dunia, sama sekali tidak cenderung kepadanya. Karena dia tahu, bahwa kompromi antara kenikmatan dunia dan akhirat sangatlah mustahil. Maka jiwanya dibiarkan meninggalkan dunia, sebagaimana seseorang yang mengorbankan dirham, guna mendapatkan permata, meskipun dirham itu sangat ia cintai. Inilah hidup zuhud.
Ketiga, jiwanya tidak cenderung dan tidak berpaling dari dunia. Baginya, ada dan tiadanya harta-benda (dunia) adalah sama. Harta bagi dia seperti air, perbendaharaan (khazanah) Allah seperti samudera.
Itulah sebabnya, hatinya tidak pernah bergerak, baik itu karena cinta ataupun berpaling dari harta-benda. Tingkatan ini yang paling sempurna, karena orang yang benci terhadap sesuatu, disibukkan oleh sesuatu itu sendiri, sebagaimana orang yang mencintainya.
Karena itu, Rabi’ah Al-Adawiyah mencela dunia, “Kalau tidak karena berharganya dunia, dalam hati Anda sekalian, tentu kalian tidak akan mencelanya.”
Suatu ketika uang sejumlah seratus dirham dibawa kepada Aisyah ra. Beliau tidak berpaling dan uang tersebut, namun membagi-bagikannya atau memisah-misahkannya untuk dibagi hari itu.
“Jika Anda mau, Anda bisa membeli daging dengan uang dirham itu untuk makan,” kata pembantunya.
Aisyah r.a. menjawab, “Andaikata kamu mengingatkanku, tentu akan kulakukan. Inilah yang disebut kaya itu, dan inilah yang lebih sempurna dari zuhud. Tetapi itu adalah sasaran praduga tipu daya terhadap orang yang pandir. Sebab, setiap orang yang tertipu itu merasakan dalam dirinya, bahwa tidak ada kaitan antara kalbu dan dunia. Tanda-tanda dan hal itu adalah, dia tidak merasakan perbedaan antara pencurian terhadap harta-benda miliknya dan pencurian terhadap harta-benda orang lain. Selama dia masih merasakan perbedaan itu, maka dia disibukkan olehnya.”
Hidup zuhud yang sempurna adalah zuhud dalam zuhud. Yakni, dia tidak menganggap hidup zuhud itu sebagai derajat tertentu. Sebab, orang yang meninggalkan kehidupan dunia dan mengira bahwa dirinya meninggalkan sesuatu, identik dengan mengagungkan dunia. Karena dunia atau harta-benda bagi mereka yang memiliki mata hati, tiada berarti apa pun. Pemilik harta-benda itu ibarat orang yang dihalang-halangi anjing di depan pintu istana raja maka ia berikan sepotong roti pada anjing tersebut, sehingga si anjing pun sibuk dengan urusan makanan itu, lalu ia pun masuk ke dalam istana raja dan duduk di atas singgasananya. Dan anjing yang ada di depan pintu istana Allah itu adalah setan, seluruh isi dunia nilainya lebih sedikit dari sepotong roti tadi bila dibandingkan dengan kerajaan sang raja. Sebab, sepotong roti itu dinisbatkan kepada sang raja, yang bisa binasa dengan nilai sepadannya. Sedangkan kehidupan akhirat tidaklah fana’, tidak binasa, tidak seperti kehidupan dunia, sebab akhirat itu tanpa batas.
Ditinjau dari motif-motifnya, zuhud itu terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, motivasi zuhud itu adalah rasa takut (khauf) terhadap api neraka. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut (al-khaifun).
Kedua, motivasi zuhud yang berupa cinta pada kenikmatan akhirat. Ini lebih tinggi dari yang pertama. Inilah zuhud orang-orang yang berharap (ar-raajun). Ibadat yang berdasarkan rasa harap (ar-raja’) lebih utama dari ibadat yang berdasarkan rasa takut (al-khauf). Karena rasa harap itu mengantarkan pada rasa cinta (mahabbah).
