METODE ISTIMBATH MAZHAB HAMBALI

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) selaku pendiri mazhab Hanbali hidup di kota Baghdad yang masyarakatnya telah memilih mazhab yang memberikan porsi akal lebih besar ketimbang nash. Ibu kota Irak itu dikenal lebih maju dan elit jika dibandingkan dengan daerah Hijaz seperti Madinah atau Mekkah.

Dalam keilmuan, kedua daerah ini sama-sama memiliki kontribusi besar dalam perkembangan peradaban Islam, khususnya terkait dengan disiplin ilmu Hadis dan fikih. Irak dikenal sebagai Ahlur Ra’yi, sedangkan Hijaz dikenal sebagai Ahlul Hadis.

Penggolongan itu muncul akibat dari perbedaan sikap dan cara pandang ulama kedua daerah tersebut. Tapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak mengikuti cara pandang ulama daerahnya yang dikenal dengan Ahlur Ra’yi. Dia justru meniru ulama Hijaz yang lebih memprioritaskan nash ketimbang akal dalam menyelesaikan persoalan keagamaan.

Barangkali, sikap Imam Ahmad tersebut merupakan dampak dari pola belajarnya. Pakar hukum islam, Abu Zahrah, dalam Tarikhul Madzahibil Islamiyah menuliskan, Imam Ahmad bin Hanbal belajar dan mengumpulkan hadis terlebih dahulu ketimbang belajar fikih.

Bahkan dia berkelana sampai ke luar Baghdad seperti Bashrah, Hijaz, Kufah dan Yaman, demi bisa mendalami dan memperbanyak hadis.

Semangat Imam Ahmad dalam mengumpulkan hadis tersebut berimplikasi pada caranya menggunakan fatwa-fatwa untuk menjawab dan menyelesaikan problematika umat. Apalagi beliau memiliki hafalan kurang lebih 30 ribu hadis, semakin menguatkan cara pandangnya tersebut dan berani berbeda dengan ‘kebiasaan’ ulama daerahnya.

Ringkasnya, fikih Imam Ahmad berserta pengikut Mazhab Hanbali lebih condong memperioritaskan hadis (nash) ketimbang sumber hukum lainnya.

Sumber dan Metode Hukum

Sumber pertama adalah nash Alquran dan hadis. Pada tahap ini, Mazhab Hanbali sama dengan mazhab fikih lainnya. Karena memang sumber pertama ini merupakan pusat utama ajaran Islam lahir.

Sumber kedua adalah fatwa para sahabat Nabi yang tidak menimbulkan perbedaan pendapat. Posisi para sahabat merupakan orang-orang istimewa dan terbaik dibandingkan umat Islam pada umumnya.

Selain itu, juga karena para sahabat ini yang menemani dan menyaksikan perjuangan Nabi. Sehingga bisa disebut mereka orang paling paham terhadap maksud dan kehendak Nabi. Contoh fatwa para sahabat adalah diterimanya persaksian seorang budak.

Sumber ketiga adalah memilih fatwa sahabat yang lebih cocok dengan nash. Ini disebabkan adanya perbedaan pendapat para sahabat dalam suatu permasalahan.

Jika dicermati, dengan sumber ketiga ini sudah terlihat akan komitmen Mazhab Hanbali, khususnya Imam Ahmad sendiri dalam berfatwa dengan lebih memprioritaskan nash ketimbang sumber hukum yang lain.

Abu Zahrah mengatakan bahwa pada tahap ini, Imam Ahmad bin Hanbal berbeda dengan Imam Syafi’i. Bagi Imam Syafi’i, ketika mendapatkan perbedaan fatwa sahabat, maka memilihnya dengan cara tarjih, yakni memilih pendapat yang lebih kuat meskipun harus menempuh dengan metode qiyas (analogi). Maka, pendapat sahabat yang lebih kuat dan cocok dengan qiyas tersebut akan dipilihnya.