Ketiga, ini lebih tinggi lagi. Motivasi zuhud di sini adalah sikap menjauhkan diri dari perhatian terhadap selain Al-Haq, sebagai upaya menyucikan diri dari selain Al-Haq dan sebagai sikap mengecilkan selain Allah Swt. Ini adalah zuhud orang-orang yang ma’rifatullah (al-‘arifuun). Inilah zuhud yang hakiki. Sedangkan dua bentuk zuhud sebelumnya adalah sekadar muamalat, sebab bisa saja si zahid dalam dua tingkatan di atas lepas dan sesuatu harapan masa kini (dunia) untuk diganti dengan masa depan (akhirat) yang pahalanya berlipat ganda.
Zuhud ditinjau dari kandungan isinya terbagi dalam tiga tingkatan pula. Sedangkan zuhud yang sempurna adalah hidup zuhud meninggalkan selain Allah Swt. di dunia dan akhirat. Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah hidup zahud meninggalkan dunia, tanpa akhirat. Berarti ia meninggalkan segala bentuk kesenangan di dunia termasuk di dalamnya, baik itu berupa harta-benda, kehormatan, jabatan dan kenikmatan duniawi.
Tingkatan di bawahnya lagi adalah hidup zuhud dan harta-benda, namun tanpa meninggalkan kedudukan atau kehormatan. Atau, hidup zuhud dalam beberapa hal, tanpa meninggalkan lainnya. Dan zuhud itu tergolong lemah, karena kedudukan itu lebih menggiurkan daripada harta-benda; maka zuhud dengan meninggalkan kedudukan itu lebih utama.
Hidup zuhud sendiri adalah, Anda menjauhkan diri dari dunia sepenuhnya menurut kemampuan. Kemudian bila dunia itu menjauhi Anda, sedangkan Anda masih mencintainya, maka itu adalah kefakiran, bukannya zuhud. Walaupun demikian, kefakiran itu memiliki keistimewaan dibanding kaya, karena fakir atau miskin itu mencegah diri dari bersenang-senang dengan kelezatan duniawi. Ini lebih utama daripada orang yang diberi kemampuan untuk menguasai harta-benda dan bersenang-senang dengannya hingga ia terbiasa merasa tenang dengan gelimang harta-benda tersebut. Kalbunya pun tidak bisa jauh dari kenikmatan. Akhirnya, semakin besar dan keras penyakit serta kerugiannya menjelang mati. Lalu dunia itu seakan-akan surga, dan bagi si miskin seakan-akan penjara. Karena si kaya merasa bersih dari bencana dunia. Padahal kemiskinan atau kefakiran adalah faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan.
Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. melindungi hamba-Nya dari harta-benda, sedangkan ia mencintainya, seperti salah seorang di antara kalian melindungi (keluarganya) yang sakit, dari makanan dan minuman.”
Sabda beliau pula:
“Orang-orang miskin dari umatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan tenggang waktu lima ratus tahun.”
Sabdanya, “Sebaik-baik umat ini adalah orang-orang miskinnya.”
Sabdanya, “Jika kamu melihat orang miskin datang, maka katakanlah, ‘Selamat datang dengan syiar orang-orang saleh. ‘Jika kamu melihat orang kaya datang, maka katakanlah, ‘Dosa yang disegerakan balasannya’.”
Nabi Musa as. pernah bertanya, “Wahai Tuhanku, siapakah kekasih-kekasih-Mu di antara makhluk-Mu hingga aku dapat mencintai mereka demi Engkau?” “Setiap orang fakir,“ jawab-Nya.
Perlu diingat, bahwa walaupun orang miskin itu puas dengan apa yang dianugerahkan kepadanya, juga tidak terlalu berambisi untuk meminta dan berusaha. Derajat dan tingkatannya mendekati derajat dari tingkatan orang zuhud.
Rasulullah Saw. bersabda, “Berbahagialah siapa yang diberi petunjuk Islam, sedangkan kehidupannya cukup dan ia merasa puas dengan kehidupan yang demikian itu.”
Beliau juga bersabda, “Orang-orang fakir yang sabar adalah sahabat-sahabat Allah Swt.”
Sabdanya, “Hamba-hamba yang paling disenangi oleh Allah adalah orang fakir yang rela (puas).”
Allah Swt. pernah menurunkan wahyu kepada Nabi Ismail as, “Memohonlah kepada-Ku di sisi orang-orang yang remuk hatinya!”
“Siapakah mereka?” tanya Nabi Ismail.
“Orang-orang fakir yang jujur,“ jawab-Nya.
Jadi, pahala orang fakir itu menjadi besar ketika dia puas, rela dan sabar. Rela, puas dan sabar bagi orang miskin merupakan awal ke-zuhud-an. Tingkatan ini hanya bisa sempurna dengan sabar.
Sumber : Sufinews.com
Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhiratpaling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.
Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu tunjukkan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.s. Thaha: 131)
Dan Allah swt. berfirman:
”Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan di dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Q.s. Asy-Syuura: 20).
Tentang hak Qarun, Allah swt. berfirman:
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya Ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh’.” (Q.s. Al-Qashash: 79-80).
Dijelaskan pula bahwa zuhud merupakan salah satu buah ilmu. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang pagi-pagi, dengan tujuan utamanya adalah dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, memporak-porandakan pekerjaannya dan menjadikan kefakirannya ada di depan matanya, serta tidak memberinya bagian dunia, kecuali yang telah ditetapkan kepadanya. Dan barangsiapa yang pagi-pagi bertujuan akhirat, Allah akan menghimpun keinginan-keinginannya, memelihara pekerjaannya, menjadikan kekayaannya ada dalam kalbunya, dan dunia mendatanginya dalam keadaan patuh.”
Ketika ditanya tentang firman Allah Swt :
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Q.s. Al-An’am: 125).
Yakni, tentang arti dan pengertian As-Syarhu (lapang), Rasulullah Saw. menjawab, “Ketika cahaya memasuki kalbu, ia jadi lapang dan luas.”
Ditanyakan kepada beliau, “Apakah hal itu memiliki tanda-tanda tertentu?”
“Benar,“ jawab Rasulullah, “memisahkan diri dari negeri yang penuh tipu daya, dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan untuk mati sebelum datangnya maut.”
Rasulullah Saw juga bersabda, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya!”
Dikatakan kepada beliau, “Kami memang malu.”
Rasulullah Saw. menimpali, ‘‘Kalian membangun apa yang tidak kalian tempati dan kalian memakan apa yang tidak kalian makan.”
Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang hidup zuhud di dunia, Allah memasukkan hikmah ke dalam kalbunya, menjadikan lisannya berbicara dengan (penuh) hikmah, memberitahunya tentang penyakit dunia dan obatnya, serta mengeluarkannya dari dunia dengan selamat (sejahtera) menuju ke negeri yang penuh kedamaian (Darus salam).”
Sabda beliau pula, “Seorang hamba itu tidak akan mencapai kesempurnaan hakikat iman, sehingga ia lebih mencintai untuk tidak dikenal daripada dikenal, dan sesuatu yang sedikit itu lebih ia cintai daripada sesuatu yang banyak.”
Dan sabda Rasulullah saw. berikutnya, “Jika Allah hendak mengaruniakan kebaikan kepada seseorang, Dia jadikan ia zuhud di dunia, menjadikan senang di akhirat, dan diperlihatkan cacat dirinya.”
Sabda beliau, “Hidup zuhudlah di dunia, niscaya kalian dicintai Allah swt, dan berzuhudlah terhadap apa yang jadi milik manusia, niscaya manusia mencintai diri kalian!”
Sabdanya pula, “Barangsiapa berkeinginan untuk diberi ilmu oleh Allah tanpa belajar, dan petunjuk tanpa hidayat, maka hendaklah ia hidup zuhud di dunia.”
Hidup zuhud memiliki esensi, dasar dan buah. Esensi zuhud adalah, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri darinya, penuh kepatuhan semaksimal mungkin.
Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu, dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhirat paling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.
Sedangkan buah zuhud adalah merasa cukup dengan apa adanya, untuk sekadar memenuhi kebutuhan, sekadar biaya penumpang kendaraan.
Sementara dasar dari hidup zuhud itu adalah cahaya ma’rifat yang membuahkan hal menjauhkan diri dari dunia. Ini menjelma pada anggota tubuh berupa sikap mencegah diri dari dunia, kecuali sekadar memenuhi kebutuhan sebagai bekal perjalanan. Bekal darurat di tengah jalan adalah tempat tinggal, pakaian, makanan dan perkakas rumah.