Cara tersebut berbeda dengan Imam Ahmad yang memilih pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan nash Alquran dan hadis. Dia tidak menggunakan metode qiyas layaknya Imam Syafi’i, karena baginya posisi qiyas berada di bawah fatwa para sahabat.

Sedangkan sumber keempat adalah Hadis Mursal, yaitu hadis yang dalam rentetan perawinya tidak disebutkan nama sahabat, atau Hadis Dlaif (lemah) yang tingkat kelemahan tak separah Hadis Maudlu’ (palsu). Dari sini pula Imam Ahmad terlihat lebih mendahulukan sumber ini ketimbang qiyas.

Sumber terakhir adalah metode qiyas. Sumber ini merupakan cara terakhir dalam menjawab permasalahan umat jika memang jawabannya tidak ditemukan di dalam nash, fatwa sahabat, pendapat tabi’in, atau riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi yang keabsahaannya masih dipersoalkan.

Bagi Imam Ahmad, mengamalkan Hadis Dlaif dalam cakupan fadlailul a’mal (keutamaan perbuatan) sah-sah saja selama kelemahan hadis tersebut tidak parah. Berbeda jika berkaitan dengan penetapan hukum syari’at, maka Hadis yang dijadikan dasar harus Hadis Shahih.

Pengambilan lima sumber hukum dalam Mazhab Hanbali ini bersifat hirarkis. Artinya harus berurutan secara tertib dari sumber pertama sampai terakhir.

Dari sini bisa terlihat, porsi akal dalam penetapan fatwa bagi Mazhab Hanbali sangat sedikit, dan lebih banyak memberikan porsi nash dan riwayat-riwayat perkataan sahabat dan tabi’in.

Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah menyatakan, mazhab Hanbali memperketat dan meminimalisir ruang ijtihad (penafsiran). Karena bagi mereka, selama masih ada nash atau riwayat para sahabat dan tabi’in yang dapat dijadikan pijakan dalam mengeluarkan fatwa ruang ijtihad makin sempit.

Mazhab Hanbali mencukupkan diri dengan memahami teks-teks tersebut berdasarkan riwayat yang dihafalkan dan diwariskan dari masa ke masa. Makanya kemudian mereka mengklaim sebagai mazhab berhaluan (manhaj) salaf, di mana mereka (orang-orang salaf) begitu memprioritaskan nash dan fatwa sahabat dalam menyelesaikan persoalan keagamaan.

Dengan kata lain, Mazhab Hanbali begitu menekankan nash dan riwayat-riwayat tersebut untuk dijadikan solusi dalam menjawab fenomena keagamaan seiring perkembangan zaman.

Pengikut mazhab Hanbali cenderung menolak kegiatan ibadah yang tidak ditemukan di dalam riwayat-riwayat nash. Sebab bagi mereka, riwayat-riwayat tersebut merupakan cerminan atas kehidupan umat Islam pada masa Nabi Muhammad.

Adanya riwayat hadis yang membahas larangan membuat ibadah baru dalam agama, makin menguatkan pandangan mereka dalam mengkritik kegiatan ibadah yang belum ada riwayat dari orang-orang salaf.

Sehingga, jika terdapat kegiatan ibadah yang tidak ada contohnya berdasarkan riwayat-mereka akan menolak, bahkan mengkritik dan menyalahkannya. Gaya hidup dan ekspresi keberagamaan mereka disesuaikan dengan orang-orang yang ada dalam zaman periwayat nash. Contohnya seperti kehidupan di Saudi Arabia.

Oleh karena itu, dapat disingkat jika mazhab ini cenderung tekstual dalam memahami nash dan riwayat-riwayat yang disandarkan pada sahabat dan tabi’in. (drs)

Tulisan Selanjutnya: Pasang surut Mazhab Hanbali


Artikel ini ditulis oleh M. Syarofuddin Firdaus. Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan peneliti di Ali Mustafa Yaqub (AMY) Institute

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post