Makanan memiliki jangka waktu dan takaran tertentu. Jangka waktu makanan yang terpendek atau terdekat adalah sekadar merasa cukup dengan mengganjal rasa lapar pada waktu itu pula. Jika makanan itu sekadar untuk makan pagi, maka ia tidak menyimpan makanan untuk makan malam. Jangka waktu sederhana adalah menyimpan makanan untuk rentang waktu sebulan sampai empat puluh hari saja; dan yang lebih minim lagi, menyimpan makanan untuk satu tahun. Bila melampaui jangka waktu tersebut, itu berarti telah keluar dari seluruh kategori hidup zuhud. Kecuali ia memiliki kasab yang tidak bersumber dari kekuasaan; seperti Daud At-Tha’ie. Dia adalah orang yang memiliki 20 dinar. Ia menahan uang tersebut dan merasa puas dengan sejumlah uang itu selama 20 tahun; yang demikian ini tidak membatalkan tahap dan derajat zuhud di akhirat, kecuali bagi orang yang mensyaratkan adanya tawakal dalam hidup zuhud itu sendiri.
Ukuran dan takarannya minimal setengah adalah satu kati, dan takaran yang tertinggi ialah satu thud. Lebih dari takaran tersebut, berarti membatalkan maqam hidup zuhud.
Jenis makanan tersebut adalah makanan pokok sehari-hari, walaupun hal itu berupa tepung kasar. Jenis sederhana adalah roti gandum, dan jenis yang tertinggi adalah roti gandum yang tidak diayak. Bila diayak, tergolong hidup mewah, bukan hidup zuhud. Rempah-rempahnya, yang paling rendah adalah cuka, sayur dan garam. Jenis sederhana adalah minyak, dan jenis tertinggi ialah daging. Itu pun seminggu sekali, atau dua kali. Jika berlangsung lama, orang tersebut bukanlah orang yang hidup zuhud.
Aisyah r.a. berkata, “Selama empat puluh malam di rumah Rasulullah Saw, lampu ataupun api tidak pernah dinyalakan.”
Dikatakan, selama tiga hari sejak tiba di Madinah, Rasulullah Saw. belum pernah kenyang dengan roti gandum.
Sedangkan pakaian, minimal adalah pakaian yang dapat menutupi aurat dan melindungi diri dari panas dan dingin. Sedangkan paling mewah adalah pakaian yang berupa baju, celana, sarung dan jenis yang kasar, kemudian bila mencuci pakaian, ia tidak mendapatkan pakaian lain sebagai gantinya. Orang yang memiliki dua baju bukanlah orang yang hidup zuhud.
Aisyah r.a, kata Abu Dzar, pernah mengeluarkan pakaian yang bertambal-tambal dan sarung kasar, lalu dia berkata, ”Rasulullah Saw. bertahan dengan dua macam pakaian ini.”
Rasulullah Saw. pernah salat dengan mengenakan pakaian dan tenunan bulu, setelah mengucapkan salam, beliau bersabda, ”Aku disibukkan dengan melihat baju ini, bawalah baju ini ke Abu Jahm (Al-Hadist).”
Tali sandal beliau telah usang, lalu (oleh salah seorang sahabat) diganti dengan tali sandal yang baru. Seusai salat beliau bersabda, “Kembalikanlah tali sandal yang usang, sungguh aku melihat (tali baru) dalam salat.”
Beliau takjub terhadap keindahan sepasang sandalnya itu, spontan beliau sujud, lalu bersabda, “Keindahan sepasang sandal itu membuatku kagum, maka aku tunduk kepada Tuhanku, khawatir Dia membenciku.”
Selanjutnya beliau keluar dengan mengenakan sepasang sandal tersebut, dan kemudian diberikan kepada orang miskin yang pertama kali beliau lihat (temui).
Baju Umar r.a. diperkirakan memiliki dua belas tambalan, di antara tambalan itu berasal
dari kulit.
Adapun Ali r.a, di masa pemerintahannya membeli pakaian seharga 3 dirham, lalu memotong lengan bajunya itu sampai di pergelangan tangan seraya berkata, “Segala puji bagi Allah, ini termasuk pakaian yang mewah.”
Di antara mereka juga berkata, ”Aku menaksir pakaian dan sandal Sufyan seharga satu dirham dan 2/6 dirham.”
Ali r.a. berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayat kepada para pemimpin agar mereka seperti halnya manusia kelas bawah, agar kaum yang kaya meneladani mereka dan tidak merendahkan kefakiran si orang miskin, karena dia sendiri juga fakir.”
Tempat tinggal (rumah) dalam ukuran paling sederhana adalah, Anda puas dengan salah Satu sudut di dalam masjid, atau sebuah tempat pondokan ahli shuffah. Rumah termewah bagi orang yang hidup zuhud adalah dia berupaya mencari tempat khusus, yaitu sebuah ruangan atau kamar, baik dengan jalan dibeli ataupun disewa, dengan syarat luasnya tidak melebihi kebutuhan, tidak terlalu tinggi dan dia tidak mempermasalahkan akan catnya.
Dalam sebuah atsar disinyalir, bahwa orang yang meninggikan bangunan rumahnya lebih dari enam hasta, dipanggil oleh penyeru, “Hendak ke mana wahai orang yang paling fasik? Sedang Rasulullah saw. meninggal dunia, tidak pernah menata batu-bata dan bambu.”
Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Rasulullah Saw melintasi kami yang sedang mengerjakan atau mendirikan rumah dari bambu, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya persoalannya lebih cepat dari itu. Nabi Nuh as. membuat rumah dan bambu. Maka dinyatakan kepada beliau, Jika kamu mau, kamu dapat membuatnya dari tanah.’ ’Ini sudah cukup untuk orang yang akan mati,’ jawab beliau’.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa membangun (rumah) di atas atau lebih dari kebutuhannya, maka akan dibebankan kepadanya pada hari Kiamat.”
Beliau juga bersabda:
“Setiap bangunan (rumah) adalah beban bagi pemiliknya pada hari Kiamat, kecuali yang (sekadar) melindunginya dari panas dan dingin.”
Tentang perkakas dan perabot rumah, ada tingkatan-tingkatan tersendiri. Yang terendah atau paling sederhana adalah seperti keadaan Nabi Isa Ibnu Maryam as, sebab yang beliau miliki hanyalah sisir dan sebuah cangkir. Ketika melihat orang menyisir rambutnya dengan jari-jemari, beliau membuang sisir miliknya; juga saat melihat orang lain minum dengan menggunakan tangannya, maka beliau pun membuang cangkirnya.
Perabot atau perkakas dengan mutu sedang adalah menggunakan jenis perabot kasar, satu buah untuk setiap tujuan, dan berupaya sekuat tenaga untuk menggunakan satu perabot tersebut untuk beberapa tujuan.
Umar r.a. berkata kepada Umair bin Sa’ied, gubernur Hamsh, “Harta-benda apakah yang kamu miliki?” ”Aku memiliki tongkat yang kugunakan untuk bersandar dan membunuh ular ketika aku menjumpainya. Aku juga memiliki kantong kulit, tempat menaruh (menyimpan) makananku; dan aku memiliki mangkuk besar, kugunakan makan, membasuh kepala dan pakaianku. Aku juga punya bejana, di Situ aku menaruh minumanku dan air wudhu’ku. Selain harta-benda itu semua, maka hal tersebut mengikuti saja terhadap apa yang ada padaku,” jawab Umair bin Sa’ied. “Kamu benar,” kata Umar.
Al-Hasan berkata, ‘Aku pernah mendapatkan 70 orang saleh, tidak seorang pun dari mereka yang memiliki pakaian, kecuali hanya satu. Dan tidak seorang pun yang melepaskan satu pakaian untuk diletakkan di tanah.”
Alas tidur Rasulullah Saw. sendiri, bantalnya terbuat dari kulit yang berisikan sabut kasar.
Inilah riwayat dan perjalanan para zahid di dunia. Orang yang mencegah diri dan derajat ini, maka tidak sedikit pun yang menyesal karena hilangnya martabat semacam itu. Dia pasti gigih untuk lebih mendekati mereka, daripada mendekati orang-orang yang berfoya-foya dengan kehidupan duniawi.
Ada beberapa tingkatan hidup zuhud:
Pertama, dia hidup zuhud, sementara nafsunya cenderung pada dunia, namun ia terus berjuang dan memeranginya. Ia adalah orang yang berupaya hidup zuhud (mutazahhid), bukan zahid. Sungguh demikian, awal orang yang zuhud adalah upaya hidup zuhud (mutazahhid).
Kedua, dirinya berpaling dari dunia, sama sekali tidak cenderung kepadanya. Karena dia tahu, bahwa kompromi antara kenikmatan dunia dan akhirat sangatlah mustahil. Maka jiwanya dibiarkan meninggalkan dunia, sebagaimana seseorang yang mengorbankan dirham, guna mendapatkan permata, meskipun dirham itu sangat ia cintai. Inilah hidup zuhud.
Ketiga, jiwanya tidak cenderung dan tidak berpaling dari dunia. Baginya, ada dan tiadanya harta-benda (dunia) adalah sama. Harta bagi dia seperti air, perbendaharaan (khazanah) Allah seperti samudera.
Itulah sebabnya, hatinya tidak pernah bergerak, baik itu karena cinta ataupun berpaling dari harta-benda. Tingkatan ini yang paling sempurna, karena orang yang benci terhadap sesuatu, disibukkan oleh sesuatu itu sendiri, sebagaimana orang yang mencintainya.
Karena itu, Rabi’ah Al-Adawiyah mencela dunia, “Kalau tidak karena berharganya dunia, dalam hati Anda sekalian, tentu kalian tidak akan mencelanya.”
Suatu ketika uang sejumlah seratus dirham dibawa kepada Aisyah ra. Beliau tidak berpaling dan uang tersebut, namun membagi-bagikannya atau memisah-misahkannya untuk dibagi hari itu.
“Jika Anda mau, Anda bisa membeli daging dengan uang dirham itu untuk makan,” kata pembantunya.
Aisyah r.a. menjawab, “Andaikata kamu mengingatkanku, tentu akan kulakukan. Inilah yang disebut kaya itu, dan inilah yang lebih sempurna dari zuhud. Tetapi itu adalah sasaran praduga tipu daya terhadap orang yang pandir. Sebab, setiap orang yang tertipu itu merasakan dalam dirinya, bahwa tidak ada kaitan antara kalbu dan dunia. Tanda-tanda dan hal itu adalah, dia tidak merasakan perbedaan antara pencurian terhadap harta-benda miliknya dan pencurian terhadap harta-benda orang lain. Selama dia masih merasakan perbedaan itu, maka dia disibukkan olehnya.”
Hidup zuhud yang sempurna adalah zuhud dalam zuhud. Yakni, dia tidak menganggap hidup zuhud itu sebagai derajat tertentu. Sebab, orang yang meninggalkan kehidupan dunia dan mengira bahwa dirinya meninggalkan sesuatu, identik dengan mengagungkan dunia. Karena dunia atau harta-benda bagi mereka yang memiliki mata hati, tiada berarti apa pun. Pemilik harta-benda itu ibarat orang yang dihalang-halangi anjing di depan pintu istana raja maka ia berikan sepotong roti pada anjing tersebut, sehingga si anjing pun sibuk dengan urusan makanan itu, lalu ia pun masuk ke dalam istana raja dan duduk di atas singgasananya. Dan anjing yang ada di depan pintu istana Allah itu adalah setan, seluruh isi dunia nilainya lebih sedikit dari sepotong roti tadi bila dibandingkan dengan kerajaan sang raja. Sebab, sepotong roti itu dinisbatkan kepada sang raja, yang bisa binasa dengan nilai sepadannya. Sedangkan kehidupan akhirat tidaklah fana’, tidak binasa, tidak seperti kehidupan dunia, sebab akhirat itu tanpa batas.
Ditinjau dari motif-motifnya, zuhud itu terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, motivasi zuhud itu adalah rasa takut (khauf) terhadap api neraka. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut (al-khaifun).
Kedua, motivasi zuhud yang berupa cinta pada kenikmatan akhirat. Ini lebih tinggi dari yang pertama. Inilah zuhud orang-orang yang berharap (ar-raajun). Ibadat yang berdasarkan rasa harap (ar-raja’) lebih utama dari ibadat yang berdasarkan rasa takut (al-khauf). Karena rasa harap itu mengantarkan pada rasa cinta (mahabbah).
Ketiga, ini lebih tinggi lagi. Motivasi zuhud di sini adalah sikap menjauhkan diri dari perhatian terhadap selain Al-Haq, sebagai upaya menyucikan diri dari selain Al-Haq dan sebagai sikap mengecilkan selain Allah Swt. Ini adalah zuhud orang-orang yang ma’rifatullah (al-‘arifuun). Inilah zuhud yang hakiki. Sedangkan dua bentuk zuhud sebelumnya adalah sekadar muamalat, sebab bisa saja si zahid dalam dua tingkatan di atas lepas dan sesuatu harapan masa kini (dunia) untuk diganti dengan masa depan (akhirat) yang pahalanya berlipat ganda.
Zuhud ditinjau dari kandungan isinya terbagi dalam tiga tingkatan pula. Sedangkan zuhud yang sempurna adalah hidup zuhud meninggalkan selain Allah Swt. di dunia dan akhirat. Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah hidup zahud meninggalkan dunia, tanpa akhirat. Berarti ia meninggalkan segala bentuk kesenangan di dunia termasuk di dalamnya, baik itu berupa harta-benda, kehormatan, jabatan dan kenikmatan duniawi.
Tingkatan di bawahnya lagi adalah hidup zuhud dan harta-benda, namun tanpa meninggalkan kedudukan atau kehormatan. Atau, hidup zuhud dalam beberapa hal, tanpa meninggalkan lainnya. Dan zuhud itu tergolong lemah, karena kedudukan itu lebih menggiurkan daripada harta-benda; maka zuhud dengan meninggalkan kedudukan itu lebih utama.
Hidup zuhud sendiri adalah, Anda menjauhkan diri dari dunia sepenuhnya menurut kemampuan. Kemudian bila dunia itu menjauhi Anda, sedangkan Anda masih mencintainya, maka itu adalah kefakiran, bukannya zuhud. Walaupun demikian, kefakiran itu memiliki keistimewaan dibanding kaya, karena fakir atau miskin itu mencegah diri dari bersenang-senang dengan kelezatan duniawi. Ini lebih utama daripada orang yang diberi kemampuan untuk menguasai harta-benda dan bersenang-senang dengannya hingga ia terbiasa merasa tenang dengan gelimang harta-benda tersebut. Kalbunya pun tidak bisa jauh dari kenikmatan. Akhirnya, semakin besar dan keras penyakit serta kerugiannya menjelang mati. Lalu dunia itu seakan-akan surga, dan bagi si miskin seakan-akan penjara. Karena si kaya merasa bersih dari bencana dunia. Padahal kemiskinan atau kefakiran adalah faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan.
Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. melindungi hamba-Nya dari harta-benda, sedangkan ia mencintainya, seperti salah seorang di antara kalian melindungi (keluarganya) yang sakit, dari makanan dan minuman.”
Sabda beliau pula:
“Orang-orang miskin dari umatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan tenggang waktu lima ratus tahun.”
Sabdanya, “Sebaik-baik umat ini adalah orang-orang miskinnya.”
Sabdanya, “Jika kamu melihat orang miskin datang, maka katakanlah, ‘Selamat datang dengan syiar orang-orang saleh. ‘Jika kamu melihat orang kaya datang, maka katakanlah, ‘Dosa yang disegerakan balasannya’.”
Nabi Musa as. pernah bertanya, “Wahai Tuhanku, siapakah kekasih-kekasih-Mu di antara makhluk-Mu hingga aku dapat mencintai mereka demi Engkau?” “Setiap orang fakir,“ jawab-Nya.
Perlu diingat, bahwa walaupun orang miskin itu puas dengan apa yang dianugerahkan kepadanya, juga tidak terlalu berambisi untuk meminta dan berusaha. Derajat dan tingkatannya mendekati derajat dari tingkatan orang zuhud.
Rasulullah Saw. bersabda, “Berbahagialah siapa yang diberi petunjuk Islam, sedangkan kehidupannya cukup dan ia merasa puas dengan kehidupan yang demikian itu.”
Beliau juga bersabda, “Orang-orang fakir yang sabar adalah sahabat-sahabat Allah Swt.”
Sabdanya, “Hamba-hamba yang paling disenangi oleh Allah adalah orang fakir yang rela (puas).”
Allah Swt. pernah menurunkan wahyu kepada Nabi Ismail as, “Memohonlah kepada-Ku di sisi orang-orang yang remuk hatinya!”
“Siapakah mereka?” tanya Nabi Ismail.
“Orang-orang fakir yang jujur,“ jawab-Nya.
Jadi, pahala orang fakir itu menjadi besar ketika dia puas, rela dan sabar. Rela, puas dan sabar bagi orang miskin merupakan awal ke-zuhud-an. Tingkatan ini hanya bisa sempurna dengan sabar.
Sumber : Sufinews.com